Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130729 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salza Anggun Rachmany
"Perkawinan campuran adalah janji hidup bersama antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan turut melibatkan perbedaan kebiasaan, budaya, adat istiadat, dan sistem hukum dalam suatu bahtera rumah tangga. Putusnya perkawinan campuran dengan alasan perceraian menimbulkan beberapa akibat hukum pada permasalahan sengketa hak asuh anak yang dapat diselesaikan secara
hukum atau dapat juga diselesaikan atas kesepakatan kedua belah pihak tanpa menempuh jalur hukum. Permasalahan yang dibahas meliputi 1) bagaimana ketentuan hukum di Indonesia mengenai perkawinan berbeda kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya, 2) bagaimana ketentuan dan akibat hukum di Indonesia mengenai pemberian dan pemenuhan hak asuh terhadap
anak yang dilahirkan setelah putusnya perkawinan berbeda kewarganegaraan, dan 3) bagaimana kesesuaian peraturan perundang-undangan atas ketentuan penjatuhan hak asuh dalam Putusan Nomor 96/Pdt/2020/PT.YYK. Tujuan dilakukannya penelitian ini dikarenakan penentuan hak asuh anak berbanding lurus dengan kewajiban orang tua untuk mengasuh dan mendidik anaknya hingga dewasa dan bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Adapun artikel ini merupakan sebuah kajian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus dengan
melihat pada bahan-bahan kepustakaan mengenai perkawinan berbeda kewarganegaraan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa hak asuh dilakukan berdasarkan pada kewenangan Pengadilan dalam menilai pihak mana yang lebih layak dan memenuhi aspek penting dalam menjamin kehidupan anak yang akan di asuh, yaitu aspek materi, kondisi ekonomi, finansial, pendidikan
formal, pendidikan akhlak, dengan turut serta mengedepankan hak dan kepentingan anak, hak atas kualitas hidup yang baik secara pertumbuhan dan perkembangannya, rohani, jasmani, maupun sosialnya. Akan tetapi persoalan krusial dalam hukum keluarga mengenai hak asuh anak adalah hal yang masih perlu dikaji lagi, dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia bagi selain yang beragama Islam belum menyertakan penentuan umur anak dan parameter yang jelas dalam hal pemberian hak asuh anak kepada orang tua yang perkawinannya telah putus karena perceraian, terkhusus
untuk anak di bawah umur yang seharusnya masih membutuhkan kasih sayang dari ibu demi kelangsungan perkembangan dirinya.

A mixed marriage is a promise made between parties of different nationalities to live
together in order to meet human needs and form a happy and eternal household based on
belief in the One and Only God by incorporating differences in customs, culture, customs,
and legal systems in a household. Dissolution of mixed marriages on the grounds of
divorce raises several legal consequences in child custody disputes, which can be resolved
legally or by agreement of both parties without taking legal action. The issues discussed
include: 1) the legal provisions in Indonesia regarding marriages of different nationalities
based on Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan and other laws and regulations; 2) the
provisions and legal consequences in Indonesia regarding the granting and fulfillment of
custody of children born after the dissolution of marriages of different nationalities; and
3) the suitability of laws and regulations regarding the provisions for imposing custody
rights in Decision Number 96/Pdt/2020/PT.YYK. The purpose of this research is crucial,
knowing that the determination of child custody is directly proportional to the obligation
of parents to care for and educate their children until they are adults and can be
responsible for themselves. This article is a normative legal study using a statutory
regulation approach and a case approach by looking at the literature on marriages of
different nationalities. Based on the analysis, it concluded that the resolution of custody
disputes is carried out based on the authority of the court in assessing which party is more
appropriate and fulfills important aspects in ensuring the life of the child is cared for,
namely material aspects, economic conditions, finances, formal education, moral
education, and by participating in prioritizing the rights and interests of children, the right
to a good quality of life in terms of growth and development, spiritual, physical, and
social. However, the crucial issue in family law regarding child custody is something that
still needs to be studied again because the Indonesian laws and regulations for non-
Muslims do not include determining the age of the child or setting clear parameters in
terms of granting child custody to parents whose marriages have broken up due to
divorce, especially for minors who should still need love from their mother for the
continuation of their self-development.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselia Vania Ariyatne
"Penentuan pemberian hak asuh anak akibat perceraian seharusnya dilakukan berdasarkan pertimbangan “the best interest of the child” atau kepentingan terbaik bagi si anak. Hal ini disebabkan karena hubungan antara anak dengan orang tua tidak putus akibat perceraian. Oleh karena itu anak tetap berhak untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang terbaik untuk dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan minat, bakat, dan juga potensi yang dimilikinya. Namun ada kalanya terjadi sengketa terkait penentuan hak asuh anak pasca perceraian karena kedua orang tua sama-sama menginginkan kuasa asuh atas anak-anaknya tersebut. Begitu pula dalam hal hak asuh anak akibat perceraian dalam perkawinan campuran yang melibatkan dua kewarganegaraan yang berbeda yang tentunya memiliki akibat hukum yang lebih luas. Oleh karena itu keputusan Pengadilan menjadi jalan keluar untuk memutuskan sengketa akan perkara ini. Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan Indonesia tidak memberikan pengaturan atau mekanisme khusus terkait pemberian hak asuh anak, sehingga Hakim diberikan amanah untuk memutuskan hal tersebut. Metode penelitian yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat yuridis-normatif atau penelitian dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis Penulis, tidak adanya pengaturan terkait parameter pemberian hak asuh anak akibat perceraian dalam perkawinan campuran ini dapat menimbulkan permasalahan. Sehingga Penulis menyarankan untuk membuat pengaturan khusus mengenai mekanisme dan parameter yang jelas mengenai pemberian hak asuh anak pasca putusnya perkawinan, dan juga saran kepada Majelis Hakim yang memutus perkara ini untuk wajib memeriksa dan mengadili sengketa hak asuh anak dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi sang anak dengan sebaik-baiknya.

The determination of the granting of child custody due to divorce should be made based on the consideration of the best interest of the child. This is because the relationship between children and their parents is not broken due to divorce. Therefore, children still have the right to get the best rights and opportunities to be able to develop themselves according to their interests, talents, and potential. However, sometimes there are disputes regarding the determination of child custody after divorce because both parents want custody of their children. Likewise in the case of child custody due to divorce in mixed marriages involving two different nationalities which of course have wider legal consequences. Therefore, the Court's decision is a way out to decide the dispute in this case. However, the Indonesian Marriage Law does not provide specific arrangements or mechanisms related to the granting of child custody, so the judge is given the mandate to decide this. The research method that the author uses in writing this thesis is a normative legal research method that is juridical-normative or research with a qualitative approach. Based on the author's analysis, the absence of regulation related to the parameters for granting child custody due to divorce in mixed marriages can cause problems. So the author suggests making special arrangements regarding clear mechanisms and perimeters regarding the granting of child custody after the divorce, and also suggestions to the Panel of Judges who decided this case to be obliged to examine and adjudicate child custody disputes by considering the best interests of the child as well as possible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathimah Az-Zahra
"Dalam suatu perkawinan campuran, penting untuk diadakannya perjanjian kawin untuk memisahkan harta kekayaan pasangan suami istri dalam perkawinan mereka. Perjanjian kawin, menurut Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan harus dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kasus yang digunakan dalam penelitian ini bertitik pada perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan tetapi sebelum perkawinan tersebut dicatatkan di kantor catatan sipil. Permasalahan yang dibahas mengenai keabsahan perjanjian kawin tersebut dan dampaknya terhadap harta bersama pasangan suami istri tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis-normatif, dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen yang ditunjang oleh wawancara dengan narasumber, dan data tersebut dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi Notaris dalam pembuatan perjanjian kawin dan pentingnya pencatatan perkawinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian kawin adalah tetap sah sepanjang dibuat sebelum dilakukannya pencatatan perkawinan dan dengan sah serta berlakunya perjanjian kawin tersebut maka tidak terdapat harta bersama di antara suami dan istri.

In a mixed marriage, it is necessary to make a prenuptial agreement to separate the property of a married couple in their marriage. Prenuptial agreement, according to Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law must be made at the time or before the marriage takes place. The case that is used in this journal is about prenuptial agreement that was made after the marriage took place but before the marriage was registered in the registry office. The problems here are regarding the validity of the prenuptial agreement and its impact on their shared property. This research uses a juridical- normative research method, with secondary data that is collected through document studies which is supported by interviews with interviewees, and the data is analyzed by using a qualitative approach. The benefits of this research are as knowledge for Notaries in making prenuptial agreements and the importance of marriage registration. This research shows that the prenuptial agreement is valid as long as it is made before the marriage registration and with the validity and enactment of the prenuptial agreement, there is no shared property between the husband and wife."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuridha Rizama Yulianto
"ABSTRAK
Seiring dengan bertambahnya pelaku perkawinan campuran di Indonesia, semakin banyak pula permasalahan yang terjadi sebagai akibat dari perkawinan campuran. Salah satu permasalahan yang kerap timbul dalam perkawinan campuran adalah karena Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tidak diperbolehkan mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Guna Usaha, kecuali perkawinan campuran tersebut dilakukan dengan membuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta. Apabila perkawinan campuran berlangsung tanpa membuat perjanjian perkawinan, maka permasalahan akan timbul apabila dikemudian hari terjadi perceraian terutama dalam hal pembagian harta kekayaan yang dihasilkan selama perkawinan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana akibat hukum atas bagaimana akibat hukum atas putusnya perkawinan terhadap harta bersama dalam perkawinan campuran yang berlangsung tanpa perjanjian perkawinan terhadap harta bersama dalam perkawinan campuran yang berlangsung tanpa perjanjian perkawinan dan bagaimana kedudukan harta benda dalam perkawinan campuran yang berupa Hak Guna Bangunan setelah perceraian (Analisis Putusan Nomor 0391/Pdt.G/2017/PA.Dp). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa dalam hal terjadi perceraian, masing-masing
suami isteri berhak atas setengah dari jumlah harta bersama yang didapatkan selama perkawinan dan Warga Negara Asing tidak dimungkinkan untuk memiliki Hak Guna Bangunan meskipun didapatkan karena percampuran harta dalam perkawinan. Jika Warga Negara Asing mendapatkan Hak Guna Bangunan maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat kepemilikan. Untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi dalam perkawinan campuran terkait harta benda perkawinan, maka dapat dilakukan perkawinan campuran dengan membuat perjanjian perkawinan.

ABSTRACT
Along with the increasing number of mixed marriages in Indonesia, the more problems occur as a result of mixed marriages. One of the problems that often occurs in mixed marriages is that Indonesian citizens of mixed marriages are not permitted to have Freehold Title, Right to Build (HGB), or Right to Cultivate (HGU), unless the mixed marriage is carried out by making a nuptial agreement concerning the separation of assets. If a mixed marriage takes place without making a nuptial agreement, problems will arise if divorce then occurs especially
in the case of division of assets obtained during the marriage. Based on the thesis background, the cause of the problem in this thesis are how the legal consequences of divorce on common property in a mixed marriage that takes place without a marriage agreement and how the position of property in mixed marriages in the form of Right to Build after divorce (Analysis of Religious Court Judgment Number 0391/Pdt.G/2017 PA.Dp) This research is normative research, with the typology of normative explanatory research. The results of this
research explain that if a divorce occurs, each husband and wife are entitled to half of the amount of common property obtained during marriage and Foreign Citizens are not allowed to have the Right to Build even though they are obtained due to mixing assets in marriage. If Foreign Citizens get the Right to Build then within a period of 1 year, they must release or transfer to other parties according to the conditions of ownership. To minimize the problems that occur in mixed
marriages related to marital property, a mixed marriage can be done by making a nuptial agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Herdian
"Hak asuh anak (hadhanah) atas anak di bawah umur oleh pasangan suami istri yang bercerai pada umumnya diberikan kepada orang tua perempuan (ibu) kandung, namun pada kondisi tertentu Hakim Pengadilan Agama memberikan hak asuh anak kepada orang tua laki-laki (ayah) kandung melalui putusan pengadilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan hakim dalam memutuskan hak asuh bagi anak di bawah umur pasca perceraian kepada orang tua laki-laki kandung dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor 1419/Pdt.G/2020/PA.Tnk. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan hak asuh bagi anak di bawah umur pasca perceraian kepada orang tua laki-laki kandung dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor 1419/Pdt.G/2020/PA.Tnk sudah sesuai dengan syariat Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Pertimbangan hakim tersebut didukung oleh alat bukti, saksi-saksi dan pertimbangan bahwa penetapan hak asuh anak sangat diperlukan untuk kepentingan pemenuhan hak anak. Majelis Hakim menilai bahwa tergugat kurang memberikan kasih sayang, perhatian dan tidak memiliki keteladanan yang baik bagi anak, sehingga Majelis Hakim memutuskan bahwa kedua anak hasil perkawinan Penggugat dengan Tergugat berada di bawah pemeliharaan Penggugat sebagai ayah kandungnya sampai anak-anak tersebut mumayyiz. Akibat hukum putusan tentang pemberian hak asuh atas anak di bawah umur kepada orang tua laki-laki kandung pasca perceraian adalah adanya kepastian hukum bagi penggugat dalam melaksanakan pengasuhan anak. Akibat hukum bagi anak adalah perceraian orang tua tidak menggugurkan hak anak untuk mendapatkan kasih sayang, pengasuhan dan pendidikan. Anak tetap berhak untuk mendapatkan nafkah dan kebutuhan baik materiil maupun moril dari kedua orang tuanya yang telah bercerai.

Custody of children (hadhanah) by a divorced husband and wife is generally given to the biological parents (mother) of the woman, but in certain conditions the Religious Court Judge gives custody of the child to the biological parents of the male (father) through a court decision. The problem in this study is regarding the judge's considerations in deciding custody of minors after divorce to biological male parents and the legal consequences caused in the Religious Court Decision Number 1419/Pdt.G/2020/PA.Tnk. The method used to answer these problems is normative juridical research with evaluative descriptive typology. The results of the analysis show that the judge's consideration in deciding custody of minors after divorce to biological male parents in the Tanjung Karang Religious Court Decision Number 1419/Pdt.G/2020/PA.Tnk is in accordance with Islamic law, the Marriage Law and the Compilation Islamic law. The judge's consideration is supported by evidence, witnesses and the consideration that the determination of child custody is very necessary for the fulfillment of children's rights. The Panel of Judges considered that the defendant lacked affection, attention and did not have a good example for the child, so the Panel of Judges decided that the two children resulting from the marriage of the Plaintiff and the Defendant were under the care of the Plaintiff as their biological father until the children were mumayyiz. The legal consequence of the decision on granting custody of minors to biological male parents after divorce is legal certainty for the plaintiff in carrying out child care. The legal consequence for the child is that the divorce of the parents does not abort the child's right to love, care and education. Children still have the right to earn a living and both material and moral needs from their divorced parents."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranny Alfianti
"Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan pengertian perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegaraan Indonesia. Perkawinan dalam Hukum Islam pada dasarnya menganut asas monogami dan bukan poligami. Namun agama Islam pada dasarnya tidak melarang poligami dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan kepadanya. Berkaitan dengan perkawinan poligami, menurut Penjelasan Umum poin 4 huruf c Undang-Undang Perkawinan menyatakan, bahwa pada dasarnya undang-undang menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu akibat hukum dilangsungkannya perkawinan poligami dalam perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan apakah tepat pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan pada Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk. Kemudian dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sementara itu, metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu mengacu pada data penelitian yang diteliti oleh peneliti.
Sedangkan kesimpulan berdasarkan permasalahan di atas adalah akibat hukumnya adalah dapat memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan salah satu pihak, tidak mempunyai penguasaan hak milik atas tanah di Indonesia, dan terhadap status kewarganegaraan terhadap anak yang dilahirkan memperoleh kewarganegaraan ganda sebelum berumur 18 tahun atau telah kawin, Sedangkan dalam putusan Pengadilan Agama Depok 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk, Majelis Hakim menggunakan Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang intinya seorang yang masih terikat perkawinan dirinya dengan salah satu dari kedua pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Marriage is inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and everlasting family (household) based on Belief in God. The provisions on marriage set out in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. While the definition of mixed marriage is a marital union of two individuals in Indonesia which subject to different laws, because of nationality difference and one of the couple is Indonesia citizen. Marriage in Islamic Law is basically adheres to the principle of monogamy instead of polygamy. But basically, the religion does not prohibit polygamy provided that applicable special requirements as well as the provisions are met. With regard to polygamous marriage, according to the General Explanation of point 4 letter c of Marriage Law states that basically the law embraces the principle of monogamy, only if required by the individual due to the laws and religion of the individual permit polygamy, a husband can have more than one wife. This thesis draws up the problem of legal consequences of polygamous marriage of different citizenship and whether the judge provided proper consideration in the nullity of marriage in the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
The author applies the juridical-normative literature research method, with the main data used are secondary data obtained from the literature in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The method of data analysis used in this study is qualitative research that refers to the data examined by the author.
The conclusion developed based on the above problem regarding the legal consequences are the possibility of gaining and losing the citizenship status of either party, either party does not have tenure rights to land in Indonesia, and their children will obtain dual citizenship status before the age of 18 or married. While in the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk, the Judges used Article 24 of Law No. 1 of 1974 regarding Marriage which states that basically, a person who is still married to one of the two parties and on the basis of the persistence of the marriage may apply the nullity without prejudice to the provisions of Article 3 paragraph (2) and Article 4 of this Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28671
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vierza Nadila
"Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan status kewarganegaraan anak akibat perceraian dalam perkawinan beda kewarganegaraan adalah kewarganegaraan ganda terbatas yaitu anak yang lahir dari perkawinan tersebut memiliki kewarganegaraan ganda dari kedua orang tuanya. Namun, kewarganegaran ganda ini hanya akan dinikmati anak tersebut hingga ia berusia 18 tahun (delapan belas) tahun. Kemudian diharuskan memilih salah satu diantara dua warga negara yang ia miliki dan harus benar-benar diputuskan saat ia berusia 21 (dua puluh satu) tahun. Dalam penulisan ini pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimana hak asuh anak menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, dan apakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.150/PDT/2011/PT.Dps sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode yuridis normatif dengan sifat penulisan deskriptif analitis yang memberikan gambaran dan memaparkan keseluruhan dari objek yang diteliti dan menganalisisnya dan mengacu pada asas-asas hukum dan yurisprudensi serta peraturan perundang-undangan. Kasus dalam tesis ini adalah penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada tergugat, namun tergugat menyangkal adanya pertengkaran yang terjadi diantara mereka dengan tidak memberikan bukti yang jelas, dan dari perceraian tersebut membawa akibat kepada anak yaitu mengenai hak asuh dan status kewarganegaraan anak. Menurut penulis putusan hakim sudah tepat yaitu hak pengasuhan anak memang benar jatuh kepada ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia dikarenakan anak yang masih di bawah umur secara kejiwaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibu, dengan tidak mengurangi hak ayah untuk menemui anaknya setelah mendapat izin dari ibunya tersebut.

Act No. 12 of 2006 about the Citizenship status of nationality due to divorce in a marriage of different citizenship dual citizenship is restricted i.e. children born of such marriages have dual citizenship of both parents. However, this double nationality will only be enjoyed by the child until they was 18 (eighteen) years old. Then it is necessary for them to choose one between two citizens whom he had and should really be decided when he was 21 (twenty one) years old. In this research, the principal issue raised is how custody of the child according to the legislation in force in Indonesia, and whether consideration of the law judge in High Court Verdict Denpasar No. 150/PDT/2011/PT. Dps is in compliance with the applicable laws and regulations in Indonesia. The methods used in the writing of this thesis is the juridical normative method with descriptive analytical writing trait gives an overview and expose the whole of an object being examined and analyse it and refers to the principles of law and jurisprudence and legislation. The case in this thesis is the plaintiff filed suit for divorce to the defendants, but the defendants denied any contention that occurs among them by not providing clear evidence, and from those brought divorce to child regarding custody and child's citizenship status. According to the author of the verdict of the judge is just right, namely the right childcare falls to their mother (Indonesian), because the child was under age mentally connected very closely with mother, by not reducing the rights of the father to see his son after received permission from her mother.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Roes Kartika
"Dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 seorang anak yang lahir akibat perkawinan campuran kedua orang tuanya secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Sejak berlakunya Undang?Undang Nomor 12 Tahun 2006, anak dalam perkawinan campuran memperoleh hak kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan kedua orang tuanya hingga berusia 18 tahun. Dalam penulisan ini pokok permasalahan yang diangkat ialah Bagaimanakah Status Kewarganegaraan anak akibat perkawinan campuran beda kewarganegaraan sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 dan Bagaimana status hukum harta benda dalam perkawinan campuran beda kewarganegaraan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 598 K/Pdt/2006 antara Surtiati Wu dan Dr. Charlie Wu alias Wu Chia Hsin ditinjau dari Undang-Undang yang berlaku. Untuk menjawab hal tersebut metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan sifat penulisan deskriptif analisis yang memberikan gambaran dan memaparkan keseluruhan dari objek yang diteliti dan menganalisisnya dengan mengacu pada asas?asas hukum doktrin?doktrin serta peraturan perundang?undangan. Kasus yang diangkat dalam penulisan ini berawal dimana Penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada tergugat yang membawa akibat kepada anak, kewarganegaraan dan harta benda, dimana hak pengasuhan jatuh kepada ayah yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, dalam hal ini hakim mengacu kepada Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama yang mana kurang memberikan perlindungan terhadap hak wanita warga negara Indonesia dan terhadap harta benda tergantung kepada ada atau tidaknya perjanjian kawin yang dibuat pada saat sebelum dilakukan pernikahan.

In Act No. 62 of 1958, a child who born from parents? mixed marriages automatically follow his father's nationality. Since the enactment of Act No. 12 of 2006, children in mixed marriages have a limited right to dual nationality which follows the nationality of their parents until the age of 18 years-old. The main issue of this essay is how the citizenship status of the children due to mixed marriage in different nationality before and after the enactment of Citizenship Act No. 12 of 2006 and how the legal status of the property in inter-nationality marriages toward to the Supreme Court Decision No. 598 C / Rev. / 2006 between Surtiati Wu and Dr. Charlie Wu aka Wu Chia Hsin in terms of the applied Act. In order to answer that issue, the method which is been used in this essay is the method of writing with juridical normative character with descriptive analysis which provides an overview and describes the entirety of the object of study and analyzing it based on the reference of the principles of legal doctrines and statutory regulations. The case in this paper begins where the plaintiff sued the defendant to divorce where the result of the divorce impacting the children , citizenship and property, which falls to the father custody of a United States citizen, in this case the judge simply refers to the prior Citizenship Act which provide less protection for women's rights of the Indonesian citizens, and for the property,it depends on the existence or in-existence of the prenuptial agreement which made at the time before the marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28914
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hansto Ruben Gusti Oscar
"Penelitan ini membahas tentang pengaturan perlindungan konsumen pada transaksi apartemen yang dilakukan oleh WNI dalam Perkawinan Campuran. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum doktrinal untuk menganalisis perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen pasangan perkawinan campuran. Dengan teknik pengumpulan data berbasis studi kepustakaan dan analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa norma hukum positif, khususnya hukum agraria, perkawinan, dan perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hak-hak konsumen WNI dalam perkawinan campuran, penerapan peraturan hukum terkait transaksi apartemen, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam konteks tersebut. bahwa tanpa adanya perjanjian pranikah, harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama, sehingga WNI dalam perkawinan campuran dapat kehilangan hak atas properti yang berada di atas tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Hal ini menimbulkan konflik dengan peraturan agraria yang melarang WNA memiliki tanah atau bangunan di atas tanah HGB. Selain itu, pengembang sering kali gagal memberikan informasi yang lengkap dan transparan mengenai status legalitas tanah dan properti, yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan regulasi dan pengawasan terhadap pengembang, kewajiban memberikan informasi yang transparan, serta edukasi kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban hukum dalam transaksi apartemen. Pengembang juga wajib untuk memperhatikan lebih seksama calon pembeli, guna mencegah sengketa hukum di masa mendatang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perlindungan konsumen dalam transaksi apartemen memerlukan sinergi antara regulasi yang tepat sasaran, pengawasan yang ketat, dan edukasi konsumen yang berkelanjutan untuk menciptakan transaksi yang adil dan transparan di sektor properti.

This study examines the regulation of consumer protection in apartment transactions conducted by Indonesian citizens (WNI) in mixed marriages. Using a doctrinal legal approach, the research analyzes consumer protection in apartment transactions involving mixed-marriage couples. Employing data collection techniques based on literature studies and qualitative descriptive analysis, this study highlights the challenges posed by positive legal norms, particularly agrarian, marital, and consumer protection laws. The research aims to analyze the regulation of WNI consumer rights in mixed marriages, the application of legal provisions related to apartment transactions, and the legal protection afforded to consumers in this context. Without a prenuptial agreement, assets acquired during marriage are considered joint property, potentially causing WNI to lose rights over properties built on land with a Right to Build (Hak Guna Bangunan, HGB) status. This conflicts with agrarian regulations prohibiting foreign nationals (WNA) from owning land or buildings on HGB land. Additionally, developers often fail to provide complete and transparent information about the legal status of land and property, leading to consumer losses. To address these issues, stronger regulations, enhanced oversight of developers, mandatory provision of transparent information, and consumer education on legal rights and obligations are required. Developers must also pay closer attention to prospective buyers to prevent future legal disputes. This study concludes that consumer protection in apartment transactions requires synergy between targeted regulations, strict oversight, and continuous consumer education to create fair and transparent transactions in the property sector."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>