Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96835 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sherley Ika Christanti
"Kampung Pelangi adalah salah satu dari trend mendandani kampung di tengah kota untuk dipamerkan sekaligus meningkatkan taraf hidup dan membantu masyarakat mengembangkan potensi pada kampung tersebut. Bagian ruang publik dari Kampung di cat warna warni untuk mengundang wisatawan datang dan berfoto disana, menyebabkan kampung kota menjadi suatu objek tontonan (spectacle) bagi kalayak umum. Spectacle berarti situasi unik, menarik atau tidak biasa yang menarik perhatian banyak orang. Di dalam spectacle tercipta dua realitas dalam ruang/chora, yang dipertontonkan, dan realitas yang ingin disembunyikan dibaliknya. Aktor warga kampung dan pemerintah berlaga di dalam setting warna-warni kampung dan khalayak umum memberikan nilai terhadap spectacle melalui media. Riset ini mendiskusikan sejauh mana makna spectacle yang di ciptakan pada renovasi Kampung Pelangi di Semarang. Metode penelitian didapatkan dengan mengkonstruksikan pemahaman mengenai spectacle dan proses pembentukan ruang/chora, kemudian mencari makna dari ruang-ruang yang diciptakan melalui image yang tersebar di media maupun yang didapatkan ketika penelitian di tempat. Makna yang muncul dari image Kampung Pelangi, hanya sekedar kosmetik di luar saja sehingga chora yang tercipta tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan spectacle Kampung Pelangi hanya bertahan selama beberapa tahun saja setelah aktor pemerintah dan media menarik diri.

Kampung Pelangi is one of the trends of dressing up a village in the middle of the city to be exhibited while improving living standards and helping people develop the potential of the village. Part of the public space of the village is painted in colorful colors to invite tourists to come and take pictures there, causing the urban village to become a spectacle object for the general public. A spectacle means a unique, interesting, or unusual situation that attracts the attention of many people. In the spectacle, there are two realities in space/chora, which are displayed, and the reality that you want to hide behind them. Villagers and government actors competed in colorful village settings and the general public gave value to the spectacle through the media. This research discusses the extent to which the meaning of the spectacle was created in the renovation of Kampung Pelangi in Semarang. The research method is obtained by constructing an understanding of the spectacle and the process of forming space/chora, then looking for meaning from the spaces created through images spread in the media or those obtained during on-site research. The meaning that emerges from the image of Kampung Pelangi is only cosmetic on the outside so the chora that is created is not in harmony with the needs of the community. This caused the Kampung Pelangi spectacle to only last for a few years after the government and media actors withdrew."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cintana Ramadhany Maladjong
"Studi ini mengkaji pemaknaan neighborhood bagi masyarakat kampung kota dan persepsi mereka terhadap makna tersebut melalui penggunaan ruang publik di sana. Pemaknaan dan persepsi tersebut ditelusuri melalui teori Place Identity dan Place Attachment sebagai konsep yang menjelaskan hubungan manusia dengan tempat. Interaksi sosial menjadi faktor utama dalam memahami makna neighborhood bagi seseorang, yang mana dalam konteks kampung kota, makna tersebut didasari oleh rasa seperjuangan antar warga. Untuk mendalami kajian, studi kasus dilakukan di Blok Eceng, sebuah kampung kota di Penjaringan, Jakarta Utara. Hasil studi menunjukkan bahwa makna neighborhood bagi masyarakat kampung kota berakar pada prinsip kebersamaan yang dipegang teguh setiap warga, menghadirkan rasa solidaritas yang ditandai dengan tingginya interaksi sosial dan membentuk place identity dan place attachment warga. Persepsi terhadap makna demikian ditunjukan melalui identifikasi warga terhadap neighborhood sebagai satu wilayah kampung baik secara sosial maupun spasial. Afiliasi pekerjaan, organisasi, dan konflik sosial antar warga berpengaruh terhadap persepsi mereka akan tetangga dekat.

This study examines the meaning of neighborhood for urban kampung society and how they perceive it through the use of space in urban kampung. These meanings and perceptions are traced using the people-place relationship theories: Place Identity and Place attachment. Social interaction is the main factor leading to the individual's interpretation of the neighborhood, which in the urban kampung context lies in the shared sense of collective struggle among residents. To further the discussion, a case study was conducted at Blok Eceng, an urban kampung in Penjaringan, North Jakarta. Results show that the meaning of neighborhood for urban kampung community is rooted in the togetherness principle shared among residents, presents a sense of solidarity marked by high social interaction, and forms residents' place identity and place attachment. This meaning is shown through their perceptions of the neighborhood as a whole unit of kampung, both socially and spatially. Affiliation of work, local organization, and social conflict influence their perceptions of close neighbors."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Gumay Poetri
"ABSTRAK
Pro dan kontra mengenai pembangunan hunian vertikal berupa rumah susun sederhana di Kota Jakarta membuat saya ingin mengangkat isu mengenai kampung vertikal. Di kampung, terdapat ruang-ruang sosial tempat warga berinteraksi sehingga tercipta budaya rukun dan gotong-royong yang merupakan ciri khas dari sebuah kampung. Ruang sosial tersebut ialah teras yang menjadi wadah terjadinya interaksi sosial. Tujuan studi ini ialah untuk mengungkap makna teras dalam interaksi sosial di kampung vertikal dan pengaruhnya saat ruang teras tersebut tidak dihadirkan dalam kampung vetikal. Adanya makna kampung yang hilang bagi warga saat ruang teras tidak dihadirkan kembali dalam kampung vertikal dapat diketahui melalui cognitive maps. Cognitive maps adalah metodologi yang digunakan untuk mendapatkan pandangan atau persepsi manusia terhadap pengalaman hidupnya di tempat tertentu. Studi ini melibatkan beberapa keluarga di Rusunawa Jatinegara Barat untuk mengetahui bagaimana warga memandang teras dalam kehidupannya saat berada di Kampung Pulo. Berdasarkan metode cognitive maps yang telah dilakukan oleh responden, teras yang dimaksud oleh warga di kampung adalah sebuah ruang terbuka dimana warga dapat saling melihat dan berinteraksi satu sama lain. Ruang sosial berupa teras yang dibutuhkan oleh warga kampung horizontal nyatanya bukan merupakan teras rumah yang pada umumnya digunakan sebagai tempat menerima tamu dan sebagai pembatas antara pagar dan badan rumah.

ABSTRACT
The pros and cons of Vertical Housing Development in the form of Simple Flats in the City of Jakarta made me want to raise the issue of vertical kampung. In kampung, there are social spaces that generate interaction resulting to create a culture of harmonious and mutual cooperation which is the hallmark of kampung. Social space called terrace which functioned as a place to enable social interaction. The purpose of this study is to reveal the meaning of the terrace for the villagers in vertical Kampung and its influence when the terrace room is not presented in vertical kampung The missing meaning of terrace can be known by exploring the meaning of kampung for the villagers through cognitive maps. Cognitive maps are the methodologies that used to gain a human perception or view of life experiences in a particular place. This study will involve some families in Rusunawa, West Jatinegara, on the view of the villagers about the terrace in their lives when in Kampung Pulo. Based on cognitive maps method that have been done by respondents, terrace meaning by villagers is an open space where people can see and interact each others. In fact, social space in the form of terrace that required by villagers is not a terrace house which is generally used as a place to recieve guests and as a barrier between fences and body of the house."
2017
S69032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993
307.76 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rojab Umar Abdillah
"Kampung merupakan embrio dari sebuah kota. Berawal dari sebuah kampung lalu tumbuh menjadi kota metropolitan. Pertumbuhan kota memang berdampak baik namun juga ada dampak buruknya. Kota Semarang dengan populasi 6,6 juta jiwa dalam proses pembangunannya didapati ada empat kampung lama yang digusur oleh developer dalam kurun tahun 2005 hingga 2018, baik itu dibangun hotel maupun apartemen. Keberadaan kampung yang penduduknya berekonomi menengah ke bawah merupakan sasaran empuk bagi developer. Kondisi ini memicu komunitas Peka Kota Hysteria yang fokus pada isu anak muda seni dan perkotan untuk bergerak melestarikan kampung-kampung di perkotaaan salah satunya kampung Bustaman. Penelitian ini mengungkap faktor internal dan eksternal KPK Hysteria dalam melestarikan kampung Bustaman. Serta akan mengungkap strategi yang digunakan oleh KPK Hysteria. Melalui Strategi yang diterapkan yaitu 1. berbasis budaya lokal, 2. pengoptimalan keterlibatan warga kampung Bustaman, dan 3. menggunakan gerakan seni melalui jaringan internal. Tiga hal tadi diterapkan oleh KPK hysteria dengan langkah-langkah yang sistematis. KPK hysteria dinilai mampu dan berhasil melestarikan kampung Bustaman dengan pendampingan selama 6 (enam) tahun. Keberhasilan ini dapat dilihat dari peningkatan modal sosial yaitu: perubahan norma sosial, adanya kontrol sosial, jaringan, trust, dan yang paling dirasakan yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia khususnya remaja pada kampung Bustaman.

Village is an embryo of a city. Metropolitan city is growing from a village. The city growth has good and bad impacts. Semarang City has 6.6 million population and in the process of its development, four old villages have been evicted by the developer during 2005 to 2018, either for hotel or apartment. A village whose population is middle to lower economy is an easy target for developer. This condition has triggered Peka Kota Hysteria community which focuses on the issue of arts and urban youth to preserve villages in the urban area i.e Bustaman village. This study revealed KPK Hysteria's internal and external factors in preserving Bustaman village and will reveal strategies used by KPK Hysteria. Through the strategy implemented namely 1. Based on local culture, 2. Optimizing the involvement of the resident of Bustaman Village and 3. Using art movement through internal network. These tree strategies are implemented by KPK Hysteria with systematic steps. KPK Hysteria is considered capable and succeeded in preserving Bustaman village with the supporting for 6 years. This success can bee seen from the increasing social captal of Bustaman Village: changes in social norm, the existence of social control, network, trust, and the most impact for the resident is the improvement of Human Resources, especially for the youth in Bustaman village."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Nur Mauladi
"Pada studi ini membahas tentang pembentukan ruang publik melalui beragam aktivitas masyarakat di kampung kota. Karakteristik dari aktivitas kehidupan publik masyarakat kampung kota ini bisa ditelaah lebih dalam melalui konsep hubungan socio-spatial yang akan melihat interaksi nilai-nilai spasial dengan nilai-nilai sosial juga akan melihat persepsi orang-orangnya dalam memaknai hubungan tersebut. Sehingga akan bisa diidentifikasi identitas dan kebutuhan dari masyarakat kampung kota tersebut. Interaksi dari beberapa poin seperti keberagaman fungsi, konektivitas dan integrasi, kondisi fisik ruang, pola aktivitas yang terjadi, serta persepsi masyarakat akan sebuah ruang dalam hubungan socio-spatial ini juga bisa dilihat sebagai faktor-faktor pembentukan ruang publik di kampung kota.

This study discusses the formation of public spaces through various community activities in urban kampung. The characteristics of the public life activities of this urban kampung community can be explored more deeply through the concept of socio-spatial relations which will see the interaction of spatial values with social values and will also see the perceptions of the people in interpreting these relationships. So that the identity and needs of the urban village community will be identified. The interaction of several points such as the diversity of functions, connectivity and integration, the physical condition of the space, the pattern of activities that occur, and the public's perception of a space in this socio-spatial relationship can also be seen as factors in the formation of public spaces in urban kampung."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Widya Pratama
"ABSTRAK
Kota Lama Semarang adalah kawasan historis yang penuh dengan nilai sejarah, arsitektur, budaya dengan bangunan-banagunan era kolonial yang masih berdiri seja era kolonial. Dalam perkembangannya, kawasan ini telah mengalami perubahan citra dari kota yang terkesan hidup menjadi kota yang terksesan mati pada era setelah kemerdekaan. Lalu kawasan ini mulai terasa mulai hidup lagi sejak sekitar tahun 2010. Perubahan citra disebabkan terjadinya kekosongan serta kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengonservasikannya. Namun pada tahun 2010 kawasan ini mulai diperhatikan dengan dipugarnya beberapa bangunan seperti Gereja Blenduk. Langkah selanjutnya yang dibutuhkan yaitu adalah untuk melestarikan kawasan ini dari aspek nonfisiknya. Salah satu pendekatannya yaitu melalui studi simbolisme ruang urban. Beberapa cara untuk menganalisis simbolisme ruang urban yaitu dengan menganalisis perkembangan kota lama semarang melalui aspek sejarah, lalu menganalisis karakteristik aspek-aspek fisik ruang urbannya, dan menganalisis kedua poin tersebut dengan cara menganalisis tingkatan pemaknaan yang terjadi di sana. Diharapkan, pada akhirnya masyarakat dan pemerintah semarang dapat mengetahui bahwa dengan mengetahui urban simbolisme kota lama semarang dapat menjadikan kota lama semarang sebagai kawasan dengan yang dapat disadari dan mudah diterima oleh manusianya sehingga tidak terkesan mati lagi dan dapat bersaing dengan kawasan lainnya.

ABSTRACT<>br>
The Old City of Semarang is a historical area full of historical, architectural, cultural values with colonial era buildings still standing there until nowadays. In its development, the district has undergone a change of image from a city that impressed live into a deadly city in the post independence era. Then the district began to feel started to live again since around the year 2010. Image changes due to the vacancy of the buildings and lack of public awareness and the government to conserve it. But in 2010 this area began to be noticed by conserving some buildings such as Blenduk Church. The next step required is to preserve this area from its nonphysical aspect. One approach is through the study of urban space symbolism. Some ways to analyze the symbolism of urban space is to analyze the development of the old city through the aspect of history, then analyze the characteristics of the physical aspects of urban space and analyze those two points by analyzing the level of meaning that occurred there. Hopefully, by understanding the urban symbolism, Old City Semarang will be conserved better and can be a district which can be perceived, remembered and accepted by people so that does not seem dead again and can compete with anther region. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
"Skripsi ini membahas bagaimana masyarakat kampung kota memaknai jalan dalam kampungnya dengan mengambil studi kasus sebuah legitimasi atas transformasi jalan pada kampung Bidaracina. Metode yang digunakan dalam survei menggunakan metode observasi, wawancara, emic (menjadi subjek pengamatan), melakukan pemetaan kejadian, dan mengambil foto berdasarkan waktu yang berbeda. Pembahasan mencakup tentang ruang, tempat, dan ruang sosial yang digunakan untuk memahami konsep pemaknaan ruang. Selain itu dibahas pula implikasi dari adanya legitimasi atas transformasi ruang jalan berupa "pasar kaget" yang berpengaruh pada pembentukkan kampung Bidaracina secara keseluruhan.
Hasil studi menunjukkan masyarakat kampung Bidaracina memaknai jalan utama di kampungnya sebagai pasar ketika pagi hari dan sebagai jalur sirkulasi di waktu lainnya. Adanya legitimasi dan kebutuhan atas keberadaan pasar, kekuatan yang terkandung dalam keberadaan pasar, serta pola perkembangan kampung yang berorientasi kepada kebutuhan pasar melatarbelakangi pemaknaan jalan bagi warga kampung Bidaracina. Akhirnya keberadaan jalan sebagai "pasar kaget" selama 51 tahun sebagai pusat ekonomi sosial kampung dan menduduki hierarki tertinggi dalam kampung, memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pembentukkan natural organik yang terjadi pada kampung Bidaracina.

This thesis discusses how society interpret street in the Kampung by taking a case study of legitimacy to the transformation of the street of Kampung Bidaracina. The methods that used in the survey are observation, interviews, emic (being the subject of observation), mapping of events, and taking photos by different time. The discussion covers about space, place, and social space that used to understand the concept of value of space. In addition, also discussed the implications of their legitimacy to the transformation of street space in the form of "pasar kaget" affecting the overall Kampung Bidaracina's formation.
The study shows the society in Bidaracina interpret the main street in the Kampung as a market when the mornings and as a circulation space at any other time. Their legitimacy and the need for the existence of the market, the power contained within its market presence, and development patterns of Kampung that oriented to the needs of the market, are underlying the meaning of street by society of Kampung Bidaracina. Finally, the existence of the street as a "pasar kaget" for 51 years as the center of social economic Kampung and occupy the highest hierarchy in the Kampung, greatly contributing to the organic natural formation of Kampung Bidaracina."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63194
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kismartini
"Pertumbuhan penduduk di perkotaan berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1989 jumlah seluruh penduduk di Indonesia 176 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan rata-rata 2,1 pertahun akan menjadi 216 juta jiwa pada tahun 2000. Dari jumlah tersebut pada saat ini 27 persen adalah penduduk perkotaan, pada tahun 2000 diprediksikan menjadi 38 persen yang tinggal di perkotaan.
Tekanan jumlah penduduk juga dirasakan oleh kota Semarang. Menurut analisis data sekunder hasil sensus penduduk pada tahun 1980 adalah 1.024.940 jiwa, sedangkan pada tahun 1971 masih berjumlah 641.795 jiwa, ini berarti ada peningkatan 59,7 persen selama 9 tahun atau rata-rata 5,3 persen per tahun. Meskipun pada dasawarsa terakhir (1980-1989) pertumbuhan penduduk bisa ditekan, namun kepadatan masih sangat dirasakan untuk daerah-daerah tertentu. Misalnya di wilayah penelitian kepadatan sudah di atas 500 jiwa/ha. Tekanan penduduk yang melebihi daya dukung ini menyebabkan munculnya pemukiman dengan tatanan yang serba tidak teratur. Pemukiman seperti ini tumbuh dengan pesat dan tidak terkendali sehingga menjadi daerah yang kumuh dengan penduduk rendah pendidikan dan penghasilan. Jumlah penduduk miskin itu sendiri di perkotaan pada dasawarsa terakhir ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang berarti, bahkan cenderung untuk meningkat.
Dalam upaya mengentaskan masalah kemiskinan di perkotaan, Pemerintah melaksanakan suatu program yang disebut Program Perbaikan Kampung. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Program Perbaikan Kampung mempunyai fasilitas bantuan kepada masyarakat yang terdiri dari penyediaan air bersih, perbaikan jalan, perbaikan selokan dan bantuan jamban keluarga.
Sedangkan kualitas hidup dalam penelitian ini meliputi lima aspek kualitas, yaitu aspek fisik dilihat dari kelayakan rumah, aspek ekonomi dilihat dari kemiskinan dan persen pengeluaran untuk makan, aspek kesehatan, aspek psikologis dilihat dari kebetahan bertempat tinggal, aspek sosial kemasyarakatan.
Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelima aspek kualitas hidup tersebut di atas dan apakah program perbaikan kampung mempengaruhi kelima aspek kualitas tersebut.
Adapun penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mengetahui pengaruh Perbaikan Kampung terhadap Kualitas Hidup.
2. Mengetahui pengaruh Kondisi Lingkungan Sosial terhadap Kualitas Hidup.
3. Mengetahui keberhasilan Program Perbaikan Kampung dalam meningkatkan Kualitas Hidup.
Lokasi penelitian adalah tiga Kelurahan di Kecamatan Semarang Tengah, ditentukan berdasarkan cara purposive sampling. Masing-masing kelurahan diambil satu RW yang merupakan wilayah paling padat penduduknya. Selanjutnya untuk menentukan banyaknya sampel di tiap-tiap RW digunakan cara proporsional random sampling, yang keseluruhannya berjumlah 105 responden.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan kuesioner, wawancara mendalam dengan masyarakat dan petugas KIP serta observasi lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan literatur dan dari instansi terkait. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan memakai statistik non parametrik, yaitu menggunakan rumus Chi-Square yang diteruskan dengan uji Coefficient Contingency, disertai pula dengan analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel-variabel Perbaikan Kampung mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor layak rumah dengan derajat hubungan yang cukup kuat, berpengaruh pula terhadap faktor Kesehatan dengan derajat hubungan yang cukup kuat, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor Kemiskinan, Peranserta dalam Pembangunan dan faktor Kebetahan Bertempat Tinggal.
Variabel-variabel Lingkungan Sosial mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup balk dilihat dari layak rumah, kemiskinan, kesehatan maupun peranserta dalam pembangunan, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap kebetahan bertempat tinggal.
Jadi dari hasil korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Program Perbaikan Kampung lebih berhasil dalam meningkatkan kualitas fisik pemukiman akan tetapi kurang berhasil dalam meningkatkan kualitas ekonomi dan kualitas sosial kemasyarakatan.

The population of the city tends to grow very fast. With a 2.1% average annual growth rate, the population of the city, which had been estimated as 176 million in 1989, is predicted to count for 216 millions in the next 2000. At present, 27% of the total city population is found in the urban areas, which means that in the next 2000, the percentage will count for 38%.
Population pressure is one of the Semarang city problems. According to the 1980 census, the number of the city population in the same year is 1 024 940, compared to the city population in 1971, i.e. 641 795. That means that within nine years, the city population has undergone an increment of 57.7% or annual average of 5.3%.
Even though during the last decade various efforts had been conducted to control the population growth, in some parts of the city areas, population density is significantly increasing. This is particularly true with regard to the observed areas, where population density is more than 500/sqm. Such population pressure rendered the areas overpopulated and thus exceeding the physical carrying capacity. Such condition has been made severe with the emergence of various disordered population settlements. The uncontrolled settlements have grown very fast, creating slums areas with low-educated and low-income inhabitants adding to the increasing numbers of the urban poor.
In the frame of urban poverty eradication, the government has launched a program named as the Kampung Improvement Program (KIP), aiming to improve the quality of life of the urban poor. This program has been continuously providing social facilities to the urban poor in the form clean water provisions, street improvements, latrines and wastewater infrastructure/ facilities.
In light of its parameters, the quality of life is viewed from five aspect, i.e. (1) physical aspect, represented by housing condition, (2) economic aspect, represented by rate of poverty and percentage of consumption for food, (3) health aspect, (4) psychological aspect, viewed from residential adjustment, and (5) societal aspect.
The study tried to investigate what kind of factors influencing the five aspects of quality of life and whether the Kampung Improvement Program has significant influences on the said aspects.
The objectives of the study are:
1. To study the influence of KIP on the quality of life of the community studied;
2. To study the influence of the social environment on their quality of life;
3. To study the results of the KIP Program in promoting their quality of life
The areas studied covered three villages in the Sub-district of Central Semarang, base on purposive sampling. One RW community association, the population of which is the densest, represents each village. Samples were proportionally and randomly taken, with 105 inhabitants as respondents.
Primary data were collected through interviews using questionnaires, depth interviews with informal leaders and KIP personnel?s, supported by field observation. Secondary data were obtained through literature studies and some connected agencies.
Results of data analysis indicate that KIP variables proved to be having significant correlation with the quality of life in terms of residential adjustment factor, showing a strong degree of relationship. The same variables have also influence on the health factor, showing a strong degree of relationship, even though their influence on the quality of life viewed from the poverty, participation, and residential adjustment are less significant.
Social environment variables have significant correlation with the quality of life of the community in terms of residential adjustment, poverty, health and participation in the program; even though their influence on the residential adjustment are less significant. From the correlation analysis we can assume that the KIP has succeeded in the improvement of the settlement physical quality, yet less succeeded in improving the social and economic quality of the community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Nur
"Penelitian ini bertolak dari fenomena keberadaan kampung di perkotaan dalam proses berlangsungnya perkembangan kota. Banyak penduduk asli kampung yang tersisih dan pindah ke pinggiran kota namun masih ada yang dapat bertahan. Permasalahan yang akan diungkapkan adalah menyangkut pengaruh perkembangan kota terhadap keberadaan kampung kota dan bagaimana komunitas asli yang masih terdapat di dalamnya melakukan aktivitas dan bermukim sebagai usaha untuk tetapat eksis di lingkungan tempat tinggalnya. Analisis didasarkan atas penggunaan konsep Vita aktiva dari Arendt dan Strukturasi masyarakat oleh Giddens sebagai orientasi teoritikal untuk memahamai kondisi manusia dari komunitas asli, perekonomian, system sosial serta produksi dan reproduksi sosial dan implementasinya terhadap aspek keruangan di dalam kampung. Untuk itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode observasi dan wawancara.
Hasil analisa menemukan bahwa perkembangan kota berdampak pada terbukanya akses ke kampung, banyak pendatang dan investor berminat untuk tinggal dan berusaha di kampung yang berakibat pada terjadinya transformasi ruang di kampung. Ketidakmampuan untuk bersaing karena keterbatasan kondisi manusia menyebabkan penduduk asli sulit untuk mempertahankan asetnya. Dipihak lain dengan latar pendidikan dan keterampilan yang lebih baik, para pendatang dan investor dapat mendominasi kepemilikan lahan dan kegiatan perekonomian di kampung. Terdominasinya penduduk asli dalam kehidupan akan berimplikasi pada terbentuknya masyarakat baru di kampung. Dalam aspek legal formal kampung Luar Batang masih eksis, namun keberadaanya hanya bersifat semu karena tidak lagi didukung oleh komunitas awal sebagai komponen dasar yang membentuknya.

This research motivated by an existence phenomenon of kampung kota in urban development process. Many people of kampung moving of to the town boundary but still there are original communities able to stay, to survive. This research aim to explores the influence of urban development process to existence of kampung Luar Batang in north of Jakarta and how the community of this kampung conduct their life and activity as effort to survive. The analysis based on Arendt idea of vita activa and Gidden?s structuration is applied as theoretical orientation to understand human condition of community, economic life, social reproduction and social system and the implementation in to the spatial formation in kampung. It is therefore done by research by using qualitative method to express the community phenomenon by explore life experiences in it through observation and interview.
Findings have shown that process of urban development has caused the spatial transformation in kampung. The limited economy capability causes the high dependability of the community to land. The land as commodity used for fulfilling their needs in following the environment change around the kampung. Limitation of human condition, the community cannot be compete and predominated by immigrant and investors. On the other hand, with education background and better skill, the immigrant has the abilities predominate the property of land and activity of economics in kampung. The predominating of community in kampung will increase a new society in kampung. In case of legally and formally aspect, kampung Luar Batang is still exist, however the substance of the existence is in appearance only, because this kampung is no longer supported by the early community as basic component was form of.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T41134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>