Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160705 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tampubolon, Grace Nathalia
"Customer Due Diligence adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh bank sebagai penyedia jasa keuangan untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi calon nasabah, nasabah, atau walk in pelanggan. Bank wajib menerapkan prinsip Customer Due Diligence. Penerapan prinsip Customer Due Diligence dilakukan berdasarkan ketentuan internal masing-masing bank (self regulatory banking) namun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap Bank wajib memiliki unit kerja khusus untuk program anti pencucian uang . Bank juga diminta melaporkan kepada otoritas jasa keuangan dan PPATK jika ada transaksi yang dianggap mencurigakan atau bila ada nasabah mencurigakan yang menolak mengikuti seluruh proses uji tuntas nasabah yang ditetapkan bank. Penerapan Customer Due Diligence yang dilakukan oleh Bank Digital X dapat dikatakan cukup baik dan telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Bank X sebagai Bank Digital mematuhi peraturan pemerintah. Tidak pernah ada indikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh nasabah atau calon nasabah dari Bank X, sehingga tidak pernah ada laporan ke PPATK

Customer Due Diligence is an activity in the form of identification, verification, and monitoring carried out by banks as Financial Services Providers to ensure transactions are in accordance with the profile, characteristics, and/or transaction patterns of prospective customers, customers, or walk in customers. Banks are required to apply the principle of Customer Due Diligence. The application of the principles of Customer Due Diligence is made based on internal regulations by each bank (self regulatory banking)but must not conflict with the prevailing law and regulations.. Each Bank must have a special work unit for the anti-money laundering programs. Banks are also asked to report to the financial services authority and PPATK if there is any transaction that is considered suspicious or when there are suspicious customers who refuse to follow all customer due diligence processes set by the bank. The implementation of Customer Due Diligence carried out by Bank Digital X can be said to be quite good and has complied with the applicable regulations. Bank X as a Digital Bank complies with government regulations. There has never been any indication of money laundering crimes committed by customers or prospective customers from Bank X, so there has never been a report to PPATK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arian Putra Hasyim
"Lembaga keuangan khususnya perbankan sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti arus transaksi keuangan di perbankan yang sangat cepat dan terjadi dalam jumlah yang banyak, serta berbagai pilihan transaksi keuangan. Mengingat fungsi dan peran perbankan yang rentan, maka perlu diterapkan prinsip Customer Due Diligence (CDD). Penerapan prinsip Customer Due Diligence merupakan salah satu cara untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan uang dalam perbankan di Indonesia. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah penerapan prinsip Customer Due Diligence (CDD), pencucian uang di perbankan, dan penerapan prinsip Customer Due Diligence (CDD) pada PT. Bank Mandiri Tbk dalam mencegah pencucian uang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CDD diatur dalam Pasal 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.01/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 Tentang Penerapan Anti- Program Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan yang merupakan implementasi standar rekomendasi dari FATF (Financial Action Task Force). Ada tiga tahapan dalam proses pencucian uang di perbankan, yaitu Placement, Layering, dan Integration. Penerapan CDD di PT. Bank Mandiri Tbk tertuang dalam “Kebijakan Penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) PT Bank Mandiri (Persero) Tbk”, yang dilakukan dengan melakukan identifikasi nasabah, permintaan informasi & verifikasi data, pemantauan nasabah, EDD (Enhanched Due Diligence), hingga pengkinian data nasabah. Penerapan prinsip Customer Due Diligence (CDD) harus lebih ditingkatkan. Bank harus dapat mengenali nasabahnya dan juga mengetahui transaksi yang dilakukan nasabahnya, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dengan memanfaatkan bank.

Financial institutions, especially banks, are very vulnerable to the possibility of being used as a medium for money laundering and terrorism financing. This is due to various factors such as the flow of financial transactions in banking which is very fast and occurs in large numbers, as well as the various choices of financial transactions. Due to the vulnerable banking functions and roles, it is necessary to apply the Customer Due Diligence (CDD) principle. The application of the principle of Customer Due Diligence is one way to eradicate and prevent forms of crime related to money in banking in Indonesia. The source of data in this research is secondary data consisting of primary legal materials and secondary legal materials. The problems discussed in this study are the application of the principle of Customer Due Diligence (CDD), money laundering in banking, and the application of the principle of Customer Due Diligence (CDD) at PT. Bank Mandiri Tbk in preventing money laundering. The research results indicate that CDD is regulated in Article 11 of Financial Service Authority Regulation No. 23 /POJK.01/2019 concerning Amendment to Financial Services Authority Regulation No. 12/POJK.01/2017 concerning the Implementation of the Anti-Money Laundering Program and the Prevention of the Financing of Terrorism in the Financial Services Sector which is the implementation of standard recommendations from the FATF (Financial Action Task Force). There are three stages in the money laundering process in banking, namely Placement, Layering, and Integration. Application of CDD at PT. Bank Mandiri Tbk is contained in the "Policy for the Implementation of the Anti-Money Laundering (APU) and Prevention of Terrorism Financing (PPT) Programs of PT Bank Mandiri (Persero) Tbk”, which is carried out by customer identification, information request & data verification, customer monitoring, EDD (Enhanced Due Diligence), to customer data updates. The application of the principle of Customer Due Diligence (CDD) must be further improved. Banks must be able to recognize their customers and also know the transactions made by their customers, so as to prevent the occurrence of money laundering crimes by using banks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktoriza Adyaprasasta
"“Customer Due Diligence” (CDD) adalah salah satu komponen terpenting dalam rezim anti-pencucian uang (APU). Dari berbagai tipologi pencucian uang, “trade-based money laundering” (TBML) merupakan praktik pencucian uang terbesar. Mengingat risiko unik yang ditimbulkan TBML, mungkin diperlukan standar CDD khusus untuk melawan TBML, sebagaimana terlihat dari praktik Singapura. Penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Bagaimana CDD diatur di Indonesia dan Singapura? (2) Bagaimana implementasi CDD Indonesia dibandingkan dengan Singapura dalam hal TBML? Skripsi ini mengadopsi pendekatan yuridis-normatif melalui analisis qualitatif terhadap sumber hukum primer dan sekunder, serta metode komparatif untuk membandingkan rezim hukum Indonesia dan Singapura. Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia dan Singapura memiliki langkah-langkah CDD yang serupa. Namun, Indonesia tidak memiliki persyaratan screening yang dimiliki Singapura, begitu pula persyaratan CDD spesifik dalam trade finance. Oleh karena itu, skripsi ini mengusulkan sebagai berikut: (1) Penilaian risiko berkala untuk menangani risiko TBML terhadap nasabah bank, produk dan layanan, dan pengendalian bank terhadap red flag TBML; (2) Menerbitkan peraturan yang mencakup standar CDD untuk transaksi terkait perdagangan yang setidaknya mencakup: CDD dokumen perdagangan, sanctions screening, dan red flag TBML; (3) Bank harus memiliki akses ke data perdagangan terkait demi menjalankan CDD, terutama dalam hal sanctions screening.

One of the most important component of any anti-money laundering (AML) regime is “Customer Due Diligence” (CDD). Among the many money laundering typologies, “trade-based money laundering” (TBML) is regarded as the most pervasive of money laundering typologies. Considering the unique risks which TBML poses, a dedicated CDD standards to combat TBML may be required, as shown by Singapore’s practice. This research will try to answer the following questions: (1) How is CDD regulated in Indonesia and Singapore? (2) How does Indonesia’s implementation of CDD compare to Singapore’s when it comes to TBML? This thesis adopts juridical-normative approach through qualitative analysis of primary and secondary legal sources, as well as comparative method to compare Indonesia and Singapore’s legal regime. This research found that Indonesia and Singapore have similar CDD measures. However, Indonesia lacks the screening requirements that Singapore has, and specific CDD requirements in trade finance. Therefore, this thesis propose the following: (1) Periodic risk assessment addressing TBML risks regarding the bank’s customers, products and services, and the bank’s controls against TBML red flags; (2) Issue a regulation covering CDD standards for trade related transactions which should cover at the minimum: due diligence of trade documents, sanctions screening, and TBML red flags; (3) Banks should have access to relevant trade related data to perform the CDD measures, especially in regard to sanctions screening."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Vania Putri Hendarto
"ABSTRAK
Skirpsi ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai implementasi customer due diligence oleh bank sebagai bentuk kontribusi bank dalam mencegah praktek pencucian uang di Indonesia sesuai dengan undang ndash; undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, skripsi ini akan menganalisa implementasi customer due diligence oleh bank dalam menjalankan usahanya sesuai dengan undang ndash; unang dan peraturan yang berlaku di Indonesia untuk sector perbankan. Dari hasil skripsi ini, diharapkan dapat ditariknya kesimpulan mengenai kepatuhan bank pada undang ndash; undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia dalam hal penerapan customer due diligence oleh bank dan dapat mengungkapkan kendala bank dalam menerapkan customer due diligence. Dengan demikian, diharapkan skripsi ini dapat memberikan suatu saran untuk penyempurnaan penerapan customer due diligence oleh bank sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas pencucian uang di Indonesia dan juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan upaya pencegahan pencucian uang sesuai dengan undang ndash; undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis aims to gain an understanding on the bank rsquo s implementation of customer due diligence as a form of bank rsquo s contribution in preventing the practice of money laundering in Indonesia pursuant to Prevailing Laws and Regulation in Indonesia. With juridical normative legal research method, this thesis will analyze bank rsquo s implementation of customer due diligence during running its business pursuant to prevailing laws and regulation on customer due diligence for banking sector in Indonesia. Based on the thesis result it is hoped that it will draw a conclusion on bank rsquo s obedience to prevailing laws and regulation in implementing customer due diligence and could reveal bank rsquo s obstacle in implementing customer due diligence. By doing so it is hoped that this thesis could provide any suggestion for the improvement on the implementation of customer due diligence by banks as a measures to prevent and combat money laundering in Indonesia and also increase people rsquo s awareness to implement the preventive measures of money laundering correspondingly with the prevailing laws and regulation of Indonesia."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Rykcar Gavril Balint Pardjoendjoengan
"Penulisan tesis ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengutamakan studi kepustakaan dan berfokus kepada implementasi prinsip Customer Due Diligence (CDD) di Indonesia sebagai upaya pencegahan terjadinya kejahatan pencucian uang. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memahami pentingnya implementasi prinsip Customer Due Diligence pada operasional perbankan secara tepat dan maksimal untuk mencegah aktivitas pencucian uang yang disertai dengan sistem regulasi dan supervisi yang efektif pula.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui kajian kepustakaan terhadap berbagai sumber hukum primer mencakup berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional serta data sekunder seperti pendapat para ahli, referensi terkait dan wawancara.
Hasil penelitian penulis menemukan bahwa kejahatan pencucian uang sudah menjadi musuh dan ketakutan bagi seluruh bangsa di dunia bahkan berbagai kesepakatan internasional terkait upaya memerangi pencucian uang berkembang semakin dinamis mengikuti perkembangan zaman, kejahatan dan juga sistem hukum yang semakin maju di seluruh dunia. Oleh karena itu, semua bangsa, termasuk Indonesia, harus sepakat bahwa pencucian uang adalah suatu kejahatan yang harus diperangi bersama-sama melalui berbagai upaya baik dalam bentuk regulasi, pengawasan, hukuman dan penghargaan sehingga Indonesia juga dianggap sebagai Negara yang koperatif dan berkomitmen untuk ikut mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). UU No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU sebenarnya sudah cukup representatif bahkan memuat juga tentang tugas, tanggung jawab dan wewenang PPATK sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) yang juga memiliki wewenang terhadap operasional perbankan secara terbatas terkait pelaporan dan pengawasan terhadap penerapan prinsip Customer Due Diligence dan transaksi mencurigakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI Tahun 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
Penulis menyarankan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku legislator untuk melakukan pembaharuan terhadap UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodir semangat pencegahan TPPU dalam kegiatan operasionalnya serta memberikan penegasan dan kepastian hukum terhadap tugas, wewenang dan koordinasi antara Bank dengan Bank Indonesia serta PPATK khususnya terkait penerapan prinsip CDD. Selain itu penulis juga menyampaikan beberapa saran dan rekomendasi terkait dengan permasalahan tersebut.

This thesis using juridical normative analyse method and library researches which focuses on the implementation of the principle of Customer Due Diligence (CDD) in Indonesia as the prevention of money laundering. The objective of this thesis is to understand the importance of implementing the principle of Customer Due Diligence on the right bank operations and the maximum to prevent money laundering activity is accompanied by a system of effective regulation and supervision as well.
This research is qualitative by using method of juridical normative literature through the study of the various sources of primary law covers a wide range of legislation and international conventions as well as secondary data such as opinions of experts, related references and interviews.
The study authors found that money laundering has become the enemy and fear for the whole nation in the world and even the various international agreements related to combating money laundering is growing increasingly dynamic with the times, crime and legal systems are also more advanced in the world. Therefore, all nations, including Indonesia, have agreed that money laundering is a crime that must be fought together through various efforts in the form of regulation, supervision, punishment and reward so that Indonesia is also regarded as a cooperative state and is committed to help prevent the Money Laundering (AML). Law No. 8 of 2010 on the prevention and eradication of AML is already quite representative even includes also the tasks, responsibilities and authority PPATK as Financial Intelligence Unit (FIU), which also has the authority of a limited banking operations related to reporting and monitoring the implementation of the principles of Customer Due Diligence and suspicious transactions as formed in Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI Tahun 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
However, it is still not adequate because if the government realized that the banks are very vulnerable to be exploited by moneylaundering activity, especially at the placement stage of the author recommends to the Government and Parliament as a legislator for reform of the Act No.7 of 1992 to accommodate prevention of Money Laundering in the spirit of its operations and provide legal certainty to the affirmation and duties, authority and coordination between Bank Indonesia and Bank with PPATK, especially related to the application of the principle of CDD. Moreover, the authors also present several suggestions and recommendations related to the problem.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Safira
"Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana yang cukup serius di Indonesia karena memiiki dampak terhadap kestabilan ekonomi dan keuangan negara. Selain itu tindak pidana pencucian uang ini juga memiliki modus kejahatan yang beraneka ragam, salah satunya adalah dengan menggunakan sarana KUPVA Bukan Bank (money changer). Penggunaan money changer sebagai alat dalam melakukan pencucian uang tidak terlepas dari alasan bahwa money changer merupakan penyedia jasa keuangan yang dalam hal pengawasan dan pengaturannya dapat dikatakan tidak terlalu ketat bila dibandingkan dengan penyedia jasa keuangan lainnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang kongkrit terutama dari pihak-pihak terkait untuk mencegah penyalahgunaan money changer sebagai alat pencucian uang. Selain pencegahan, masalah penegakan hukum juga merupakan hal yang perlu dipertegas karena selama ini, jika terbukti terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah para pengurusnya saja, sedangkan korporasinya tidak pernah dijadikan sebagai tersangka. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan pencegahan pemanfaatan money changer sebagai sarana pencucian uang, maka diperlukan langkah pengoptimalan dalam hal pelaksanaan kewajiban pelaporan, pelaksanaan CDD (Customer Due Diligence) dan EDD (Enhanced Due Diligence) serta pengawasan terhadap money changer itu sendiri. Selanjutnya, terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi money changer dalam tppu, maka hal yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana keterlibatan dari money changer tersebut serta yang perlu juga diperhatikan adalah pemenuhan persyaratan yang diatur dalam UU PPTPPU untuk dapat menjerat suatu korporasi. Dalam Pasal 10 UU PPTPPU mengatur ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam hal menjerat suatu korporasi, sehingga apabila dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang melibatkan money changer ada salah satu dari syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka korporasi money changer tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, melainkan hanya kepada pengurusnya saja.

Money laundering is a serious crime in Indonesia because it has an impact on the stability of the economy and the country finances. In addition, criminal sanctions for money laundering also have a variety of modes of crime, one of which is using the KUPVA facility, not a bank (money changer). The use of money changers as a tool in conducting money laundering is inseparable from the reason that money changers are providers of financial services that are a little loose in terms of supervision and regulation when compared to other financial service providers. For this reason, concrete steps are needed, especially from related parties to prevent misuse of money changers as a means of money laundering. In addition to prevention, the issue of law enforcement is also a matter that needs to be emphasized because so far, if proven to be involved in criminal acts of money laundering, only those administered for criminal responsibility, while the money changer corporation has never been made a suspect. This study uses the Normative Juridical method using a case and conceptual approach. The results of this study conclude that in preventing the use of money changers as a means of money laundering, optimization measures are needed in terms of reporting obligations, the implementation of CDD and EDD and supervision of the money changer itself. And related to the corporate criminal liability money changer in TPPU, the thing that needs to be considered is the extent of the involvement of the money changer and how to fulfill the requirements stipulated in the PPTPPU Law to be able to ensnare a corporation. In Article 10 of the PPTPPU Law, there are four conditions that must be met in the case of ensnaring a corporation, so that in cases of money laundering involving a money changer, one of these conditions is not met, the money changer corporation cannot be held liable for criminal liability, but only the administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Kurniawan
"Tesis ini menganalisis terkait bagaimana penerapan atas program anti pencucian uang pada industri perdagangan berjangka komoditi dan bagaimana program tersebut berperan dalam usaha pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative. Pencucian uang sebagai salah kejahatan lintas negara (transnational crime) merupakan tindak pidana yang membutuhkan keterlibatan setiap negara di dunia, dalam hal ini termasuk Indonesia. Maka dari itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disusun. Di sisi lain, dikarenakan banyaknya volume perdagangan berjangka komoditi, industri juga mengadopsi program anti pencucian uang. Program anti pencucian pada perdagangan berjangka komoditi secara umum diatur pada Peraturan Kepala Bappebti Nomor 8 Tahun 2017 dan Peraturan Kepala Bappebti Nomor 11 Tahun 2017, yang mana mengatur hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dan diaplikasikan oleh Pialang Berjangka dalam rangka pelaksanaan program anti pencucian uang. Tesis ini mempelajari langkah-langkah dan kebijakan apa saja yang harus diaplikasikan dalam melakukan mitigasi dan Tindakan represif atas tindak pidana pencucian uang di perdagangan berjangka komoditi. Dalam hal ini, program yang dimaksud mencakup Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris, Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence/CDD), Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Calon Nasabah dan Beneficial Owner, Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD), Simplified Customer iDue Diligence, Pengendalian Intern, Sistem Informasi Manajemen, Sumber Daya Manusia dan Pelatihan, dan Pelaporan. Tesis ini juga memperlihatkan bahwa Pialang Berjangka memiliki peran paling krusial dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam perdagangan berjangka komoditi sebagai ‘gerbang’ usaha preventif tindak pidana pencucian uang

This thesis analyzes the application of the anti money laundering program in the commodity and futures trading industry and how the program plays role in efforts to prevent money laundering using normative juridical research methods. Money laundering as a transnational crime is a crime that requires the involvement of every country in the world, in this case including Indonesia. Therefore, the laws and regulations in Indonesia such as Law Number 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering was created. On the other hand, due to the large volume of commodity and futures trading, the industry has also adopted an anti-money laundering program and generally regulated in the Regulation of the Head of COFTRA Number 8 of 2017 and Regulation of the Head of COFTRA Number 11 of 2017, which regulate what matters must be included and applied by futures brokers. This thesis examines the steps and policies that must be applied in mitigating and repressive actions against money laundering in commodity futures trading, such as Active Supervision of the Board of Directors and the Board of Commissioners, Customer Due Diligence (CDD) Policy, Policy for Acceptance and Identification of Prospective Customers, Beneficial Owner, Enhanced Due Diligence, Simplified Due Diligence, Internal Control, Management Information Systems, Human Resources and Training, and Reporting. This thesis also shows that the Futures Broker has the most crucial role in preventing money laundering in commodity futures trading as a ‘first line of defense’ to money laundering prevention efforts"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isma Nurillah
"Mengungkap Keterlibatan Gatekeeper Dalam Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Pembimbing : Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MHPola kejahatan terus mengalami pembaharuan modus dalam skema praktiknya. Baik dalam tata cara hingga melibatkan para profesional hukum dan perbankan guna mengamankan hasil kejahatan dan diskemakan menjadi aset yang bersih, semua berkolaborasi dan memiliki peran masing-masing sehingga terciptalah mekanisme yang sulit dilacak dan akibatnya kejahatan menjadi kabur. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif serta analisis perbandingan hukum, terutama perihal kerahasiaan bank di Belanda, Bahamas dan Indonesia. perbandingan ini menjadi perlu, guna mengetahui sistem perbankan di tiga negara dengan sistem yang berbeda terlebih, Bahamas sebagai negara yang termasuk ldquo;tax heaven country, maka dengan situasi ini dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk melarikan aset hasil korupsi ke wilayah dengan sistem kerahasiaan yang ketat, hal ini bertujuan untuk menyulitkan investigasi dan memutuskan nexus kejahatan, oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat antara penegak hukum serta pemahaman dalam gerak korupsi dan pencucian uang yang melibatkan para profesional hukum dan perbankan.

Revealing Gatekeeper Involvement Corruption And Money LaunderingCounsellor Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MHPattern experiencing a renewal of mode in its practice scheme. Both in the ordinance and involving legal and banking professionals to secure the proceeds of crime and discoloration into clean assets, all collaborating and having their respective roles to create a mechanism that is difficult to trace and the consequences of crime becoming blurred. This study uses normative juridical analysis and comparative analysis of law, especially concerning bank secrecy in the Netherlands, Bahamas and Indonesia. this comparison becomes necessary, in order to know the banking system in three countries with different systems especially, Bahamas as a country that includes tax heaven country, then with this situation is used by perpetrators of crime to flee assets of corruption to the region with a strict confidentiality system it aims to complicate investigation and decide the nexus of crime, therefore there needs to be a strong commitment between law enforcement as well as an understanding in the motion of corruption and money laundering involving legal and banking professionals."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haliem Suharso
"Penerapan kebijakan penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah diterapkan sejak tahun 2012, yang kemudian dilanjutkan pada KPK periode 2015-2019 yang dipimpin oleh Agus Rahardjo. Penanganan TPPU pada periode tersebut terlihat meningkat dari KPK periode sebelumnya, dengan jumlah penanganan perkara sebanyak 21 perkara TPPU. Namun perkara TPPU yang hanya sebanyak 21 perkara tersebut menjadi kritikan dari para ahli dan masyarakat sipil yang menyebutkan bahwa KPK tidak maksimal menangani TPPU dengan hanya melaksanakan 4 persen dari 542 perkara korupsi yang ditangani pada 2016- 2019, oleh sebab itu penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan penanganan TPPU pada KPK serta mengetahui apa sajakah faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, melalui pendekatan Normalization Process Theory atau NPT (May&Finch, 2009), yang menekankan pada analisis mengenai pemahaman penentu kebijakan tentang sebuah kebijakan (coherence), siapa yang melaksanakan kebijakan dan bagaimana keterlibatan mereka (cognitive participation) bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan (collective action) dan juga bagaimana kebijakan dipahami setelahny (reflexive monitoring). Penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penanganan TPPU, dengan pendekatan 7C Protocol (Cloete et al, 2018). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan paradigma post-positivism, pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan penanganan TPPU pada KPK telah berjalan optimal, hal tersebut terlihat pada dimensi coherence, terlihat penentu kebijakan sudah memahami tentang hal pembeda mengenai penanganan TPPU dari kebijakan Pimpinan KPK sebelumnya, dan juga memahami tentang manfaat dari pelaksanaan TPPU bagi KPK, yaitu untuk memaksimalkan pemulihan aset. Pada dimensi cognitive participation, menunjukkan bahwa petugas pelaksana terutama Penyidik memang dengan kesadarannya memutuskan terlibat dalam kebijakan dan mereka juga menyadari tentang pentingnya penanganan TPPU bagi kegiatan Penyidikan mereka. Selain itu pada dimensi collective action, juga menunjukkan bahwa para pelaksana telah terjalin kepercayaan dalam melaksanakan tugas yang ditunjang pula dengan adanya usaha pembagian pekerjaan yang tepat. Pelaksanaan kebijakan masih ada catatan dalam hal kurang adanya forum yang dilembagakan untuk memantau dan menilai kelanjutan proses dan dampak penanganan TPPU tersebut. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, commitment lembaga terhadap penanganan TPPU, communication penyampaian tentang urgensi pelaksanaan TPPU dan juga kurang jelasnya content kebijakan tentang TPPU, sehingga penelitian ini menyarankan perbaikan dalam hal komunikasi, komitmen lembaga dan kejelasan kriteria untuk penanganan TPPU oleh KPK.

The implementation of the policy for handling the Crime of Money Laundering (ML) at the Corruption Eradication Commission (KPK) has been implemented since 2012, which was then continued at the 2015-2019 KPK period led by Agus Rahardjo. The handling of money laundering offenses during this period seemed to have increased from the previous period's Corruption Eradication Commission, with a total of 21 cases of money laundering offenses. However, there are only 21 ML cases that have been criticized by experts and civil society who say that the KPK is not optimal in handling money laundering offenses by only carrying out 4 percent of the 542 corruption cases handled in 2016-2019, therefore the author tries to find out how the implementation Policies for handling money laundering offenses at the KPK and knowing what factors influence policy implementation, through the Normalization Process Theory approach (May & Finch, 2009), which emphasizes the analysis of policy makers' understanding of a policy (coherence), who implements the policy and how they are involved (cognitive participation) how the policy is implemented (collective action) and also how the policy is understood afterwards (reflexive monitoring). This research is also intended to determine the factors that influence the implementation of policies for handling money laundering offenses, using the 7C Protocol approach (Cloete et al, 2018). This study uses a qualitative research approach and a post-positivism paradigm, collecting data through interviews and literature studies, it can be concluded that the implementation of policies for handling money laundering offenses at the KPK has been running optimally, this can be seen in the coherence dimension, it appears that policy makers have understood the differentiating things regarding the handling of money laundering offenses. from the previous KPK leadership policies, and also understand the benefits of implementing money laundering offences for the KPK, namely to maximize asset recovery. In the cognitive participation dimension, it shows that implementing officers, especially investigators, have consciously decided to be involved in policies and they are also aware of the importance of handling money laundering offenses for their investigative activities. In addition to the collective action dimension, it also shows that the implementers have established trust in carrying out their duties which is also supported by the proper division of work. There is still a note in the implementation of the policy in terms of the lack of an institutionalized forum to monitor and assess the continuation of the process and the impact of the handling of money laundering offences. This happens because it is influenced by several factors, namely, the commitment of the institution to the handling of money laundering offenses, communication delivery about the urgency of the implementation of money laundering offenses and also the lack of clarity on policy content regarding money laundering, so this research suggests improvements in terms of communication, institutional commitment and clarity of criteria for handling money laundering offenses by the KPK."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Syaputra
"Notaris dalam melaksanakan profesinya wajib menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2017. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa berfungsi untuk melindungi Notaris yang rentan terhadap pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak Pidana Pencucian merupakan perbuatan kejahatan menghasilkan uang yang berasal dari tindak kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut yang dapat meruntuhkan sendi-sendi ekonomi negara. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa oleh Notaris dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia; dan implementasi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa oleh Notaris dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan tipe penelitian eksplanatoris, dengan hasil penelitian dianalisis secara kualitatif. Bahan analisis bersumber pada data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, studi dokumen, dan mewawancarai narasumber untuk memperkuat hasil penelitian. Berdasarkan pengaturan yang berlaku, Prinsip Mengenali Pengguna Jasa oleh Notaris dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu dengan mengidentifikasi pengguna jasa, verifikasi pengguna jasa, dan pengawasan pengguna jasa. Notaris diperlukan dapat berperan aktif dalam menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa untuk dapat membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia agar terwujudnya salah satu program nasional yang menjadikan Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force On Money. Laundering

Notaries in carrying out their profession must apply the Principles of Recognizing Service Users as stipulated in the Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2017. The Principle of Recognizing Service Users serves to protect Notaries who are vulnerable to perpetrators of Money Laundering Crimes. Laundering is the crime of making money derived from crime with the intention to hide or disguise the origin of the money that can collapse the joints of the country's economy. The issues raised in this study are regarding the regulation of the Principles of Recognizing Service Users for Notaries in preventing and eradicating Money Laundering in Indonesia; and implementation of the Principles of Recognizing Service Users for Notaries in preventing and eradicating Money Laundering in Indonesia. To answer these problems, doctrinal research methods are used using explanatory research types, with the results of the research analyzed qualitatively. Analysis materials are sourced from secondary data in the form of laws and regulations, document studies, and interviewing resource persons to strengthen research results. Based on applicable regulations, the Principles of Recognizing Service Users for Notaries are carried out in three stages, namely by identifying service users, verifying service users, and supervising service users. Notaries are required to play an active role in implementing the Principles of Recognizing Service Users to be able to help prevent and eradicate money laundering in Indonesia in order to realize one of the national programs that make Indonesia a member of the Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>