Ditemukan 215602 dokumen yang sesuai dengan query
Farisa Alifah
"Kemajuan teknologi dalam sistem pembayaran hamper menggantikan peranan uang tunai (currency) sebagai alat pembayaran ke dalam bentuk pembayaran non-tunai yang yang lebih efisien dan ekonomis. Sistem pembayaran non-tunai atau digital merupakan sebuah bentuk sistem atau mekanisme pembayaran yang diselenggarakan secara online melalui internet dengan tujuan transaksi pembelian suatu produk oleh konsumen. Sehubungan dengan semakin tingginya penggunaan non-tunai atau uang elektronik di Indonesia, Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai pengaturan (regulasi) terkait penggunaan teknologi informasi dalam melakukan e-payment, khususnya yang mengenai penggunaan kode digital berupa QR Code. Di bulan Mei tahun 2019, Bank Indonesia (BI) akhirnya menerbitkan suatu aturan standardisasi QR Code sebagai sistem pembayaran, yaitu QR Code Indonesia Standard (QRIS). Saat ini sistem pembayaran berbasis QR Code, yaitu Alipay dan WeChat Pay, adalah sistem pembayaran nomor satu di China. Indonesia kemudian menjadi salah satu negara yang menjadi sasaran masuknya Alipay dan WeChat Pay. Tidak hanya Alipay dan WeChat Pay, WhatsApp Pay juga direncanakan untuk masuk dan beroperasi di Indonesia mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna WhatsApp paling banyak di dunia. Dalam tesis ini, penulis akan menganalisis peraturan-peraturan hukum dan prosedur-prosedur hukum terbaru saat ini di Indonesia yang harus dipahami dan dilakukan oleh WhatsApp Pay sehingga WhatsApp Pay dapat dengan sukses masuk dan dioperasikan di Indonesia. Penulis juga akan mengaitkan dengan pelanggaran-pelanggaran hukum atas penggunaan WeChat Pay saat awal masuk ke Indonesia sehingga WhatsApp dapat berkaca dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atas penggunaan awal WeChat Pay di Indonesia.
Technological advances in the payment system nearly replaced the role of cash (currency) as a means of payment into a form of non-cash payment that is more efficient and economical. A non-cash or digital payment system is a form of payment system or mechanism that is held online via the internet for the purpose of purchasing a product by consumers. In relation with with the increasing use of non-cash or electronic money in Indonesia, Bank Indonesia has issued various regulations (regulations) related to the use of information technology in conducting e-payments, particularly regarding the use of digital codes in the form of QR Codes. In May 2019, Bank Indonesia (BI) finally issued a standardization rule for QR Code as a payment system, called QR Code Indonesia Standard (QRIS). In the present for QR Code-based payment systems, that is Alipay and WeChat Pay, are the number one payment systems in China. Indonesia then became one of the targeted countries for Alipay and WeChat Pay. Not only Alipay and WeChat Pay, but WhatsApp Pay is also planned to enter and operate in Indonesia considering that Indonesia is one of the countries with the most WhatsApp users in the world. In this thesis, the author will analyze the latest current legal regulations and legal procedures in Indonesia that WhatsApp Pay must understand and do so that WhatsApp Pay can successfully enter and operate in Indonesia. The author will also relate to the legal violations of the use of WeChat Pay when he first entered Indonesia so that WhatsApp can reflect and not repeat the same mistakes for the initial use of WeChat Pay in Indonesia. In this thesis, the author will analyze the latest legal regulations and legal procedures in Indonesia that must be understood and performed by WhatsApp Pay so that WhatsApp Pay can successfully enter and operate in Indonesia. The author will also relate to the legal violations of the use of WeChat Pay when they first entered Indonesia so that WhatsApp can reflect and not repeat the same mistakes for the initial use of WeChat Pay in Indonesia"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hur, Young Soon
"Penelitian ini membahas tentang perlindungan investor asing dalam hukum penanaman modal di Indonesia dengan perbandingan hukum penanaman modal asing Indonesia dan Korea Selatan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman Modal di Indonesia dan bagaimana perbandingan hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Tujuannya ialah untuk mengetahui tentang bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman Modal di Indonesia dan bagaimana perbandingan hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian ini menemukan bahwa Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 (UUPM) dan Undang-Undang Promosi Penanaman Modal Asing Korea Selatan (UUPPMA) mempunyai persamaan sebagai peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap investor asing serta untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap kemakmuran rakyat. Yang membedakan diantara keduanya adalah bahwa UUPPMA mengatur mengenai ketentuan pidana sementara UUPM tidak mengaturnya. Selain pelayanan dan proses pendaftaran yang berbeda. Pada akhirnya semua menuju kepada satu tujuan untuk kemakmuran bersama rakyatnya.
This research examined about foreign investment in Indonesia and comparative study of foreign investment law of Indonesia and South Korea. The main issues in this research is how the protection of foreign investors in the investment law of Indonesia and South Korea. The main purpose of this research is to find out the protection of foreign investors in the investment law of Indonesia and South Korea. The research method used in this research is normative law research.This research found that the investment law in Indonesia and South Korea has the equation as the legislation made by the government to provide legal protection for foreign investors as well as to provide maximum benefit to the public welfare. The differences between Investment Law in Indonesia and South Korea are criminal provisions, the services and the registration process. In South Korea criminal provisions governing by the Investment Law while in Indonesia not set it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30726
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Talitha Azka Ramadhania
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep grandfather clause sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Perpres DNI 2016 . Pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana penerapan grandfather clause terhadap penanaman modal yang telah disetujui sebelum Perpres DNI 2016 disahkan, khususnya pada bidang usaha jasa konstruksi. Tujuannya ialah untuk menjelaskan dan menganalisis mengenai keberlakuan konsep grandfather clause sebagai bentuk perlindungan terhadap investor asing dan dampak dari diberlakukannya grandfather clause tersebut pada penanaman modal yang bidang usahanya diatur lebih lanjut terkait syarat dan kriterianya. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian yuridis normatif. Melalui penelitian ini diketahui bahwa pengaturan grandfather clause pada Perpres DNI 2016 merupakan bentuk perlindungan yang dapat menjamin suatu kepastian hukum. Pada bidang usaha jasa konstruksi, grandfather clause dapat diberlakukan walaupun pada Perpres DNI 2016 terdapat perubahan ketentuan mengenai bidang usaha jasa konstruksi yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi UMKMK . Permasalahan muncul ketika Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi yang akan segera diberlakukan menjadi Undang-Undang, mengatur secara spesifik mengenai kualifikasi usaha yang harus dilaksanakan oleh Perusahaan PMA yang bergerak dalam bidang usaha jasa konstruski. Dalam keadaan yang demikian, grandfather clause menjadi tidak dapat diberlakukan untuk melindungi Perusahaan PMA dari kewajiban untuk mengikuti ketentuan tersebut.
This thesis analyzes the application of grandfather clause as regulated in Article 13 of Presidential Decree 44 2016 corncerning Negative Investment List NIL 2016 . The main issue researched is how the concept of grandfather clause applies to existing investments, specifically in construction services sector. The main purpose of this research is to explain and analyze the enforceability of the grandfather clause as a protection toward foreign investors and the impacts of the enforceability itself on business sectors which are being required to meet certain conditions and criterias. The research method used in this thesis is normative legal research. This research found that grandfather clause is a means of protection that could ensure legal certainty for investment. In construction services sector, grandfather clause could be applied toward existing investments, even though there is a change of provision in the NIL 2016 regarding the areas of business which are required to be in a form of micro, small, and medium enterprises, or union. The problem arrises when the draft of the Construction Services Law that shortly would be enacted as a Law, specifically regulates the qualification which should be conducted by Foreign Direct Investment Company in construction services sector. In that case, grandfather clause could not be applied to protect the existing investments from the responsibility to follow the new requirements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66636
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Indramayu
"Dalam Securities Crowdfunding (SCF) yang merupakan pengembangan Equity Crowdfunding, perusahaan yang dapat menjadi Penerbit tidak hanya badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas, perusahaan partnership juga dapat menjadi Penerbit efek bersifat utang atau sukuk. Pemodal yang membeli efek pada perusahaan partnership memiliki risiko kerugian yang besar karena perusahaan partnership bukan badan hukum dan umumnya perusahaan pemula yang belum tentu memiliki pengelolaan yang baik. Penelitian ini mengkaji jaminan perlindungan hukum bagi Pemodal perusahaan partnership yang diatur dalam POJK 57/2020 dan perjanjian-perjanjian dalam penyelenggaraan SCF. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data-data sekunder yang diolah secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan: Pertama, POJK 57/2020 memberikan perlindungan hukum dengan cara adanya syarat kualifikasi bagi pihak-pihak dalam SCF, batasan pembelian dan pengumpulan dana, kewajiban mengungkapkan fakta material, jatuh tempo buyback, penggunaan escrow account, pencatatan Efek kepada bank kustodian, serta pemantauan usaha dan kewajiban bayar oleh Penyelenggara. Namun, perlindungan hukum bagi Pemodal masih belum komprehensif karena masih menimbulkan masalah seperti pengawasan penyelenggaraan SCF yang belum optimal, kurang lengkapnya pengungkapan fakta material terkait aspek hukum dalam perusahaan partnership dan pengaturan SCF masih lemah karena hanya berbentuk POJK. Kedua, terdapat perjanjian penyelenggaraan SCF yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti adanya perjanjian penyelenggaraan SCF yang menggunakan dasar hukum POJK 37/2018 yang sudah tidak berlaku, adanya klausul baku yang dilarang yaitu klausul pengalihan tanggungjawab dan klausul tunduknya pemodal kepada aturan baru atau perubahan yang dibuat sepihak oleh Penyelenggara SCF, serta beberapa perjanjian SCF tidak memuat klausul pemberian kuasa dari Pemodal efek bersifat utang atau Sukuk dengan Penyelenggara.
n Securities Crowdfunding (SCF), which is the development of Equity Crowdfunding, companies that can become issuers are not only business entities in the form of limited liability companies, partnership companies can also be issuers of debt securities or sukuk. Investors who buy securities in partnership companies have a large risk of loss because partnership companies are not legal entities and generally start-up companies do not necessarily have good management. This study examines the guarantee of legal protection for investors in partnership companies as regulated in POJK 57/2020 and agreements in the implementation of SCF. This study uses a normative juridical research method using secondary data that is processed qualitatively. The results of the study show: First, POJK 57/2020 provides legal protection by means of qualification requirements for parties in SCF, limits on purchasing and collecting funds, obligations to disclose material facts, maturity of buybacks, use of escrow accounts, recording of securities to custodian banks, and monitoring of business and payment obligations by the broker. However, legal protection for investors is still not comprehensive because it still causes problems such as the supervision of the SCF implementation that is not optimal, the incomplete disclosure of material facts related to legal aspects in partnership companies and the SCF regulation is still weak because it is only in the form of POJK. Second, there are SCF implementation agreements that are not in accordance with applicable regulations, such as the existence of an SCF implementation agreement that uses the legal basis of POJK 37/2018 which is no longer valid, the existence of a prohibited standard clause, namely a transfer of responsibility clause and a clause that investors submit to new rules or changes. unilaterally made by the SCF broker, as well as several SCF agreements that do not contain a clause on granting power of attorney from debt securities or Sukuk Investors to the broker."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dante Deva Daniswara
"Munculnya fenomena perkembangan Peer-to-Peer Lending yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan inovasi teknologi di sektor keuangan yang membutuhkan rezim pengaturan yang dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap para pemangku kepentingan di industri tersebut. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kelebihan dan kekurangan rezim pengaturan Peer-to-Peer Lending di Indonesia dengan cara membandingkannya dengan rezim pengaturan di Korea Selatan. OJK sebagai pemegang kekuasaan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung hukum penyelenggaraan Peer-to-Peer Lending di Indonesia. Investor sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam industri tersebut tentu membutuhkan adanya perlindungan hukum untuk menjamin kepentingannya. Substansi dari peraturan yang telah diterbitkan OJK menjadi bahan kajian utama dalam tulisan ini. Korea Selatan menjadi negara pembanding karena memiliki peraturan khusus di tingkat undang-undang yang mengatur mengenai Peer-to-Peer Lending. Perbedaan pendekatan masing-masing negara dalam mengatur industri Peer-to-Peer Lending tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum ekonomi yang dianut di masing-masing negara. Dengan demikian, tiap-tiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam pengaturannya itu. Penelitian ini memberi saran untuk pihak pembuat regulasi di Indonesia agar dapat meneladani dan mencontoh langkah negara lain yang lebih memperkuat perlindungan investor.
The emergence of Peer-to-Peer Lending as a phenomenon and a clear sign of development which is the result of rapid progress in the field of information and communication technology is a technological innovation in the financial sector that requires a regulatory regime that can guarantee legal certainty and fulfill a sense of justice for stakeholders in the industry. This thesis aims to examine the advantages and disadvantages of the Peer-to-Peer Lending regulatory regime in Indonesia by comparing it with the regulatory regime in South Korea. OJK as the holder of regulatory and supervisory powers in the financial services sector has issued POJK No. 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services as a legal umbrella for Peer-to-Peer Lending in Indonesia. Investors as one of the stakeholders in the industry certainly need legal protection to guarantee their interests. The substance of the regulations issued by OJK is the main study material in this paper. South Korea is the country of comparison because it has special regulations at the level of laws governing Peer-to-Peer Lending. Differences in the approach of each country in regulating the Peer-to-Peer Lending industry cannot be separated from the economic legal politics adopted in each country. Thus, each country has its own advantages and disadvantages in this arrangement. This research provides suggestions for regulators in Indonesia to emulate and copy the steps of other countries to further strengthen investor protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Clarissa Frederika
"Expropriation merupakan tindakan pengambilalihan aset atau properti milik investor asing oleh pemerintah untuk alasan kepentingan umum. Namun, pengambilalihan yang dapat dilakukan oleh pemerintah tidak hanya yang secara fisik atau kasat mata terlihat secara nyata. Berdasarkan perkembangannya, pemerintah dapat melakukan expropriation secara sembunyi-sembunyi melalui indirect expropriation. Selain itu, perlindungan terhadap investor asing ini semakin diperluas dengan adanya perlindungan terhadap tindakan setara expropriation. Kasus-kasus yang ada menunjukkan bahwa tindakan pemerintah harus menimbulkan kerugian substansial bagi investor asing apabila hendak dikualifikasi sebaga tindakan setara expropriation.
Expropriation is the taking of foreign assets or property for the sake of the public interest. Such taking may involve not only direct or outright taking. Nowadays, we may find governments disguising the taking of foreign property, thus constituting indirect expropriation. Furthermore, foreign investors are now more protected than before with the existence of protection towards measures tantamount or equivalent to expropriation. The established cases demonstrate that governmental measures must constitute substantial deprivation suffered by foreign investors to be considered as measures tantamount to expropriation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65362
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Walangitang, Alicia Valda Veyfra
"Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan bagi Investor terkait Investasi Ilegal dan bagaimanakah peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan perlindungan hukum bagi investor terkait praktik investasi ilegal melalui disgorgement dan disgorgement fund dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative yang kemudian dapat disimpulkan bahwa: 1. Otoritas Jasa Keuangan menyediakan perlindungan hukum secara preventif yaitu dengan dengan memberikan edukasi kepada calon investor, mewajibkan izin bagi perusahaan investasi, dan membentuk Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana dan Pengelolaan Investasi atau yang lebih dikenal dengan Satgas Waspada Investasi dan perlindungan hukum represif yaitu dengan menyediakan layanan pengaduan nasabah, melakukan pencabutan izin usaha pada perusahaan yang melakukan pelanggaran, pengajuan gugatan ke Pengadilan dan membentuk Dana Perlindungan Pemodal oleh Indonesia Securities Investor Protection Fund (SIPF) serta yang terbaru adalah mengeluarkan ketentuan Disgorgement dan Disgorgement Fund. 2. Disgorgement dan disgorgement fund adalah ketentuan untuk pengembalian dana kerugian yang wajib dibayarkan oleh pelaku kepada korban yang dirugikan agar pelaku tidak dapat memakai atau menikmati uang atau dana yang didapatkan secara melawan hukum atau illegal di mana OJK berperan sebagai pengawas yang dimana seluruh kegiatan disgorgement dan disgorgement fund sebagai upaya perlindungan bagi investor atas kerugian akibat adanya bentuk pelanggaran hukum dalam investasi, khususnya terkait investasi ilegal melalui pengembalian dana yang diderita oleh investor di pasar modal.
This research discusses the protection provided by the Financial Services Authority to investors regarding illegal investments and to determine the role of the Financial Services Authority in providing legal protection for investors involved in illegal investment practices through disgorgement and disgorgement funds using a juridical normative research method, which can then lead to the conclusion that: 1. The Financial Services Authority provides preventive legal protection by educating potential investors, mandating licenses for investment companies, and forming a Task Force for Handling Allegations of Unlawful Actions in Fundraising and Investment Management. They also offer repressive legal protection by providing customer complaint services, revoking business licenses for companies that commit violations, filing lawsuits in court, establishing the Investor Protection Fund through the Indonesia SIPF, and regulations on Disgorgement and Disgorgement Funds. 2. Disgorgement and disgorgement fund are provisions for the mandatory return of loss funds to be paid by wrongdoers to victims who have suffered damage, preventing wrongdoers from using or enjoying money obtained unlawfully. OJK acts as a supervisor where all disgorgement and disgorgement fund activities serve as efforts to protect investors against losses resulting from legal violations by returning funds to the affected investors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizka Chairunnisa
"Perlindungan lingkungan hidup memerlukan pendanaan yang memadai yang salah satunya diperoleh dari Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan/EBUBL (Green Bond) yang saat ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Namun demikian, ketiadaan standar untuk menentukan kelayakan proyek penerima Green Bond mendorong terjadinya praktik greenwashing, yaitu promosi ramah lingkungan yang menyesatkan dan tidak didasari oleh upaya yang substantif untuk mewujudkan klaim ramah lingkungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana perlindungan hukum bagi investor EBUBL dari risiko praktik greenwashing. Menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini menemukan bahwa dugaan praktik greenwashing yang terjadi dalam pasar Green Bond umumnya meliputi dua jenis, yaitu sin of lesser of two evils serta decoupling behavior, dan didorong oleh ketiadaan standar untuk menentukan kelayakan proyek penerima Green Bond. Praktik greenwashing dalam pasar Green Bond menimbulkan berbagai akibat bagi para pemangku kepentingan, mulai dari investor, penerbit/Emiten, pemerintah, hingga masyarakat serta berdampak bagi lingkungan itu sendiri. Perlindungan hukum bagi investor EBUBL meliputi dua jenis, yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif utamanya meliputi perlindungan yang terkandung dalam syarat-syarat penerbitan EBUBL, sementara perlindungan hukum represif utamanya meliputi pengenaan sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang terkait, serta terkandung dalam POJK Nomor 60/POJK.04/2017.
Environmental protection requires adequate funding, one of which is obtained from Environmentally Sound Debt Securities/Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond) which is currently regulated in Financial Services Authority Regulation (FSAR/POJK) Number 60/POJK.04/2017 concerning Issuance and Requirements for Environmentally Sound Debt Securities (Green Bond). However, the absence of standards to determine the eligibility of Green Bond recipient projects encourages the practice of greenwashing, which is a misleading promotion of environmental friendliness and is not based on substantive efforts to realize these green claims. This research aims to find out how legal protection for Green Bond investors from the risk of greenwashing practices. Using the juridical-normative method, this study found that the alleged greenwashing practices that occur in the Green Bond market generally include two types, namely the sin of lesser of two evils and decoupling behavior, and are driven by the absence of standards to determine the eligibility of Green Bond recipient projects. Greenwashing in the Green Bond market has various consequences for its stakeholders, ranging from investors, issuers, governments, to the community and has an impact on the environment itself.Legal protection for Green Bond investors includes two types, namely preventive and repressive. Preventive legal protection mainly includes the protection contained in the terms of issuance of Green Bond, while repressive legal protection mainly includes the imposition of sanctions contained in the relevant Law, as well as contained in POJK Number 60/POJK.04/2017."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dwi Armaya
"Penelitian ini menguji secara empiris pengaruh transaksi investor asing (
Foreign Net Buy (Sell))terhadap tingkat
underpricing(
initial return) saham IPO pada emiten BUMN, Anak BUMN, dan Non-BUMN (swasta). Penelitian dilakukan pada 119data
sampleyang terdiri dari 4 sample saham BUMN, 3 Anak BUMN, dan 112Non-BUMN (swasta). Selain transaksi investor asing pada vaiabel bebas ditambahkan juga ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol untuk analisa regresinya. Analisa dilakukan dengan melakukan regresi data panel. Hasil penelitian adalah (1) Transaksi investor asing berpengaruh terhadap
underpricingkecuali pada emiten BUMN(2) Adanya pengaruh ukuran perusahaan terhadap
underpricinghanya ditemukan pada emiten Anak BUMN.
This research empirically examines the influence of foreign investor (Net Buy (Sell) ) and size of company (Assets) on IPO’s stock underpricing for State Owned Enterprise (SOE), SOE Affiliates Company, and Non-SOE. The study was conducted on 119 data samples consisting of 4 samples in the SOE company, 3 samples in the SOE Affiliates Company, and 112 samples in the Non-SOE. The researcher also add a size of company as a control variable for the regression analysis. The analysis is carried out by conducting data panel regression. The results of the research are (1) The influence of foreign investors on underpricing is found except on the SOE (2) The influence of size of company on underpricing is found only on SOE Affiliates Company."
2019
T54635
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Abdul Hakim
"Provinsi Aceh adalah wilayah dengan otonomi khusus. Sesuai dengan aturan yang bersifat khusus yaitu Qanun Kehutanan Aceh, Pemerintah Aceh menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT Kamirzu. Namun, Pemerintah Aceh mendapat gugatan dari WALHI atas IPPKH yang telah dikeluarkan. Majelis Hakim akhirnya mengabulkan seluruh gugatan sehingga IPPKH yang diterbitkan Pemerintah Aceh harus dicabut. Majelis Hakim tidak mendasari putusannya pada Qanun Aceh selaku aturan khusus yang berlaku di Aceh, melainkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penelitian ini hendak menjelaskan bahwa Peraturan Menteri tidak sesuai dengan Qanun Aceh dan putusan hakim tidak sesuai dengan peraturan penanam modal pada sektor kehutanan. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menjawab permasalahan dengan metode penelitian kualitatif yaitu meninjau peraturan perundang-undangan dan melibatkan studi literatur maupun wawancara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sehingga Peraturan Menteri tidak dapat diterapkan dalam mengatur kewenangan Pemerintah Aceh. Pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Kamirzu oleh PTUN Banda Aceh menyalahi aturan penanaman modal dan aturan khusus yang berlaku di Aceh. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2018 adalah aturan yang mengatur penanaman modal asing, bukan peraturan pusat karena Aceh adalah wilayah otonomi khusus. Hal ini selaras dengan asas lex specialis derogate legi generali. Dengan demikian, Putusan Majelis Hakim mengabaikan kewenangan khusus Aceh. Pemerintah Aceh harus menegaskan bahwa Peraturan Pusat tidak bisa membatalkan Qanun Aceh. Dalam rangka menjaga kepastian hukum, pemerintah pusat harus menerima otonomi khusus Aceh.
Aceh province is a region with special autonomy. In accordance with specific rules, namely the Aceh Forestry Qanun, the Government of Aceh issued a Borrow-to-Use Forest Area Permit (IPPKH) for PT Kamirzu. However, the Government of Aceh received a lawsuit from WALHI over the IPPKH that had been issued. The Panel of Judges finally granted the entire lawsuit so that the IPPKH issued by the Government of Aceh had to be revoked. The Panel of Judges did not base their decision on the Aceh Qanun as a special rule that applies in Aceh, but rather the Regulation of the Minister of Environment and Forestry. This research wants to explain that Ministerial Regulations are not in accordance with the Aceh Qanun and judges' decisions are not in accordance with investment regulations in the forestry sector. Thus, this study seeks to answer the problem with qualitative research methods, namely reviewing laws and regulations and involving literature studies and interviews. The results of the study stated that the Aceh Qanun Number 7 of 2016 concerning Forestry was not in accordance with the Minister of Environment and Forestry Regulation so that the Ministerial Regulation could not be applied in regulating the authority of the Government of Aceh. The revocation of PT Kamirzu's Borrow-to-Use Forest Area Permit (IPPKH) by PTUN Banda Aceh violates investment regulations and special regulations that apply in Aceh. Aceh Qanun Number 5 of 2018 is a rule that regulates foreign investment, not a central regulation because Aceh is a special autonomous region. This is in line with the principle of ex specialis derogate legi generali. Thus, the Panel of Judges' Decision ignores Aceh's special authority. The Aceh government must emphasize that the Central Regulation cannot cancel the Aceh Qanun. In order to maintain legal certainty, the central government must accept Aceh's special autonomy."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library