Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169738 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sayyid Abdil Hakam Perkasa
"Pengantar
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) diyakini berperan dalam infiltrasi meningioma ke tulang yang mengakibatkan hiperostosis. Studi prospektif ini diharapkan dapat mempelajari biomarker tersebut dan hubungannya dengan sifat infiltratif meningioma.
Metode
Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan pengambilan sampel tumor bersama dengan tulang yang berdekatan melalui operasi. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dilakukan untuk mengidentifikasi infiltrasi tumor ke calvaria dari spesimen tulang yang berdekatan. Uji imunohistokimia (IHK) sampel tumor dilakukan untuk menentukan intensitas MMP-9, yang diklasifikasikan menjadi empat kategori: negatif, lemah, sedang, dan kuat.
Hasil
Tiga puluh kasus meningioma menjalani kraniotomi pengangkatan tumor. Terdapat 18 (60%) sampel dengan hiperostosis, dan 17 (94,4%) diantaranya menginfiltrasi tengkorak. Tidak ada sampel dengan pewarnaan IHK negatif. Enam belas (59,26%) sampel tumor memiliki intensitas ekspresi MMP-9 sedang, ekspresi lemah ditemukan pada tiga sampel (11,11%), sedangkan intensitas kuat ditemukan pada delapan kasus (29,63%). Hasil kami menunjukkan hubungan yang signifikan antara infiltrasi tumor ke tulang dengan hiperostosis, tetapi intensitas MMP-9 tidak berkorelasi signifikan dengan hiperostosis dan infiltrasi tumor.
Kesimpulan
Sebagai salah satu enzim proteolitik, kami menemukan bahwa MMP-9 bukanlah faktor yang signifikan untuk infiltrasi meningioma ke tulang.

Introduction
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is believed to play a role in meningioma infiltration to the bone that results in hyperostosis. This prospective study is expected to learn about the biomarker and its relationship with the infiltrative nature of meningiomas
Method
A prospective analysis was conducted to retrieve meningioma samples along with adjacent bone through surgery. Hematoxylin and eosin staining was performed to identify tumoral infiltration to the calvaria from adjacent bone specimens. Immunohistochemical (IHC) tests of tumor samples were conducted to determine MMP-9 intensity, classified into four categories: negative, weak, moderate, and strong
Results
Thirty meningioma cases underwent craniotomy tumor removal. There were 18 (60%) samples with hyperostosis, and 17 (94.4%) of them infiltrated the skull. There was no sample with negative IHC staining. Sixteen (59.26%) tumor samples had moderate intensity expression of MMP-9, weak expression was found in three (11.11%) samples, while strong intensity was found in eight (29.63%) cases. Our result showed a significant relationship between tumor infiltration to the adjacent bone with hyperostosis, but the intensity of MMP-9 was not significantly correlated with hyperostosis and tumor infiltration.
Conclusion
As one of the proteolytic enzymes, we found that MMP-9 was not a significant factor for meningioma infiltration to the adjacent bone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Auliya
"Latar belakang: Meningioma memiliki kemampuan menyebabkan inflamasi seperti tumor lainnya. Adapun posisi meningioma yang diluar sawar darah otak menyebabkan gambaran inflamasi pada lingkungan mikro tumor lebih tergambarkan pada darah tepi dibandingkan tumor yang berada di intraparenkim. Hal ini dibuktikan dengan tinkat c-reactive protein yang lebih tinggi pada meningioma dibandingkan tumor intraaksial walaupun derajat meningioma lebih rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivasi inflamasi perifer berdasarkan NLR dan MLR dengan gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan penanda inflamasi perifer terhadap gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2016-Desember 2019. Penanda inflamasi perifer diambil dari data hitung jenis, edema peritumoral dihitung langsung dari data radiologi, dan data lainnya diambil dari catatan rekam medis. Analisis data bivariat Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 173 subjek dengan rata-rata usia 46,98±8,26 tahun. Meningioma didominasi derajat I (94,2%) dengan meningothelial merupakan histologi terbanyak. Nyeri kepala merupakan klinis terbanyak (64,7%) diikuti gangguan penglihatan (59%). Nilai titik potong NLR (neutrophil lymphocyte ratio) adalah 2,415 dan MLR (monocyte lymphocyte ratio) 0,295. Klinis yang berhubungan dengan NLR dan MLR yang lebih tinggi adalah nyeri kepala (p<0,001). NLR dan MLR tinggi juga berhubungan dengan gambaran peritumoral edema (p<0,001). Faktor-faktor yang memengaruhi rekurensi adalah edema peritumoral, NLR, MLR, dan derajat simpson. Dari faktor-faktor tersebut, yang berhubungan secara independent adalah MLR dengan aOR 12,647 (IK 95% 2,355-67,919); p: 0,003.
Kesimpulan: NLR dan MLR sebagai faktor penanda inflamasi perifer memiliki median yang lebih tinggi pada pasien meningioma dengan nyeri kepala dan gambaran edema peritumoral. Inflamasi pada meningioma juga berhubungan dengan kejadian rekurensi.

Background: Meningioma, like the other tumors, have the ability to cause inflammation like other tumors. It is located in areas without blood brain barrier and make the inflammation in this tumor microenvironment to be more depicted in peripheral blood than intraparenchymal tumors. This fact provable by the higher levels of c-reactive protein in meningiomas compared to intraaxial tumors even though the low grade of meningiomas. Therefore, this study aimed to determine the relationship between peripheral inflammatory activation based on NLR and MLR with clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence.
Methods: This is retrospective cohort study to determine the relationship between peripheral inflammatory markers and clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence at Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016-December 2019. Peripheral inflammatory markers were taken from type count data, peritumoral edema was calculated directly from radiological data. , and other data taken from medical records. Chi Square and Mann Whitney bivariate are used for data analysis, followed by multivariate logistic regression analysis
Results: 173 subjects were obtained with an average age of 46.98 ± 8.26 years. Subject predominately grade I (94,1%) with meningothelial is the most common histology. Headache was the most clinical manifestation (64,7) followed by visual disturbances (59%). The cut-off point for the NLR is 2.415 and the MLR is 0.295. The clinical association with higher NLR and MLR was headache (p<0.001). High NLR and MLR were also associated with features of peritumoral edema (p<0.001). Factors for tumors recurrence were peritumoral edema, NLR, MLR, and Simpson's grade. Of these factors, which were independently related were MLR with an aOR of 12.647 (95% CI 2.355-67.919); p: 0.003.
Conclusion: NLR and MLR as markers of peripheral inflammation had a higher median in meningioma patients with headache and peritumoral edema features. Inflammation in meningiomas is also associated with recurrence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Ganefianty
"Meningioma merupakan tumor intrakranial primer yang paling umum terjadi, terhitung sepertiga dari semua tumor yang menyerang sistem saraf pusat. Meningioma dapat mempengaruhi beberapa dimensi kehidupan seperti fisiologis, psikologis, dan sosial. Pembedahan adalah penatalaksanaan utama pada pasien meningioma. Kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma dalam waktu 3 bulan hingga 1 tahun pasca pembedahan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 118 pasien meningioma pasca pembedahan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien meningioma pasca pembedahan memiliki kualitass hidup kurang baik (79,7%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah usia (p=0,014), grade tumor (p=0,0001), status fungsional (p=0,0001), fatigue (p=0,001), illness perception (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah status fungsional dengan nilai OR 6,728 (CI 95%= 1,655; 27,348). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien meningioma pasca pembedahan terkait kualitas hidup.

Meningioma is the most common primary intracranial tumor, accounting for one third of all tumors that attack the central nervous system Meningioma can affect several domains of life such as physiological, psychological, and social life. Surgery is the main management in meningioma patients. The aim of this study was to investigate the factors influencing quality of life in meningioma patients after surgery. This study was a cross sectional analytic design involved. A total of 118 postoperative meningioma patients were selected by purposive sampling technique. The results of this study indicate that the majority of patients have low quality of life (79.7%). Factors related to quality of life were age (p = 0.014), tumor grade (p = 0,0001), functional status (p = 0,0001), fatigue (p = 0,001), illness perception ( p = 0,0001), and social support (p = 0,001). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated with the quality of life was functional status (OR 6.728). This study is to provide input to nurses as reference in developing nursing assesment in  meningioma patients after surgery related quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumiati
"Pendahuluan: Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, tumbuh dari membran protektif yaitu meningen, ekstraaksial, berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater. Karakteristik meningioma yaitu tumbuh dengan besar, cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. Prevalensi meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak dengan perkiraan rasio antara wanita dan pria adalah 2:1. Masalah yang ditimbulkan tergantung pada lokasi tumor, ukuran tumor, serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar sehingga kasus meningioma cukup menarik untuk disajikan sebagai kasus klinis dengan model rencana asuhan keperawatan. Kasus: pasien laki-laki, umur 33 tahun, dengan meningioma atipikal WHO grade II dengan keluhan nyeri kepala, kelemahan tubuh sebelah kiri, kedua mata tidak dapat melihat, mata kanan proptosis. Pasien beradaptasi dengan keluhan tersebut kurang lebih selama satu tahun dengan minum obat warung dan melakukan pengobatan alternatif. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Keluhan dirasakan semakin lama malah semakin memberat kemudian pasien melakukan pengobatan ke rumah sakit dan oleh dokter dianjurkan untuk operasi craniotomy. Kami menggunakan Model Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Kebutuhan utama yang kami temukan antara lain yaitu aktivitas (gangguan mobilitas fisik), sensasi dan penginderaan (gangguan persepsi sensori: penglihatan), proteksi (risiko infeksi, risiko jatuh), neurologi (penurunan kapasitas adaptif intrakranial), konsep diri (kecemasan) dan peran (ketidakefektifan performa peran). Kesimpulan: Asuhan keperawatan pada pasien meningioma dengan kebutuhan utama penurunan kapasitas adaptif intrakranial, gangguan mobilitas fisik, gangguan persepsi sensori, risiko infeksi, risiko jatuh, kecemasan dan ketidakefektifan performa peran dapat teratasi dengan menggunakan pendekatan salah satu teori keperawatan yaitu Model Adaptasi Roy. Model Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan adalah pemahaman tentang proses adaptasi manusia dalam menghadapi situasi hidupnya. Roy memandang manusia merupakan sistem terbuka dan adaptif yang dapat merespon stimulus yang datang baik dari dalam maupun luar. Pasien mengalami perbaikan kondisi dari hari kehari, keluhan dirasakan berkurang, kecemasan tidak ada dan pasien lebih menerima peran serta kondisinya saat ini, sehingga dengan demikian tujuan dari asuhan keperawatan tercapai yaitu pasien mencapai kondisi adaptif dengan penyakitnya.

Introduction: Meningioma is the most common primary intracranial tumor, growing from a protective membrane, namely the meninges, extraaxial, originating from arachnoid cells attached to the dura mater. The characteristics of a meningioma are that it grows large, tends to cause hyperostosis, infiltrates or also erodes the bone. The prevalence of meningioma is about 36% of all brain tumors with an estimated ratio between women and men is 2:1. The problems that arise depend on the location of the tumor, the size of the tumor, and its involvement with the surrounding tissue structures so that meningioma cases are quite interesting to be presented as clinical cases with a cost-loss plan model. Case: male patient, aged 33 years, with WHO grade II atypical meningioma with complaints of headache, left side weakness, unable to see both eyes, proptosis of right eye. The patient adapted to this complaint for about a year by taking drug stalls and taking alternative treatments. These efforts did not produce results. Complaints that are felt the longer they get worse, then the patient goes to the hospital for treatment and the doctor recommends craniotomy surgery. We use the Roy Adaptation Model in providing care to patients. The main needs that we found include activity (impaired physical mobility), sensation and sensing (impaired sensory perception: vision), protection (risk of infection, risk of falling), neurology (decreased intracranial adaptive capacity), self-concept (anxiety) and role (role performance ineffectiveness). Conclusion: Caring for involvement in meningioma patients with the main need for decreased intracranial adaptive capacity, impaired physical mobility, impaired sensory perception, risk of infection, risk of falling, anxiety and ineffectiveness of role performance can be overcome by using the approach of one of the partnership theories, namely the Roy Adaptation Model. Roy's Adaptation Model assumes that the basis of expertise is an understanding of the process of human adaptation in dealing with their life situations. Roy sees humans as an open and adaptive system that can respond to stimuli that come from both inside and outside. The patient experiences an improvement from day to day, complaints are felt to decrease, anxiety is absent and the patient is more accepting of the role and condition of his current condition, so that in this way the goal of humanitarian assistance is achieved, namely the patient reaches an adaptive condition with his illness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Venny Beauty
"ABSTRAK
Menurut Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak kedua pada laki-laki dan terbanyak keempat pada perempuan di Indonesia. Pemeriksaan skrining kanker kolorektal yang saat ini tersedia memiliki berbagai keterbatasan. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) adalah endopeptidase yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, dan disekresi oleh berbagai sel seperti sel tumor, sel radang, dan fibroblas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran diagnostik MMP-9 feses dibandingkan dengan gambaran histopatologi sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 52 subjek terduga kanker kolorektal yang menjalani kolonoskopi. Kadar MMP-9 feses diperiksa menggunakan kit MMP-9 dari R&D Systems dengan metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar MMP-9 feses sebesar 0,855. Titik potong kadar MMP-9 feses didapatkan 1,237 ng/ml dengan sensitivitas 88,9%, spesifisitas 76,7%, nilai prediksi positif 44,4%, dan nilai prediksi negatif 97,1%. Pemeriksaan kadar MMP-9 feses dapat dipertimbangkan dalam skrining kanker kolorektal.

ABSTRACT
According to Jakarta Cancer Registry 2012, colorectal cancer is the second most common cancer in men and fourth in women in Indonesia. Colorectal cancer screening tests currently available, have various limitations. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) is endopeptidase which plays a role in the degradation of the extracellular matrix, and is secreted by various cells such as tumor cells, inflammatory cells, and fibroblasts. This is a cross sectional study aims to determine the diagnostic role of faecal MMP-9 compared to histopathological features as gold standard. The study was conducted on 52 subjects with suspected colorectal cancers who underwent colonoscopy. The levels of faecal MMP-9 were examined using MMP-9 kit from R&D Systems using ELISA method. Diagnostic accuracy of faecal MMP-9 levels is 0.855. The cutoff point was 1.237 ng/ml with sensitivity of 88.9%, specificity of 76.7%, positive predictive value of 44.4%, and negative predictive value of 97.1%. Faecal MMP-9 can be considered as a screening test in colorectal cancer.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmitha Anne
"ABSTRAK
Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering ditemukan pada tulang rahang. Berdasarkan histopatologisnya, ameloblastoma dapat dikelompokkan menjadi 6 tipe, yaitu tipe folikular, pleksiformis, akantomatosa, desmoplastik, granular, dan basal. Ameloblastoma dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering pada dekade3-6. MMP-9 (92-kD gelatinase/type IV collagenase = gelatinase B) mempunyai peranan dalam resorpsi tulang melalui degradasi matriks organik tulang dan perekrutan osteoklas. Beberapa penelitian menyatakan bahwa MMP-9 diekspresikanoleh ameloblastoma dan mempunyai peranan dalam sifat invasi ameloblastoma. Tujuan: Untuk menganalisa ekspresi MMP-9 di antara berbagai tipe histopatologis ameloblastoma dan kelompok usia. Metode penelitian: 40 blok parafin ameloblastoma didapatkan secara consecutive sampling. Seluruh sampel dipulas imunohistokimia menggunakan antibodi MMP-9. Hasil: Semua sampel mempunyai sel-sel yang imunopositif dengan intensitas yang beragam. 82,4% tipe pleksiformis dan 83,3% tipe campuran mempunyai ekpresi MMP-9 positif kuat, hal ini berbeda bermakna dengan tipe folikuler yang hanya 36,4% (p < 0,05). Pada usia 30 tahun ke bawah, 93,3% sampel mempunyai sel-sel imunopositif >50%, berbeda bermakna dengan usia di atas 30 tahun yang hanya 60% (p < 0,05). Kesimpulan: Ameloblastoma tipe pleksiformis dan campuran memiliki ekpresi MMP-9 yang lebih besar dibanding ameloblastoma tipe folikuler. Ameloblastoma pada usia 30 tahun ke bawah mempunyai ekspresi MMP-9 yang lebih besar dibanding ameloblastoma pada usia 30 tahun ke atas.

ABSTRACT
Background: Ameloblastoma is a common benign odontogenic tumor of the jaw. Ameloblastoma can be divided into six histopathological types, follicular, plexiform, acanthomatous, desmoplastic, granular, and basal cell. Ameloblastoma can develop in any age, with peak prevalence in 3rd - 6th decade. MMP-9 {92-kD gelatinase type IV collagenase = gelatinase B) involves in bone resorption by degradation of extracellular matrix and osteoclasts recruitment. Recent studies have found that MMP-9 is expressed by ameloblastoma and has a role in ameloblastoma local invasiveness. Objective: To analyze MMP-9 expression between different histopathological types of ameloblastoma and in different age groups. Material and method: 40 paraffin blocks were collected through consecutive sampling and the MMP-9 expression were detected using immunohistochemistry. Result: All samples showed immunopositive cells with vary intensity. 82,4% plexiform type and 83,3% mixed type have strong immunoexpression, significantly different with follicular type with only 36,4% (p < 0,05). 93,3% samples with age <30 years have >50% immunopositive cells, significantly different with those that age >30 years which only 60% (p < 0,05). Conclusion: Ameloblastoma plexiform and mixed type have higher MMP-9 expression than ameloblastoma follicular type. Ameloblastoma in age <30 years have higher MMP-9 expression than in age >30 years."
2012
T43919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virnanto Buntarja
"Latar belakang: Giant Cell Tumor of Bone (GCT tulang) adalah tumor tulang primer yang bersifat jinak-agresif dan dapat bermetastasis. Rentang usia pasien GCT tulang adalah antara 13 sampai 69 tahun. Tumor ini sering ditemukan di bagian distal femur, distal radius, dan proximal tibia. Berdasarkan tipe tulang, GCT tulang sering ditemukan pada ujung tulang panjang. Namun, GCT tulang juga dapat ditemukan pada tipe tulang lainya. Pada beberapa keganasan tulang, seperti osteosarcoma, terdapat korelasi antara usia dengan lokasi tumor. Namun, untuk GCT tulang korelasi ini masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya korelasi usia dengan lokasi pada GCT tulang
Metode: Peneliti mengambil data rekam medis pasien GCT tulang di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dari tahun 2016 sampai 2020. Kemudian, data usia dengan lokasi (topografi dan tipe tulang) dianalisis menggunakan tabel baris kolom.
Hasil: Pada kelompok usia 10-39 tahun ditemukan 52 kasus pada tulang apendikular dan 1 kasus pada tulang axial. Pada kelompok usia 40-69 tahun ditemukan 29 kasus pada tuang apendikular dan 4 kasus pada tulang axial. Korelasi antara usia dan lokasi topografis tidak bermakna (p>0.05). Pada kelompok usia 10-39 tahun ditemukan 49 kasus pada tipe tulang panjang dan 4 kasus pada tipe tulang lainnya. Pada kelompok usia 40-69 tahun, ditemukan 27 kasus pada tulang panjang dan 6 kasus pada tipe tulang lainnya. Korelasi antara usia dengan lokasi tipe tulang tidak bermakna (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan bermakna antara usia dengan lokasi tumor (topografi dan tipe tulang) pada kasus GCT tulang

Introduction: Giant cell tumor of bone (GCTB) is a primary bone tumor with benign- aggressive behavior and capacity to metastasize. The age range for GCTB is 13 to 69 years old. GCTB is commonly in distal femur, distal radius, and proximal tibia. Based on bone type, GCTB is frequently found on meta epiphyseal site of long bone. Although, some GCTB can be found on other bone type such as flat bone, short bone, and irregular bone. In some bone neoplasms, like osteosarcoma, there is a correlation between age and tumor site. Unfortunately for GCTB, this correlation is still unknown. This study aims to determine the correlation between age and tumor site of GCTB
Method: Medical record of patients with the diagnosis of GCTB in RSUPN dr.Cipto Mangukusumo from 2016 to 2020 is included in this study. Age at diagnosis and tumor site (topographically and bone type) of patient are analyzed using cross tabulation. Result: For age group 10-39 years old, there are 52 cases of GCTB in appendicular skeleton and one case in axial skeleton. For age group 40-69 years old there are 29 cases of GCTB in appendicular skeleton and 4 cases in axial skeleton. The correlation between age and tumor topographic site is statistically not significant (p > 0.05). For the bone type, there are 49 cases of GCTB in long bone and 4 cases in other bone type for age group 10- 39 years old. For age group 40-69 years old, there are 27 cases of GCTB in long bone and 6 cases in other bone type. The correlation between age and bone type is statistically not significant (p> 0.05)
Conclusion: There are no significant correlation between age and tumor site (topographically and bone type) in GCTB
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Astasari Hadi
"Belakang: Polimorfisme gen MMP-9 berperan dalam degradasi kolagenase tipe IV pada matriks ekstraselular yang memicu terjadinya destruksi tulang pada periodontitis.
Tujuan: Untuk membandingkan distribusi polimorfisme gen MMP-9 -1562 C/T rs3918242 pada penyakit periodontitis dengan kontrol.
Metode: Polimorfisme gen MMP-9 -1562 C/T di analisis menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim restriksi SphI.
Hasil: Mayoritas frekuensi alel T ditemukan pada sampel periodontitis 11 dibandingkan dengan sampel kontrol 2. Sedangkan untuk frekuensi genotipe CT pada sampel periodontitis 22 ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan sampel kontrol 4.
Kesimpulan: Ditemukan gambaran polimorfisme Gen MMP-9 ndash;1562 C/T pada penyakit periodontitis dan terdapat hubungan bermakna antara distribusi polimorfisme gen tersebut pada penyakit periodontitis dan individu sehat p = 0,018.

Background: MMP 9 gene polymorphism is involved in degradation of type IV collagenases in the extracellular matrix ECM that leads to bone destruction in periodontitis.
Objectives: To compare the distribution of the MMP 9 1562 C T rs3918242 polymorphism in Indonesian males with and without periodontitis.
Methods: The MMP 9 1562 C T polymorphism was investigated by the PCR ndash RFLP method with SphI restriction enzyme digestion.
Results: The T allele in periodontitis sample 11 are higher than the healthy controls 2 . As well as the CT genotype, was found higher in periodontitis sample 22 than the healthy controls 4.
Conclusion: MMP 9 1562 C T gene polymorphism was found in this study and significantly associated with periodontitis p 0.018.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiskus Mikael Chandra
"Latar belakang: Giant cell tumor of bone (GCT tulang) merupakan tumor tulang primer dengan sifat jinak agresif. Dalam perjalanan penyakitnya, GCT tulang dapat disertai dengan aneurysmal bone cyst (ABC) sekunder sehingga menyulitkan dalam mendiagnosis. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kejadian ABC sekunder pada pasien GCT tulang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui hubungan antara usia dan lokasi tumor dengan kejadian ABC sekunder.
Metode: Sebanyak 86 pasien yang berasal dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo terdiagnosis GCT tulang oleh dokter spesialis patologi anatomik dalam periode 2016 sampai 2020. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologik, korelasi klinis, dan gambaran radiologi.
Hasil: ABC sekunder ditemukan pada 31 (36%) pasien GCT tulang dengan terbanyak ditemukan pada kelompok usia 20-29 tahun (n=12; 38,7%) dan kelompok usia 30 sampai 39 tahun (n=8; 25,8%). Analisis statistik menunjukkan hasil tidak bermakna antara kedua kelompok usia dengan kejadian ABC sekunder (p=0,463 dan p=0,674). Lokasi GCT tulang di tulang femur distal ditemukan paling banyak memiliki ABC sekunder (n=10; 32,3%). Analisis statistik menunjukkan hasil yang signifikan antara lokasi tulang femur distal dengan kejadian ABC sekunder (p=0,029). Perhitungan odd ratio menunjukkan peluang seseorang dengan GCT tulang yang disertai ABC sekunder ada pada lokasi tulang femur distal adalah 3,265 kali lipat dibandingkan lokasi lainnya (IK 95% 1,094- 9,747).
Kesimpulan: Lokasi GCT tulang pada tulang femur distal memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian ABC sekunder.

Introduction: Giant cell tumor (GCT) of bone is a benign aggressive primary bone tumor. GCT of bone may be followed with secondary aneurysmal bone cyst (ABC) which makes it harder to diagnose. This study showed the event of secondary ABC in GCT of bone patients in Cipto Mangunkusumo Hospital and the association between secondary ABC and the age and predilection site of the GCT of bone patients.
Method: 86 patients from Cipto Mangunkusumo Hospital were diagnosed GCT of bone by pathologists in 2016 until 2020. The diagnosis was made from histopathological examination, combined with clinical correlation and radiological imaging.
Result: Secondary ABC were found in 31 (36%) patients with GCT of bone. Age group of 20-29 years old (n=12; 38,7%) and 30-39 years old (n=8; 25,8%) have the most patients. Statistical analysis discovered that there is statistically insignificance between the two age groups and the event of secondary ABC (p=0,463 and p=0,674). GCT of bone with secondary ABC is mainly found at distal femur (n=10; 32,3%). The association between distal femur bone site and the event of secondary ABC was statistically significant (p=0,029). Odd ratio measurement showed the chance of patient who has GCT of bone with secondary ABC located at distal femur is increased 3,265 times compared to other different predilection site.
Conclusion: Femur distal bone predilection site of GCT of bone was statistically associated with the event of secondary ABC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>