Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61191 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Huddy Husin
"Disertasi ini menguraikan tentang prosesual adaptasi etnis Tionghoa Palembang
dari masa kolonial (1905) hingga pembubaran Lembaga Vreemdeoosterlingen
1950 pasca Konfrensi Meja Bundar. Pendekatan adaptasi dari W. Bennet
digunakan untuk melihat proses adaptasi sosial etnis Tionghoa Palembang dalam
setiap masa penguasa yang berbeda. Penelian ini menemukan bahwa kelompok
etnis Tionghoa Palembang mampu beradaptasi dan mempertahankan eksistensinya
di Palembang. Tercatat bahwa proses adaptasi tersebut berlangsung sejak masa
Kerajaan Sriwijaya dan semakin mengkristal pada masa Kesultanan Palembang.
Segi budaya dan fleksibelitas dalam aspek religi etnis Tionghoa di Palembang
memainkan peran penting, baik sebagai katalisator maupun mempermudah untuk
berdinamika dalam ruang Palembang. Melalui integrasi keagamaan kelompok etnis
Tionghoa membangun sarana/lembaga pernikahan dengan masyarakat lokal sejak
masa Kerajaan Sriwijaya, hingga masa Kesultanan Palembang. Kebudayaan etnis
Tionghoa yang berasal dari negeri leluhur ternyata memiliki sedikit kemiripan
dengan kebudayan Melayu-Islam Palembang milik masyarakat lokal, sehingga
mampu berpadu tanpa terjadi friksi/ konflik. Tradisi Ceng Beng yang berpadu
dengan tradisi ziarah kubur (Kubro) milik etnis Tionghoa Palembang, terserapnya
bahasa Tionghoa ke dalam bahasa Melayu di Palembang, hingga aspek kuliner
(Pempek) yang kemudian menjadi representasi kuliner bersama sebagai identitas
kota Palembang menunjukkan bagaimana kemampuan adaptasi etnis Tionghoa di
Palembang.

This dissertation describes the process of adaptation of Palembang Chinese
ethnicity from the colonial period (1905) to the dissolution of the
Vreemdeoosterlingen Institute in 1950 after the Round Table Conference. The
adaptation approach from W. Bennett is used to see the process of social adaptation
of the Palembang Chinese ethnicity in each different ruling period. This research
found that the Palembang Chinese ethnic group was able to adapt and maintain its
existence in Palembang. It is recorded that this adaptation process took place since
the Sriwijaya Kingdom and became increasingly crystallized during the Palembang
Sultanate. In terms of culture and flexibility in the religious aspects of the ethnic
Chinese in Palembang, they play an important role, both as a catalyst and to
facilitate dynamics in Palembang's space. Through religious integration, the
Chinese ethnic group built marriage facilities/institutions with the local community
from the time of the Sriwijaya Kingdom to the Palembang Sultanate. It turns out
that the culture of the Chinese ethnic originating from their ancestral country has
little resemblance to the Palembang Malay-Islamic culture belonging to the local
community, so that they are able to blend together without friction/conflict. The
Ceng Beng tradition combined with the tradition of pilgrimage to graves (Kubro)
belonging to Palembang Chinese ethnicity, the absorption of Chinese into the
Malay language in Palembang, to the culinary aspect (Pempek) which later became
a joint culinary representation as the identity of the city of Palembang shows how
the Chinese ethnic adaptation ability in Palembang.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Ladykia Naftali
"Penelitian ini membahas tentang etnis Tionghoa dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia pada tahun 1966 - 1998. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana etnis Tionghoa dari berbagai bidang dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah. Dalam pengumpulan data akan menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekalipun di tengah dinamika sosial dan politik pada masa Orde Baru (1966-1998) yang diskriminatif seperti kewajiban memiliki SBKRI dan adanya kekerasan rasial, tetapi etnis Tionghoa dari berbagai bidang tetap melakukan aperannya masing-masing dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia sebagai bentuk rasa nasionalisme untuk menanggapi keadaan yang dialami tersebut. Hal ini dapat diperhatikan dari berbagai bidang, mulai dari atlet yang mengharumkan nama Indonesia di dunia melalui perjuangan prestasi sebagai bentuk menunjukkan identitas nasional, pelatih yang berjuang melatih guna menghasilkan atlet yang berprestasi, organisator yang rela bergerak di bidang politik organisasi bulutangkis demi kepentingan Indonesia, hingga sebagai pengusaha membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia melalui pendanaan. Lalu, kesuksesan bulutangkis Indonesia ini berdampak positif terhadap respon yang diberikan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia yaitu berupa dukungan, sambutan, dan apresiasi yang tinggi kepada para kontingen bulutangkis Indonesia.
This study discusses the Chinese ethnicity and its dynamics in the success of Indonesian badminton in 1966 - 1998. The purpose of this study is to explain how the ethnic Chinese from various fields and their dynamics in the success of Indonesian badminton. The method used in this research is a qualitative research method with a historical approach. In data collection will use literature study and interview techniques. The conclusion of this research is that even in the midst of discriminatory social and political dynamics during the New Order (1966-1998) such as the obligation to have an SBKRI and the existence of racial violence, ethnic Chinese from various fields still carry out their respective roles in the success of Indonesian badminton as a form of a sense of nationalism to respond to the circumstances experienced. This can be observed from various fields, start from athletes who makes Indonesia’s name fame in the world through achievement struggles as a form of showing national identity, coaches who struggle to train to produce outstanding athletes, committee who are willing to engage in badminton organization politics for the sake of Indonesia, entrepreneurs assisting the development of Indonesian badminton through funding. Then, the success of Indonesian badminton has a positive impact on the response given by the Indonesian people and government, namely in the form of support, welcome, and high appreciation for the Indonesian badminton contingent."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Antonia Wilhelmina
"Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis terbanyak ke-18 dari total 1.340 etnis di Indonesia berdasarkan data BPS 2010. Nama seseorang menjadi identitas diri seseorang. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa makna nama Tionghoa bagi masyarakat etnis Tionghoa kelahiran sebelum 1967, cara adaptasi apa yang digunakan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama Indonesia untuk masyarakat kelahiran sebelum tahun 1967 di Indonesia, cara adaptasi apa yang digunakan untuk mengadaptasi nama Indonesia menjadi nama Tionghoa untuk masyarakat kelahiran sebelum tahun 1967 di Indonesia, dan apakah unsur budaya Cina masih dipertahankan untuk etnis Tionghoa yang lahir setelah tahun 1967. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumen untuk mendapatkan data dan studi pustaka sebagai sumber pelengkap data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan ekstralingual. Penelitian ini akan melakukan analisis perubahan fonologis dan analisis makna menggunakan kajian semiotik pada data nama yang terkumpul.

Chinese ethnic is the 18th most populated out of 1.340 ethnic groups in Indonesia based on BPS data taken in 2010. A person's name becomes a person's identity. The problem formulation in this study is what is the meaning of Chinese names for Chinese ethnic people born before 1967, what is the adaptation method used to change Chinese names to Indonesian names for people born before 1967 in Indonesia, what are the adaptation methods used to adapt Indonesian names to Chinese names for Chinese ethnic people born before 1967 in Indonesia, and are the elements of Chinese culture still maintained for Chinese ethnic people born after 1967. Data were collected by studying documents to obtain data and literature study as a complementary source of data. The method used in this study is the extralingual equivalent method. This study will analyze phonological changes and analyze meaning using semiotic studies on the collected name data."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sofwatun Nida
"ABSTRAK
Proses marjinalisasi yang dialami orang Betawi berdampak kepada lahirnya suatu keadaan di mana orang Betawi terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan demografi. Selain itu, munculnya persepsi dan stereotip negatif pada imej orang Betawi membuat orang Betawi menjadi semakin inferior di tanah kelahirannya sendiri. Orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak mempunyai eksistensi sosial yang kuat di masyarakat Jakarta. Melihat hal ini, Gerbang Betawi yang terdiri dari sekelompok elite Betawi mempunyai gagasan yaitu berupa gerakan transformasi yang bertujuan kepada menciptakan kondisi dan kehidupan masyarakat Betawi yang lebih baik. Tulisan ini ingin melihat bagaimana Gerbang Betawi sebagai sebuah organisasi etnik yang merupakan sekumpulan dari generasi muda berpendidikan menyadari akan persepsi yang salah yang kemudian mereka berperan sebagai wadah dalam melakukan suatu gerakan transformasi yang bukan hanya merubah persepsi tapi juga merubah kedudukan mereka sebagai salah satu etnis di Jakarta.

ABSTRACT
Process of marginalization that is experienced by Betawi People has an impact to the emergence of condition where Betawi people marginalized in aspect of economy, social, culture, and demography. Other than that, the emergence of negative perception and stereotype on the image of Betawi people makes Betawi people become more inferior in their own hometown. The Betawi people as local people in Jakarta have a weak social existency in Jakarta society. According to this, Gerbang Betawi that consist of a group of Betawi people elites that have an idea about transformation movement that has an aim to create a better condition of Betawi people lives. This paper figures out how Gerbang Betawi as an ethnic organization that is a group of young educated generation that aware of the false perception and then they have role as a forum in carrying out a transformation movement, not only to change the perception, but also to change their position as an ethnic in Jakarta. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luli Lusdiana Awaliah
"Tugas akhir ini membahas tentang peran organisasi Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia dalam mempertahankan kebudayaan Tionghoa di Kota Sukabumi pada tahun 2008-2019. PSMTI cabang Kota Sukabumi didirikan pada tahun 2008 oleh Robert Charly. Berdirinya PSMTI di Kota Sukabumi memiliki tujuan untuk menginventarisasi budaya Tionghoa di Indonesia. Hal ini dilakukan karena masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi masih memiliki rasa khawatir yang berlebih ketika menunjukan identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh PSMTI dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Sukabumi. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang dilakukan oleh PSMTI Kota Sukabumi dalam mempertahankan budaya Tionghoa berdampak pada kembalinya tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang sebelumnya dilarang. Selain itu, rasa khawatir yang berlebih dari masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi berangsur pulih, sehingga mereka berani untuk memperlihatkan kembali identitasnya sebagai Etnis Tionghoa. Adapun upaya tersebut dilakukan dengan cara pembentukan Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) cabang Sukabumi, membuka kursus bahasa mandarin secara gratis bagi masyarakat Kota Sukabumi, memeriahkan kembali perayaan hari besar masyarakat Tionghoa, dan pembangunan Anjungan Taman Tionghoa Sukabumi di TMII.

This final project discusses the role of the Indonesian Chinese Clan Social Organization in maintaining Chinese culture in Sukabumi City from 2008 to 2019. PSMTI in Sukabumi City branch was founded in 2008 by Robert Charly. PSMTI has goal as to take an inventory of Chinese culture in Indonesia. This activity was carried out because the Chinese community in Sukabumi City still had an inflated sense of worry when they showed their identity as Chinese ethnic. Therefore, this research intends to describe the efforts made by PSMTI to maintain the culture of the Chinese community in Sukabumi City. The research uses historical researchmethods, which consist of four stages: heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The results of this research indicate that the efforts made by PSMTI Sukabumi City in maintaining Chinese culture impact the return of the three pillars of Chinese culture, which the New Order government previously prohibited. In addition, the excessive anxiety of the ethnic Chinese in Sukabumi gradually recovered, so they dared to show their identity as ethnic Chinese again. These efforts were carried out by establishing the Sukabumi branch of the Indonesian Barongsai Sports Federation (FOBI), opening a free Mandarin language course for the people of Sukabumi City, enlivening the Chinese community's celebration day, and building the Sukabumi Chinese Pavilion Park around the complex located at TMII."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rifky Adinda Putri
"Konfusianisme merupakan ajaran yang masih dianut oleh masyarakat Cina di seluruh dunia, tidak terkecuali oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam Ajaran Konfusianisme terdapat ajaran pokok kebajikan mengenai kebaktian 孝Xiao. Selain itu, terdapat pula dua prinsip pokok yaitu prinsip Wulun 五论 dan Wuxing 五行 . Prinsip Wulun mengatur hubungan dan perilaku antar manusia, sedangkan prinsip Wuxing berperan dalam pembentukan moral manusia. Ketiga ajaran Konfusianisme ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Tugas akhir ini akan membahas mengenai tindakan apa saja yang mencerminkan kebajikan Xiao, serta peranan Wulun dan Wuxing dalam pembentukan moral di kehidupan keluarga etnis Tionghoa di Indonesia. Berdasarkan kuesioner yang diisi para informan, penelitian kualitatif ini akan mengungkapkan bagaimana ajaran Konfusianisme tersebut dijalankan oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Melalui metode deskriptif analitis, penelitian ini juga akan menjelaskan peranan penting prinsip Wulun dan Wuxing dalam pembentukan moral di lingkungan keluarga etnis Tionghoa di Indonesia.

Confucianism is a teaching that is still adhered by Chinese people around the world including Chinese Ethnicity in Indonesia. In confucianism teaching there is teaching core virtue about filial piety (孝 Xiao) . Moreover, there are also two main principles such as the Wulun 五 论 and Wuxing 五行 principles. The Wulun principle arranges relationship and behavior between humans, while the Wuxing principle plays a role in shaping human moral. These three confucianism teaching are related to one another. This study will discuss what behavior reflects Xiao’s virtue, as well as the role of Wulun and Wuxing in shaping morals in the life of Chinese ethnic families in Indonesia. Based on the questionnaire filled out by the informants, this qualitative research will reveal how confucianism is practiced by Chinese ethnic in Indonesia. Through the analytical descriptive method, this study will also discuss the important role of Wulun and Wuxing’s principles in shaping moral in the Chinese ethnic families in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Krisnawati
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas budaya etnis Tionghoa di Palembang pada novel Satu Kisah yang Tak Terucap karya Guntur Alam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tujuh unsur budaya etnis Tionghoa di Palembang yang ada pada novel tersebut. Ketujuh unsur yang muncul itu adalah bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup,  sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Kemudian, dilihat dari kajian antropologi sastra, kedatangan etnis Tionghoa memberikan pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan masyarakat Palembang. Dalam hal ini, identitas budaya masyarakat Tionghoa di Palembang menjadi berbeda-beda, bergantung pada wilayah tempat tinggal mereka.

ABSTRACT
This study discusses the ethnic Chinese culture in Palembang in the novel Satu Kisah yang Tak Terucap by Guntur Alam. The method used in this research is descriptive qualitative method with content analysis technique. The results showed that there were seven elements that emerged, namely language, social organization, knowledge systems, living equipment systems, livelihood systems, religious systems, and arts. Judging from the study of literary anthropology, the arrival of ethnic Chinese has a prominent influence on the culture of Palembang people. In this case, the cultural identity of the Chinese community in Palembang varies depending on the region they live in.

"

2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Kurniawan
"Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini.

This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Rahmawati
"Skripsi ini membahas keberbedaan stereotip etnis Tionghoa yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh utama dalam novel Gelang Giok Naga karya Leny Helena. Ketiga tokoh tersebut adalah A Lin, A Sui, dan Swanlin. Ketiganya merupakan etnis Tionghoa yang mewakili sifat-sifat stereotip yang selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia. A Lin merupakan seorang perempuan Tionghoa totok yang mewakili stereotip kaya, pelit, dan licik. Tokoh A Sui yang juga Tionghoa totok mewakili masyarakat Tionghoa yang miskin meskipun sudah bekerja keras. Tokoh peranakan, Swanlin, mewakili kaum muda Tionghoa yang sering dianggap eksklusif, dan tidak nasionalis. Selain memiliki sifat-sifat stereotip, ketiga tokoh ini menunjukkan sisi kemanusiaaan etnis Tionghoa yang belum banyak dibahas, yakni sifat baik dan buruk mereka yang muncul secara manusiawi, bukan stereotip yang dapat dikenakan ke semua anggota etnis.

This thesis talks about the differentness of Chinese stereotype shown by the main characters in the novel "Gelang Giok Naga", a works from Leny Helena. Those characters are A Lin, A Sui and Swanlin. All three are Chinese that represents stereotyped personality, which is widely known by Indonesian people. A Lin, a full blooded (totok) Chinese woman represents the stereotypical rich, stingy and cunning. Also a full blooded (totok) Chinese character, A Sui, a poor Chinese despite working hard. A half-blood figures (peranakan), Swanlin, representing the Chinese youth who are often considered exclusive and not nationalist. Besides having the stereotyped personality, all three figures also shows their humanitarian side of Chinese people who have not been widely discussed, the nature of good and bad which appears humanely, not a stereotype that can be charged to all members of the ethnic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Natalia Ipaenen
"

Dinamika yang dialami keturunan Tionghoa pada setiap wilayahnya memberikan warna tersendiri akan keberagaman dalam memandang identitas etnis. Pergulatan keturunan Tionghoa dalam beradaptasi dari generasi ke generasi di Indonesia juga disertai masalah ekonomi, kewarganegaraan, dan juga konflik sosial budaya. Hal ini juga tidak terlepas dari sejarah dan persoalan sosial politik yang berpengaruh dalam pembentukkan identitas keturunan Tionghoa. Tujuan dari tulisan ini untuk menelusuri lebih jauh terkait bagaimana dinamika yang harus dilalui oleh keturunan Tionghoa di wilayah Maluku Tengah, khususnya yang dialami keluarga saya dalam kasus keturunan Tionghoa-Ambon serta pengaruhnya terhadap identitas yang saat ini mereka tunjukkan. Dinamika yang dialami oleh subjek akan dikaji melalui perspektif life history–atau oral history–dengan meminta informan untuk menjabarkan pengalaman keluarganya dan menceritakan bagaimana interaksi sosial yang terjalin dengan status dan identitas yang saat ini dimilikinya. Hasil temuan dari penelitian ini mencakup proses-proses keturunan Tionghoa-Ambon dalam mengidentifikasikan, menegosiasikan, dan memilih identitas diri seperti apa yang harus mereka tampilkan dalam kehidupan sosial-budaya.


The dynamics experienced by Chinese descendants in each region provide their own unique perspective on ethnic identity. The struggles of Chinese descendants in adapting from generation to generation in Indonesia are accompanied by economic issues, citizenship, and socio-cultural conflicts. This is also influenced by historical and socio-political issues in shaping the identity of Chinese descendants. The purpose of this paper is to delve deeper into how the dynamics experienced by Chinese descendants in the Central Maluku, particularly those experienced by my family in the case of Chinese-Ambonese descent, influence the identity they currently exhibit. The dynamics experienced by the subjects will be examined through a life history perspective—or oral history—by asking informants to describe their family experiences and narrate how social interactions are intertwined with their current status and identity. The findings from this research include the processes of Chinese-Ambonese descendants go through in identifying themselves, negotiating, and choosing the self-identity they should present in socio-cultural life.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>