Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Yuli Prianto
"Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien fibrilasi atrium (FA) yang mengalami gagal jantung akut. Pada pasien irama sinus, left atrial volume index (LAVI) dan heart rate variability (HRV) merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi kardiovaskular. Penelitian LAVI dan HRV pada pasien FA hingga saat ini belum konklusif.
Tujuan: Mengetahui hubungan LAVI dan HRV dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA
Metode: Studi kohort retrospektif dengan populasi terjangkau pasien dewasa FA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 yang berasal dari registri Optimal INR measures for Indonesians (OPTIMA). Data sekunder LAVI diukur dengan ekokardiografi dan parameter HRV terdiri dari standar deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive differences (RMSSD), rasio low frequency dan high frequency (LF/HF) diukur menggunakan alat HRV portabel. Pasien diikuti hingga 30 Januari 2023, luaran dinilai dengan melihat catatan medik atau melalui telepon.
Hasil: Dilakukan analisis pada 144 sampel. Proporsi kejadian gagal jantung akut sebesar 15,3%. Tidak terdapat hubungan antara SDNN dengan kejadian gagal jantung akut (RR 1,75; IK95% 0,260 – 11,779, p=0,565). Tidak terdapat hubungan antara LF/HF dengan kejadian gagal jantung akut (RR 2,865; IK 95% 0,765 – 10,732, p=0,118). Terdapat hubungan antara LAVI dengan kejadian gagal jantung akut (adjusted RR 2,501; IK 95% 1,003 – 6,236, p=0,049). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor perancu pada penelitian ini.
Kesimpulan: Peningkatan LAVI berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. HRV tidak berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA.

Background Morbidity and mortality rates increase in patients with atrial fibrillation (AF) who experience acute heart failure. In patients with sinus rhythm, left atrial volume index (LAVI) and heart rate variability (HRV) are strong predictors of cardiovascular complications. Research on LAVI and HRV in AF patients has so far not been conclusive.
Objectives: To determine the relationship between LAVI and HRV and the incidence of acute heart failure in AF patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted with an accessible population of adult AF patients at RSCM from January 1, 2020, to December 31, 2021, originating from the Optimal measures INR for Indonesians (OPTIMA) registry. LAVI was measured by echocardiography, and HRV parameters consist of the standard deviation of NN intervals (SDNN), the root mean square of successive differences (RMSSD), and the ratio of low frequency and high frequency (LF/HF) measured using a portable ECG device. Patients were followed until January 30, 2023, and outcomes were assessed by looking at medical records or by telephone.
Result: A total of 144 subjects were analysed. The proportion of acute heart failure is 15.3%. There was no relationship between SDNN and the incidence of acute heart failure (RR 1.75; 95% CI 0.260–11.779, p=0.565). There was no relationship between LF/HF and the incidence of acute heart failure (RR 2.865; 95% CI 0.765–10.732, p=0.118). There is a relationship between LAVI and the incidence of acute heart failure (adjusted RR 2.501; 95% CI 1.003–6.236, p = 0.049). DM and hypertension were confounding factors in this study.
Conclusion: The elevation of LAVI is associated with the incidence of acute heart failure in AF patients. HRV is not associated with the incidence of acute heart failure in AF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Octo Tumbur
"Latar belakang : Pasien gagal jantung kronik memerlukan evaluasi pemeriksaan ekokardiografi. Berbagai metode pemeriksaan digunakan dalam pemeriksaan ekokardiografi, diantaranya pemeriksaan LAEF, LAVI, dan LVEF yang terkait dengan penelitian ini. Metode pemeriksaan LAEF dan LAVI memiliki peran dalam menilai remodelling atrium kiri, sedang LVEF terkait dengan fungsi sistolik ventrikel kiri.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan menilai korelasi nilai LAEF dan LAVI dengan nilai LVEF pada < 40% dan ≥ 40%.
Metode : Studi potong lintang pada 150 pasien gagal jantung kronik yang dilakukan pemeriksaan ekokardiografi trans-torakal di eko-lab PJT RSCM.Pemeriksaan ekokardiografi metode LAEF dengan metode area length (2 dimensi) pada minimal 2 view eko, sedangkan LAVI dengan metode 2 dimensi. Pemeriksaan LVEF dengan metode Simpson.
Hasil : Pada penelitian didapatkan 150 subjek dengan nilai median LAVI 30,9mL/m2 (RIK 22,08-40,80), nilai median LVEF 55,75 % (RIK 40,75-61,85), nilai LAEF median 31,8 % (RIK 23,98-38,30). Korelasi nilai LAEF dengan nilai LVEF pada LVEF < 40% dengan hasil korelasi positif sedang bermakna (r = 0,614; p <0,001), pada LVEF ≥ 40% dengan hasil korelasi positif sedang bermakna (r =0,580 ; p < 0,001). Korelasi nilai LAVI dengan nilai LVEF pada LVEF < 40% dengan hasil berkorelasi negatif lemah dan tidak bermakna (r = -0,093; p = 0,722), sedangkan pada LVEF ≥ 40% dengan hasil berkorelasi negatif lemah bermakna (r = -0,299; p < 0,001). Dilakukan sub-analisis pada LVEF 40-50%, didapatkan nilai LAEF dan nilai LVEF berkorelasi positif lemah bermakna (r = 0,492; p <0,001). Lalu sub-analisis pada LVEF ≥ 50%, didapatkan korelasi nilai LAEF dan nilai LVEF positif lemah tidak bermakna (r = 0,205; p = 0,063).
Kesimpulan : Terdapat korelasi positif nilai LAEF dengan nilai LVEF pada pasien gagal jantung kronik baik pada HFrEF (LVEF < 40%) dan LVEF ≥ 40%, sehingga nilai LAEF pada cut-off nilai LVEF 40% dapat menjadi salah satu marker menilai proses remodelling atrium kiri. Sedangkan nilai LAVI dengan LVEF pada pasien gagal jantung kronik ditemukan korelasi lemah atau tidak adanya korelasi.

Background : Patients with chronic heart failure require echocardiographic evaluation. Various examination methods were used in echocardiographic examinations, including LAEF, LAVI, and LVEF examinations related to this study. LAEF and LAVI examination methods have a role in assessing left atrial remodeling, while LVEF is related to left ventricular systolic function.
Objective : This study aims to assess the correlation between LAEF and LAVI values with LVEF values at LVEF < 40% and LVEF 40%.
Methods : A cross-sectional study of 150 patients with chronic heart failure who underwent transthoracic echocardiography at the RSCM PJT eco-lab. Echocardiographic examination using the LAEF method with the area length method (2 dimensions), in at least 2 eco views, while the LAVI using the 2-dimensional method. LVEF examination by the Simpson method.
Results : The study found 150 subjects with a median LAVI value of 30.9 mL/m2 (IQR 22.08-40.80), a median LVEF value of 55.75% (IQR 40.75-61.85), a median LAEF value of 31 ,8% (IQR 23.98-38.30). The correlation between the LAEF value and the LVEF value at LVEF < 40% has a moderately significant positive correlation (r = 0.614; p < 0.001), while at LVEF ≥ 40% has a moderately significant positive correlation (r = 0.580 ; p < 0.001). The correlation between the LAVI value and the LVEF value at LVEF < 40% has a weak and insignificant negative correlation (r = -0.093; p = 0.722), while at LVEF ≥ 40% has a weak negative significant correlation (r = -0.299; p < 0.001). Sub-analysis was performed on LVEF 40-50%, and the LAEF value and LVEF value were positively and significantly correlated (r = 0.492; p < 0.001). Then the sub-analysis at LVEF > 50%, it was found that the correlation between the LAEF value and LVEF value were weak positive and not significant correlated (r = 0.205; p = 0.063).
Conclusion : There is a positive correlation between LAEF values and LVEF values in chronic heart failure patients both at HFrEF (LVEF < 40%) and LVEF ≥ 40%, so that the LAEF value at the cut-off LVEF 40% can be one of the markers to assess the left atrial remodeling process. While the value of LAVI with LVEF in patients with chronic heart failure found a weak correlation or no correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Larasati
"Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek.
Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah.
Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)).
Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA.

Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area.
Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wega Sukanto
"Latar belakang: Fibrilasi atrium meningkatkan morbiditas pasien dengan penyakit katup mitral. Insidens fibrilasi atrium pada pasien dengan penyakit katup mitral cukup tinggi karena proses pembesaran atrium dan remodelling. Semakin besar atrium, semakin lanjut juga proses remodelling, keberhasilan bedah ablasi-pun semakin kecil. Populasi pasien di Indonesia memiliki dimensi atrium kiri yang sudah besar. Kami mencoba melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dimensi atrium kiri terhadap keberhasilan bedah ablasi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan mengambil seluruh data 59 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dari 85 pasien yang menjalani bedah ablasi pada Januari 2012 sampai dengan Oktober 2016 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data diambil dari rekam medis pasien yang menjalani operasi koreksi katup mitral dengan atau tanpa koreksi katup trikuspid dengan bedah ablasi set lesi bilateral, alat tunggal radiofrekuensi bipolar. Pengamatan irama jantung dilakukan pada minggu pertama, bulan ketiga, dan bulan keenam pascaoperasi. Analisis data menggunakan Mann-Whitney U test dan logistik regresi.
Hasil: Diameter atrium kiri preoperasi pada kedua kelompok keluaran hasil bedah ablasi bulan ketiga dan bulan keenam berbeda bermakna nilai p 0,05 , bulan ketiga nilai p >0,05 , dan bulan keenam nilai p >0,05 pascaoperasi. Analisis multivariat seluruh variabel perancu pada tiap waktu pengamatan tidak didapatkan hubungan yang secara statistik bermakna. Pada kelompok pasien dengan diameter atrium kiri ge;60mm, angka konversi irama menjadi sinus 69,22.
Kesimpulan: Semakin besar diameter atrium kiri preoperasi, semakin tinggi angka rekurensi AF pada pasien penyakit jantung katup mitral. Bedah ablasi tetap dapat menjadi suatu pertimbangan terapi pada pasien dengan diameter atrium kiri yang besar diameter ge;60mm .

Backgrounds: Atrial fibrillation causing many thromboemboli complications. Incidence of atrial fibrillation is high among patients with mitral valve disease. The proccess of enlargement and remodelling of atria were believed to increase failure in ablation surgery. Patients population in Indonesia had enormous size of atria in the time of surgery. We report the correlation between preoperative left atrial dimension with the outcome of the surgery.
Methods: This is a cohort retrospective study. We collected data from medical records of all 59 patients underwent modified Cox Maze IV with single device radiofrequency bipolar and biatrial lesion with mitral valve with or without tricuspid valve intervention throughout January 2012 to October 2016. We observed the outcome in first week, third month, and sixth month after the surgery. This study based on Mann Whitney U test and logisctic regression.
Results: There is significant difference in the preoperative left atrial diameter between two outcome groups AF and non AF at third month and sixth month p value 0.05. Multivariate analysis reveals no significant correlation among confounding factors at all observation time. The successful sinus rhythm conversion among patients with preoperative left atrium diameter greater than 60mm is 69,22.
Conclusions: Preoperative left atrial diameter affects the outcome of ablation surgery. The bigger the diameter, less success rhythm conversion. But in our population, ablation surgery still can be considered among patients with big left atrial size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fridyan Ratnasari
"Latar Belakang: FA merupakan salah satu masalah aritmia yang paling umum terjadi dengan prevalensi yang terus meningkat seiring dengan penuaan populasi dan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Manajemen FA dengan ablasi mampu mengurangi gejala pasien, namun angka rekurensi FA yang masih tinggi (10- 30%) pasca ablasi terus menjadi bahan penelitian dengan mekanisme yang masih belum dipahami. Remodelling atrial memiliki peran penting dalam progresi FA. Ketebalan dinding atrium kiri yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan propagasi dan penetrasi dari tindakan ablasi, sehingga penilaian ketebalan dinding atrium kiri penting dalam proses tindakan ablasi FA.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara ketebalan atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi FA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien ablasi fibrilasi atrium di RSJPD Harapan Kita pada periode Januari 2018- Januari 2023. Evaluasi rekurensi aritmia atrial dilakukan dengan EKG 12 sadapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Penilaian ketebalan dinding atrium kiri dilakukan dengan pemeriksaan CT scan kardiak. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara ketebalan dinding atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.
Hasil: Dari 127 pasien pasca ablasi FA, didapatkan rata-rata pasien berusia 55 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 64%. Berdasarkan tipe FA didapatkan 65% merupakan FA paroksismal. Ketebalan dinding atrium kiri (OR 1,56; IK 95% 1,20-2,03; p value < 0,001) dan diameter atrium kiri berdasarkan ekokardiografi (OR 1,07; IK 95% 1,00- 1,14; p value 0,0038) berhubungan secara signifikan dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.

Background: Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia and its prevalence increases with age. Management of catheter ablation is effective in reducing symptom burden but its recurrence rate is still considered high (10-30%) with unclear mechanism. Atrial remodeling plays important role in AF progression. The left atrial wall thickness (LAWT) is heterogenous which cause different propagation and penetration of ablation power. Recurrence of arrhythmia atrial after catheter ablation for atrial fibrillation (AF) has been considered as a common phenomenon but its mechanism and implication in long-term outcome has not been fully understood.
Objective: We aimed to clarify the relation between left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurences after ablation
Metode: A total of 127 patients with history of catheter ablation for AF were consecutively recruited from period of January 2018- January 2023. Recurrences was defined as recurrence of atrial tachyarrhythmia using surface electrocardiogram and Holter monitoring. LAWT was assessed using cardiac CT scan. The statistical analysis was performed to find the relationship between the left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurrences.
Results: From 127 patients post catheter ablation for AF, patients included mean age of 55 years old and 64% patients are male. Based on type of AF, most of patients (65%) are paroxysmal AF. The mean left atrial wall thickness (OR 1,56; IK 95% 1,20- 2,03; p value < 0,001) and diameter of left atrium from echocardiography (OR 1,07; IK 95% 1,00-1,14; p value 0,0038) were significantly associated with arrhythmia atrial post catheter ablation.
Conclusion: Left atrial wall thickness assessed with CT cardiac increased 4.4 times arrhythmia atrial recurrences post catheter ablation of AF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ghefira Nur Fatimah Widyasari
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian global, termasuk di Indonesia. Evaluasi kesehatan dini, menggunakan heart rate variability (HRV) melalui pengukuran root mean square of successive RR interval differences (RMSSD) dan percentage of successive RR intervals that differ by more than 50 𝑚𝑠 (pNN50), menjadi penting untuk merefleksikan respons relaksasi, stres, kualitas tidur, dan aktivitas fisik. Evaluasi ini sebaiknya dilakukan saat seseorang masih dalam kondisi sehat. Sejalan dengan itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesehatan pasien dengan irama jantung normal melalui metode clustering pada variabel RMSSD, pNN50, dan usia, yang diambil dari rekaman elektrokardiogram milik online database Physionet. Setiap cluster yang terbentuk dapat memberikan informasi unik, memungkinkan penentuan risiko penyakit kardiovaskular serta penanganan yang tepat. Namun, karena pola data yang digunakan tidak jelas, mengandung outlier, dan berdimensi rendah, maka dilakukan perbandingan antara metode Hierarchical clustering dan Gaussian Mixture Models (GMM) clustering yang mampu mengatasi hal tersebut. Mengingat GMM clustering yang sangat sensitif terhadap inisialisasi awal, penelitian ini menggunakan dua pendekatan inisialisasi, yaitu acak dan K-Means. Penentuan metode terbaik dilakukan dengan mempertimbangkan metrik evaluasi (efektivitas) dan waktu komputasi metode (efisiensi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa GMM clustering dengan inisialisasi K-Means adalah metode terbaik dengan membentuk tiga cluster. Meskipun alat EKG menilai pasien dalam kondisi sehat, namun analisis clustering dapat mengungkapkan informasi penting, terutama bagi pasien yang teridentifikasi memiliki tingkat HRV yang relatif rendah.

Cardiovascular diseases are a leading cause of global mortality, including in Indonesia. Early health evaluation, utilizing heart rate variability (HRV) through root mean square of successive RR interval differences (RMSSD) and percentage of successive RR intervals that differ by more than 50 𝑚𝑠 (pNN50) measurements, is crucial to reflect responses to relaxation, stress, sleep quality, and physical activity. This evaluation is ideally conducted while an individual is still in a healthy condition. In line with that, this research aims to evaluate the health of patients with a normal sinus rhythm through clustering methods on variables like RMSSD, pNN50, and age, extracted from electrocardiogram recordings from the online Physionet database. Each cluster can provide unique information, enabling the identification of cardiovascular disease risks and appropriate interventions. However, due to unclear data patterns, the presence of outliers, and is low-dimensiona, a comparison is made between Hierarchical clustering and GMM methods, capable of addressing these issues. Given GMM clustering's sensitivity to initializations, this study employs two approaches, random and K-Means. The determination of the best method is based on considerations of evaluation metrics (effectiveness) and computational time (efficiency). Research results indicate that GMM clustering with K-Means initialization is the most effective and efficient method, forming three clusters. Despite ECG assessments indicating healthy conditions, clustering analysis can reveal crucial information, especially for patients identified with relatively low HRV levels."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rendra Hadi
"Latar belakang: DM masih menjadi masalah besar bidang kesehatan global, dengan beban yang sangat besar akibat dari penyakitnya secara langsung dan komplikasinya, terutama komplikasi kardiovaskular. Komplikasi tersebut dipengaruhi gangguan neuropati autonom, yang dapat dinilai dengan HRV. Gangguan autonom dipikirkan akan menurunkan fungsi jantung, yang secara dini mungkin dapat diprediksi dengan melihat global longitudinal strain. Hubungan antara HRV dan GLS belum banyak diteliti Tujuan: Mengetahui korelasi antara fungsi autonom kardiak dengan fungsi ventrikel kiri pada pasien DM Tipe 2 Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau Pasien DM tipe 2 berusia dewasa yang tinggal di DKI Jakarta pada bulan Desember 2020. Parameter HRV terdiri dari interval RR, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF) dan rasio LF/HF dan Global longitudinal strain dianalisis menggunakan ekokardiografi Hasil: Dilakukan analisis pada 167 sampel. rerata GLS didapatkan -20,30 (±1,57). Tidak terdapat korelasi antara interval RR dengan GLS (r = -0,07, p = 0,377), tidak terdapat korelasi antara SDNN dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189), tidak terdapat korelasi antara RMSSD dengan GLS (r = -0,12, p = 0,098), tidak terdapat korelasi antara LF dengan GLS (r = -0,003, p = 0,968), tidak terdapat korelasi antara HF dengan GLS (r = -0,09, p = 0,21), tidak terdapat korelasi antara LF/HF dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189). Tidak terdapat faktor perancu yang berhubungan pada penelitian ini Kesimpulan: Tidak Terdapat korelasi antara heart rate variability dengan global longitudinal strain pada pasien DM Tipe 2.

Background: Diabetes Mellitus (DM) remains a major global health issue due to its direct consequences and complications, particularly cardiovascular complications. These complications are influenced by autonomic neuropathy, which can be assessed by Heart Rate Variability (HRV). Autonomic dysfunction is thought to impair heart function, which can potentially be predicted early by observing global longitudinal strain (GLS). The relationship between HRV and GLS has not been extensively studied. Objective: To determine the correlation between cardiac autonomic function and left ventricular function in Type 2 DM patients. Methods: A cross-sectional study with a population of adult Type 2 DM patients residing in Jakarta in December 2020. HRV parameters included RR interval, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF), and LF/HF ratio. Global longitudinal strain was analyzed using echocardiography. Results: Analysis was conducted on 167 samples. The average GLS was -20.30 (±1.57). There was no correlation between RR interval and GLS (r = -0.07, p = 0.377), no correlation between SDNN and GLS (r = -0.10, p = 0.189), no correlation between RMSSD and GLS (r = -0.12, p = 0.098), no correlation between LF and GLS (r = -0.003, p = 0.968), no correlation between HF and GLS (r = -0.09, p = 0.21), and no correlation between LF/HF ratio and GLS (r = -0.10, p = 0.189). There were no confounding factors associated with this study. Conclusion: There is no correlation between heart rate variability and global longitudinal strain in Type 2 DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sahira Hanifah
"Latar Belakang: Gagal jantung merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Jantung dan ginjal berhubungan dengan erat yang dapat dijelaskan oleh sindrom kardiorenal. Saat ini, ada kekurangan data di rumah sakit tersier di Indonesia mengenai hubungan Ejection Fraction (EF) dengan fungsi ginjal. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang mengikutsertakan pasien gagal jantung di RSUP Dr. Cipto Mangunkusomo tahun 2018 – 2020 sebagai populasi sasaran. Uji Chi-squared digunakan untuk menganalisis korelasi antar variabel. Izin etik diperoleh karena penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjeknya. Hasil: Sebanyak 158 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini setelah menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 37 (36,6%) pasien HF pada kelompok HFrEF yang memiliki eGFR stadium 3, 4, atau 5. Sedangkan di kelompok HFmrEF atau HFpEF, terdapat 29 (50,9%) dengan eGFR stadium 3, 4 , atau 5 (p-value = 0,115, RR = 0,72). Pasien gagal jantung dengan eGFR stadium 3, 4, atau 5 (n = 8;12,1%) dan eGFR stadium 1 atau 2 (n = 4; 4,3%) termasuk dalam kelompok NYHA kelas III atau IV (p-value = 0,125, RR = 2,79). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan proporsi pasien HFrEF dengan HFpEF untuk memiliki eGFR stadium 3, 4, atau 5 serta proporsi pasien HF yang eGFR stadium 3,4 atau 5 dengan eGFR stadium 1 atau 2 untuk dimasukkan pada kelompok NYHA kelas III atau IV.

Background: Heart failure is considered one of leading cause of death In Indonesia. The heart and kidneys are tightly related which can be explained by the cardiorenal syndrome. There is a paucity of current data in a tertiary hospital in Indonesia regarding the association of Ejection Fraction (EF) with kidney function. Method: This is a cross-sectional study that includes heart failure patients in Dr. Cipto Mangunkusomo Hospital year 2018 – 2020 as the target population. The Chi-squared test is used to analyse the association between the variables. Ethical permission was obtained since this research used humans as the subject. Results: A total of 158 subjects were included in this study after applying the inclusion and exclusion criteria. There were 37 (36,6%) HF patients in the HFrEF group had eGFR stage 3, 4, or 5. Meanwhile, among HFmreEF or HFpEF group, there were 29 (50,9%) with eGFR stage 3, 4, or 5 (p-value = 0,115, RR = 0,72). HF patients in both eGFR stage 3, 4, or 5 (n = 8;12,1%) and eGFR stage 1 or 2 (n = 4; 4,3%) were included in the NYHA class III or IV group (p-value = 0,125, RR = 2,79). Conclusion: There are no differences in the proportion of HFrEF patients with HFpEF to have eGFR stage 3, 4, or 5 as well as in the proportion of HF patients whose eGFR stages 3,4 or 5 with eGFR stages 1 or 2 to be included in the NYHA class III or IV group. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdasari
"Latar belakang: Pasien sindom koroner akut (SKA) dengan gejala ansietas berisiko mengalami luaran negatif yang dimediasi oleh disfungsi otonom yang dapat dinilai dengan variabilitas denyut jantung (VDJ). Penurunan VDJ ditemukan baik pada pasien SKA maupun ansietas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai VDJ pada pasien SKA dengan gejala ansietas dibandingkan dengan tanpa gejala ansietas dan menentukan korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian diambil dari data penelitian utama pada pasien SKA yang dirawat di ruang intensif rawat jantung RSCM periode April-September 2021 secara total sampling. Gejala ansietas dinilai dengan kuesioner. Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). Data VDJ yang diambil adalah domain waktu (SDNN, RSSMD) dan frekuensi (LF, HF, rasio LF/HF). Uji Mann-Whitney dilakukan untuk perbedaan nilai VDJ antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas, uji Spearman untuk korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas, dan analisis multivariat untuk faktor perancu.
Hasil: Tujuh puluh subjek SKA yang dilibatkan terdiri dari 23 subjek dengan gejala ansietas dan 47 subjek tanpa gejala ansietas. Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ (SDNN, RMSSD, LF, HF, rasio LF/HF) antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas secara statistik. Setelah mengontrol variabel perancu, gejala ansietas memiliki korelasi dengan SDNN (r = -0,563; p<0,001) yang dipengaruhi oleh usia (p<0,004); sementara nilai LF (r = -0,63; p< 0,001) dipengaruhi oleh usia (p = 0,007) dan penyekat beta (p = 0,030).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ antara pasien SKA dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas yang bermakna secara statistik, namun terdapat penurunan nilai SDNN, HF, dan rasio LF/HF pada kelompok dengan gejala ansietas yang lebih besar. Terdapat korelasi antara nilai VDJ (SDNN dan LF) dengan gejala ansietas pada pasien SKA.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) patients with anxiety symptoms are at high risk of developing poor outcomes mediated by autonomic dysfunction that can be assessed with heart rate variability (HRV). Reductions in HRV are reported not only in ACS but also in anxiety. This study aims to compare HRV of ACS subjects with and without anxiety and to determine the correlation between HRV and anxiety symptoms.
Methods: This research is a cross-sectional study. The study subjects were taken from the primary research data of ACS patients treated at the ICCU of RSCM from April to September 2021 by total sampling. Anxiety symptoms are assessed with Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) questionnaire. HRV analysis consist of time (SDNN, RSSMD) and frequency (LF, HF, LF/HF ratio) domain. Data were analyzed using Mann- Whitney test for differences in HRV between ACS subjects with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms, Spearman's test for the correlation between HRV and anxiety symptoms, and multivariate analysis for confounding factors.
Results: Seventy ACS subjects involved consisted of 23 subject with anxiety symptoms and 47 without anxiety symptoms. There was no statistical difference in comparison of HRV (SDNN, RMSSD, LF, HF, LF/HF ratio) between anxiety symptoms compare to those without anxiety symptoms. After controlling for confounding variables, SDNN has a correlation with anxiety symptoms (r = -0,563; p<0,001) which was influenced by age (p<0,004); while the LF has a correlation (r = -0,63; p< 0,001) which are influenced by age (p = 0,007) and beta blockers (p = 0,030).
Conclusion: There was no significant difference in HRV values (SDNN, RMSSD, LF, HF, ratio LF/HF) between ACS patients with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms. There was a correlation between HRV (SDNN and LF) and anxiety symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husain Haikal
"Latar Belakang : Implantasi Alat Pacu Jantung Permanen APJP terusmengalami peningkatan. Kejadian Fibrilasi Atrium FA pada pasien pascapemasangan APJP dengan pemacuan dasar ventrikel dikarenakan adanyadisfungsi diastolik ventrikel kanan yang diikuti oleh disfungsi diastolik ventrikelkiri dan disinkroni ventrikel karena adanya Blok Berkas Cabang Kiri BBCKi .Kedua hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiridiikuti dengan gangguan pada atrium kiri dan timbul FA. Banyak prediktor yangdapat digunakan untuk menilai kejadian FA namun belum ada penelitian yangmenghubungkan pemeriksaan Elektrokardiogram EKG 12 sadapan yaitu denganinterval QT corrected QTc pacu menggunakan rumus Framingham dengankejadian FA pada pasien dengan APJP.
Tujuan : Mengetahui hubungan interval QTc pacu dengan kejadian FA danmenentukan nilai potong dari interval QTc pacu.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan diRumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK padasubyek yang menjalani pemasangan APJP pemacuan dasar ventrikel pada Januari2013 hingga Agustus 2014. Dilakukan perhitungan interval QTc pacumenggunakan rumus Framingham pada EKG 12 sadapan yang dilakukan satubulan setelah implantasi APJP.
Hasil Penelitian : Terdapat 75 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dimana 15subjek mengalami FA 20 . Interval QTc pacu menggunakan rumusFramingham berkorelasi baik dengan kejadian FA. Nilai potong dari interval QTcpacu yang didapat adalah ge; 451,5 mdet, dimana nilai potong ini mempunyai risiko4,3 kali lipat kejadian FA.
Kesimpulan : Interval QTc pacu menggunakan rumus Framingham dapatdigunakan sebagai prediktor kejadian FA pada pasien yang menggunakan APJPdengan pemacuan dasar ventrikel.

Background : Implantation of Permanent Pacemaker PPM increasing in the lastdecades. Atrial fibrillation AF in patient using PPM with right ventricular basepacing developed because of the diastolic dysfunction of the right ventricle thatimpact the left ventricle and also ventricular dissynchrony in left ventricle due toLeft Bundle Branch Block LBBB . This abnormalities will impact to the leftatrial and induced atrial fibrillation. There are many predictors for AF but wehaven't found any study that correlate paced QT corrected paced QTc usingFramingham formula with the the risk of AF in patients implanted doublechamber or single chamber PPM under ventricular based pacing.
Aim : To determine the correlation between paced QTc with AF in patientimplanted PPM and determine cutoff value.
Methods : This is a case control study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita Hospital Jakarta with subjeks implantedPPM using double chamber or single chamber with ventricular based pacing fromJanuary 2013 until August 2014. The calculation of Paced QTc using framinghammethod.
Results : There are total 75 subyek in this study, 15 subject developed AF 20 .The Paced QTc using Framingham method was correlated well with AF. Thecutoff value of Paced QTc was ge 451.5 msec and the risk to develop AF was 4.3times.
Conclusion : Paced QTc can be used as a predictor of AF in patient with doublechamber or single chamber PPM with ventricular based pacing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55634
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>