Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Ridwan Kafara
Jember: Nanopedia, 2022
345.023 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Akil Mochtar
Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2009
345.023 AKI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sumaryanto
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2009
345.023 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Paulina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28918
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leo Jimmi Agustinus
"Membahas penagnanan perkara tindak pidana pencucian uang khususnya dalam hal perlu tudaknya pembuktian tindak pidana asal dalam penanganan tindak pidana pidana pencucian uang dan kaitan antara dua tindak pidana tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersipat deskriptis analisis, dimana data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, Penelitian ini berkesimpulan bahwa adanya hubungan berkelanjtan yang terpisah dan berdiri sendii sendiri antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, adanya kesamaan bentuk antara tindak pidana pencucian uang dngan tindak pidana penadahan, dan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tidak diperlukan untuk pembuktian terlebih dahlu tindak pidana asalnya. Penelitian ini juga menyarankan agar setiap komponen dalam sistem peradlan pidana untuk mempunyai kesamaan sikap mengenai kesimpulan penelitian ini menyarankan bagi penegak hukum untuk memberikan ruang seluasnya bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk menggunakan haknya sesuai UUPPTIPPU.

This thesis details on administering cases on money laundering criminal act specifically on whether or not os required origin criminal act burden of proof in money laundering criminal act and connection between both criminal act. This study shall be a normative legal study and analysis descriptive in nature, whereby the collected data will be analyzed qualitatively. This study concluded that there exists a separate and independent sustainable relationship between origin criminal act and money laundering criminal act, a similarity of form between money laundering criminal act and fencing criminal act, and in administering money laundry criminal act it is not required to first proof its origin criminal act. Further, this study suggests for each component in the criminal justice system to have a unity of attitude to the conclusion of this study for the formation of an integrated criminal justice system. This study also encourages legal practitioners to provide the broadest space to money laundering criminal defendant to utilize his/her right under UUPPTPPU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28944
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robie Aryawan Haris
"Pembalikan beban pembuktian merupakan beban pembuktian yang dengan adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak tidak lagi diletakkan pada diri penuntut umum, namun terletak pada terdakwa. Pembalikan beban pembuktian digunakan untuk pembuktian pada delik gratifikasi dalam tindak pidana korupsi. Gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas dan diberikan di dalam maupun di luar negeri baik menggunakan sarana elektronik maupun tidak. Gratifikasi diatur pada Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beban pembuktian ada pada penuntut umum. Hal itu terjadi karena pada Pasal 12B dicantumkan unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berhubungan dengan kewajiban atau tugas”. Dengan adanya unsur tersebut maka berlaku ketentuan dalam hukum pidana yaitu pencantuman segala unsur dalam rumusan pasal menjadi kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikannya. Menurut Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diberlakukan mekanisme pelaporan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk upaya pencegahan sebelum perkara masuk ke persidangan. Pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi merupakan hak bagi penerima gratifikasi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Mekanisme pembalikan beban pembuktian justru melindungi penerima gratifikasi karena dengan dicantumkannya unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas” beban pembuktian kembali ada pada penuntut umum. Dalam mekanisme pelaporan ke KPK sesuai Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penerima gratifikasi yang melapor mendapat status hukum sebagai pelapor. Pelapor mendapat perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yuridis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif.

Reversal burden of proof is a burden of proof that with its special urgency is not being placed in the hand of the general prosecutor instead becomes the burden for the defendant. Reversal burden of proof is use for evidential process in gratification as a form of corruption. Gratification is a form of gift in a broad meaning and given inside or outside the country whether using electronic means or not. Gratification is mention in the provision 12 B in Act No.20 year 2001. Reversal burden of proof mechanism in gratification carried out according to code of criminal conduct process (KUHAP), with the burden of proof lies in the hand of the general prosecutor. It occurs because in the provision 12 B, the element “that connected with the profession and in contrary to the duty or obligation”. With these elements, then apply the rule in criminal law that every elements mention in the provision becomes the obligation of the general prosecutor to prove it. According to provision 12 C Act No.20 year 2001 the application of gratification reporting mechanism to the Corruption Eradication Commission (KPK) as a form of preventive action before the case goes in to the trial process. Reversal burden of proof in gratification is a right for gratification receiver, this is according to provision 37 Act No.20 year 2001 which stated that “defendant has the right to prove that his/her is innocent from doing corruption”. The reversal burden of proof mechanism is actually protecting gratification receiver, because with element “that connected with the profession and in the contrary to the duty or obligation” mention in the provision 12B, the burden of proof is back in the hand of the general prosecutor. In the reporting mechanism to KPK according to provision 31 Act No.31 year 1999, the gratification receiver who report to KPK get a status as reporting person. The reporting person get protection according to provision 10 Act No.13 year 2006 about the protection of Witness and Victim. The protection they get is that the reporting person can not be sue for the report they give. This research is a descriptive research using normative judicial research method."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Bandung: Alumni, 2006
345.023 ADA h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topik Gunawan
"Aktivitas pencucian uang merupakan modus tindak pidana yang semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Tindak pidana pencucian uang merupakan mata rantai dari suatu kejahatan dan memiliki dampak yang luar biasa. Salah satu kendala yang dihadapi adalah mengenai hukum acara, khususnya dalam hal pembuktian. Pembalikan beban pembuktian diatur di dalam UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, tetapi tidak jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Tulisan dengan judul Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan empiris yang bersifat kualitatif. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa dasar pemikiran penerapan pembalikan beban pembuktian pada proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia adalah untuk memecahkan kesulitan Halam membuktikan masalah yang hanya diketahui oleh si pelaku, karena modus pencucian semakin kompleks dan canggih. Penerapan asas ini juga berdasarkan asumsi jika predicate erime belum diadili, sementara penegak hukum akan memproses perkara pencucian uang, maka konsekuensinya digunakanakan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Secara politis Indonesia mengadopsi pembalikan beban pembuktian dalam UU TPPU karena adanya desakan dari FATF (Financial Action Task Force). Kesimpulan berikutnya adalah bahwa dalam praktek peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia, Pembalikan beban pembuktian belum pernah digunakan. Oleh karena itu, dalam kenyataannya peran jaksa dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang secara umum sama saja dengan pembuktian dalam perkara pidana lain. Perbedaannya tampak dalam penyusunan surat dakwaan dan pengajuan alat-alat bukti untuk mendukung pembuktian di persidangan. Di masa depan, pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang harus berangkat dari pendekatan mengejar uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan (follow the money), dengan maksud memupus motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kebijakan legislasi mengenai pengaturan pembalikan beban pembuktian tindak pidana pencucian uang hendaknya merupakan perpaduan antara criminal procedure (prosedur pidana) dan civil procedure (prosedur perdata). Di samping itu juga, dituntut peran hakim dalam menerapkan asas ini agar tujuan penegakan hukum anti pencucian uang dapat tercapai.

Money laundering activity is crime modus that its increasingly complex by using technology and finance engineering that is complicated enough. Money laundering crime is link from a crime and has remarkable impact. One of constraint faced is criminal procedure, especially in the proof. Reversal burden of proof as arranged in Law No. 15/2002 as has been changed with Law No. 25/2003, but it doesn’t defined intended the proof in context to punish the persons or confiscate their properties. Article with title Application of Reversal Burden of Proof in juridical process of money laundering cases, applies research method of yuridis normatif and empiric having the character of qualitative. Applying rationale of reversal burden of proof at jurisdiction process of money laundering crime case in Indonesia is an effort to broke the difficulty to proving problem which only know by the criminal, because wash modus increasingly complex and sophisticated. Applying of this principle also based on assumption if predicate crime had not been judged, where as law enforcer will process money laundering case, so the consequence by using the reversal burden of proof mechanism. Politically Indonesia adopts reversal burden of proof in money laundering acts, caused by pressure from FATF (Financial Action Task Force). However, jurisdiction in action of money laundering crime case in Indonesia, reversal burden of proof have never been done. Therefore, the role of prosecutor in prove of money laundering crime case in general equal to prove in other criminal. The difference is seen in compilation of accusation and proffering of evidences to support verification in court. In the future, arrangement of reversal burden of proof in process of jurisdiction of money laundering crime case leaves from approach to pursue money or properties by obtained from result of crime (follow the money), extinctly motivated someone to do a crime. Therefore, policy of legislation about arrangement of reversal burden of proof in money laundering crime shall be solidarity between criminal procedure and civil procedure. Beside that, it is claimed the role of judge in applying this principle for the purpose of law enforcement on money laundering can be reached."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37124
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi teorinya yaitu dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003. Penggunaan mekanisme pengembalian beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud. Untuk itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"In 2009, Indonesia is a country with the highest level of corruption in Southeast Asia. It shows that eradiction of corruption in Indonesia is less effective. Proof upside down, is expected to be one solution to increase the eradiction of corruption. Evidence has been poured upside down in the Act No. 31 of 1999. However, until now has not be applied as a system of evidence in solving criminal cases of corruption. This paper discusses the obstacles in the implementation of proof reversed in the completion of corruption. Obstacles in the implmentation of evidence found on the reverse inequality formulation of proof upside down in Act No. 31 of 1999. Proof inversely regulated without being accompanied by formal law regulating the implementation mechanism is that the arrangement of proof reversed a lex specialist of the Penal Code. In addition, law enforcement officials, not knowing the substance and how the application of proof upside down so that it also inhibits the implementation of proof reversed in the completion of corruption."
NGRHKM 1:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>