Ditemukan 240900 dokumen yang sesuai dengan query
Dzaki Prakoso Wicaksono
"Pasar bersangkutan di dalam hukum persaingan usaha dapat meliputi berbagai macam bentuk menyusul adanya perkembangan pasar yang dinamis. Di Amerika Serikat, salah satu bentuk pendefinisian pasar bersangkutan dapat berupa single-brand aftermarket, yang mana pasar bersangkutan ini hanya mencakup produk lanjutan dari produk merek tertentu. Pasar bersangkutan jenis ini pada mulanya timbul di dalam perkara Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), yang mana hakim di dalam perkara tersebut mendefinisikan pasar bersangkutan hanya berupa servis dan suku cadang dari mesin fotokopi dan micrographic Kodak. Dalam perkembangannya, penentuan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan disempurnakan oleh hakim di dalam perkara Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008), yang mana perkara ini mengeluarkan suatu pertimbangan khusus untuk menentukan aftermarket sebagai pasar bersangkutan yang dikenal dengan Newcal factors. Adapun di Indonesia, pengaturan hukum persaingan usaha tidak meliputi secara spesifik terkait dengan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan, sebagaimana dicakup di dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana single-brand aftermarket diterapkan sebagai pasar bersangkutan di dalam penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat, sekaligus membahas bagaimana ia diterapkan di dalam kasus aktual dan bagaimana single-brand aftermarket diadaptasikan ke dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.
Relevant market definition in the context of antitrust law may consist various forms, following the dynamic of the market development. In the United States, relevant market may also be defined to consist single-brand aftermarket products, in which it encapsulates only the aftermarket products of specific brands. This type of relevant market first invented in Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), where the judges defined and limited the relevant market in that case to contain services and spare parts of Kodak’s photocopiers and micrographics. Considerations on defining single-brand aftermarket as relevant market in the subsequent cases developed as judges in Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008) invented several factors in regards of determining aftermarket as relevant market known as Newcal factors. In Indonesia, the laws regarding antitrust enforcement do not specifically include single-brand aftermarket as relevant market, as provided in the antitrust law of the United States. Utilizing normative juridical research method, this writing will attempt to analyze on how single-brand aftermarket is applied as relevant market in the enforcement of antitrust law in the United States. This writing will also discuss on how single-brand aftermarket as relevant market is implemented in actual cases and how it is adapted to antitrust law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nur Ana Wijayanti
"Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartel yang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak hukum persaingan usaha. Sedangkan negara lain seperti Amerika Serikat telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Amerika Serikat yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan circumstantial evidence, penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha.
The handling of cartel case is part of the enforcement of competition law. In Indonesia, the handling of cartel cases which is conducted by the KPPU has several problems, especially in connection with the difficulty of proving of cartel and the authority of the KPPU as a competition law enforcement agency. Whereas, other countries such as the United States has had the handling of cartel cases better. Therefore, this research will discuss the comparison of the handling of cartel case in Indonesia and the United States. Through this comparison, the authors explain several things from the handling of cartel case in United States that can be applied in Indonesia, among others, the use of circumstantial evidence, the application of leniency programs, and the authority of competition law enforcement agencies to do forceful measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57129
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Winona Devina
"Skripsi ini menganalisis fakta terkait posisi dominan yang ditimbulkan dari akuisisi Tokopedia oleh Tiktok menurut Hukum Persaingan Usaha di Indonesia serta akibat hukum terhadap posisi dominan dalam big data yang dimiliki Tiktok dalam pasar e-commerce menurut Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, di mana data yang digunakan berasal perundang-undangan, artikel-artikel, beserta buku-buku. Pada faktanya, Tokopedia dan TikTok Shop tidak memenuhi kriteria batasan penguasaan pangsa pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga dugaan penyalahgunaan posisi dominan tidak terbukti. Namun, TikTok diketahui menguasai penetrasi media sosial di Indonesia sebesar 73% yang menunjukkan bahwa TikTok mempunyai posisi dominan dalam pangsa pasar media sosial di Indonesia, walaupun tidak di dalam pangsa pasar e-commerce. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan interaksi data dari media sosial TikTok dengan Tokopedia yang berada di bawah kendali TikTok. Interaksi ini dapat berakibat pada potensi penyalahgunaan dan penguasaan big data, di mana big data tersebut berkaitan erat dengan konsep fasilitas esensial (essential facility). Oleh sebab itu, TikTok memiliki potensi untuk memonopoli pasar dengan memanfaatkan fasilitas esensial berupa big data konsumen Indonesia yang dimilikinya. Agar hukum persaingan usaha yang diimplementasikan dapat relevan dengan teknologi yang semakin berkembang seiring berjalannya waktu, KPPU perlu mempertimbangkan pemanfaatan big data dalam menentukan posisi dominan sehingga persaingan usaha yang tidak sehat dapat dicegah.
This thesis analyzes the facts related to the dominant position that resulted from the acquisition of Tokopedia by Tiktok according to Antitrust Law in Indonesia and the legal consequences of the dominant position in big data owned by Tiktok in the e-commerce market according to Antitrust Law in Indonesia. This thesis is prepared using a normative juridical research method, where the collected data comes from existing laws, articles, and books. In fact, Tokopedia and TikTok Shop do not meet the criteria for market share control limits defined by Article 25 paragraph (2) of Law Number 5 Year 1999 and therefore the presumption of abuse of dominant position is not proven. However, TikTok is known to control social media penetration in Indonesia by 73%, which shows that TikTok has a dominant position in the social media market share in Indonesia, although not in the e-commerce market share. This can be associated with the data interaction from TikTok's social media with Tokopedia, which is under TikTok's control. This interaction may lead to the potential of misuse and control of big data, where big data is closely related to the concept of essential facility. As a result, TikTok has the potential to monopolize the market by exploiting the essential facility of Indonesian consumers' big data. In order to make the implemented antitrust law relevant to the developing technology over time, KPPU needs to consider the utilization of big data in determining the dominant position thus unfair business competition can be prevented."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Varial Ashari
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan penerapan dan pengaturan merger vertikal di Amerika Serikat dan ketentuan-ketentuan yang ada di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan pengaturan mengenai merger vertikal di Indonesia dan di Amerika Serikat. Perbedaan tersebut dapat kita temukan dari larangan yang diatur oleh Amerika Serikat dan Indonesia. Merger vertikal di Amerika Serikat tidak hanya melarang mengenai pengambilalihan atas saham, namun juga pengambilalihan atas aset sedangkan di Indonesia dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya mengatur mengenai pengambilalihan atas saham dan perbedaan lainnya terdapat dalam bagaimana cara FTC dan KPPU melakukan penilain terhadap aktivitas merger vertikal. Di Amerika Serikat FTC akan melakukan penilaian menyeluruh terhadap aktivitas merger vertikal apakah mempengaruhi persaingan potensial yang berbahaya atau tidak dengan salah satu caranya adalah melihat pangsa pasar perusahaan yang terlibat dalam merger memiliki pangsa pasar 5 hal tersebut bertujuan untuk menganalisa apakan hasil dari aktivitas merger vertikal tersebut akan mengeliminasi salah satu perusahaan yang melakukan aktivitas merger vertikal sebagai calon pendatang baru yang potensial untuk dapat masuk ke pasar dan berakibat menimbulkan hambatan masuk di pasar masa depan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pembahasan mendalam mengenai pengaturan pengambilalihan atas aset dan juga penilaian terhadap persaingan potensial yang berbahaya atau tidak, dengan merujuk kepada pengaturan di Negara yang terlebih dahulu menerapkannya, yakni di Amerika Serikat.
This thesis discusses the comparative application and regulations of vertical mergers in the United States and the provisions in Indonesia. This research uses normative juridical research method where the research data is mostly from literature study. The result of this study is that there are different regulations regarding vertical mergers in Indonesia and in the United States. These differences can be found from the restrictions imposed by the United States and Indonesia. The vertical merger in the United States not only prohibits the takeover of shares, but also the takeover of assets while in Indonesia in Law no. 5 of 1999 only regulates the acquisition of stock and other differences in how FTC and KPPU conduct judgments on vertical merger activities. In the United States the FTC will undertake a thorough assessment of the activity of a vertical merger whether it affects dangerous potential competition or not by one way is to see the market share of companies involved in a merger having a 5 market share it aims to analyze whether the results of such vertical merger activity will eliminate one of the companies that engage in vertical merger activity as potential new entrants to enter the market and result in barriers to entry in the future market . It is therefore necessary to have an in depth discussion of the arrangement of asset acquisition and also the assessment of potentially dangerous competition or not. To do that analysis, we can refer to the United States as a country that has already applied the regulation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ni Komang Sekar Rayi Prabhasari
"Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data. Pokok permasalahan adalah bagaimana negara Amerika Serikat memberikan pengaturan mengenai monopoli dan monopolisasi, bagaimana berbagai instrumen hukum dari negara Amerika Serikat dapat diterapkan guna menganalisis dugaan penyalahgunaan posisi monopoli yang dilakukan Google dalam gugatan yang berjudul “United States of America v. Google LLC (Google)”, serta bagaimana instrumen usaha Indonesia menindaklanjuti tindakan yang dilakukan oleh Google seandainya kasus serupa terjadi dalam ranah persaingan usaha Indonesia. Hasil penelitian mendatangkan kesimpulan bahwa monopoli dalam hukum Amerika Serikat bukanlah suatu hal yang dilarang. Pelanggaran hukum persaingan usaha Amerika Serikat terjadi ketika pelaku usaha melakukan praktek monopoli, suatu bentuk penyalahgunaan posisi monopoli yang dimiliki pelaku usaha dengan terpenuhinya dua syarat yang terkandung dalam yurisprudensi. Kesimpulan lainnya yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah dalam hal penggunaan hukum Amerika Serikat dan Indonesia dalam menganalisis tindakan Google, ditemukan bahwa Google telah terbukti melakukan monopolisasi (praktek monopoli). Titik perbedaan dari penggunaan hukum kedua negara ini adalah bahwa instrumen hukum Amerika Serikat menilai Google melakukan monopolisasi hanya dalam pasar mesin pencarian, sedangkan instrumen hukum Indonesia menilai Google melakukan praktek monopoli dalam pasar mesin pencarian dan iklan pencarian. Adapun dalam penganalisisan dugaan monopolisasi, instrumen hukum Amerika Serikat perlu untuk segera menyepakati mengenai definisi dan kriteria exclusionary conduct. Sedangkan untuk negara Indonesia, dianggap perlu untuk KPPU memberikan edukasi mengenai monopoli dan praktek monopoli, untuk menambah wawasan masyarakat Indonesia serta mengurangi anggapan bahwa monopoli adalah suatu hal yang secara inheren dilarang oleh hukum Indonesia.
Research metodology used in this thesis is literary research with secondary data as the main source of data. The core problems of this thesis revolve around how United States of America regulates monopoly and monopolization, also the implementation of both United States’ and Indonesia’s anti-trust law in analyzing Google’s suspected monopolization as stated in “United States of America v. Google LLC (Google)” legal complaint. Research concludes that United States’ law condemns not monopoly but monopolization, a conduct in which a firm abuse its monopoly position and have met the two requirements as stated in jurisprudence. Research also concludes that both the implementation of United States’ and Indonesia’s anti-trust law in analyzing Google’s conduct have deemed Google for violating the law. The main difference between the implementation of the law from both countries lies upon the proven monopolization in relevant market. According to United States’ anti-trust law, Google conducted monopolization in only the market of search engine whilst according to Indonesia’s anti-trust law, Google has conducted monopolization in the market of both search engine and search advertising. In analyzing the allegation of monopolization, both countries have not yet fully created legal certainty. It is recommended for United States’ anti-trust law to define exclusionary conduct, and for Indonesia’s authority (KPPU) to educate the citizens of Indonesia about monopoly and monopolization, in order to expand the knowledge of Indonesians and removing the perception that monopoly is inherently prohibited by Indonesia law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Astrella Maryadi Putri
"Tindakan anti persaingan usaha seringkali menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak, seperti konsumen atau pesaing usaha. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya hak atas ganti kerugian. Namun, di Indonesia belum banyak pihak yang menyadari bahwa dalam hukum persaingan usaha terdapat mekanisme private enforcement untuk memperoleh ganti rugi, serta belum ada ketentuan yang mendorong penggunaan private enforcement. Hal tersebut sangat disayangkan karena di Amerika Serikat mekanisme private enforcement menjadi alat untuk perolehan ganti rugi yang paling populer dengan berbagai keuntungan serta kemudahan yang ditawarkan. Di sisi lain, Uni Eropa yang juga memberlakukan ketentuan perihal private enforcement ditemukan banyak kendala dan hambatan dalam penerapannya, sehingga penggunaan public enforcement tetap menjadi pemain utama dalam penerapan hukum persaingan usaha. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif terhadap penerapan mekanisme private enforcement dalam hukum penegakan usaha di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ketentuan serta penerapan di Amerika Serikat akan dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penerapan private enforcement di Indonesia.
Several antitrust infringements will harm several parties, for example consumers or competitors. It will consequently give the rights to get compensation. However, only a few people who aware of this rights and also there is no supportive regulations for individual to do these private actions. This is unfortunate because United States of America USA has private enforcement mechanism, which is really popular in order to obtain competitions. USA also gives many advantages and convenience through this mechanism. On the other hand, European Union EU has also imposed the provision on private enforcement. In comparison of implementation in USA and EU, EU has several obstacles. Therefore, public enforcement still takes major parts in enforce EU antitrust law. This research is a normative and legal research with the using of qualitative analysis of regulations and applications of private enforcement in both jurisdictions. In the end, it will be references in the application of private enforcement in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bobby Rahdyan Andhika Notokoesoemo
"Skripsi ini membahas mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling terkait dengan aspek-aspek hukum persaingan usaha. Kondisi semakin banyaknya teknologi yang diberikan Paten dan dimiliki oleh banyak Pemegang Paten, berpotensi menyulitkan banyak pihak untuk mengembangkan teknologi baru karena terhalang oleh Paten-Paten lain yang saling menghambat (blocking). Perjanjian Lisensi Patent Pooling merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut karena Perjanjian Lisensi Patent Pooling dapat mengintegrasikan teknologi-teknologi yang saling terkait, mengurangi biaya transaksi, menghilangkan Paten-Paten yang menghambat (blocking), dan mengurangi biaya sengketa di pengadilan. Namun demikian, Perjanjian Lisensi Patent Pooling adalah suatu bentuk perjanjian di antara banyak pihak yang juga berpotensi menjadi bersifat anti persaingan dalam kondisi-kondisi tertentu. Pengaturan mengenai pedoman penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling di Indonesia masih belum diatur secara jelas, lengkap, dan komprehensif di dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009. Karenanya, KPPU perlu membandingkan dan mengadaptasi pengaturan mengenai penilaian terhadap Perjanjian Lisensi Patent Pooling dengan pengaturan di Amerika Serikat.
This thesis discusses the assessment on Patent Pooling License Agreement with respect to the antitrust regulation. The increasing number of patented technologies that is owned by many patent holders could potentially complicate many parties to develop new technology because it can block each other. Patent Pooling License Agreement is one of the solution to overcome the condition because it can integrate technologies interrelated, reduce transaction costs, eliminate blocking patent, and reduce the costs of future disputes in court. However, Patent Pooling License Agreement is a form of agreement among many parties that can also be potentially anti-competitive under certain conditions. Regulations regarding guidelines to assess Patent Pooling License Agreements in Indonesia has yet to be arranged in a clear, complete, and comprehensive state in the KPPU Regulation No. 2 Year 2009. Therefore, KPPU should compare and adapt regulations regarding the assessment of Patent Pooling License Agreement based on regulations in the United States. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57132
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sianipar, Ugani Sri Miquen Tessha
"Penentuan pasar bersangkutan merupakan langkah awal yang krusial dalam menganalisis suatu kegiatan yang terindikasi melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga sudah semestinya pendefinisian pasar bersangkutan di dalam suatu perkara harus tepat dan akurat agar tidak terjadi hasil analisis terhadap pelanggaran persaingan usaha yang keliru. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum persaingan usaha mengatur penetapan pasar bersangkutan dan struktur pasar terhadap kasus penguasaan pasar minyak goreng kemasan pada Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2022. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Adapun bahan-bahan penelitian yang digunakan terdiri dari bahan hukum maupun non hukum yang dilakukan melalui studi dokumen hukum dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian metode penentuan pasar bersangkutan yang dilakukan oleh Majelis Komisi dengan Peraturan Ketua KPPU No. 4 Tahun 2022 serta ketidaksesuaian penafsiran struktur pasar oleh Majelis Komisi berdasarkan data faktual terkait industri minyak goreng yang dilihat melalui teori dasar ekonomi yang digunakan di dalam hukum persaingan usaha. Sehingga saran yang diberikan adalah agar dibentuk produk hukum yang lebih rinci lagi dalam pengaturan terkait metode penentuan pasar bersangkutan dan struktur pasar agar tercapai kepastian hukum bagi para pelaku usaha di Indonesia. Penulis juga memberikan saran agar dalam pemeriksaan perkara persaingan usaha, investigasi yang dilakukan lebih sistematis dan menyeluruh sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran pasar bersangkutan dan struktur pasar dalam proses penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.
The determination of the relevant market is a crucial initial step in analyzing an activity suspected of violating Law No. 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition. Therefore, the definition of the relevant market in a case should be precise and accurate to avoid erroneous analysis of competition law violations. The issue addressed in this research is how competition law regulates the determination of the relevant market and market structure in the case of the dominance of the packaged cooking oil market in Verdict of the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) Number 15/KPPU-I/2022. The legal research method employed is normative juridical with a descriptive analytical research type. The research materials consist of legal and non-legal sources, conducted through the study of legal documents and literature. The results of this research indicate that there is inconsistency in the method of determining the relevant market by the Commission Panel with Chairman of the KPPU Regulation No. 4 of 2022 and a mismatch in the interpretation of market structure by the Commission Panel based on factual data related to the cooking oil industry viewed through the basic economic theories used in competition law. Therefore, the suggestion is to establish more detailed legal provisions regarding the methods of determining the relevant market and market structure to achieve legal certainty for business actors in Indonesia. The author also recommends that in the examination of competition cases, investigations should be conducted more systematically and comprehensively to avoid errors in the interpretation of the relevant market and market structure in the enforcement of competition law in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Higar Alam Indhar Jalu Sakerti
"Salah satu pengaturan di dalam hukum persaingan usaha di Indonesia adalah mengenai perjanjian yang dilarang, dimana pelaku usaha dilarang untuk melakukan perjanjian atau kesepakatan dengan pelaku usaha lain karena dapat menimbulkan distorsi terhadap persaingan di pasar. Dalam praktiknya, karena semakin sulitnya membuktikan adanya perjanjian tertulis, berkembang sebuah bukti tidak langsung atau bukti petunjuk (bukti komunikasi dan/atau bukti ekonomi), untuk membuktikan adanya perjanjian tidak tertulis dalam perkara perjanjian yang dilarang. Di dalam hukum persaingan usaha, dikenal konsep ekonomi price parallelism, yang menggambarkan kondisi penetapan harga di antara pelaku usaha, tetapi tidak didasarkan pada perjanjian atau kolusi secara sadar di antara pelaku usaha, melainkan murni karena keputusan independen para pelaku usaha sehingga tidak melanggar hukum persaingan usaha. Meskipun demikian, adanya price parallelism di antara pelaku usaha tidak menutup kemungkinan adanya perjanjian tidak tertulis di antara pelaku usaha sehingga dapat melanggar ketentuan di dalam perjanjian yang dilarang. Oleh karena itu, konsep price parallelism dapat dijadikan sebagai bukti ekonomi, tetapi terdapat sebab-sebab tertentu yang menentukan keberlakuannya sebagai bukti ekonomi. Fokus utama dalam skripsi ini adalah untuk menganalisis bagaimana hubungan price parallelism dengan hukum persaingan usaha di Indonesia dan keberlakuannya sebagai bukti ekonomi di dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Dengan metode penelitian doktriner yang bersifat deskriptif, didapatkan hasil bahwa untuk menentukan hubungan price parallelism dengan hukum persaingan usaha harus didasarkan pada fakta ada atau tidaknya perjanjian di antara pelaku usaha yang menyebabkan terjadinya price parallelism. Sementara itu, untuk menentukan keberlakuan price parallelism sebagai bukti ekonomi harus didahului dengan analisis tambahan untuk melihat ada atau tidaknya perjanjian di antara pelaku usaha, dan/atau untuk melihat independensi para pelaku usaha yang terlibat dalam price parallelism, dan/atau untuk melihat ada atau tidaknya faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya price parallelism.
Indonesian antitrust law regulates the provisions of prohibited agreements, where companies are prohibited from entering into agreement or arrangements with other companies as it may cause distortions to the competitive market. As it becomes increasingly difficult to prove the existence of a written agreement, indirect evidence or circumstantial evidence (communication evidence and/or economic evidence) is being used to evidence the unwritten agreement in the case of prohibited agreements. In antitrust law, it is known the economic concept of price parallelism, depicting the condition of price fixing among companies, without the existence of conscious agreement or collusion, rather an independent decision of each companies, thus not violating the antitrust law. The existence of price parallelism, however, may not rule out the involvement of unwritten agreements among companies, leading to violations of the provisions of prohibited agreements. Consequently, price parallelism can be used as an economic evidence, but there are certain causes which determine its validity as an economic evidence. In this thesis, the primary focus is to analyze the relevance of price parallelism to the Indonesian antitrust law and its validity as economic evidence in the Indonesian antitrust law. Using the method of descriptive doctrinaire research, the results show that in determining the relevance of price parallelism to the Indonesian antitrust law is dependent on whether or not there were agreements among companies that led to price parallelism. Meanwhile, to ensure the validity of price parallelism as economic evidence must be preceded with factor-plus analysis to determine whether or not there were agreements among companies, and/or to determine the independence of each companies involved in price parallelism, and/or to determine whether or not there were other factors that could cause price parallelism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yohanes Adventinus Hamboer
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan technological tying di dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dengan melakukan studi terhadap putusan Leasco Response Inc. 1976 , Foremost Pro Color Inc. 1983 , dan Microsoft Corporation 2001 . Rumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimana technological tying dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tidak bertetangan dengan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat, bagaimana perbedaan dari technological tying dengan tying arrangement berdasarkan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat, dan bagaimana penerapan hukum persaingan usaha terkait technological tying di Amerika Serikat. Skripsi ini disusun dengan metode penulisan Yuridis Normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Technological Tying bukan seperti konsep Tying Arrangement yang memaksa konsumen membeli tied product, sehingga tidak pantas menggunakan pendekatan Per Se Illegal melainkan menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dengan demikian, harus ada pertimbangan dan pemeriksaan lebih lanjut dari Hakim Pengadilan untuk membuktikan apakah memang ada pelanggaran antitrust law.
This thesis discusses the application of technological tying in antitrust law in the United States of America by analyzing the verdict of Leasco Response Inc. 1976 , Foremost Pro Color Inc. 1983 , and Microsoft Corporation 2001 . The formulation of the issues to be discussed is how the concept of technological tying is seen as something that is not against the antitrust law in the United States of America, what is the difference between technological tying and tying arrangement according to the antitrust law in the United States of America, and how is technological tying applied according to the antitrust law in the United States of America. This thesis is prepared by normative legal writing method. The results conclude that technological tying is not the same concept like tying arrangement that forced consumers to also buy tied product either tying product, so it is not appropriate to using Per Se Test but it should to using Rule of Reason Test. Therefore, it must be more consideration and investigation furthermore by Judges to prove if there is a violation in antitrust law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69974
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library