Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211038 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicka Adhitya Kamil
"Latar Belakang Pneumonia adalah suatu penyakit akibat infeksi pada paru yang menjadi masalah serius, dengan tingkat mortalitas yang mencapai 42,4% di Indonesia sendiri. Pneumonia dikaitkan dengan mortalitas tinggi, salah satunya pada kondisi kegagalan ekstubasi yang terjadi pada pasien yang memerlukan intubasi. Proses patologis ini dikaitkan dengan peningkatan sitokin proinflamasi seperti IL-6 yang dapat ditemukan pada serum ataupun bilasan bronkoalveolar. Penelitian-penelitin terdahulu belum menentukan kaitan sitokin IL-6 dengan prognosis pasien terkait mortalitas dan kegagalan ekstubasi, serta belum menentukan korelasi kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan pasien gagal ekstubasi.
Tujuan Mengetahui perbandingan kadar IL-6 pada serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien sesuai dengan status mortalitas dan ekstubasi pada pasien pneumonia berat, serta korelasi kadar IL-6 sersum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan gagal ekstubasi.
Metode Penelitian dengan desain kohort prospektif dilakukan pada 40 pasien pneumonia berat yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Kadar IL-6 pada pemeriksaan serum dan pemeriksaan bilasan bronkoalveolar kemudian dianalisis dengan observasi keberhasilan ekstubasi selama 20 hari dan status mortalitas selama 28 hari. Analisis univariat pada karakteristik pasien dilanjutkan dengan analisis bivariat dengan uji perbedaan dua rerata tidak berpasangan dengan data skala numerik dilakukan pada data sebaran normal dan uji Mann-Whitney dilakukan pada data sebaran tidak normal.
Hasil Dalam penelitian, didapatkan rasio gagal ekstubasi dan mortalitas sebesar 80% dan 75% secara berurutan. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 serum ataupun bilasan bronkoalveolar pada status mortalitas dan ekstubasi pasien. Namun, ditemukan korelasi positif antara kadar IL-6 serum dan kadar IL-6 bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal (r=0,551) dan gagal ekstubasi (r=0,567).
Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar antara pasien meninggal dan hidup, serta pasien berhasil atau gagal ekstubasi. Namun, terdapat hubungan positif antara kadar IL-6 serum dan bilasan bronkoalveolar pada pasien meninggal dan gagal ekstubasi.

Background. Pneumonia is a disease caused by infection in the lungs which has become a serious health issue, with a mortality rate of 42.4% in Indonesia itself. Pneumonia is associated with high mortality, one of which is in conditions of extubation failure that occurs in patients who require intubation. This pathological process is associated with an increase in pro-inflammatory cytokines such as IL-6 that can be found in serum or bronchoalveolar lavage. Previous studies have not determined the association of the IL6 cytokine with the prognosis of patients related to mortality and extubation failure, nor have they determined the correlation of serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage in patients dying and patients failing to extubate.
Purpose. To analyze the comparison of IL-6 levels in serum and bronchoalveolar lavage in patients based on their mortality and extubation status in severe pneumonia patients, as well as the correlation of IL-6 levels in serum and bronchoalveolar lavage in patients who died and failed extubation.
Method. The study with a prospective cohort design was conducted on 40 severe pneumonia patients who were intubated and underwent bronchoscopic procedures in the emergency room and intensive room of RSCM from November 2020 to January 2021. IL6 levels were examined on serum and bronchoalveolar lavage sample, which then analyzed with the observation for extubation status for 20 days and mortality status for 28 days. Univariate analysis on patient characteristics was followed by bivariate analysis with unpaired two-mean difference tests with numerical scale data performed on normal distribution data and Mann-Whitney test performed on abnormal distribution data
Result. In the study, the ratio of extubation failure and mortality was 80% and 75% respectively. No significant difference was found between serum IL-6 levels or bronchoalveolar lavage IL-6 levels based on the mortality and extubation status of patients. However, a positive correlation was found between serum IL-6 levels and IL-6 levels of bronchoalveolar lavage in patients who died (r=0.551) and failed extubation (r=0.567).
Conclusion. There were no significant differences in serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage between deceased and living patients, as well as patients succeeded or failed to be extubated. However, there was a positive correlation between serum IL-6 levels and bronchoalveolar lavage IL-6 levels in patients who died and failed extubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Wirdah Budiastuti
"Ekstubasi merupakan salah satu upaya manajemen jalan napas bertujuan untuk mencegah resiko penggunaan EndoTrakeal Tube (ETT) dan ventilasi mekanik. Keberhasilan ekstubasi adalah tidak terjadinya reintubasi dalam waktu 24-72 jam pasca ekstubasi. Pasien dengan kondisi penyulit jalan napas beresiko besar terhadap kejadian reintubasi. Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di Intensive Care Unit (ICU) Dewasa, ICU IGD dan ICU luka bakar RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengetahui faktor-faktor prediktor keberhasilan ekstubasi pada kasus jalan napas dengan penyulit. Uji statistik menggunakan regresi logistik ganda. Hasil analisis didapatkan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu lama terintubasi (p value=0,034), hemodinamik (p value=0,001) dan refleks batuk (p value=0,005), sedangkan faktor yang tidak memiliki hubungan dengan keberhasilan ekstubasi pada penyulit jalan napas yaitu adalah usia, jenis kelamin, penyulit jalan napas, tingkat kesadaran, sikap koperatif pasien, hasil AGD, lama Spontaneous Breathing Trial (SBT) dan kesiapan pasien. Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan ekstubasi adalah refleks batuk (OR=20,805 95%CI 1,298-333,422) dan hemodinamik (OR=17,746 95% CI 2,083-151,213). Penatalaksaan ekstubasi dengan melakukan asesmen pra ekstubasi menggunakan ceklist akan mampu mendeteksi keberhasilan ekstubasi, sehingga prosedur ekstubasi dapat dilakukan dengan lebih aman untuk menghindari kejadian reintubasi
Extubation is an airway management that aimed to prevent the risk of using ETT and Mechanical Ventilation. Extubation success is no reintubation within 24-72 hour. Patients with difficult airway condition has greater risk of reintubation events. This prospective cohort study was conducted at General ICU, ICU IGD and ICU burns RSCM to find out predictor factors of extubation success in difficult airway cases.. Statistical tests use multiple logistic regression. The results of the analysis obtained factors that have a relationship with extubation success in the difficult airway are the length of intubation (p value = 0.034), hemodynamics (p value = 0.001) and cough reflexes (p value = 0.005), and factors that have no relationship are age, gender, difficult airway, level of Consciousness (LoC), cooperative attitude, AGD results, SBT duration and patient readiness. The most influential factors on extubation success are cough reflexes (OR = 20,805 95% CI 1,298-333,422) and hemodynamics (OR = 17,746 95% CI 2,083-151,213). Management of extubation by conducting pre-extubation assessment using a checklist methode will be able to detect the extubation success and the procedure can be done more safely.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T54904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Juwita
"Latar Belakang: Pneumonia berat adalah infeksi saluran napas yang masih memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pasien pneumonia berat sering kali memerlukan intubasi untuk mencapai ventilasi yang adekuat. Terjadinya kegagalan ekstubasi dapat meningkatkan komplikasi dan mortalitas pada pasien, sehingga pasien dengan risiko gagal ekstubasi perlu dikenali sedini mungkin.
Tujuan: Mengetahui faktor yang dapat memprediksi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat
Metode: Studi ini merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan pasien dengan pneumonia berat yang terintubasi dan dirawat di ICU/HCU RSCM pada tahun 2015-2019. Data pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium diambil dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square atau uji Fischer, sementara analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi cox.
Hasil: Sebanyak 192 subjek pasien pneumonia berat dilibatkan dalam penelitian ini. Insidensi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat di RSCM adalah 70,3%, dengan angka mortalitas pada pasien yang mengalami gagal ekstubasi adalah sebesar 85,2%. Dari analisis bivariat, didapatkan usia >60 tahun, merokok, Charlson Comorbidity Index sedang-berat, tidak adanya penyakit neuromuskular, terapi pengganti ginjal, prokalsitonin > 2 ng/mL, dan skor APACHE II ≥25 sebagai variabel yang berhubungan signifikan dengan kegagalan ekstubasi. Selanjutnya, analisis multivariat menemukan bahwa Charlson Comorbidity Index sedang-berat (p=0,002, HR 2,254, IK95% 1,353-3,755), dan prokalsitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, IK95% 1,037-3,333) merupakan prediktor independen terhadap kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang secara independen merupakan prediktor kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat adalah Charlson Comorbidity Index sedang-berat, dan kadar prokalsitonin > 2 ng/mL.

Background: Severe pneumonia is a lower respiratory tract infection still presenting with a high a mortality rate. Patients with severe pneumonia often require intubation in order to achieve adequate ventilation. Extubation failure, however, is associated with increased complications and mortality. Therefore, it is crucial to recognize risk factors associated with extubation failure as soon as possible.
Objective: To determine the predictors associated with extubation failure in patients with severe pneumonia
Methods: A retrospective cohort study was conducted, which included patients with severe pneumonia who were intubated in ICU/HCU of Ciptomangunkusumo General Hospital over the period of 2015-2019. Patient characteristics and laboratory values were obtained from medical records. Bivariate analysis was performed with Chi-square or Fischer test, whereas multivariate analysis was performed with cox regression model.
Results: A total of 192 subjects with severe pneumonia was included in this study. Incidence of extubation failure among patients with severe pneumonia was 70,3%, with a mortality rate of 85,2%. Bivariate analyses found that age of >60 years, smoking history, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index, procalcitonin > 2 ng/mL, not having neuromuscular disease, renal replacement therapy, and APACHE II score of ≥25 were significantly associated with extubation failure. In multivariate analysis, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index (p=0,002, HR 2,254, 95% CI 1,353-3,755) and procalcitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, 95% CI 1,037-3,333) were found to be independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
Conclusion: Moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index and procalcitonin level of > 2 ng/mL were independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Nur Aulia
"Latar Belakang: Kegagalan ekstubasi akibat pneumonia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Imunitas adaptif sistemik berupa fraksi dan rasio sel T limfosit CD4/CD8 darah memiliki peranan penting sebagai prediktor lemah mortalitas. Dibutuhkan studi lanjutan untuk mengetahui imunitas adaptif lokal melalui Bronchoalveolar Lavage (BAL) pada kedua paru.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar dan rasio sel T limfosit CD4/CD8 Bronchoalveolar Lavage sesuai status ekstubasi dan status mortalitas pada pneumonia berat.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 40 pasien pneumonia berat. Data primer diambil dari pasien yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di perawatan IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Analisa univariat dan bivariat dengan uji beda rerata digunakan pada data skala numerik dengan sebaran normal dan uji Mann Whitney dengan sebaran tidak normal.
Hasil: Proporsi gagal ekstubasi sebesar 80% dan proporsi mortalitas sebesar 75%. Terdapat perbedaan bermakna pada fraksi sel T limfosit CD4 BAL pada paru cidera berat kelompok berhasil ekstubasi dan gagal ekstubasi (p=0,006); kelompok pasien hidup dan meninggal (p=0,002). Fraksi CD4 darah dan rasio CD4/CD8 darah ditemukan lebih tinggi secara bermakna pada kelompok berhasil ekstubasi dibandingkan dengan gagal ekstubasi; juga ditemukan lebih tinggi pada kelompok yang hidup dibandingkan yang meninggal.
Kesimpulan: Fraksi CD4 BAL pada paru cidera berat berbeda secara statistik bermakna lebih tinggi pada kelompok pasien berhasil ekstubasi dibandingkan dengan kelompok pasien gagal ekstubasi dan kelompok pasien hidup dibandingkan dengan kelompok pasien meninggal.

Background: Extubation failure due to severe pneumonia increases morbidity and mortality. Systemic adaptive immunity, T lymphocyte cells CD4/CD8 in blood, has special role as a mortality predictor in severe pneumonia. Further study still needed to evaluate local adaptive immunity through bronchoalveolar lavage celluler examination in both lung.
Objective: The aim of this study was to find out the differences between T lymphocytes CD4/CD8 in both lung based on extubation status and mortality status.
Methods: We performed a cohort prospective study of 40 patients with severe pneumonia whom underwent endotracheal intubation and bronchoscopy hospitalized in intensive care unit between November 2020 to January 2021 in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Primary data was taken and analyzed using univariat and bivariat to investigate mean or median differences with unpaired t-test for normal numeric distribution data and Mann-Whitney test for abnormal distribution numeric data.
Result: The proportion of extubation failure was 80% and mortality rate was 75%. There were significantly different results of BALF CD4 T cells lymphocyte fraction in severe pneumonia group of patients based on extubation status (p=0,006) and mortality status (p=0,002). Blood CD4 T cells lymphocyte fraction and blood CD4/CD8 T cells lymphocyte ratio were found significantly higher in the successfully extubation group of patients compared to extubation failure group of patients; and also significantly higher in survived group of patients compared to mortality group of patients with pneumonia severe.
Conclusion: Fraction of CD4 BALF in severely injured pneumonia lungs group of patients who had succesful intubation processes were statistically different compared to the group of patients with unsuccesful extubation. Fraction of CD4 BALF were also found statistically different in the group of patients who were survived compared to the group of patients who were passed away.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Eka Krisnha Wijaya
"Latar Belakang: Pneumonia merupakan infeksi paru yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Mortalitas dan morbiditas terutama didapatkan pada pasien yang mengalami pneumonia berat. Intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan pada sekitar 6% pasien pneumonia. Lebih lanjut lagi, kegagalan ekstubasi berhubungan dengan peningkatan mortalitas pneumonia. Proses imunopatologi yang terjadi pada pneumonia berat dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan IL-17. Studi prognostik yang telah dilakukan saat ini belum dapat menggambarkan jelas peran sitokin tersebut terhadap terjadinya luaran buruk berupa gagal ekstubasi hingga mortalitas yang terjadi pada pasien pneumonia berat. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui peranan proses imunitas lokal dan sistemik melalui pemeriksaan kadar sitokin pada cairan bilasan bronkus dan darah terhadap luaran buruk dari pneumonia berat.
Tujuan: Mengetahui hubungan perbedaan kadar IL-6, 1L-17 darah dan cairan bilasan bronkus terhadap status ekstubasi dan mortalitas pada pasien pneumonia berat.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 40 pasien pneumonia berat. Subjek yang direkrut adalah pasien yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Analisis bivariat dengan uji beda rerata digunakan pada data skala numerik dengan sebaran normal dan uji Mann Whitney dengan sebaran tidak normal. Subjek penelitian diobservasi untuk keberhasilan ekstubasi 20 hari dan mortalitas 28 hari.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan proporsi gagal ekstubasi sebesar 80% dan mortalitas sebesar 75%. Etiologi terbanyak pneumonia berat pada penelitian ini adalah virus SARS-CoV-2 (28 subjek). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan secara statistik bermakna dari IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus pada kelompok subjek yang gagal ekstubasi dan yang berhasil ekstubasi. Tidak didapatkan juga perbedaan secara statistik bermakna dari IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus pada kelompok subjek yang meninggal dan yang hidup.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan perbedaan kadar IL-6, IL-17 darah dan cairan bilasan bronkus terhadap pasien pneumonia berat yang gagal ekstubasi dan berhasil ekstubasi, serta yang meninggal dan yang hidup.

Background: Pneumonia is a lung infection which is still a serious health problem worldwide. Mortality and morbidity are mainly found in patients with severe pneumonia. Intubation and ventilation are required in about 6% of pneumonia patients. Furthermore, extubation failure was associated with increased pneumonia mortality. Immunopathological processes that occur in severe pneumonia related to increased levels of proinflammatory cytokines such as IL-6 and IL-17. Prognostic studies have been carried out to the occurrence of adverse outcomes in patients with pneumonia such as extubation failure and mortality, but still little to know about the role of these cytokines. This study aims to determine the role of local and systemic immune processes through examination of cytokine levels in bronchial lavage fluid and blood on the adverse outcome of severe pneumonia.
Objective: The aim of this study was to determine the association of differences in blood and bronchial lavage levels of IL-6, 1L-17 to extubation status and mortality in patients with severe pneumonia.
Methods: This study was a prospective cohort study of 40 patients with severe pneumonia. Subjects in this study are patients who were intubated and underwent bronchoscopy in the emergency room and intensive care unit of Ciptomangunkusumo Hospital from November 2020 to January 2021. Bivariate analysis with the mean difference test was used on numerical scale data with normal distribution and Mann Whitney U test with abnormal distribution. Study subjects were observed for successful extubation of 20 days and mortality of 28 days.
Results: In this study, the proportion of failed extubation was 80% and the mortality rate was 75%. There were various etiologies of severe pneumonia in the study with SARS-CoV-2 being the major causes (28 subjects). In this study, there was no statistically significant difference between brochoalveolar lavage fluid and blood IL-6, IL-17 in based on extubation status. There was also no statistically significant difference between brochoalveolar lavage fluid and blood IL-6, IL-17 based on mortality status.
Conclusions: There was no association of differences in the blood and bronchoalveolar lavage levels of IL-6, IL-17 on patients with severe pneumonia who failed to extubate and successfully extubated, and those who deceased and those who lived.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randhy Fazralimanda
"Latar Belakang: Pneumonia berat masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Sistem imun diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis pneumonia, namun tidak banyak studi yang menilai hubungan antara kadar CD4 dan CD8 darah dengan mortalitas akibat pneumonia berat pada pasien dengan status HIV negatif.
Tujuan: Mengetahui data hubungan dan nilai potong kadar CD4 dan CD8 darah dengan angka mortalitas 30 hari pada pasien pneumonia berat di RSCM.
Metode: Penelitian berdesain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat intensif RSCM periode Juni-Agustus 2020. Keluaran berupa kesintasan 30 hari, nilai titik potong optimal kadar CD4 dan CD8 darah untuk memprediksi mortalitas 30 hari dan risiko kematian. Analisis data menggunakan analisis kesintasan Kaplan-Meier, kurva ROC dan multivariat regresi Cox.
Hasil: Dari 126 subjek, terdapat 1 subjek yang loss to follow up. Mortalitas 30 hari didapatkan 26,4%. Nilai titik potong optimal kadar CD4 darah 406 sel/μL (AUC 0,651, p=0,01, sensitivitas 64%, spesifisitas 61%) dan kadar CD8 darah 263 sel/μL (AUC 0,639, p=0,018, sensitivitas 62%, spesifisitas 58%). Kadar CD4 darah < 406 sel/μL memiliki crude HR 2,696 (IK 95% 1,298-5,603) dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki crude HR 2,133 (IK 95% 1,035-4,392) dengan adjusted HR 2,721 (IK 95% 1,343-5,512). Bila sepsis dan tuberkulosis paru ditambahkan dengan kadar CD4 darah dan CD8 darah, didapatkan nilai AUC 0,752 (p=0,000).
Kesimpulan: Kadar CD4 dan CD8 darah memiliki akurasi yang lemah dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien pneumonia berat. Kadar CD4 darah < 406 sel/μL dan kadar CD8 darah < 263 sel/μL memiliki risiko mortalitas 30 hari yang lebih tinggi.

Background: Severe pneumonia is a major health problem in Indonesia and the world. The immune system is known to play an important role in the pathogenesis of pneumonia, but few studies have assessed the relationship between blood CD4 and CD8 count and mortality from severe pneumonia in patients with negative HIV status.
Objectives: Knowing the correlation data and the cut-off value of blood CD4 and CD8 count with a 30-days mortality rate in severe pneumonia patients at RSCM. Methods. This study is a prospective cohort study conducted at RSCM intensive care rooms from June to August 2020. The outputs were 30-days survival rate, optimal cut-off value for blood CD4 and CD8 count to predict 30-days mortality and mortality risk. Data analysis used Kaplan-Meier survival, ROC curves and multivariate Cox regression analysis.
Results: Of the 126 subjects, there was 1 subject who lost to follow up. The 30- days mortality rate was 26.4%. The optimal cut-off value for blood CD4 count was 406 cells/μL (AUC 0.651, p=0.01, sensitivity 64%, specificity 61%), blood CD8 count was 263 cells/μL (AUC 0.639, p=0.018, sensitivity 62%, specificity 58%). CD4 blood count < 406 cells/μL had a crude HR of 2.696 (95% CI 1.298- 5.603) and blood CD8 count < 263 cells/μL had a crude HR of 2.133 (95% CI 1.035-4.392) with an adjusted HR of 2.721 (CI 95% 1,343-5,512). If sepsis and pulmonary tuberculosis were added to the blood CD4 and CD8 count, the AUC value was 0.752 (p=0.000).
Conclusion: Blood CD4 and CD8 count had poor accuracy in predicting 30-days mortality in patients with severe pneumonia. The group with blood CD4 count < 406 cells/μL and blood CD8 count < 263 cells/μL had a higher risk of 30-days mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Maharani
"Bersihan jalan napas tidak efektif merupakan masalah utama yang sering muncul pada anak dengan pneumonia. Tindakan clapping adalah salah satu intervensi mandiri keperawatan untuk masalah bersihan jalan napas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas clapping dalam penanganan masalah bersihan jalan napas. Intervensi berupa tindakan clapping untuk penanganan bersihan jalan napas diharapkan dapat menggerakkan sekret yang tertahan pada jalan napas. Metode yang digunakan berupa edukasi, pendampingan, memantau status respirasi, serta evaluasi. Hasil ditemukan bahwa ada perbaikan status respirasi setelah pemberian clapping dan terapi jalan napas lainnya. Berdasarkan studi ini diharapkan institusi rumah sakit memaksimalkan peran perawat untuk memberikan edukasi, pendampingan, dan evaluasi mengenai clapping sebagai tindakan penting untuk meningkatkan perbaikan masalah bersihan jalan napas.

Ineffective airway clearance is a major problem that often occurs in children with pneumonia. Clapping chest physiotherapy is one of nursing interventions for improving airway clearance. This study aims to determine the effectivity of clapping chest physiotherapy for improving airway clearance. Clapping chest physiotherapy techniques are expected to move secretion out of the lungs. The methods used are education, assistance, and evaluation of clapping chest physiotherapy, and monitoring status of respiration. The result found that there was an improvement in respiratory status after administration of clapping and other airway clearance therapy. This paper is expected to be the hospitals consideration in maximizing nurses role in education, assistance, and evaluation of clapping as an important measure to improve airway clearance. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Hutami Sundaur
"

Pneumonia pada anak sangat rentan terjadi terutama pada negara berkembang. Biasanya pada pneumonia tanda gejala yang muncul adalah terdapat sekret berlebih pada jalan napas, batuk, terdapat retraksi dada dan napas cuping. Mayoritas masalah keperawatan yang sering muncul anak dengan pneumonia yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Karya ilmiah itu bertujuan untuk melihat keefektifan pemberian intervensi keperawatan postural drainase pada anak dengan pneumonia. Hasil yang didapatkan anak pneumonia yang diberikan intervensi postural drainase efektif terhadap perubahan status pernapasan daripada anak yang tidak dilakukan intervensi keperawatan postural drainase. Salah satu indikasi status perubahan pada anak terdiri dari frekuensi napas dalam rentang normal (<40x/menit pada anak usia 1-5 tahun, dan <60x/menit pada anak usia <1 tahun), tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada napas cuping hidung, serta suara napas normal (vesikuler), selain status pernapasan hal yang dapat dilihat yaitu hasil rontgen toraks menunjukkan tidak ada infiltrasi pada lapang paru. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi terhadap tenaga kesehatan untuk menerapkan secara efektif pada lahan praktik rumah sakit untuk meningkatkan bersihan jalan napas pada anak dengan pneumonia.


Pneumonia in children is very vulnerable, especially in developing countries. Usually the symptom pneumonia that appears is there is hypersecretion in the airway, coughing, trouble breathing, there is chest retraction and nasal flaring. The most problem related with pneumonia is ineffective airway clearance. The scientific aimed to look the effectiveness of giving postural drainage intervention in children with pneumonia. It was found that pneumonia children who were given postural drainage intervention would be more effective than children who were only given inhalation and suction interventions without postural drainage. One of indicated is respiration status child with pneumonia with normal scale (<40 times per minutes in child 1 until 5 years old, and <60 times per minutes in child ages under 1 year), no chest retraction and nasal flaring, and breathing normally. Beside respiration status, the result of Rontgen thorax is no infiltrate in lungs area. The results of this scientific are expected to be used as information for health workers to apply effectively to the hospital practice area to streamline the airway clearance in children with pneumonia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti
"Latar Belakang: Bertambahnya jumlah penderita miopia di dunia menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengguna Lensa Kontak Lunak (LKL). Di Indonesia, prevalensi miopia sebesar 26.1% pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Pemaikaian LKL memiliki efek samping berupa terjadinya inflamasi pada kornea dan konjungtiva, yang ditandai oleh peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada air mata. Tujuan: Mengevaluasi peningkatan kadar IL-6 pada air mata pada pengguna LKL harian tipe hidrogel konvensional dan LKL mingguan tipe silikon hidrogel serta meninjau korelasinya dengan tingkat inflamasi konjungtiva. Metodologi (Method): Penelitian ini merupakan suatu uji eksperimental randomisasi acak terkontrol dengan desain dua kelompok paralel, yaitu satu subjek miopia yang diterapi menggunakan LKL Hydrogel Nefilcon-A harian di satu mata, dan menggunakan LKL Silicone Hydrogel Lotrafilcon-B mingguan di mata lainnya, selama 14 hari. Tindakan foto konjungtiva, dan pengambilan sampel air mata untuk IL-6 dilakukan sesaat sebelum pemakaian LKL dan 14 hari setelah pemakaian LKL. Hasil: Seratus mata dari 50 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek tersebut, 80,8% adalah perempuan dan 18,2% laki-laki dengan usia rata-rata 22,18±1,79 tahun. Median delta IL-6 sebelum dan setelah penggunaan LKL adalah 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL untuk silikon hidrogel dan 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL untuk hidrogel konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 pra dan pasca LKL pada kedua grup (p=0,117). Kesimpulan: Kadar IL-6 pada air mata mengalami peningkatan signifikan setelah 14 hari penggunaan LKL pada kedua kelompok. Tetapi peningkatan kadar IL-6 pada air mata tersebut tidak disertai dengan peningkatan hiperemia konjungtiva.

Background: The increasing number of myopia patient in the world, causes growth in Soft Contact Lenses (SCL) users. In Indonesia, the prevalence of myopia was 26.1% in 2002 and is expected to increase every year. SCL usage has proven to increase cytokine production, especially Interleukin-6 (IL-6) which accompanied by inflammation of the ocular surface such as conjunctival hyperemia. Objective: Comparing IL-6 tear levels and their correlation with conjunctival inflammation scale between overnight wear silicone hydrogel SCL and daily wear hydrogel SCL. Methods: This study is a randomized controlled trial between two parallel groups. A myopia subject, who has never used SCL before, being treated using daily Hydrogel (Nefilcon-A) SCL in one eye, and overnight Silicone Hydrogel (Lotrafilcon-B) SCL in the other eye, for 14 days. The slit lamp examination, conjunctival photographs, and tear sampling for IL-6 were done before and 14 days after SCL usage. Results: One hundred eyes from 50 patients were included in this study. Of those patients, 80,8% were female and 18,2% male with mean age 22,18±1,79 years old. Median of IL-6 delta (pre-post) SCL usage was 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL for silicon hydrogel and 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL for conventional hydrogel (p = 0,117). There were no significant difference between the initial and final conjunctival hyperemia scales in both groups (p=1,000). The correlation between IL-6 tear levels and conjunctival hyperemia was not significant (p = 0.234). Conclusion: There were a significant increase of IL-6 tear levels after 14 days of SCL usage in both groups. But the marked escalation of tear IL-6 levels was not accompanied by increasing scales of azconjunctival hyperemia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang sering terjadi di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas VAP menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien VAP di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien ICU RSCM yang didiagnosis VAP selama tahun 2003-2012. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, infeksi kuman risiko tinggi, komorbiditas, renjatan sepsis, kultur darah, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, acute lung injury, skor APACHE-II, dan hipoalbuminemia. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 201 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan angka mortalitas selama perawatan sebesar 57,2%. Kelompok usia, komorbiditas, renjatan sepsis, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, dan skor APACHE II merupakan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas pada analisis bivariat. Prediktor mortalitas pada analisis multivariat adalah antibiotik empiris yang tidak tepat (OR 4,70; IK 95% 2,25 sampai 9,82; p < 0,001), prokalsitonin > 1,1 ng/mL (OR 4,09; IK 95% 1,45 sampai 11,54; p = 0,01), usia ≥ 60 tahun (OR 3,71; IK 95% 1,35 sampai 10,20; p = 0,011), dan adanya renjatan sepsis (OR 3,53; IK 95% 1,68 sampai 7,38; p = 0,001).
Kesimpulan: Pemberian antibiotik empiris yang tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia 60 tahun atau lebih, dan adanya renjatan sepsis merupakan pediktor independen mortalitas pada pasien VAP.

Background: Ventilator-associated pneumonia (VAP) is a frequent infection with high mortality rates in intensive care unit (ICU). The prediction of outcome is important in decision-making process. Studies exploring predictors of mortality in patients with VAP produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality in patients with VAP in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: We performed a retrospective cohort study on patients admitted to the ICU who developed VAP between 2003?2012. Clinical and laboratory data along with outcome status (survive or non-survive) were obtained for analysis. We compared age, presence of high risk pathogens infection, presence of comorbidity, septic shock status, blood culture result, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, presence of acute lung injury, APACHE II score, and serum albumin between the two outcome group. Logistic regression analysis performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 201 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 57.2%. Age, comorbidity, septic shock status, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, and APACHE II score were significantly different between outcome groups. The independent predictors of mortality in multivariate logistic regression analysis were inappropriate initial antibiotics therapy (OR: 4.70; 95% CI 2.25 to 9.82; p < 0.001), procalcitonin > 1.1 ng/mL (OR: 4.09; 95% CI 1.45 to 11.54; p = 0.01), age ≥ 60 years old (OR: 3.71; 95% CI 1.35 to 10.20; p = 0.011), and presence of septic shock (OR: 3.53; 95% CI 1.68 to 7.38; p = 0.001).
Conclusion: Inappropriate initial antibiotic therapy, high serum procalcitonin level, age 60 years or older, and presence of septic shock were independent predictors of mortality in patients with VAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>