Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132800 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sianipar, Febri
"Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang di dalam keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan hasil pengawasan aparat intern pemerintah salah satunya adalah terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara karena dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan mengandung ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang memiliki kompetensi absolut untuk melakukan pengujian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 mengatur pengujian unsur penyalahgunaan wewenang namun dengan frasa tambahan sebelum adanya proses pidana. Frasa tersebut menimbulkan problematika terhadap penyelesaian pengujian unsur penyalahgunaan wewenang. Hakim dalam memutuskan perlu membuat pertimbangan (ratio decidendi) dan kriteria ideal mengenai penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahana adminstratif. Dan juga putusan PTUN dalam tataran eksekusi tidak dijalankan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Penelitian tesis dengan menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis normatif, tipologi penelitiannya adalah preskriptif, dan hasil penelitiannya berbentuk preskriptif-analitis.Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa kriteria ideal atau pertimbangan dalam putusan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara berdasarkan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 didasarkan pada maksud dan tujuan permohonan, kompetensi PTUN, legal standing, dan pertimbangan hukum terhadap hasil pengawasan APIP, asas legalitas, penilaian kerugian negara berdasarkan potential loss (hukum materiil) bukan lagi actual loss sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, serta kriteria ideal lainnya adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam keputusan dan/atau tindakan yang menimbulkan kerugian negara karena kesalahan administrasi. Terhadap putusan PTUN mengenai pengujian unsur penyalahgunaan wewenang sesuai sifatnya bahwa putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap maka putusan tersebut merupakan putusan eksekutorial yang dapat dilaksanakan, selain itu bersifat mengikat semua orang (erga omnes). Sementara itu frasa sebelum adanya proses pidana dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 menimbulkan implikasi berupa pembatasan terhadap kompetensi absolut peradilan lain dalam hal terjadinya kerugian negara karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak mengatur seperti hal tersebut, sehingga ditinjau dari hukum perundang-undangan terjadi konflik norma dengan adanya frasa sebelum adanya proses pidana. Putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat dan eksekutorial namun sulit dieksekusi meskipun sudah ada pengaturan upaya paksa, selain itu daya mengikatnya adalah erga omnes.

Government Agencies and/or Officials are prohibited from committing abuse of authority in decisions and/or actions determined and/or carried out. Article 20 of Law Number 30 of 2014 determines the results of supervision of internal government apparatus, one of which is that there are administrative errors that cause losses to state finances because the decisions and/or actions of Government Officials contain whether or not there is an element of abuse of authority. Based on Article 21 paragraph (1) of Law Number 30 of 2014, the one that has absolute competence to examine whether or not there is an element of abuse of authority is the State Administrative Court. Article 2 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 regulates testing for elements of abuse of authority but with an additional phrase prior to criminal proceedings. This phrase raises problems with the completion of testing elements of abuse of authority. Judges in deciding need to make considerations ( ratio decidendi ) and ideal criteria regarding the abuse of authority which causes state losses due to administrative errors. And also PTUN decisions at the execution level are not carried out by Government Agencies and/or Officials. Thesis research uses normative juridical research methods, the research typology is prescriptive, and the research results are prescriptive-analytical. The results of this study are that the ideal criteria or considerations in the decision to evaluate elements of abuse of authority that are detrimental to state finances based on Article 16 of Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 are based on the intent and purpose of the application, competence of the State Administrative Court, legal standing , and legal considerations of the results of APIP supervision. , the principle of legality, the assessment of state losses based on potential loss (material law) is no longer an actual loss according to the Constitutional Court Decision Number 25 of 2016, as well as other ideal criteria is the presence of an element of unlawful act in decisions and/or actions that cause state losses due to administrative errors . Regarding the PTUN's decision regarding the examination of elements of abuse of authority according to its nature that the PTUN's decision has permanent legal force, the decision is an executorial decision that can be implemented, besides that it is binding on everyone (erga omnes). Meanwhile, the phrase before criminal proceedings in Supreme Court Regulation Number 4 of 2015 has implications in the form of restrictions on the absolute competence of other courts in the event of state losses because Law Number 30 of 2014 does not regulate such matters, so that in terms of statutory law there is a conflict of norms with the phrase before the criminal process. Administrative Court decisions have binding and executorial powers but are difficult to execute even though there have been coercive measures in place, in addition to that their binding power is erga omnes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simangunsong, Gunawan
"Setelah terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ada pengaturan bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat memulihkan kerugian keuangan negara tersebut paling lama 10 hari setelah terbitnya hasil pengawasan aparat pengawas intern pemerintah. Setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian keuangan negara, maka seharusnya unsur pidana korupsinya hilang. Namun UU 30/2014 tersebut tidak kompatibel dengan UU Tipikor Pasal 4 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang menciptakan ketidakpastian hukum terhadap pejabat pemerintahan. Penelitian ini mengkaji status penyalahgunaan wewenang setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil penelitian menemukan bahwa Pertama, pengaturan mekanisme pemulihan kerugian keuangan negara tidak seragam sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, apabila kerugian keuangan negara telah dipulihkan maka unsur pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terpenuhi sesuai pengertian kerugian negara yang harus nyata dan pasti. Selain itu penelitian ini menemukan dibandingkan pemidanaan konsep sanksi berat, tuntutan ganti kerugian harusnya menjadi prioritas utama dan ditambah dengan denda sebagai pengoptimalan pemulihan kerugian keuangan negara.

After the issuance of Law No. 30 of 2014 there is an arrangement that officials who abuse authority that incurs financial losses of the state can recover the financial losses of the country no later than 10 days after the issuance of the results of the supervision of the government's internal supervisory apparatus. After government officials recover the financial losses of the state, then the criminal element of corruption should be lost. However, Law 30/2014 is not compatible with The Tipikor Law Article 4 which states that the return of state financial losses does not remove the criminal that creates legal uncertainty against government officials. The study examined the status of abuse of authority after government officials recovered state losses. This research uses normative juridical method by doing statute approach and case approach and conceptual approach. The results of the study found that First, the arrangement of the mechanism of recovery of state financial losses is not uniform so as to cause legal uncertainty. Second, if the financial losses of the state have been recovered then the criminal element in Article 2 and Article 3 of the Tipikor Law is not met in accordance with the understanding of state losses that must be real and certain. In addition, this study found that compared to criminalizing the concept of severe sanctions, indemnity claims should be a top priority and coupled with fines as optimization of the recovery of state financial losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alifian Geraldi Fauzi
"Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, kompetensi mengadili pengadilan tata usaha negara (PTUN) mengalami perluasan kompetensi absolut yang sangat signifikan. Kewenangan untuk mengadili objek sengketa tidak saja berupa keputusan tata usaha negara (KTUN) tetapi termasuk juga tindakan faktual badan dan/atau pejabat pemerintahan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana implikasi perluasan kompetensi mengadili peradilan tata usaha negara pasca berlakunya UU AP dan bagaimana titik singgung kompetensi mengadili sengketa onrechtmatige overheidsdaad antara peradilan umum dengan peradilan tata usaha negara. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan mengkaji asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan yang bersifat inkracht van gewijsde yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang dibahas. Hasil penelitian menunjukan bahwa implikasi perluasan kompetensi mengadili peradilan tata usaha negara terhadap perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) pasca berlakunya UU AP adalah meliputi tindakan administrasi pemerintahan termasuk tindakan faktual yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan dan benang merah titik singgung kompetensi mengadili antara peradilan umum dengan peradilan tata usaha negara terhadap sengketa onrechtmatige overheidsdaad adalah walaupun suatu tindakan administrasi pemerintahan sama-sama dilakukan oleh subjek hukumnya badan dan/atau pejabat pemerintahan tetap harus dilihat terlebih dahulu sumber atau dasar dilakukannya tindakan administrasi pemerintahan tersebut.

After the enactment of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration, the competence to adjudicate at the State Administrative Court (PTUN) experienced a very significant expansion of absolute competence. The authority to adjudicate the object of the dispute is not only in the form of state administrative decisions (KTUN) but also includes factual actions of government bodies and/or officials. The problem in this research is what are the implications of expanding the competence to adjudicate state administrative courts after the enactment of the AP Law and what are the points of contact for competence to adjudicate on-rechtmatige overheidsdaad disputes between the general court and the state administrative court. This type of research is normative juridical legal research by examining legal principles, statutory regulations and inkracht van gewijsde court decisions related to the legal issues discussed. The results of the research show that the implications of expanding the competency to adjudicate state administrative courts regarding unlawful acts by government bodies and/or officials (onrechtmatige overheidsdaad) after the enactment of the AP Law are to include government administration actions including factual actions carried out by government administration bodies and/or officials and The common thread that touches on the competency to adjudicate between the general judiciary and the state administrative judiciary regarding disputes on rechtmatige overheidsdaad is that even though a government administrative action is equally carried out by the legal subject, government bodies and/or officials must first look at the source or basis for carrying out the government administrative action."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahd Budi Suryanto
"Penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai salah satu fokus utama pemerintah untuk mewujudkan good and clean government memiliki problematika hukum terkait dengan penerapan hukum tindak pidana korupsi pada kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN khususnya pada Anak Perusahaan BUMN. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan penerapan hukum yang sesuai dengan teori dan asas-asas yang berlaku di dalam hukum, perlu dilakukan penelitian yuridis terhadap status hukum dan aspek hukum keuangan Anak Perusahaan BUMN. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif (legal research) melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan teori hukum (rechts teorie). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah keuangan Anak Perusahaan BUMN merupakan keuangan publik dan masuk dalam lingkup keuangan publik dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau sebaliknya keuangan Anak Perusahaan BUMN sebagai badan hukum privat tunduk pada hukum perdata, sehingga segala problematika hukum terkait Anak Perusahaan BUMN harus dilakukan dalam koridor hukum perdata termasuk di dalamnya peraturan mengenai perseroan terbatas.

Anti Corruption Law enforcement, as one of the main focuses of the government in realizing good and clean government, has legal problems related to anti corruption criminal act enforcement to state financial that are separated from state owned company, especially its subsidiaries. In order to ensure legal certainty and legal application in accordance with the theory and principles applicable in law, it is necessary to conduct juridical research on the legal status and financial legal aspects of the state owned company’s subsidiaries. The method used in this research is the normative juridical method (legal research) through the statute approach and legal theory (rechts theory). This study aims to answer the question whether the finance of the state owned company’s subsidiaries is a subject of public finance and is included in the scope of public finance and state finances as referred to in Law of the Republic of Indonesia Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Action Corruption, or vice versa, the finance of the state owned company’s subsidiaries as private legal entities is subject to civil law, so all legal problems related to the state owned company’s subsidiaries must be carried out in the corridor of civil law, including regulations regarding limited liability companies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simangunsong, Gunawan
"Setelah terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ada pengaturan bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat memulihkan kerugian keuangan negara tersebut paling lama 10 hari setelah terbitnya hasil pengawasan aparat pengawas intern pemerintah. Setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian keuangan negara, maka seharusnya unsur pidana korupsinya hilang. Namun UU 30/2014 tersebut tidak kompatibel dengan UU Tipikor Pasal 4 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang menciptakan ketidakpastian hukum terhadap pejabat pemerintahan. Penelitian ini mengkaji status penyalahgunaan wewenang setelah pejabat pemerintah memulihkan kerugian negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil penelitian menemukan bahwa Pertama, pengaturan mekanisme pemulihan kerugian keuangan negara tidak seragam sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, apabila kerugian keuangan negara telah dipulihkan maka unsur pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak terpenuhi sesuai pengertian kerugian negara yang harus nyata dan pasti. Selain itu penelitian ini menemukan dibandingkan pemidanaan konsep sanksi berat, tuntutan ganti kerugian harusnya menjadi prioritas utama dan ditambah dengan denda sebagai pengoptimalan pemulihan kerugian keuangan negara
.....After the issuance of Law No. 30 of 2014 there is an arrangement that officials who abuse authority that incurs financial losses of the state can recover the financial losses of the country no later than 10 days after the issuance of the results of the supervision of the government's internal supervisory apparatus. After government officials recover the financial losses of the state, then the criminal element of corruption should be lost. However, Law 30/2014 is not compatible with The Tipikor Law Article 4 which states that the return of state financial losses does not remove the criminal that creates legal uncertainty against government officials. The study examined the status of abuse of authority after government officials recovered state losses. This research uses normative juridical method by doing statute approach and case approach and conceptual approach. The results of the study found that First, the arrangement of the mechanism of recovery of state financial losses is not uniform so as to cause legal uncertainty. Second, if the financial losses of the state have been recovered then the criminal element in Article 2 and Article 3 of the Tipikor Law is not met in accordance with the understanding of state losses that must be real and certain. In addition, this study found that compared to criminalizing the concept of severe sanctions, indemnity claims should be a top priority and coupled with fines as optimization of the recovery of state financial losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrie Syahriza
"Analisis ini mempunyai latar belakang lingkup makro yaitu melihat kondisi di negara berkembang yang memiliki keterbatasan atau rendahnya tenaga profesional pegawai negeri sipil yang memahami dan menguasai teknologi informasi. Imbas dari kendala yang muncul berakibat pada terganggunya pelaksanaan implementasi teknologi informasi yang telah menjadi program nasional. Secara mikro keadaan tersebut juga terjadi di Indonesia, di mana perencanaan implementasi e-Govemment oleh pemerintah pusat dijabarkan melalui payung kebijakan e-Govemment. Namun hasil yang tampak belum terlihat secara jelas dan nyata dikegiatan sehari-harinya. Berbagai faktor mempengaruhi hal tersebut, salah satunya yang utama adalah tingkat pemahaman pegawai negeri sipil terhadap e-Government mash ,sangat rendah. Apa yang telah dilakukan pada kurun waktu lama saat lalu tidak diikuti dengan kesiapan sumber daya manusia yang handal dan mengerti akan esensi dari e-Government. Mengingat kebijakan ini berkaitan dengan penerapan teknologi informasi yang sangat cepat perkembangannya maka dituntut pula kesiapan tenaga profesional yang cepat memahami dan mengerti implemetasi dari kebijakan e-Government.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis pemahaman dari para pegawai negeri sipil di Sekretariat Negara terutama para pejabatnya terhadap kebijakan e-Government guna peningkatan kinerja instansi dan pencapaian tujuan sebagai pemerintahan yang baik. Deegan pemahaman yang benar maka implementasinya dapat dituangkan dalam suatu rencana stratejik sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan arah yang benar dan tepat. Penelitian pemahaman ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan operational thinking dari salah satu 7 (tujuh) systems thinking yang ada. Sedangkan kriteria yang digunakan yang sesuai dengan pemahaman operational thinking diambil dari pendapat Eko Indrajit lewat paradigma berbasis teknologi informasi. Kriteria yang dimaksud meliputi Orientasi, Proses Organisasi, Prinsip-prinsip Manajemen, Gaya Kepemimpinan, Komunikasi Internal, Komunikasi Eksternal, Model Jasa Pelayanan, dan Prinsip Jasa Pelayanan. lmplementasi kebijakan e-government yang dituangkan dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara dapat dibandingkan dengan kebijakan e-Govemment Singapura yang telah dahulu dalam penerapannya.
Teori yang mendukung adalah teori kebijakan publik, teori electronic government, toad operational thinking, dan teori implementasi. Untuk mendukung kegiatan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari cara melakukan teknik wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden serta dielngkapi dengan pencarian infonnasi lewat berbagai jurnal dan dokumen. Populasi penelitian adalah para pejabat dan eselon II hingga eselon IV di Sekretariat Negara RI dan metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif. Metode sampling yang digunakan adalah nonprobabilily sampling dengan accidental sampling. Responden yang terkumpul sebanyak 27 orang dan perhitungan data yang dipakai adalah skala Likert dengan penentuan skoring.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut menghasilkan, secara individual tingkat pemahaman para pejabat masih rendah/belum paham. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator yang masih dibawah tingkat paham sehingga berakibat kepada kebijakan pimpinan yang tertuang dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara 2001-2005 yang menjadikan perencanaan e-Govemment tidak jelas dan tidak terarah.
Untuk menyiasati gap/masalah yang muncul pertu diusahakan peningkatkan pemahaman dan sosialisasi yang benar tentang e-Govemment lewat berbagai usaha pendidikan dan komitmen kuat individu sehingga implementasinya lewat Rencana Stratejik dapat dijabarkan secara benar dan jelas, sehingga tujuan dari pemerintah agar menjadikan pemerintahan yang baik dan akuntabel dapat terwujud."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Putri Nurmala Sari
"Konsep penyalahgunaan wewenang dan menyalahgunakan kewenangan yang dikenal dalam dua disiplin ilmu yakni hukum administrasi negara dan hukum pidana merupakan dua konsep berbeda dan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Pada konsep penyalahgunaan wewenang, jika disebut kesalahan administratif maka keputusan dan/atau tindakan dapat diperbaiki sesuai dengan ketentuan regulasi dan diadakan ganti rugi. Konsep menyalahgunakan kewenangan merupakan ranah hukum pidana, dimana pejabat atau penyelenggara negara dalam membuat suatu keputusan dan/atau tindakan melakukan secara melawan hukum dengan kewenangan yang dimilikinya serta menyebabkan kerugian keuangan negara yang dapat dibuktikan secara nyata dan pasti.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif melalui pendekatan undang-undang yang ditelaah berdasarkan fakta hukum melalui contoh kasus terdahulu, menggunakan sumber data primer dan sekunder guna menghasilkan penelitian yang komprehensif. Hasil penelitian menyatakan bahwa penerapan konsep kedua disiplin ilmu tersebut harus secara tegas diberikan batasan. Sebab hukum administrasi merupakan bidang ilmu hukum yang bersifat preventif sedang hukum pidana merupakan bidang ilmu hukum yang bersifat represif terhadap persoalan penyalahgunaan kewenangan. Kedepan harus ada perbaikan terhadap regulasi yang mengatur penyalahgunaan wewenang terutama pada penerapan sanksi. Sanksi yang lemah selama ini baik pada hukum administrasi negara maupun hukum pidana merupakan penghambat dalam penerapan penegakan hukum.


The concepts of abuse of authority and abuse of authority are known in two disciplines, namely state administrative law and criminal law, are two different concepts and run in accordance with existing provisions. In the concept of abuse of authority, if it is called an administrative error, the decision and/or action can be corrected in accordance with the provisions of the regulation and compensation will be held. The concept of abusing authority is the realm of criminal law, where officials or state administrators in making decisions and/or actions are carried out against the law with their authority and cause state financial losses that can be proven in a real and definite way.

This research is a normative research through a legal approach which is analyzed based on legal facts through examples of previous cases, using primary and secondary data sources to produce comprehensive research. The results of the study stated that the application of the concepts of the two disciplines must be strictly defined. Because administrative law is a field of legal science that is preventive in nature, while criminal law is a field of law that is repressive in nature to the problem of abuse of authority. In the future, there must be improvements to regulations governing abuse of authority, especially in the application of sanctions. Weak sanctions so far, both in state administrative law and criminal law, are an obstacle in the application of law enforcement."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rahman Ruslan
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh gugatan Anwar Usman terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Fokus utama penelitian adalah menganalisis yurisdiksi objek sengketa (PTUN) Jakarta dalam menangani gugatan Anwar Usman terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi terkait Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN-Jkt, dengan mempertimbangkan asas yuridikitas dan legalitas serta dampaknya terhadap kepastian hukum dan keadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal melalui pendekatan analitis untuk menelaah peraturan perundang-undangan, doktrin, serta putusan-putusan pengadilan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gugatan tersebut mengandung kesalahan objek sengketa yaitu gugatan Anwar Usman terhadap Ketua MK Suhartoyo yang kemudian disidangkan oleh PTUN Jakarta Meskipun dalam pasal 10 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ada prinsip hukum yang berbunyi ius curia novit yaitu “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” hal ini berlaku pada saat perkara sudah diterima oleh pengadilan, sebab ada yang disebut “dismissal procedure” yang membolehkan Ketua Pengadilan untuk tidak menerima gugatan yang diajukan oleh penggugat dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986. Selain itu, pembahasan dalam penelitian ini juga menyoroti bagaimana kesalahan yurisdiksi dapat mencederai prinsip kepastian hukum, menciptakan ketidakpastian dalam sistem peradilan, serta menimbulkan preseden negatif yang berpotensi merugikan integritas peradilan administrasi. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan gugatan tanpa dasar yurisdiksi yang jelas dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan akurasi dan kehati-hatian dalam proses penilaian yurisdiksi objek sengketa di PTUN guna memastikan keadilan dan menjaga keberlanjutan sistem peradilan administrasi yang berintegritas.

This research is motivated by Anwar Usman's lawsuit against the Chief Justice of the Constitutional Court at the Jakarta State Administrative Court (PTUN). The main focus of the research is to analyze the jurisdictional of the disputed object (PTUN) Jakarta in handling Anwar Usman's lawsuit against the Chief Justice of the Constitutional Court regarding Decision Number 604/G/2023/PTUN-Jkt, by considering the principles of jurisdiction and legality and their impact on legal certainty and justice. This research uses a doctrinal research method through an analytical approach to examine relevant laws and regulations, doctrines, and court decisions. The results of the study indicate that the lawsuit contains an error in the object of the dispute, namely Anwar Usman's lawsuit against the Chief Justice of the Constitutional Court Suhartoyo, which was then tried by the Jakarta PTUN. Although in Article 10 of Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power there is a legal principle that states ius curia novit, namely "The court is prohibited from refusing to examine, try, and decide a case filed on the pretext that the law does not exist or is unclear, but is obliged to examine and try it" this applies when the case has been received by the court, because there is something called a "dismissal procedure" which allows the Chief Justice not to accept a lawsuit filed by the plaintiff with the conditions stated in Article 62 of Law No. 5 of 1986. In addition, the discussion in this study also highlights how jurisdictional errors can harm the principle of legal certainty, create uncertainty in the judicial system, and create negative precedents that have the potential to harm the integrity of administrative justice. Further analysis shows that accepting a lawsuit without a clear jurisdictional basis can affect public trust in the judicial institution. This study also provides recommendations to improve the accuracy and caution in the process of assessing the jurisdiction of disputed objects at the PTUN to ensure justice and maintain the sustainability of an administrative justice system with integrity."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umery Lathifa
"Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terdapat kewajiban cuti bagi seorang kepala daerah definitif yang ikut mencalonkan diri dalam pemilihan tersebut. Kekosongan jabatan kepala daerah definitif selama masa pemilihan kepala daerah kemudian diisi oleh seorang Pelaksana Tugas Plt Kepala Daerah yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, Plt Kepala Daerah diberikan mandat untuk melaksanakan tugas harian kepala daerah. Berdasarkan Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, seorang mandataris tidak berwenang mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum alokasi anggaran. Permasalahan kemudian timbul ketika Plt Kepala Daerah diberikan wewenang untuk mengesahkan APBD yang merupakan suatu kebijakan strategis. Penelitian ini dibuat untuk menganalisis kekuasaan pengesahan APBD selama masa cuti kepala daerah dan tugas dan wewenang Plt Kepala Daerah dalam pengesahan APBD. Metode dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan yuridis normatif yang mengkaji rumusan masalah dari sudut pandang peraturan perundang-undangan.

In regional governor election, there is a mandatory leave for a definitive governor who stands for election. The Regional Head Ad Interim, appointed by the Minister of Home Affairs, will replace the vacancy of governor position. In this case, a Regional Head Ad Interim will do the governor rsquo s daily duty by mandate. Under Article 14 paragraph 7 Law No. 30 Year 2014, a Regional Head Ad Interim as a mandate does not have a power to take a strategic decision or action that has impact on changing the law status on government budget. The problem arises when The Regional Head Ad Interim is given an authority to authorize the regional government budget, which is considered as a strategic decision. This research is made to analyze the power in authorizing the regional government budget during the governor rsquo s period of leave and to analyze the duty and authority of Regional Head Ad Interim in authorizing the regional government budget. The method of this research, is juridical normative literature method which analyze the problems from the regulatory point of view.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Purwitasari
"Tesis ini membahas Pluralisme Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia Studi Kasus Tumpang Tindih Dengan Pertambangan, Kehutanan dan Tanah Ulayat. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Kebijakan pengaturan sektor pertanahan khususnya dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha dalam implementasi banyak aturan yang mendasarinya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha perkebunan di Indonesia dan permasalahan yang diakibatkan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha dan untuk mengetahui sejauh mana pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha di Indonesia mengakibatkan tumpang tindih Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lain khususnya perizinan pertambangan, perizinan kehutanan dan tanah ulayat beserta dampaknya.
Hasil dari penelitian ini adalah pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor lainnya yaitu sektor pertambangan dan kehutanan, serta tanah ulayat dan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tersebut menyebabkan tumpang tindihnya Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lainnya terutama dengan sektor pertambangan dan kehutanan, serta tumpang tindih dengan tanah ulayat penyelesaiannya tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada Undang-Undang sektoralnya dan Undang-Undang sektoral itu sama derajatnya.

This thesis focuses on the Pluralism of Government Policy in the Stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) for Plantation in Indonesia (Study Case on Overlapping of Mining, Forestry and Communal Rights). The research is legal norm in nature and the data collection to be used shall be conducted through library research with a statue approach. Regulation policy in the land sector, in particular the stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) in practice is based on many regulations.
The objective of this research is to reveal the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation in Indonesia and the problems attributable to pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) and to reveal the extent of pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) in Indonesia causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation with other sectors, especially with the mining permit, forestry permit and communal rights along with its effects.
The result of this research reveals that the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) is closely related to the government’s policies in other sectors, namely the mining, forestry and communal rights sectors and therefore causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) with other sectors, mainly with mining, forestry and communal rights sectors in which the settlement is not easy as each of those sectors has their own law having equal legal force.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>