Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Husein
"Aceh menjadi salah satu daerah yang memiliki status otonomi khusus di Indonesia. Salah satu kekhususan yang dimiliki Aceh adalah diberlakukannya Qanun sebagai implementasi otonomi khusus berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun, yang menjadi persoalan dalam pemberlakuan Qanun adalah mengenai batasan materi muatan dan juga kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai bahan untuk memahami dan menganalisa persoalan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan Qanun merupakan perundang-undangan dengan derajat setingkat peraturan daerah yang berlaku di Provinsi/Kabupaten lain di Indonesia.

Aceh is one of the regions that has special autonomy status inIndonesia. One of Aceh’s specialties is the enactment of Qanun as the implementation of special autonomy based on article 18 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In addition, in article 18 paragraph (6) of The Constitution of the Republic of Indonesia 1945 stated that regional governments have the right to stipulate regional regulations and other regulations to carry out regional autonomy. However, what becomes a problem in enforcing the Qanun is regarding the limitations of content and also its position in the hierarchy of  laws and regulations in Indonesia. In this research, a normative juridical research method is used which makes law and regulations as material for understanding and analyzing problems. The results obtained in this study show that Qanun are law with a degree on the same level as regional regulations that apply in other provinces/regincies in Indoneisa."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulta Levenia
"ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelembagaan partai politik dalam kerangka otonomi khusus sebagai sarana resolusi konflik separatisme. Otonomi khusus merupakan pembagian kekuasaan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah negara induk kepada wilayah konflik separatisme. Dalam otonomi khusus terdapat kebijakan khusus atau hanya diperuntukkan bagi wilayah yang bersengketa. Salah satunya yaitu kebijakan partai politik lokal. Aceh dan Mindanao memiliki persamaan dan perbedaan dalam konteks konflik separatisme dan resolusi konflik. Persamaan utama yaitu terdapat kelompok pemberontak yang menginginkan kemerdekaan di kedua wilayah, perbedaan utama yaitu resolusi konflik yang gagal di Mindanao sedangkan berhasil di Aceh dengan indikator berhentinya konflik separatisme. Argumen utama penulis dalam penelitian ini adalah partai politik lokal sebagai sarana resolusi konflik yang menjadi faktor berakhirnya konflik separatisme di Aceh antara GAM dan GoI namun tidak berhenti di Mindanao antara MNLF/MILF dan GRP. Kegagalan di Mindanao ini berdasarkan indikator masih berlanjutnya konflik setelah perjanjian perdamaian Tripoli pada tahun 1976 antara MNLF dan GRP. Berlanjutnya konflik tersebut menyebabkan munculnya kelompok pemberontak lain seperti MILF, BIFF, dan Abu Sayyaf Group. Permasalahan ini kemudian membawa penulis kepada argumen kedua yaitu dengan terdapat sentralisasi kelompok pemberontak, maka memudahkan proses perdamaian konflik separatisme. Selanjutnya penulis juga menemukan bahwa konflik separatisme tidak mencapai resolusi, jika kesepakatan otonomi khusus tidak mengatur partai politik lokal, karena kekuasaan yang diserahkan terpusat pada pemimpin kelompok pemberontak. Penulis melakukan analisis menggunakan teori yang dikembangkan oleh De Zeeuw (2009), yang menjelaskan empat aktor atau lembaga yang berperan dalam pelembagaan partai politik lokal, yaitu; aktor internasional, kelompok separatis atau pemberontak elit politik dan elit domestik. Penelitian ini bersifat kualitatif eksplanatif dengan komparasi menggunakan metode process tracing untuk membangun kesimpulan penelitian.

ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of institutionalizing political parties within the framework of special autonomy as a medium of conflict separatism resolution. Special autonomy is the division of power that is surrendered by the central government or the parent state government to the territory of separatist conflict. In special autonomy there is a special policy or policy that only intended for the disputing region. One of them is the policy of local political parties. Aceh and Mindanao have similarities and differences in the context of separatist conflict and conflict resolution. The main equation is that there are rebel groups fighting for independence in the two regions, the main difference is the resolution conflict in Mindanao unsuccessful while succeed in Aceh with the cessation of the separatist conflict indicator. The main argument in this study is, local political parties as a medium of conflict resolution is a factor in the successful on ended the separatist conflict in Aceh between GAM and GoI but does not cease the conflict in Mindanao between MNLF / MILF and GRP. This failure in Mindanao is based on the indicator that the conflict continues after the Tripoli peace agreement in 1976 between MNLF and GRP. The continuation of the conflict led to the emergence of other rebel groups such as the MILF, BIFF, and the Abu Sayyaf Group. This problem then brings the writer to the second argument, namely by centralizing the rebel group, thus ease the peace process of separatist conflict. Furthermore, the authors also found that separatist conflicts did not reach a resolution, if the special autonomy agreement did not regulate local political parties, because the power handed over was centered on the leaders of the rebel group. The author conducts an analysis using a theory developed by De Zeeuw (2009), which describes four actors or institutions that play a role in institutionalizing local political parties, namely; international actors, separatist groups or rebels of political elites and domestic elites. This research is qualitative explanatory by comparison using process tracing method to construct research conclusions."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Yudha Nofri
"Tesis ini membahas tentang hasil pelaksanaan kebijakan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang selama k'1lrun waktu 9 tahun ini ternyata masih beium memberikan perbalkan di daiarn segi kehidupan masyarakat Papua Sehingga muncul keinginan dari masyarakat untuk menolak kebijakan tersebut dan rnenuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beragarn penyebab munculnya keinginan untuk memisahkan dlrJ tersebut salah satunya karena masyarakat menganggap bahwa pemerintah pusat belum rnampu mensejahterakan rakyat Papua. PeneHtian ini adalah pene1itian kualitatif dengan desain deskriptif analitis dan penelitian intelijen stratejik.
Hasil penclitian ini menyarankan kepada pemerintah pusat bahwa ketldakpuasan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus dapat mengancam integrasi nasionaL Keinginan untuk memisahkan diri tersebut muncul dari sebagi akibat dari adanya konflik-kontlik internal, hubungan antara pusat dan daerah yang tidak harmonis, kontllk pemekaran serta adanya dukungan dari dunia internasionaL Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan pendekatan dari pemerintah terhadap masyarakat Papua yaitu dengan pendekatan budaya dan komunikasi konstruktif yang intensip antara pemerintah dan masyarakat Papua serta peningkatan pelaksanaan lTlJ Otonomi Khusus.

This thesis discusses the results of the impfementation on Special Autonomy Regulation on Papua No. 2112001, that during 9 years of its implementation, was still not provide improvements in terms of the life of the people of Papua Then came the desire from the community to reject this policy and demanded to secede from The Republic of Indonesia. Various causes triggered the desire for secession ofPapuans, for example Papuans assume that the central government has not been able to prosper the people of Papua. The study was a qualitative research design with descriptive analysis and strategic intelligence research.
The results of this study suggest to the central government that the public dissatisfaction towards the implementation of the Papua Special Autonomy Act could threaten national integration. The desire to separate themselves arise as a result of the existence of internal conflicts, the relationship between central and local governments weren't harmonious, region expansion conflict in Papua and the support from the international community. Therefore it is necessary to change the approach of government toward the people of Papua. Using cultural approach, intensive constructive communication between the government and people of Papua and enhancing the implementation of the Special Autonomy Act
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33465
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: MSP, 1985
352.007 BEB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Socio-juridical and political aspects of implementation of decision of Indonesian Constitutional Court regarding special autonomy for Papua Province."
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006
320 Imp
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aruan, Friement F. S.
"Freedom of movement right adalah salah satu hak asasi manusia. Jadi pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk melakukan perjalanan dalam batas wilayah negaranya sendiri maupun keluar wilayah negaranya. Namun hak kebebasan bergerak tersebut tidak dapat mengurangi hak setiap negara yang berdaulat untuk mengijinkan atau menolak masuk orang asing yang hendak berkunjung kenegaranya. Oleh karena itulah setiap negara mempunyai politik keimigrasian sendiri yang diterapkan untuk menyaring arus lalu lintas orang yang hendak masuk atau keluar wilayah negara diperbatasan. Urusan pemerintahan yang ada diwilayah perbatasan negara adalah urusan nasional tetapi memiliki dimensi internasional. Pada wilayah perbatasan terdapat tugas dan fungsi berbagai departemen tehnis/fungsional pemerintah pusat, dilain pihak urusan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari daerah provinsi, kabupaten/kota dimana wilayah perbatasan itu berada. Karena itu penanganan perbatasan harus secara Iintas sektoral dan lintas departemental dengan melibatkan semua instansi yang teriibat secara fungsional maupun struktural dari tingkat pusat, daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Apakah urusan pemerintahan yang ada diwilayah perbatasan, bagaimana urusan tersebut dikelola, apa yang menjadi kewenangan masing-masing instansi dan bagaimana kewenangan tersebut dikoordinasikan, menjadi satu bahan yang panting untuk dikaji."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yatiman
"Pelaksanaan otonomi seluas-luasnya pasca reformasi berdampak pada meningkatkan keinginan daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Pemekaran daerah di Indonesia menjadi fenomena yang tidak dapat dibendung. Pembentukan DOB di Kabupaten Paser merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pemerataan pembangunan dan mendekatkan pelayanan publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditujukan untuk menganalisis dinamika pembentukan DOB Kabupaten Paser Tengah dan Kabupaten Paser Selatan di Kabupaten Paser.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa proses pembentukan DOB di Kabupaten Paser memiliki banyak hambatan karena adanya perebutan daerah yang menjadi wilayah cakupan terhadap dua calon DOB dan adanya konflik penetapan ibukota. Konflik dalam pembentukan DOB di Kabupaten Paser mempengaruhi ketahanan daerah di bidang keamanan.

The implementation of autonomy after the reform impact on proliferation of administrative regions. The formation of new autonomous region in Paser Municipal is one of efforts of people welfare provision through equitable development and public service. This study used qualitative to analyze the dynamic of new autonomous region of Central Paser Municipal and South Paser Municipal in Paser Municipal.
The result of the study showed the process of forming the new autonomous region in Paser Municipal had many obstacles caused by the struggle for territory within the new two autonomous regions and also the conflict in deciding the capital. The conflict of the formation new autonomous region in Paser Municipal affects the security in regional resilience.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naqia Annisa Faradiz
"Tesis ini membahas restitusi bagi korban dengan mengacu pada Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mana uqubat restitusi hanya dapat dimintakan oleh korban pemerkosaan dan qadzaf. Permasalahan dalam tesis meliputi pengaturan, prosedur memperoleh restitusi terhadap korban pemerkosaan dan Implementasi Restitusi korban Tindak Pidana pemerkosaan dalam Putusan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan dari 10 jarimah hanya ada 2 jarimah yang mengatur restitusi yakni qadzaf dan pemerkosaan, restitusi dalam Qanun jinayat hanya dapat diberikan apabila terdapat permintaan dari korban. Berdasarkan pasal 51, restitusi dapat diberikan kepada korban pemerkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 dan Pasal 49, sedangkan terhadap Pasal 50 terkait Perkosaan terhadap anak tidak disebutkan, selanjutnya terdapat kekeliruan pada pasal 58 yang mengatur restitusi pada korban qadzaf, sebab pasal tersebut mengacu tertuduh pelaku jarimah perkosaan, kemudian selain pemerkosaan dan qadzaf, jarimah pelecehan seksual perlu dimasukkan ke dalam salah satu jarimah yang dapat diberikan restitusi. Selanjutnya, prosedur memperoleh restitusi selain mengacu pada Perma nomor 1 tahun 2022 diperlukan aturan pelaksana khusus yang mengatur restitusi menggunakan emas dan kompensasi pengganti restitusi bagi pelaku yang tidak mampu membayar restitusi, berikutnya hanya ada sedikit putusan yang menjatuhkan restitusi sebab penegak hukum tidak menyampaikan hak korban berupa restitusi dan dan kemampuan finansial terdakwa dipertimbangkan untuk menentukan ada tidaknya restitusi, kemudian terdapat hambatan pelaksanaan restitusi diantaranya kondisi pelaku, kurangnya kesadaran hukum korban, korbannya anak di bawah umur, faktor aparat penegak hukum serta adanya stigma dalam masyarakat.

This thesis discusses restitution for victims by referring to Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law, in which restitution can only be requested by victims of rape and qadzaf. The issues in the thesis include the arrangements and procedures for obtaining restitution for rape victims in the Qanun of Jinayat Law and the Implementation of Restitution for rape victims in the Decision of the Syar'iyah Court in Aceh. This research is normative juridical method. The analysis concluded that the regulation on restitution in Qanun jinayat still has weaknesses, such as the restitution can only be given if there is a request from the victim. Based on article 51, restitution can be given to victims of rape as referred to in Article 48 and Article 49, while Article 50 related to rape against children is not regulated, then there is a misconception in article 58 which regulates restitution for victims of qadzaf, because the article refers to the accused perpetrator of the rape jarimah, then in addition to rape and qadzaf, the jarimah of sexual harassment needs to be included in one of the jarimah that can be given restitution. Furthermore, the procedure for obtaining restitution other than referring to Perma number 1 of 2022 requires specific implementing regulations are needed that regulate restitution using gold and compensation in replacement of restitution for perpetrators who are unable to pay restitution, then there are only a few decisions that impose restitution on victims because law enforcers do not convey victims' rights in the form of restitution and the defendant's financial capacity is considered to determine whether or not restitution is available, then there are detention to the implementation of restitution including the condition of the perpetrator, the lack of legal awareness of the victim, the victim is a children under the age, the factors of legal officers and the existence of stigma in society."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Aulia
"ABSTRAK
Tulisan ini berangkat dari hasil penelitian tentang adanya dugaan pelanggaran hakasasi manusia terkait penerapan Qanun Jinayat hukum pidana di Aceh yang telahberlangsung sejak tahun 2012 dan telah diformalkan sejak tahun 2014. Tesis inimenganalisis faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan jejaring advokasitransnasional yang dilakukan oleh NGO lokal, nasional dan internasional untukmenghapus praktik Qanun Jinayat di Aceh. Penelitian ini menggunakanpendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka serta wawancara dan observasilangsung di Banda Aceh dan Sabang. Analisis kajian tesis ini menggunakan konsepTAN; pola bumerang oleh Keck dan Sikkink 1998 . Berdasarkan kerangkaanalisis TAN, ada empat strategi yang diterapkan dalam kasus ini, yaitu strategipolitik informasi, strategi politik simbolis, strategi politik pengaruh, dan strategipolitik akuntabilitas. Berdasarkan hasil temuan menunjukkan bahwa strategistrategitersebut tidak efektif dalam kasus ini karena terhambat oleh berbagai faktorseperti kompleksitas hukum Indonesia, perbedaan tujuan akhir antar elemenelemenTAN, serta ketiadaan tokoh representatif yang menjadi ikon pada isu ini.Akibatnya, meskipun pola advokasi transnasional telah nampak di Aceh,keberadaan jejaring transnasional tersebut tidak berhasil mengadvokasikan prinsipHAM universal untuk menghapuskan praktik Qanun Jinayat. Jadi kesimpulan tesisini telah memberi kontribusi pada debat universalisme dan partikularisme bahwakekuatan faktor lokal mempengaruhi hasil akhir dari sebuah advokasi

ABSTRACT
This thesis explores the allegation of human rights violation regarding theimplementation of Islamic Criminal Law Qanun Jinayat in Aceh which has beenstarted in 2004 and formalized in 2014. This thesis analyzes the factors behind thefailure of transnational advocacy network done by local, national, and internationalNGOs in order to abolish the practices of Qanun Jinayat in Aceh. This qualitativeresearch combines literature research and field observation in Banda Aceh andSabang. Analysis in this research thesis is based on the concept of TAN boomerang pattern by Keck and Sikkink 1998 . According to the framework ofanalysis, there are four strategies in an advocacy, namely information politics,symbolic politics, leverage politics, and accountability politics. It is found that suchstrategies are ineffective due to multiple problems such as complexity ofIndonesian law, difference in final objective of the elements of TAN, and lack oficonic representative figure as the front of the advocacy. In all, it can be concludedthat although the pattern of transnational advocacy has emerged in Aceh, presenceof such transnational network has not successfully advocated against thelegalization of Qanun Jinayat. In conclusion, this thesis has contributed to thedebate between universalism and particlularism that local factors may affect thefinal outcome of an advocacy."
2018
T51615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Pascal Adi Chandraya
"Jurnal ini membahas mengenai dinamika gerakan nasionalisme Timor Leste pada kurun waktu 1974-1985. Dalam pembuatan skripsi ini menggunakan metode penelitian Ilmu Sejarah yaitu heuristik, kritik, interprestasi, dan historiografi. Penelitian ini adalah penelitian sejarah politik yang menitikberatkan pada gerakan nasionalisme di Timor Leste dan dampak dari kebijakan pemerintah Indonesia pada gerakan tersebut. Perbedaan penelitian ini dari dengan penelitian lain yang membahas situasi di Timor Leste ketika berada dalam kekuasaan Indonesia ialah ruang ringkup permasalahan. Ruang lingkup permasalahan dalam penelitan ini difokuskan pada kebijakan pemerintah Indonesia terhadap gerakan nasionalisme Timor Leste. Hasil dari penelitian ini juga menjadi pembeda dibanding dengan penelitian karya Taylor (1998), dimana kebijakan pemerintah Indonesia mempengaruhi pada hilangnya kekuataan dan dukungan masyarakat terhadap gerakan nasionalisme Timor Leste. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah unsur gerakan nasionalisme di Timor Leste seperti Gereja Katolik dan FRETILIN.Selain itu, dalam penelitian ini terdapat hasil temuan yang tidak menjadi perhatian khusus dari penelitian sebelumnya karya Singh (1998). Temuan itu ialah pelaksanaan PEMILU 1982 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai penanda terciptanya hegemoni negara Indonesia di wilayah Timor Leste. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia berdampak negatif pada dinamika gerakan nasionalisme Timor Leste.

This journal discusses the dynamics of the East Timor nationalism movement in the period 1974-1985. In making this thesis using the historical research methods of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. This research is a historical political research that focuses on the nationalism movement in Timor Leste and the impact of Indonesian government policies on the movement. The difference between this research and other studies that discusses the situation in Timor Leste when it is under Indonesian rule is a problematic space. The scope of the problem in this research is focused on the Indonesian government's policy towards the Timorese nationalism movement. The results of this study are also different compared to research by Taylor (1998), in which Indonesian government policy affects the loss of power and community support for the Timorese nationalism movement. This study also revealed that there were a number of elements of the nationalism movement in Timor Leste such as the Catholic Church and FRETILIN. In addition, in this study there were findings that were not of particular concern from Singh (1998) previous research. The finding was the implementation of the 1982 ELECTION carried out by the Indonesian government as a marker of the creation of the hegemony of the Indonesian state in the territory of Timor Leste. From this research it can be seen that the policies of the Indonesian government have a negative impact on the dynamics of the Timorese nationalism movemen"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>