Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3332 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2018
616.849 8 PAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M Luthfi Adillah
"Pandemi COVID-19 membuat banyak dari kita tinggal dirumah dan sulit untuk melakukan jenis olahraga yang biasa kita lakukan. Bahkan kualitas tidur pasien yang terdiagnosa COVID-19 dengan gejala berat menunjukkan efisiensi tidur dan waktu imobilitas yang lebih dibandingkan dengan pasien yang hanya mengalami gejala yang ringan. Latihan fisik yang cukup dan kualitas tidur yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terkonfirmasi COVID-19 dan menjaga imunitas tubuh selama masa pandemi COVID-19. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi hubungan antara kualitas tidur dan aktifitas fisik dengan derajat keparahan COVID-19. Desain penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional dengan 120 Sampel. Hasil penelitian menunjukan prosentase 75,8% responden mempunyai kualitas tidur yang buruk dan aktifitas fisik sedang mencapai 60% responden. Responden dengan derajat keparahan COVID-19 mempunyai prosentase yang tidak parah 60%. Hasil uji Rank Spearmen variabel Kualitas tidur diperoleh nilai p > 0,05 sebesar 0,409 yang menunjukkan bahwa korelasi tidak bermakna dan Variabel Aktifitas fisik diperoleh nilai p < 0,05 sebesar 0,007 yang menunjukkan bahwa korelasi bermakna. Kesimpulannya latihan fisik merupakan faktor utama dalam membantu individu untuk lebih meningkatkan imunitas. Aktivitas fisik dan latihan fisik mungkin menjadi faktor utama untuk mencegah derajat keparahan COVID-19 di masa pandemi.

The COVID-19 pandemic has left many of us staying at home and finding it difficult to do the kind of exercise we are used to. Even the sleep quality of patients diagnosed with COVID-19 with severe symptoms showed more sleep efficiency and immobility time compared to patients who only experienced mild symptoms. Adequate physical exercise and good quality sleep are necessary to prevent confirmed COVID-19 and maintain body immunity during the COVID-19 pandemic. The purpose of this study was to identify the relationship between sleep quality and physical activity with the severity of COVID-19. The design of this research is retrospective descriptive with a cross sectional approach with 120 samples. The results showed the percentage of 75.8% of respondents had poor sleep quality and moderate physical activity reached 60% of respondents. Respondents with the severity of COVID-19 had a non-severe percentage of 60%. The results of the Spearmen Rank test for the sleep quality variable obtained p value > 0.05 of 0.409 which indicates that the correlation is not significant and the physical activity variable obtained p value <0.05 of 0.007 which indicates that the correlation is significant. In conclusion, physical exercise is a major factor in helping individuals to further enhance their immunity. Physical activity and physical exercise may be the main factors to prevent the severity of COVID-19 during the pandemic."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Magdalena
"Latar Belakang: Pandemi COVID19 telah menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan dunia kerja diantaranya pemberlakukan bekerja dari rumah / Working from Home (WFH) bagi hampir semua pekerja perkantoran di Jakarta. Tujuan penelitian mengetahui prevalensi dan berbagai faktor risiko gangguan kualitas tidur diantaranya beban kerja mental, lingkungan kerja dan faktor sosiodemografik pada pekerja perkantoran yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID19.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain mixed method..Metode kuantitatif dilakukan dengan sampel 71 orang pekerja bagian HR. Penelitian ini menggunakan kuesioner PSQI untuk negukur ganggguan kualitas tidur, kuesioner NASA-TLX untuk menilai beban kerja dan kuesioner PHQ9 serta GAD7 untuk menentukan sample yang dieksklusi. Sementara metode kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 15 subjek yang memiliki skor PSQI tertinggi dan yang bersedia dilakukan wawancara.
Hasil: Prevalensi gangguan kualitas tidur pada pekerja divisi HR perusahaan farmasi PT.X di Jakarta sebesar 40.8% dengan jenis terbanyak adalah Insomnia. Beban kerja memiliki korelasi sedang dengan gangguan kualitas tidur yaitu dengan koefisien korelasi 0.51 dimana semakin tinggi beban kerja maka kualitas tidur semakin buruk. Selain itu, Kualitas tidur juga berhubungan secara bermakna masing-masing dengan ruangan yang dipakai selama WFH (p0.028, OR 3.019 (IK 1.109-8.223), penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur (p0.005, OR 4.8 (IK 1.539-14.97), keberadaan balita di rumah (p0.022, OR 3.89 (IK 1.164-13.03) dan jumlah jam kerja harian selama WFH (p 0.024, OR 5.4 (IK 1.107-26.34) dan jenis kelamin (p 0.037, 3.26 (1.040-10.243)).Dari hasil kualitatif ditemukan beban kerja yang lebih besar dengan jam kerja lebih panjang, ruang kerja yang tidak kondusif karena kebisingan dan posisi kerja yang tidak nyaman, disertai kebiasaan perilaku sebelum tidur yang buruk dan distraksi oleh aktivitas personal disertai dialami oleh responden dengan ganggaun tidur sedang berat.
Kesimpulan: Prevalensi gangguan kualitas tidur pada pekerja bagian HR perusahaan Farmasi PT.X adalah sebesar 40.8%. Beban kerja memiliki korelasi sedang dengan gangguan kualitas tidur. Faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan kualitas tidur diantaranya ruangan yang dipakai selama WFH, jumlah jam kerja, penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur, balita di rumah, dan jenis kelamin.

Background: COVID19 Pandemi has created huge changes in worklife, including implementation of Working from Home (WFH) fpr almost all office workers in Jakarta. Th purpose of this research is to investigate prevalence and risk factors of sleep quality disturbance, among others are mental workload, work environment, and sociodemographic factors among office workers working from home during pansdemic COVID19.
Method: This research use mixed method.Quantitative method was done with 71 samples of workers in HR Dept. This research used PSQI questionnaire to measure disturbance of sleep quality, NASA-TLX questionnaire to measure workload, PHQ9 and GAD7 to determine excludion samples.Qualitative method was done by in-depth interviews to 15 respondents with the highest PSQI scores and who were willing to participate.
Results: Prevalence of sleep quality disturbance among office workers of HR dept in pharmaceutical company PT.X in Jakarta was 40.8%, with Insomnia as the most common type. Workload has moderate correlation with sleep quality disturbance, that is with correlation coefficient 0.51,the higher the workload, the poorer the sleep quality.Besides that, sleep quality has significant association with room used during WFH (p0.028, OR 3.019 (IK 1.109-8.223),, use of electronic devices before sleeping (p0.005, OR 4.8 (IK 1.539-14.97),, existence of children under 5-years-old at home (p0.022, OR 3.89 (IK 1.164-13.03), and daily work hours during WFH (p 0.024, OR 5.4 (IK 1.107-26.34), and gender (p 0.037, 3.26 (1.040-10.243 Respondent with moderate severe sleep disorder reported increased workload, longer working hpurs, unconducive work space and poor position during working, along with poor sleep hygiene and distraction from personal family living.
Conclusion: Prevelence of sleep quality disturbance among workers in HR dept of pharmaceutical company PT.X was 40.8%. Workload has moderate correlation wit sleep quality disturbance. Risk factors associated with sleep quality distuabnce are room used during WFH, number of daily workhours, use of electronic device before sleeping, children under five at home, and gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atsari Nurshabrina Prasetianingsih
"Kualitas tidur buruk pada lanjut usia yang diakibatkan oleh masalah tidur seperti sulit tidur dan mudah terbangun menjadi fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Caregiver sebagai pengasuh lanjut usia terkena dampak tidak langsung dari penurunan kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur lanjut usia dengan care burden pada caregiver. Desain penelitian ini adalah korelatif cross-sectional, menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk mengukur kualitas tidur lanjut usia dan Zarit Burden Interview (ZBI) untuk mengukur beban caregiver. Penelitian ini dilakukan pada 252 responden (126 pasang lansia dan caregiver-nya) yang dipilih dengan teknik consecutive sampling di 2 Puskesmas Kecamatan Jakarta Timur sebagai pusat pelayanan lansia terpadu di komunitas.
Hasil penelitian menunjukan 65,1% lansia mengalami tidur buruk, 97,6% caregiver mengalami beban fisik, 92,9% mengalami beban psikologis dan sosial, 61,9% mengalami beban finansial, tidak ada hubungan antara kualitas tidur lanjut usia dengan care burden pada caregiver, dan ada hubungan antara gender lansia dengan care burden pada caregiver. Penelitian dapat dilanjutkan untuk mencari tahu faktor yang mempengaruhi serta mengatasi masalah tidur dan beban merawat.

Poor sleep is common among elderly. The presence of caregiver for elderly caregiver is affected indirectly by reduced sleep quality. The research aimed to determine the relationship between elderly sleep quality and care burden in caregiver. The study was correlative cross-sectional, using the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) to measure the quality of elderly sleep and Zarit Burden Interview (ZBI) to measure burden on caregiver. This study involved 252 respondents (126 pairs of elderly and their caregivers) recruited by consecutive sampling in 2 primary health centers in East Jakarta district.
The results of the study showed 65.1% of elderly experienced poor sleep, 97.6% caregiver experienced physical burden, 92.9% experienced psychological and social burden, 61.9% experienced financial burden. There was no relationship between elderly sleep quality with care burden on caregiver and, there was relationship between elderly gender and care burden on caregiver. Therefore, finding out the factors that influence poor sleep and burden care burden will be essential for further research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Nuraini
"Pada pasien pasca operasi, masalah sulit tidur merupakan masalah yang sering terjadi. Umumnya hal ini disebabkan karena nyeri (Kozier et all, 1995). Di Indonesia data tentang gangguan tidur pasca operasi belum ada, sehingga gambaran pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin disebabkan gangguan tidur tidak menjadi perhatian utama, sedangkan fungsi dari tidur adalah untuk sintesis pemulihan dan perilaku, waktu perbaikan tubuh dan otak (Kozier, et all, 1995).
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan gangguan pola tidur pada pasien 2-11 hari pasca operasi dan tindakan yang sudah dilakukan pasien agar dapat memenuhi kebutuhan tidur. Penelitian ini menggunakan desain eksploratif yang dilakukan pada 50 orang pasien 2-11 hari pasca operasi di Instalasi Rawat Inap lantai 3,4,5 dan ruang rawat E-RIA RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Selain itu, penelitian ini mengacu pada "The SMH Sleep Questionnaire" dengan skala 1-5, 1 untuk nilai terburuk dan 5 untuk nilai terbaik.
Dari penelitian ini didapatkan hasil pada pasien dewasa awal (18-30 tahun): kesulitan untuk memulai tidur ("initial insomnia") dengan nilai 3,6, standar deviasi 1,4 dan untuk memulai tidur pasien perlu waktu rata-rata 1 jam 36 menit. Pada saat tidur pasien terbangun sekitar 2,7 kali; pasien yang terbangun dan sulit tidur kembali sebanyak 44 %; kualitas tidur rata-rata 3,35, standar deviasi 0,82. Jumlah jam tidur pads malam hari 6 jam 9 menit dan siang hari 1 jam 21 menit. Penyebab gangguan tidur umumnya berasal dari nyeri 34,5%, takut penyakit berulang 17,24%, cemas tidak kembali normal 10,34%, tindakan perawat 10,34%, demam 2% dan lain-lain (batuk, cemas pada keluarga di rumah, hujan, sulit ubah posisi dan sulit buang air) 27,58%.
Sedangkan pada pasien dewasa menengah (31-60 tahun) didapatkan hasil: kesulitan untuk memulai tidur ("initial insomnia") dengan nilai 3,41, standar deviasi 1,2 dan untuk memulai tidur pasien perlu waktu rata-rata 1 jam 7 menit. Pada saat tidur pasien terbangun sekitar 2,5 kali; pasien yang terbangun dan sulit tidur kembali sebanyak 40.62 %; kualitas tidur rata-rata 3, standar deviasi 0,92. Jumlah jam tidur pada malam hari 5 jam dan siang hari 50 menit. Penyebab gangguan tidur umumnya berasal dari nyeri 32,8%, takut penyakit berulang 15,52%, cemas tidak kembali normal 15,5%, tindakan perawat 3,5%, pusing 5,2%, demam 5,2%, dan lain-lain (sesak nafa.s, berkeringat, buang air kecil, perut kembung, pasien lain teriak/ngamuk, gatal di vagina, batuk, udara panas dan dingin, magh, tidak nyaman) 22,36%.
Manajernen pola tidur yang mereka lakukan antara lain: membentuk lingkungan yang nyaman 34,4%; medikasi 13,2%; melakukan kebiasaan sebelum tidur 11,8%; melakukan latihan 2 jam sebelum tidur 10,6%; makan tinggi protein dan menghindari kopi 7,2%; Massase atau pijat 5,2%; membersihkan dan mengeringkan kulit 9,9%; tidak melakukan apa-apa 4,6%; dikompres dan dikipas-kipas 2,6%; terapi sentuhan 2%; komunikasi yang baik 2%. Setelah dianalisa, ternyata manajemen pola tidur yang mereka lakukan masih kurang baik. Tentunya akan lebih baik bila perawat membantu pasien memenuhi kebutuhan tidurnya, seperti mengajarkan teknik relaksasi, guided imagery, batuk efektif, pengaturan jadwal tindakan perawat, dan lain-lain."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Peurifoy, Reneau Z.
New York: Warner Books, 2005
616.85 PEU a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Astri
"

Pendahuluan:  Pasien dengan tumor otak pada umumnya mengalami nyeri kepala (90%) yang biasanya muncul pada malam hari sesuai dengan fisiologis tubuh. Hal ini menyebabkan pasien dapat berisiko mengalami gangguan tidur atau perubahan pola tidur. Sebaliknya, pasien tumor otak dapat mengalami penurunan kesadaran berupa cenderung tidur hingga sulit dibangunkan. Hal ini harus bisa dibedakan oleh dokter dan keluarga dengan gangguan tidur. Polisomnografi merupakan baku emas pemeriksaan klinis gangguan tidur yang akan menghasilkan luaran berupa arsitektur tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran arsitektur tidur pada pasien tumor otak primer yang mengalami gangguan tidur dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Metode: Studi ini bersifat deskriptif dengan metode potong lintang pada pasien tumor otak primer dengan penapisan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).  Pasien yang dinyatakan poor sleepers akan dilakukan pemeriksaan polisomnografi (PSG).

Hasil: Sebanyak 40 subjek penelitian, terdiri dari 14 laki-laki dan 26 perempuan. Rerata usia subjek penelitian adalah 45,5±11,7 tahun dengan median durasi sakit 12 (2-72) bulan. Arsitektur tidur didapatkan sleep latency 8,5 (1,0-212,5) menit, sleep efficiency 88,0 (22,0-99,0) menit, total sleep time342 (92,0-462,5) menit, N1 19,5 (4,0-99,0)%, N2 59,5 (1,0-92,0)%, 8,0 (0-29,0)%, REM 4,5 (0-24,0)%, dan arousal index 8,9 (0,4-36,9). Terdapat kemaknaan secara statistik antara jenis kelamin, nyeri kepala, efek desak ruang, riwayat penurunan kesadaran, dan lama tidur malam dengan total sleep time, N1, N3, dan REM.

Kesimpulan: Pasien tumor otak primer yang mengalami gangguan tidur memiliki abnormalitas arsitektur tidur dan memiliki kecenderungan tidur hanya sampai fase light sleep.

Kata Kunci: arsitektur tidur, gangguan tidur, polisomnografi, tumor otak primer


Background: Brain tumor patients run into cephalgia (90%) and commonly experienced at night that conform to physiology of the body. It generate the patients have higher risk to underwent sleep disorders or change the sleep cycle. Whereas brain tumor patients also experience altered consciousness in the form of tend to sleep and difficult to wake up.This condition must be able to be distinguished with sleep disoders by doctor and family. Polysomnography known as gold standard method to examine sleep disorder and obtain sleep architecture. This research aimed to get sleep architecture profile in primary brain tumor that experience sleep disorder and the influenced factors.

Method: This is a cross sectional research in primary brain tumor patients that passed the screening of Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Poor sleepers then undergoing polysomnography.

Results: There are 40 subjects consist of 14 male and 26 female. Age median 45,5±11,7 years and duration of illness 12 (2-72) months. Sleep architecture’s profiles are sleep latency 8,5 (1,0-212,5) minute, sleep efficiency 88,0 (22,0-99,0) minute, total sleep time 342 (92,0-462,5) minute, N1 19,5 (4,0-99,0)%, N2 59,5 (1,0-92,0)%, 8,0 (0-29,0)%, REM 4,5 (0-24,0)%, and arousal index 8,9 (0,4-36,9). There are statistical significancy of gender, cephalgia, space occupying effect, altered conccioussness, and duration of sleep with total sleep time, N1, N3, and REM.

Conclusion: Primary brain tumor patients experience abnormal of sleep architectures and tend to have light sleep.

Keywords: polysomnography, primary brain tumor, sleep architecture, sleep disorder

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Indahwati
"Indonesia, prevalensi gangguan tidur pada anak tergolong cukup tinggi namun
kesadaran orang tua masih rendah. Gangguan tidur pada anak dapat berdampak
pada prestasi belajar anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara gangguan tidur dan faktor sosiodemografi dengan prestasi belajar anak usia
sekolah. Desain penelitian potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2015-
September 2016 terhadap anak berusia 7-12 tahun di SDN 03 Pondok Cina,
Depok. Orang tua anak mengisi kuesioner sosiodemografi dan kuesioner
gangguan tidur Sleep Disturbance Scale for Children. Sejumlah 154 subjek
melengkapi kuesioner dan didapatkan prevalensi gangguan tidur sebesar 44,8%,
dengan gangguan tidur terbanyak berupa gangguan transisi tidur-bangun (50,6%).
Gangguan tidur memiliki hubungan dengan prestasi belajar yang rendah pada
pelajaran Matematika (p=0,006) dan nilai rata-rata Bahasa Indonesia, Matematika,
dan IPA (p=0,025). Faktor sosiodemografi yaitu usia anak, jenis kelamin anak,
usia ibu, pendidikan terakhir ibu, pekerjaan ibu, pendapatan ayah, pendapatan ibu,
dan bentuk keluarga berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Sebagai
kesimpulan, gangguan tidur dan beberapa faktor sosiodemografi berhubungan
dengan prestasi belajar anak usia sekolah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70371
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahmawati
"Latar belakang: Gangguan tidur merupakan keluhan yang sering terjadi pada rinitis kronis, dengan penyebab tersering adalah hidung tersumbat. Hidung tersumbat juga merupakan faktor risiko terjadinya sleep disordered breathing (SDB). SDB memiliki spektrum penyakit yang luas, salah satunya adalah obstructive sleep apnea (OSA). Walaupun berbagai literatur telah membuktikan adanya gangguan tidur pada pasien rinitis alergi, penelitian mengenai gangguan tidur pada pasien rinitis nonalergi masih terbatas. Tujuan penelitian: Membandingkan derajat gangguan tidur antara kelompok rinitis alergi dan rinitis nonalergi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 11 subjek rinitis alergi dan 11 subjek rinitis nonalergi yang berusia 18-60 tahun di Poliklinik THT RSUPN Ciptomangunkusumo. Derajat obstruksi nasal dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Derajat gangguan tidur dinilai secara subjektif dengan kuesioner ESS, PSQI, dan ISI serta secara objektif dengan polisomnografi. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan pada hasil skor NOSE, ESS, RSI, PSQI, ISI, maupun parameter polisomnografi antara kelompok rinitis alergi dengan kelompok rinitis nonalergi (p > 0,05). Didapatkan hubungan bermakna antara RDI NREM, RERA, saturasi minimum oksigen dan saturasi baseline oksigen dengan klasifikasi OSA pada kelompok rinitis kronis (p< 0,05). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan derajat gangguan tidur antara rinitis alergi dan rinitis nonalergi.

Background: Sleep disturbance is common in chronic rhinitis, primarily caused by nasal congestion. Nasal congestion is also a risk factor for sleep disordered breathing (SDB). SDB refers to a spectrum of breathing abnormalities, one of which includes obstructive sleep apnea (OSA). Although many studies have linked sleep disturbance with allergic rhinitis, data regarding its association with nonallergic rhinitis seem to be limited. Aim : To compare the severity of sleep disturbance between allergic and nonallergic rhinitis. Methods: This cross-sectional study consisted of 11 subjects with allergic rhinitis and 11 subjects with nonallergic rhinitis at ORL-HNS outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital. NOSE questionnaire was used to assess the degree of nasal obstruction. The severity of sleep disturbance was subjectively assessed using ESS, PSQI, and ISI questionnaires and objectively assessed using polysomnography. Results: No significant differences in NOSE, ESS, RSI, PSQI, and ISI scores were found between both groups (p > 0,05). There was a significant relationship between RDI NREM, RERA, minimum oxygen saturation and baseline oxygen saturation with OSA classification in the chronic rhinitis group (p <0.05). Conclusion: The type of rhinitis (allergic or nonallergic) did not influence the severity of sleep disturbance."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>