Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Baihaqi
"Dinamika politik Timur Tengah menjadi semakin dinamis sejak kehadiran Qatar di arena politik kawasan dan global terutama ketika Qatar memainkan peran diplomatiknya yang pragmatis dalam merespon setiap peristiwa politik baik di regional maupun internasional. Sebagai negara terkaya di Timur Tengah, Qatar secara pengaruh telah mampu bersaing dengan pesaing besarnya di Teluk yaitu Arab Saudi dan Iran. Posisi ini membuat Qatar mempunyai kesempatan besar untuk tampil lebih kuat di arena geopolitik Teluk dan bahkan di tingkat global terutama dalam merespon diskursus Indo Pasifik yang sedang massive dikampanyekan Amerika Serikat dan aliansi strategisnya. Sebagaimana pandangan para analis politik, Indo-Pasifik dipandang sebagai strategi baru untuk menghadang kebangkitan Tiongkok. Kehadiran Indo Pasifik juga telah mengubah peta baru di dalam hubungan antar negara di dunia. Belt and Road Initiative yang menjadi proyek raksasa Tiongkok juga semakin kuat didorong oleh pemerintah Tiongkok ke banyak negara di dunia. Merespon situasi tersebut, Qatar menunjukan kecerdasannya melalui model kebijakan luar negeri yang pragmatis, melakukan balance of power dengan melakukan kebijakan diplomasi dengan dua raksasa tersebut demi menjaga kepentingan nasionalnya. Sumber daya alam LNG yang dimiliki Qatar secara signifikan telah menjadikan Qatar mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk mengubah dirinya menjadi negara berpengaruh dan dibutuhkan oleh negara lain. Bahkan Qatar juga mempunyai alat propaganda yang efektif dan massive yaitu media Al-Jazeera yang terbukti berhasil menguatkan posisi dan citranya di mata dunia.

The political dynamics of the Middle East become increasingly dynamic since Qatar's presence in the regional and global political arena, especially when Qatar played a pragmatic diplomatic role in responding to every political event both regionally and internationally. As the richest country in the Middle East, Qatar is influentially able to compete with its major competitors in the Gulf, namely Saudi Arabia and Iran. This position gives Qatar a great opportunity to appear stronger in the Gulf geopolitical arena and even at the global level, especially in responding to the Indo-Pacific discourse which is being massively campaigned by the United States and its strategic alliances. As seen by many political analysts, Indo-Pacific assumed as a new strategy to counter the rise of China. The presence of Indo Pacific is also changing a new map in countries relations in the world. The Belt and Road Initiative, which is China's giant project, is also increasingly being pushed by the Chinese government to many countries in the world. Responding to this situation, Qatar showed its intelligence way through a pragmatic foreign policy model, carrying out a balance of power by carrying out a policy of diplomacy with the two giants in order to safeguard its national interests. Qatar's LNG natural resources have significantly made Qatar have great confidence to turn itself into an influential country and be needed by other countries. Even Qatar also has an effective and massive propaganda tool, namely the Al-Jazeera media which has proven successful in strengthening its position and image in the eyes of the world."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Reza Tri Satriakhan
"Pasca Perang Dingin, Tiongkok muncul sebagai ancaman baru bagi hegemoni AS, baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer. Persaingan AS-Tiongkok di Asia Pasifik menimbulkan gejolak pada stabilitas global. Intensitas Aliansi Quad (AS, Australia, Jepang, India) dalam melakukan ekspedisi militer gabungan di Samudera Hindia dan agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang bersengketa dengan 5 negara (Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, Taiwan) mengancam keamanan ASEAN yang berada pada konvergensi persaingan tersebut. Rivalitas AS-Tiongkok semakin intens sejak Presiden Donald Trump mengemukakan gagasan Free and Open Indo-Pacific (FOIP) ketika kunjungan pertamanya sebagai Presiden AS ke Asia pada 10 November 2017. Hal ini kemudian direspon oleh Pemerintah Tiongkok dengan meningkatkan anggaran militernya sebesar USD 22,09 miliar di tahun 2018 dari yang biasanya hanya sekitar USD 2-12 miliar. Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dengan letak geografis yang strategis di antara 2 benua (Asia, Australia) dan 2 samudera (Hindia, Pasifik) mendorong ASEAN agar merumuskan konsepsi Indo-Pasifik yang berorientasi pada prinsip sentralitasnya. Atas inisiatif Indonesia, akhirnya ASEAN membentuk ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) pada KTT ASEAN ke-34 di Bangkok tanggal 22 Juni 2019. Pada kajian lainnya belum ada yang secara spesifik menjelaskan tujuan strategis Indonesia mendorong ASEAN untuk membentuk AOIP dalam merespon geopolitik AS-Tiongkok. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena tersebut dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan Role Theory dari K. J. Holsti (1970). Berdasarkan hasil riset, peran Indonesia dalam pembentukan AOIP meliputi regional protector, regional-subsystem collaborator, dan mediator-integrator. Peran tersebut didorong oleh prinsip “Bebas Aktif” dan program “Poros Maritim Dunia” oleh Presiden Jokowi dalam rangka memperkuat potensi middle power Indonesia, meningkatkan peran ASEAN, dan menghadirkan kerja sama Indo-Pasifik.

After the Cold War, China emerged as a new threat to US hegemony, especially in the political, economic, and military fields. The US-China rivalry in the Asia Pacific region disrupts global stability. The intensity of the Quad Alliance (US, Australia, Japan, India) in conducting joint military expeditions in the Indian Ocean and China's aggressiveness in the South China Sea in a dispute with 5 countries (Vietnam, Malaysia, Brunei, Philippines, Taiwan) threaten the security of ASEAN, which is at the convergence of the competition. The US-China rivalry has intensified since President Donald Trump put forward the idea of a ​​Free and Open Indo-Pacific (FOIP) during his first visit to Asia as US President on November 10, 2017. Then the Chinese government responded by increasing its military budget by USD 22,09 billion in 2018, up from the usual range of USD 2-12 billion. Indonesia, as one of the founders of ASEAN with a strategic geographical location between 2 continents (Asia, Australia) and 2 oceans (Indian, Pacific), encourages ASEAN to formulate an Indo-Pacific concept that is oriented to the principle of centrality. Because of Indonesia's initiative, ASEAN finally established the ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) at the 34th ASEAN Summit in Bangkok on June 22, 2019. In other studies, no one has specifically explained Indonesia's strategic objectives to encourage ASEAN to form an AOIP in response to US-China geopolitics. Thus, this study aims to analyze this phenomenon using qualitative methods and the Role Theory approach of K. J. Holsti (1970). Based on the research results, Indonesia's roles in the formation of the AOIP are regional protector, regional-subsystem collaborator, and mediator-integrator. These roles are motivated by the "Free Active” principle and President Jokowi’s "Global Maritime Fulcrum" program in order to strengthen Indonesia's middle power potential, enhance ASEAN's role, and present Indo-Pacific cooperation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vitto Rafael Tahar
"Tesis ini berupaya mengkaji salah satu aspek dalam pelaksanaan politik luar negeri Cina yaitu dalam hubungannya dengan tetangga terdekatnya yaitu Jepang. Selama berabad-abad kedua negara telah menjalin hubungan baik. Tetapi di awal abad 20 Jepang melakukan invasi ke Cina pada tahun 1937 hingga akhir Perang Dunia II. Peristiwa invasi ini telah menimbulkan korban jiwa dipihak Cina mencapai 21 juta jiwa. Akibatnya Cina terlihat memendam trauma terhadap Jepang, sehingga selalu menimbulkan kecurigaan di pihak Cina terhadap semua tindakan Jepang yang dianggapnya sebagai indikasi bangkitnya militerisme Jepang, sehingga menimbulkan semacam sensitivitas yang mempengaruhi impelementasi poltik luar negerinya dengan Jepang.
Faktor inilah yang kerap muncul sejak normalisasi hubungan kedua negara tahun 1972 yang ditunjukkan lewat berbagai insiden. Namun di sisi lain Cina juga selalu berupaya untuk tidak terlalu merusak hubungannya dengan Jepang. Sikap ini ditunjukkan dengan perilaku yang terkesan kooperatif dalam beberapa kasus yang relevan dengan faktor sensitivitas sejarah tersebut. Sehingga timbul permasalahan apakah memang benar faktor sensitivitas sejarah ini memiliki pengaruh pada perilaku politik luar negeri Cina terhadap Jepang.
Dalam pembahasan ini digunakan kerangka pemikiran dari Whiting yang menekankan pentingnya persepsi bangsa Cina terhadap Jepang yang dibentuk oleh pengalaman sejarah. Selain itu juga digunakan kerangka pemikiran dari Thomas W. Robinson dan Carol Lee Hamrin yang intinya menyatakan adanya keterkaitan faktor eksternal dan domestik Cina yang menyebabkan perilaku yang dualistis tersebut.
Dalam pembahasan kemudian ternyata memang terbukti bahwa faktor Sensitivitas ini memang berpengaruh bagi Cina dalam perilaku politik luar negerinya terhadap Jepang. Sikap sensitif ini sebenarnya berakar dari sikap mental dan budaya Cina yang memang sangat mementingkan masa lalu dalam menghadapi persoalan masa kini. Tapi disisi lain karena adanya faktor prioritas domestik yaitu pembangunan ekonomi dan peristiwa Tiananmen, membuat Cina berkepentingan menjaga hubungannya dengan Jepang agar tidak sampai menjadi konflik terbuka. Hal ini karena Cina memerlukan suatu lingkungan internasional yang kondusif dan juga aliran dana serta teknologi dalam rangka mendukung program modernisasi Cina. Selain itu perubahan kondisi birokrasi Cina yang semakin plural telah menyebabkan semua kebijakan memerlukan proses konsultasi dan koordinasi yang kompleks. Hal inilah yang menjelaskan Sikap Cina yang kooperatif tersebut. Walaupun begitu pada dasarnya politik luar negeri Cina memang selalu akan dipengaruhi oleh faktor sensitivitas tersebut, sehingga dengan sendirinya berpengaruh pada hubungan kedua negara di masa depan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
"Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001).
Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit
Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September.
Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 .
Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS.
Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor.
Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah.
Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB.
Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahrun Mubarok
"Konflik panjang Libia-Barat, terutama Amerika Serikat, pada akhirnya usai juga. Setelah bersikap anti Barat selama tiga dekade, Libia di tahun 1999 menunjukan sikap kebalikannya. Libia menjadi kooperatif dan bersedia menaati tuntutan-tuntutan Barat. Mulai dari kesediaannya bertanggung jawab atas segala kerugian akibat serangkaian aksi pengeboman yang dituduhkan kepadanya, Libia juga bersedia melucuti senjata pemusnah massal yang dimilikinya.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meneliti alasan perubahan kebijakan luar negeri Libia tersebut. Dalam tesis ini diuraikan apa-apa yang menjadi tujuan-tujuan dan faktor-faktor pendorong mengapa Khadafi menjadi bersikap kooperatif terhadap Barat.
Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan "kualitatif" dengan metode "studi kasus". Kerangka pemikiran dibangun dengan menggunakan teori pembuatan kebijakan luar negeri yang ditulis oleh para pakar politik seperti David Easton, William D. Coplin, James N.Rosenau, K.J. Holsti, dan lain-lain.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa faktor ekonomi dan keamanan nasional merupakan alasan dan tujuan utama perubahan Kebijakan Luar Negeri Libia terhadap Barat.
Membaiknya hubungan Libia-Barat akan berimplikasi terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik domestik Libia, dan berpengaruh pada perubahan konstelasi politik Timur Tengah.

The long conflict of Libya with the West, particularly with the United States, finally ended. Libya in 1999, started to show cooperative attitudes toward them. Starting with its readiness to extradite the two Libyan suspects of Lockerbie explosion, Libya has also shown greater docility with a view above all to reaching the settlement with the West over dompensation to the families of the victims of Pan Am 103, UTA Flight, and Berlin explosion. In 2003, Libya agreed to dismantle its weapons of mass destruction (WMD).
The purpose of this research is to understand the reasons for shift in Libyan foreign policies towards the West. It is trying to find out the influential factors and the objectives of its being cooperative with them.
This research is based on "qualitative approach" with "case-study method". David Easton, William D. Chaplin, K.J. Holsti, etc analyze the secondary data with the theoretical frame of foreign policy making written.
The result shows that the economic reasons and national security are the main factors and the objectives of Libyan change in foreign policies.
With the improving relation between Libya and the West, there will be significant changes in Libyan condition of economy, society, and politics. It will also influence the Middle East Politics.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Fitrian Yudoprakoso
"Cool Japan merupakan bagian dari kebijakan Jepang dalam menguatkan citra baiknya di mata dunia. Sejak 2004, Cool Japan digunakan sebagai instrumen dalam diplomasi publik Jepang. Hingga 2009 Cool Japan diberdayakan dalam berbagai kegiatan diplomasi publik oleh MOFA. Namun sejak 2011, Cool Japan menjadi komoditas dan strategi dalam pengembangan industri kreatif Jepang. Perkembangan ini menarik untuk dikaji. Cool Japan diketahui memiliki keunggulan sebagai alat diplomasi publik Jepang. Cool Japan juga ternyata memiliki keunggulan kompetitif yang dapat menghasilkan profit. Lebih jauh, penelitian ini menemukan penggunaan Cool Japan oleh METI menggabungkan kedua keunggulan sekaligus, keunggulan dalam ekonomi dan dalam diplomasi publik Jepang.

Cool Japan is part of Japan's policy to enhance its prestige globally. Since 2004, Cool Japan is instrument for Japan's public diplomacy. Up to 2009 MOFA used Cool Japan in several public diplomacy activities. In 2011, Cool Japan is being assigned to METI, being used as commodity and for enhanching Japan's creative industry. Cool Japan has been widely used for the benefit in public diplomacy attempts. It is also acknowledged as profit generator. This research found that METI's Cool Japan gives double advantages for Japan. Cool Japan benefits Japan on public diplomacy as well as on creative industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnold Garibaldi Soewondo
"Dinamika konsumsi tembakau global telah meningkat secara signifikan semenjak dekade belakangan ini. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran Badan Kesehatan Dunia ataupun World Health Organization (WHO). WHO kemudian membuat suatu kerangka kerjasama yang mengikat yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Hingga saat ini 174 negara telah mengaksesi FCTC, membuat perjanjian ini sebagai perjanjian yang paling banyak ditandatangani.
Akan tetapi, dari jumlah tersebut terdapat beberapa negara yang belum mengaksesi salah satunya adalah Indonesia. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk tidak mengaksesi telah menimbulkan pertanyaan dari berbagai belah pihak. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan tingkat penduduk yang besar diikuti dengan jumlah konsumsi rokok yang tinggi dan juga merupakan negara produsen rokok.
Tesis ini berusaha untuk melihat faktor-faktor yang mendorong langkah kebijakan Indonesia tersebut. Analisis akan ditekankan kepada faktor eksternal dan internal yang melatarbelakangi kebijakan tersebut dan keberlangsungannya hingga saat ini. Dalam menganalisa permasalahan ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan yang didasarkan pada buku-buku, artikel, media internet, dan surat kabar sebagai sumber data yang primer yang mendukung pembahasan.

Tobacco consumption has been growing rapidly since the last decade. This phemonenon has raising the convern of World Health Organization (WHO) as an international organisation regulating the global public health. This led to the adoption of an internationally legally binding instrument known as ?Framework Convention on Tobacco Control? (FCTC) in 2003. To date, these agreement has signatory of 174 member countries, making it as the most treaty ever signed in the history of global public health.
However, there are several countries that have not yet ratify or accessing the convention, one of them is Indonesia. The Indonesian policy?s to not accessing the convention has question the commitment of Indonesian government to cooperate in the international system. This is due to the high tobacco consumtion in the country and along with its growing population has potential of devastating economic, social, and health consequences. In addition, Indonesia is also producing a country produce tobacco, thus, contributed to the growing tren of tobacco consumption globally.
These thesis attempted to analyse factors that drove the Indonesian government action not to cooperate in the tobacco control regime of FCTC. Analysis will be stressed upon the internal and external factors that influenced the decision of such foreign policy until today. In analysing the problem, the author conducted literature review from books, articles, internet, newspaper and magazines as a primarily source to support the writing."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Humphrey
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020
303.482 WAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Prahastuti Soebiono
"President Roosevelt telah memberikan dasar globalisasi politik dan ekonomi bagi strategi kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Semenjak selesainya Perang Dunia II Amerika Serikat telah terlibat dalam percaturan dunia internasional dibidang politik dan ekonomi menghadapi Uni Soviet. Kemenangan dalam peperangan dan kemakmuran dalam negeri membawa dampak positive bagi rakyat Amerika. Rakyat Amerika percaya pada kebijakan pemerintah baik di dalam maupun diluar negeri. Para pemimpin Amerika Serikatpun menginginkan agar faham demokrasi dapat dilestarikan dan dikembangkan seluas-luasnya demi untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia.
Agar dapat dicapai cita-cita kesejahteraan dan perdamaian dunia ditempuh berbagai jalan kebijakan oleh para pemimpin Amerika Serikat, sebagai realisasinya adalah memaklumkan "Perang Dingin" dan memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara yang membutuhkan terutama negara-negara dunia ketiga. Kebijakan ini dibuat untuk mengimbangi kekuatan saingan mereka negara Uni Soviet.
Pada akhir tahun 50 an untuk membendung lebih effective lagi masuknya faham komunis Uni Soviet keseluruh pelosok dunia, selain beberapa kebijakan yang telah dilakukan juga diadakan "pembinaan persahabatan" dengan lawan politiknya.
Washington dan Moskow semenjak saat ini menghadapi "Perang Dingin" dengan menjalankan "Strategi perdamaian", taktik yang dijalankan adalah taktik mata-mata, propaganda dan adu domba.
Thesis ini dibuat untuk menjelaskan manfaat dari badan Peace Corps, sebagai salah satu strategi kebijakan luar negeri J.F.Kennedy. Dibentuk untuk dipakai sebagai alat pemerintah dengan tujuan dapat menyebarkan dan melestarikan faham demokrasi maupun menuju kesejahteraan dan perdamaian dunia "Peace Corps" adalah merupakan strategi damai Amerika Serikat berbentuk "missi moral" melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Badan "Peace Corps" dipilih dari para tenaga muda Amerika agar dapat saling berbagi pengalaman kepada masyarakat negara-negara dunia ketiga untuk menuju pada kemajuan, kecerdasan dan perdamaian dunia maupun mengcounter infiltrasi dari Uni Soviet.
Kesimpulan kami adalah Kennedy telah berperan banyak dalam percaturan politik luar negeri Amerika khususnya menangani Perang Dingin dengan merangkul negara-negara dunia ketiga demi untuk tercapainya perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.

President Roosevelt has formulated American foreign policy goals for the postwar world as based on universal political and economic freedom.
It has only been since World War II that the United States has consistently been involved in shaping the world according to American ideals of politic and economic against Soviet Union. Victorious in that great struggle its homeland undamaged from the revages of war the nation was confident of its mission at home and abroad. US leaders wanted to maintain the democratic structure they had defended at tremendous cost and to share the benefits of prosperity as widely as possible.
To realize these goals, US leaders formulated several policies such economic aid to export capital and technical assistance to Europe and to underdeveloped countries and declared cold war. It aims was to preserve. the political and physical integrity from the danger of a communist takeover.
As early as the mid-1950's Washington and Moskow announced the policy of "peaceful coexistence" in which war between the United States and Soviet Union was not inevitable and both system could coexist peacefully and changed the strategy more humanistic. Washington and Moskow Used similar tactics throughout the Cold War was, including overthrowing unfriendly governments, helping repress rebellions against unfriendly states, and waging wars.
This thesis will explain how benefit the Peace Corps as one of Kennedy's foreign policy strategy. It is designed to maintain the democratic structure, to promote world peace and friendship and to promote understanding between the American people and other peoples. The Peace Corps recruit the best of American's young minds to wage the struggle for America superiority through education and technical expertise. The Peace Corps represented the benevolent side of Kennedy's commitment to activism, counter intergency embodied its more insidious dimensions.
My concluding thought is Kennedy were quite different with other American leader would play a central role in carrying forward the Cold War, and winning the " hearts and minds" of developing countries, work together with Third World to save the world.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T7214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>