Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182060 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelwin Airel Anwar
"Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah.

Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"
KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada
berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan
HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan
tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut
ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran
atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana
terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya
melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua
kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak
dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa
mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan
kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha
menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa
mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan
dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika
masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari
kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak
mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

ABSTRACT
Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those
improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The
contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and
recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving
recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of
power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to
resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s
mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in
a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A
commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred
between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the
conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even
historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would
come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never
been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again
in the future."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
"Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya.

The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Eko Wirdhani
"Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dianggap sebuah peraturan terobosan, yang dibuat oleh pemerintah Indonesia setelah pemerintahan Presiden Soeharto. Yang diikuti oleh keluarnya sebuah lembaga baru yang khusus untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yaitu Pengadilan HAM dengan undang-undang No 26 tahun 2000 sebagai dasar pembentukannya.Ternyata pada kenyataanya usaha pemerintah untuk menyelesaikan masa lalunya tidak bisa hanya melalui sebuah lembaga pengadilan HAM. Susahnya menguak masa lalu, hanya dengan lembaga pengadilan HAM, terasa ketika para terdakwa kasus pelangaran berat HAM yang diproses melalui pengadilan HAM pada putusan akhirnya dinyatakan bebas. Kecewa adalah perasaan yang pasti keluar dari hati para korban melihat para terdakwa bebas dari semua tuntutan.Bebasnya para terdakwa kasus pelanggaran berat HAM TIMTIM ini mengindikasikan bahwa untuk mencari keadilan dimasa perubahan sangatlah susah. Oleh karena susahnya mencari keadilan dimasa transisi maka pemerintah, dengan melihat dari pengalaman-pengalaman negara lain dalam mengatasi masa lalunya, akhirnya mengeluarkan sebuah undang-undang No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan hadirnya KKR maka diharapkan dapat memberikan rasa keadilan yang diinginkan oleh para korban, walaupun akan terasa naïf bila kita tidak mengatakan bahwa rasa keadilan dimasa transisi akan terasa jauh dengan rasa keadilan di masa yang normal. Disamping itu juga kehadiran KKR diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia agar peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu tidak terulang. Serta kehadiran KKR juga diharapkan dapat meluruskan sejarah masa lalu bangsa Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"This paper links the settlement of the separatist conflict to the democratization that took place in Indonesia after fall of President Suharto in 1998. It argues that the separatist conflict resolution in Aceh (constructed under the Helsinki Agreement in 2005) is a result of the democratization process in Indonesia that ha raised awareness among the Indonesian government and GAM (the free Aceh movement) leaders of the importance and effectiveness of dialogue and negotiation to settle the conflict. in addition, focusing on the case of Aceh, this aper also contributed to the literature on the relationship between democracy and peace by identifying the circumstance under which democracy may have a positive link with peace."
DIPLU 7:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bismantara
"Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah, Aceh. Sebagai sebuah pemerintahan yang mempunyai karakteristik transisional adalah penting untuk melihat bahwa apapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah pada titik itu akan sangat menentukan pola penyelesaian yang akan dikembangkan pada tahap dan waktu selanjutnya.
Penelitian ini memfokuskan dirinya faktor perbedaan tindakan antara militer dan nonmiliter, reaksi mahasiswa terhadap langkah penyelesaian yang dikeluarkan oleh Habibie dan situasi reformasi yang menjadi situasi yang dominan dalam pemerintahan Habibie. Ketiga faktor inilah yang diduga menjadi faktor yang menghambat penyelesaian konflik di Aceh dalam masa pemerintahan Habibie. Dengan menggunakan teori kelompok yang menganalisa kelompok elit yang memerintah (the governing elites), elit yang berada di luar (the non-governing elites) dan massa (non-elites), penelitian ini berupaya untuk melihat interaksi antar kelompok yang berbeda dalam penyelesaian konflik yang berada di Aceh.
Penelitian ini menggunakan metode analisa data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah adanya situasi reforma.si yang menyebabkan perbedaan tindakan antara militer dan non-militer di Aceh. Perbedaan tindakan ini memperkuat reaksi oposisional mahasiswa yang juga turut mempengaruhi upaya penyelesaian konflik di Aceh di masa pemerintahan Habibie."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1980
340.9 SUD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muharram
"Tesis ini menjelaskan tentang potensi peranan masyarakat sipil Aceh dalam penyelesaian konflik dan proses perdamaian yang terjadi di Aceh. Sebagaimana diketahui, konflik yang terjadi di Aceh merupakan konflik yang telah berlangsung lama dan berkepanjangan. Aktor utama dalam konflik tersebut adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia.
Tema ini menarik karena sepanjang sejarah konflik yang telah berlangsung di Aceh, masyarakat sipil Aceh selalu dalam posisi menjadi objek dari konflik itu sendiri. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah korban masyarakat sipil selama konflik berlangsung.
Penelitian ini mengkaji sebab-sebab terjadinya konflik di Aceh, upaya-upaya penanganan yang telah dilakukan dan potensi peranan masyarakat sipil Aceh dalam penyelesaian konflik dan proses perdamaian.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali berbagai dinamika yang terjadi pada proses perdamaian. Wawancara mendalam dilakukan dengan para aktor masyarakat sipil seperti tokoh masyarakat, kalangan akademisi, para pegiat LSM dan mahasiswa/pemuda. Studi terhadap dokumen dari berbagai laporan serta observasi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dilapangan juga dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa potensi peranan masyarakat sipil Aceh yang dapat dilakukan dalam penyelesaian konflik dan proses perdamaian. Namun dari berbagai perundingan perdamaian yang telah dilaksanakan antara GAM dan RI, masyarakat sipil Aceh tidak sepenuhnya dilibatkan. Potensi peranan yang dapat dilakukan dari masing-masing kelompok masyarakat sipil berbeda-beda, walaupun tujuannya adalah tetap mendorong proses penyelesaian konflik dan mewujudkan perdamaian yang abadi di bumi Aceh."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>