Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desvia Winandra
"Hibah dan hibah wasiat seharusnya dilihat dari cara penghibahan itu dilakukan dan langsung dibuatkan dalam bentuk akta autentik guna menjamin kepastian hukum. Namun, dalam kenyataannya terdapat 2 (dua) akta hibah terhadap objek yang sama sebagaimana ditemukan dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 242 PK/Pdt/2021 yaitu akta hibah wasiat dan akta pernyataan notariil. Oleh karena itu, fokus dari penelitian untuk tesis ini adalah berkaitan dengan hibah wasiat yang dibuat setelah adanya hibah dibawah tangan dalam akta pernyataan notariil. Untuk menjawab permasalahan utama dalam penelitian ini disusun rumusan masalah yang berkaitan dengan kekuatan hibah dibawah tangan dalam akta pernyataan notariil serta kedudukan akta hibah wasiat yang dibuat setelah adanya hibah dibawah tangan atas objek yang sama. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan. Bahan-bahan hukum tersebut selanjutnya diinterpretasi, disistematisasi dan dievaluasi guna menjawab permasalahan utama penelitian. Hasil dari analisis terhadap bahan-bahan hukum itu menunjukkan bahwa hibah yang dibuat dibawah tangan dalam akta pernyataan notariil mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena menjadi alat bukti yang sempurna sebagaimana dimiliki oleh akta autentik. Adapun hibah wasiat yang dibuat setelah adanya hibah dibawah tangan dibatalkan oleh hibah dibawah tangan tersebut, sebab pelaksanaan hibah yang dibuat secara bawah tangan dalam akta pernyataan notariil tersebut sudah dilaksanakan terlebih dahulu dan tidak dapat ditarik kembali. Dengan demikian, notaris yang diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik sebaiknya memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat untuk membuat hibah dalam akta autentik serta melakukan penelitian terhadap segala perbuatan hukum yang akan dituangkan dalam akta.

Grant and Testamentary Grant should be reviewed in the transfer of land rights through grants and also directly made into authentic deeds. Unfortunately, in the reality there are 2 (two) grant deeds with the same object as it was found on the case of Decision of the Supreme Court of the Republic Indonesia Number 242 PK/Pdt/2021. Therefore, the focus in this law research for this thesis are related to testamentary grant that was made after underhand grant into notarial statement deeds. To answer the main problem of this research, research problems are arranged to about the power of underhand grants that was made after that underhand grant and the standing of testamentary grants that was made after that underhand grant within the same object. Doctrinal research is been done to collect legal materials by library research. Those legal material then been interpreted, systemized, and evaluate to answer the research problems. The results by analyzing those legal materials indicates that underhand grants that was made into notarial statement deeds are legally binding, because it became strong evidence as it was been have in authentic deeds. As for testamentary grants that was made after underhand grants is been canceled by underhand grants that are poured into notarial statement deeds, because the implementation of the grant that was made by underhand grant are been done and irrevocable. Thus, Notary who is given the authority to establish and authentic deeds should provide legal counseling to public in establishing deeds into authentic deeds also conduct research in any legal actions that will be establish into deeds.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Tesis ini membahas tentang kedudukan akta hibah dan akta hibah wasiat yang dibuat dengan akta autentik maupun dibawah tangan untuk suatu objek yang sama. Ketentuan mengenai kekuatan pembuktian dari kedua akta tersebut dan syarat-syaratnya agar akta dapat berlaku dan sah menurut hukum. Jika penghibahan atau hibah wasiat dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka dapat timbul masalah dan akta dapat diancam batal. Salah satu permasalahannya adalah pada satu objek tertentu dibuat akta hibah dibawah tangan dan akta hibah wasiat untuk orang yang berbeda, sehingga terdapat dua pihak yang merasa memiliki objek tersebut. Seperti pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan No. 371/PDT.2017/PT.DKI dimana alm. Janda Augustha Alexandra Johanna Lumanauw pada masa hidupnya memiliki sebidang tanah, dan sebidang tanah tersebut ia berikan kepada keponakannya Charlotte Meity Wairisal Lumanauw pada tahun 1996 dengan akta hibah dibawah tangan. Kemudian pada tahun 1999 tanah yang sama diberikan juga kepada Johanna V. Lumanauw dan Novie Mandas yang merupakan keponakannya yang lain dengan akta hibah wasiat. Metode penulisan yang digunakan yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata menunjukan akta hibah yang dibuat dibawah tangan pada kasus ini batal demi hukum, karena tidak memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan akta hibah wasiat yang dibuat pada tahun 1999 merupakan akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, sehingga akta tersebut sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.

This thesis aimed to review deed of grant and deed of testamentary grant that was made with authentic deed or privately made for the same object. The provision on the strength of proof from the two deeds and the requirements for the deed to be valid and lawful. If the grant or the testamentary grant was made not in accordance with the applicable provisions then it can cause problem and the deed can be threatened void. One of the problems is that on one particular object is created privately made deed of grant and deed of testamentary grant for different person, so there are two parties who feel that they own the object. As in the High Court rsquo s Verdict of South Jakarta Number 371 PDT.2017 PT.DKI where deceased widow Augustha Alexandra Johanna Lumanauw in her lifetime had a plot of land, and she gave that plot of land to her niece Charlotte Meity Wairisal Lumanauw on 1996 with privately made deed of grant. Then, on 1999 the same land also given to Johanna V. Lumanauw and Novie Mandas who is her other niece with the deed of testamentary grant. The writing method that was used by the author to discuss and review this writing more deeply is judicial normative approach method. The result of this research is based on Indonesian Civil Code, the privately made deed of grant on this case is void ab initio, because it doesn rsquo t meet the provision prescribed by the law. While the deed of testamentary estate that was made on 1999 is the authentic deed made by authorized official, so the deed is legitimate and has a strong evidentiary power."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sa'Adatud Daroini
"Akta Hibah merupakan salah satu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT. Dalam prosesnya pembuatannya, tidak boleh ada paksaan terhadap pemberi hibah untuk menandatangani akta tersebut. Hal ini karena pada dasarnya hibah adalah pemberian dari seseorang semasa hidupnya dengan cuma-cuma. Jika dalam pembuatan akta hibah terdapat paksaan dari salah satu pihak maka akan berakibat pada keabsahan akta hibah tersebut dan PPAT dapat digugat. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai seorang PPAT yang dapat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta hibah dan tanggung jawab PPAT terhadap akta hibah yang dibuat dengan adanya paksaan dalam penandatanganannya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1007/Pdt.G/2020/PN Sby. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif, dengan tipologi yang bersifat eksplanatoris analitis dan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akta hibah yang dibuat dengan adanya paksaan menjadi tidak sah dan dapat diminta pembatalannya ke pengadilan karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian mengenai kesepakatan para pihak. Notaris/PPAT YA dapat diminta pertanggung jawaban secara perdata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu membuat akta hibah dimana pemberi hibah tidak pernah menyetujui adanya penghibahan tersebut dan hal tersebut merugikan pemberi hibah. Tanggung jawab berikutnya adalah secara administratif, karena Notaris/PPAT YA telah melanggar Pasal 28 ayat (4) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 serta tanggung jawab secara pidana karena melanggar Pasal 264 ayat (1) KUHP. Berdasarkan hal tersebut, PPAT sebaiknya menolak untuk membuat akta hibah yang dalam penandatanganannya terdapat paksaan yang dilakukan oleh salah satu pihak karena akan berakibat pada keabsahan akta hibah tersebut dan PPAT dapat dikenakan tanggung jawab secara perdata, administratif dan bahkan pidana.

The Grant Deed is one of the authentic deeds made by or before the PPAT. In the process of making the Deed, there shouldn’t be any force towards the grantor to sign the deed. It is because basically a grant is a gift from someone during his/her lifetime for free. If there is a force in the making of a grant deed from one of the parties, it will affect the validity of the grant deed and the PPAT could be sued. The problem of this research is concerning the validity of the grant deed and the liability of PPAT towards the grant deed which was made by forcing the signing of the grant deed based on the Surabaya District Court Decision Number 1007/Pdt.G/2020/PN Sby. This research uses normative juridical, with explanatory analytical typology and uses secondary data. The result of this research showed that the grant deed which was made by force becomes invalid and its cancellation could be requested to the court because it does not comply the legal requirements of the agreement regarding the deal of the parties. Notary/PPAT YA can be held civilly liable for committing an unlawful act, namely making a grant deed that has never been approved by the grantor and it is detrimental to the grantor. The following liability is administratively, because Notary/PPAT YA has violated Article number 28 clause (4) of the Regulation of the Head of the National Land Agency Number 1 of 2006 as well as criminal liability for violating Article 264 clause (1) of the KUHP. Based on that, it is better for the PPAT to refuse making a grant deed which was forced by one of the parties in its signing because it would affect the validity of the grant deed and PPAT might be subject to civil, administratively, or even criminally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Meutia
"Penelitian ini terkait dengan permasalahan pembagian waris yang disebabkan oleh adanya pemberian hibah wasiat kepada salah satu ahli waris. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2665 K/Pdt/2019, para ahli waris dari perkawinan pertama pewaris melakukan gugatan pembatalan hibah wasiat. Permasalahan dalam penelitian  ini adalah mengenai pembatasan yang diperbolehkan dalam hibah wasiat dan perlindungan hukum serta pembagian waris sebagai akibat dari pembatalan hibah wasiat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Data yang dipakai dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk menganalisis data-data tersebut, digunakan metode analisis kualitatif, dengan bentuk hasil kajian berbentuk eksplanatoris analitis. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hibah wasiat dalam putusan ini dianggap melanggar bagian mutlak (legitime portie) para ahli waris Golongan I dikarenakan pemberian hibah wasiat hampir sebesar 100% harta warisannya. Bagian mutlak hanya dapat diterapkan pada ahli waris dalam garis lurus kebawah maupun keatas yang dalam putusan ini faktor legitime portie yang digunakan adalah ¾ (tiga per empat) karena jumlah anak-anak yang dilahirkan lebih dari 3 (tiga) orang. Selanjutnya mengenai perlindungan hukum dan akibat pembatalan hibah wasiat terhadap pembagian waris dalam kasus ini para ahli waris dapat melakukan upaya perlindungan hukum secara represif yaitu dengan mengajukan gugatan pembatalan hibah wasiat melalui pengadilan. Hakim memutuskan hibah wasiat tidak sah kecuali hanya untuk 1/3 (sepertiga) bagian dan ahli waris lainnya sebesar masing-masing 1/6 (seperenam) bagian dari sisa harta pewaris.

This research is related to the problem of inheritance distribution caused by the granting of a will to one of the heirs. In the Supreme Court Decision Number 2665 K/Pdt/2019, the heirs of the testator's first marriage filed a lawsuit for the cancellation of the will grant. The problem in this study is regarding the permissible limitations in will grants and legal protection as well as inheritance distribution as a result of the cancellation of will grants. This study uses a normative juridical research method with an explanatory research typology. The data used in this paper is secondary data, which consists of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. To analyze the data, a qualitative analysis method was used, with the results of the study in the form of an analytical explanatory. The results of the research analysis show that the testamentary grant in this decision is considered to violate the absolute portion (legitime portie) of the Group I heirs because the grant of wills is almost 100% of the inheritance. Legitime portie can only be applied to heirs in a straight line down or up where in this decision the factor of legitime portie used is (three quarters) because the testator’s has more than three children. Furthermore, regarding legal protection and as a result of the revocation of testamentary grant on the distribution of inheritance, in this case the heirs can take repressive legal protection efforts, namely by filing a lawsuit for the cancellation of the will through the court. The judge decided that the testamentary grant was invalid except for only 1/3 (one third) of the share and the other heirs for 1/6 (sixth) each of the remaining estate of the testator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Tiara Suci
"Peralihan hak atas tanah melalui hibah hanya dapat dilakukan dengan Akta Autentik yang dibuat oleh PPAT. Agar suatu penghibahan beralih secara sempurna, syarat pembuatan Akta Hibah harus dipenuhi dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun, dalam Putusan Nomor 44/Pid.B/2021/PN.Clp, unsur syarat subjektif dan objektif akta tidak terpenuhi karena ketidakhadiran pemberi hibah, sehingga PPAT yang membuat akta tersebut berinisiatif memalsukan tanda tangan pemberi hibah agar proses penghibahan tetap berlanjut agar objek hibah segera beralih. Permasalahan dalam tesis ini adalah akibat hukum dari akta hibah yang tanda tangan pihaknya dipalsukan oleh PPAT yang membuatnya, dan pertanggungjawaban PPAT terhadap perbuatannya tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris berdasarkan data sekunder, melalui studi kepustakaan. Dari hasil penelitian dapat disimpulan bahwa akta hibah yang dipalsukan tersebut batal demi hukum, karena tidak memenuhi unsur syarat subjektif dan objektif akta, dan PPAT yang memalsukan tanda tangan pemberi hibah dalam akta tersebut dapat dijatuhi pertanggungjawaban baik secara pidana, perdata maupun administratif.

The transfer of land rights through grants can only be carried out with an Authentic Deed made by Land Deed Official (PPAT). In order for a grant to be validly transferred, the requirements for executing a Grant Deed shall be fulfilled and implemented in accordance with the provisions of the related Law. However, referred to Decision Number 44/Pid.B/2021/PN.Clp, the subjective and objective requirements of the grant deed were not fulfilled due to the absence of the grantor, therefore the PPAT who made the deed took the initiative to forge the signature of the grantor so that the granting process continued. Problems arise in this thesis are concerning the legal consequences of the grant deed whose signature of the party was falsified by the PPAT who made it, and the PPAT's responsibility against the said falsification of signatures. To answer these problems, a normative juridical research method that is prescriptibe analytical based on secondary data is used, through a literature study. Based on the results of the research, it is concluded that the falsified grant deed is deemed null and void because it does not meet the subjective and objective requirements of the deed, and the PPAT who falsifies the signature of the grantor in the deed can be held liable criminally, civilly and administratively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jacelyn Liwandi
"Peralihan hak atas tanah melalui hibah seharusnya dilakukan dengan akta autentik untuk kepentingan dalam pendaftaran tanah pertama kali. Jika tanah tersebut merupakan tanah warisan harus dengan persetujuan ahli waris dan apabila hibah diperoleh paska perkawinan sebaiknya dipisahkan perolehan terhadap tanah dan bangunannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum tentang keabsahan hibah dan status hibah yang diperoleh paska perkawinan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah terkait keabsahan hibah dibawah tangan yang objek tanahnya merupakan hasil warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris dalam putusan Nomor 2859 K/Pdt/2019 dan status hibah yang diperoleh paska perkawinan menurut pertimbangan hakim dalam putusan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan studi dokumen. Selanjutnya analisis secara kualitatif dilakukan untuk mengolah data sekunder yang didapat. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun hibah dibawah tangan diperbolehkan (SEMA 3/1963). Namun akta PPAT tetap dibutuhkan untuk melakukan pendaftaran tanah pertama kali guna memperoleh kepastian hukum. Akan tetapi, peralihan hibah dalam perkara tidak memenuhi syarat materiil dan formil karena objek sengketa masih merupakan tanah warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris sehingga peralihan hak atas tanah melalui hibah tersebut tidak sah menurut hukum. Adapun status hibah yang diperoleh paska perkawinan tidak dapat dinyatakan sepenuhnya sebagai harta bersama ataupun harta bawaan. Terkait bangunan di atas tanah hibah, oleh karena dibuat dari hasil kerja keras bersama merupakan harta bersama. Sedangkan tanah yang diperoleh berdasarkan hibah merupakan harta bawaan.

The transfer of land rights through grants should be carried out with an authentic deed concerns for the first timer land registration. If the land is inherited land, of course, it must be with the approval of the heirs and if the grant is obtained after marriage, it should be separated among the land and the building. This intended to provide legal certainty regarding the validity of the grant and the status of the grant obtained after marriage. The main issues in this study associate to the validity of the provate grant letter whose land object is an inheritance that has not been distributed to the heirs based on the verdict of Supreme Court Rulings Number 2859 K/Pdt/2019 and the status of the grant obtained after the marriage according to the judge's consideration by this rullings. In order to elucidate the issues, a normative juridical research is carried out by conducting a document study. Furthermore, qualitative analysis was carried out to process the secondary data obtained. This study found that the transfer of land rights through private grant letter was allowed under SEMA 3/1963. However, the PPAT deed is still needed to register the land for the first time in order to obtain legal certainty. The transfer of the grant in this case doesn’t meet the material and formal requirements because the object of the dispute is still inherited land that has not been distributed to the heirs, so that the transfer of land rights through the grant is not legally valid. The status of grants obtained after marriage cannot be fully declared as joint property or personal property. Regarding the building on the land of the grant was built by the results of joint hard work, then it shuld be a joint property. Meanwhile, the land acquired based on a grant was a personal property."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biyanda Rizky
"Peralihan hak atas tanah melalui perbuatan hukum hibah semestinya memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan hibah dalam Pasal 1666 KUHPerdata, serta dituangkan ke dalam akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Meskipun demikian masih ditemukan hibah yang tidak memenuhi syarat subjektif maupun objektif seperti kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 25/PK/PDT/2018. Oleh karena itu masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang keabsahan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT berkenaan dengan hibah untuk mengalihkan hak atas tanah dari seorang isteri kepada suaminya, dan tanggungjawab PPAT dalam pembuatan Akta Hibah semacam itu. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT untuk mengalihkan hak atas tanah dari isteri kepada suaminya adalah tidak sah sehingga batal demi hukum karena tidak dipenuhinya syarat subjektif yaitu larangan pasangan suami isteri dalam melakukan hibah dan tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian yaitu mengenai kausa yang halal, dalam hal ini hibah tidak boleh menyalahi ketentuan perundang-undangan Pasal 1678 KUHPerdata tentang larangan hibah. Namun demikian hibah dari seorang isteri kepada suaminya dapat dilakukan apabila dibuat perjanjian kawin sebelum dilakukannya hibah. Adapun terkait tanggungjawab PPAT dalam pembuatan akta terkait hibah yang semestinya dilarang antara paasangan suami isteri adalah secara adminstrasi/kode etik berupa sanksi teguran dan peringatan tegas berdasarkan Pasal 6 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor 112/Kep-4.1/IV/2017 tanggal 27 April 2017. Apabila pemberian sanksi tersebut tidak dihiraukan oleh PPAT maka dapat diberikan sanksi berupa pemecatan.

The transfer of land rights through a grant legal act must fulfil the subjective and objective requirements in the agreement as outlined in Article 1666 of the Civil Code and the grant provisions in Article 1320 of the Civil Code. In addition, it must be documented in an authentic deed made by a Land Deed Official (‘PPAT’) as mandated in Article 2 of Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations on the Position of PPAT. However, there are still several grants that do not fulfil the subjective and objective requirements, such as the case in the Supreme Court Review Decision Number: 25/PK/PDT/2018. Therefore, the issue raised in this research is related to the validity of the Grant Deed made by PPAT regarding a grant to transfer land rights from a wife to her husband, and the responsibility of PPAT in making such a Grant Deed. This doctrinal legal research is conducted through a literature study to collect secondary data, which is then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the Grant Deed made by PPAT to transfer land rights from the wife to her husband is invalid so that it is null and void due to the non-fulfilment of subjective conditions, namely the prohibition of married couples in making grants and the non-fulfilment of the objective conditions of the agreement, namely regarding lawful causes. In this case, the grant must not violate the statutory provisions of Article 1678 of the Civil Code. As for the responsibilities of PPAT in making Grant Deeds, is administrative/code of ethics. The administrative responsibility/code of ethics of the PPAT related to the cancellation of the Grant Deed made by the PPAT is in the form of sanctions of reprimand and firm warning based on Article 6 of the Code of Ethics of the Association of Land Deed Officials Number 112/Kep-4.1/IV/2017 dated 27 April 2017. Moreover, if the sanction is ignored by the PPAT, the sanction can be given in the form of dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Mariani Santoso
"Pelelangan eksekusi hak tanggungan seharusnya dilaksanakan berdasarkan hak penerima hak tanggungan peringkat pertama yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yang berkekuatan hukum (parate eksekusi). Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 988/K/Pdt/2022, APHT yang menjadi dasar pelelangan dibuat secara melawan hukum karena pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungannya tidak dihadiri oleh pemberi hak tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum dari pelelangan yang dilakukan berdasarkan APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia dan mengenai perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa APHT yang dibuat setelah debitur meninggal dunia bertentangan dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sehingga menjadi batal demi hukum dan mengakibatkan batal demi hukumnya pelelangan dan peralihan atas objek hak tanggungan. Sedangkan perlindungan hukum bagi kreditur pasca batalnya lelang eksekusi hak tanggungan ketika debitur wanprestasi adalah dengan menyatakan seluruh isi perjanjian kredit harus dilaksanakan dan dapat mengajukan gugatan wanprestasi untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada ahli waris debitur. Maka dari itu, pembuatan APHT setelah debitur meninggal dunia tidak cukup hanya dengan janji dalam perjanjian kredit sehingga pertimbangan hakim tidak tepat.

Execution of mortgage rights should be held by the first holder’s right (parate execution) contained in the legally enforceable deed of grant of mortgage (“APHT”). On the Supreme Court Decision Number 988/K/Pdt/2022, the APHT that used for the auction was made against the law because the power of attnorney was made without the presence of the mortgagee thus becoming null and void. This research aims to analyze the consequences of the auction held based on APHT made after the debtor’s death and regarding legal protection for creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default. This research is a doctrinal legal approach with explanatory research typology that used secondary data obtained through literature study. The data was analyzed qualitatively. Based on this research, it was found that APHT made after the debtor’s death was against Article 15 paragraph (1) Law No. 4 year 1996 on Mortgage Right hence it becomes null and void, resulting the auction and the object of mortgage’s transfer to be null and void as well. Meanwhile, the legal protection that could be taken by the creditors after the execution of mortgage rights was declared null and void in the event of the mortgagee’s default are by stating that all contents of the credit agreement must be implemented and by filing a default lawsuit to the debtor’s heirs to get compensation for losses and interest. The conclusion is the pledge from the credit agreement was not sufficient to be used as a basis to make APHT after the debtor’s death, so the judges’ judgement was not precise.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Sakinah
"PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai hak atas tanah, salah satunya ialah Akta Hibah. Hibah ialah perjanjian sepihak dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya, hibah harus memenuhi syarat objektif maupun subjektif. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan suatu perbuatan hukum menjadi batal demi hukum seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 195/Pdt.G/2020/PN Blb yang mana hakim menyatakan batal demi hukum akta hibah yang dibuat berdasarkan identitas palsu. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. tanggung jawab PPAT terhadap pembuatan akta hibah berdasarkan identitas palsu, 2. akibat hukum pembatalan akta hibah, 3. implementasi asas itikad baik atas peralihan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor 195/Pdt.G/PN Blb. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembuatan akta hibah yang memuat identitas palsu sebab PPAT hanya bertanggung jawab atas kebenaran formiil, 2. Akta hibah yang memuat identitas palsu tidak memenuhi syarat objektif sehingga batal demi hukum, maka hibah hibah tersebut dianggap tidak pernah ada, 3. YK dalam kasus posisi tersebut tidak mengimplementasikan asas itikad baik sedangkan DW selaku pembeli atas tanah objek hibah dapat dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu seharusnya PPAT dalam menjalankan tugasnya mengedepankan asas kehati-hatian dan setiap individu harus mengimplementasikan asas itikad baik atas setiap perbuatan hukum.

PPAT is a public official authorized to make authentic deeds regarding land rights, one of which is the Grant Deed. A grant is a one-sided agreement in which the first party will hand over an object because of their kindness to another party. In its implementation, grants must meet both objective and subjective requirements. The non-fulfillment of material conditions causes a legal action to be null and void, as in the Bale Bandung District Court Decision Number 195/Pdt.G/2020/PN Blb, in which the judge declared null and void the grant deed made based on a false identity. The problems raised in this study are 1. PPAT's responsibility for creating a grant deed based on a false identity, 2. the legal consequences of canceling the grant deed, 3. implementation of the principle of good faith on the transfer of land rights based on the decision of the Bale Bandung District Court Number 195/ Pdt.G/PN Blb. A normative juridical legal research method with an explanatory type of research was used to answer these problems. The analysis results are that PPAT was not responsible for making a grant deed containing a false identity because PPAT was only responsible for the formal truth, 2. The grant deed containing a false identity did not meet the objective requirements, so it was null and void, then the grant was considered to have never existed, 3. In the case of the position, YK did not implement the principle of good faith, while DW, as the buyer of the land object of the grant, can be declared a buyer in good faith. The advice that can be given is that PPAT should prioritize the principle of prudence in carrying out its duties, and each individual must implement the principle of good faith for every legal act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qyashaatie Neiva Ghaissani
"Hibah wasiat dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, namun dalam pelaksanaannya sering terjadi konflik seperti penguasaan harta peninggalan oleh pihak yang tidak berhak. Penelitian ini membahas mengenai kedudukan hukum hibah wasiat yang telah dihibahkan dengan dasar surat penyerahan tanah palsu, akta hibah tersebut digunakan untuk menerbitkan sertipikat hak milik sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 527/Pdt.G/2023/PN.Mdn dan upaya ahli waris untuk menjadi pemilik yang sah atas sertipikat yang menjadi objek sengketa. Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan doktrinal. Kedudukan hukum hibah wasiat yang telah dihibahkan dengan surat penyerahan tanah palsu dalam putusan tersebut dinyatakan sah oleh hakim. Hal tersebut dikarenakan, surat penyerahan tanah yang tanda tangannya dipalsukan dan tidak memenuhi syarat sah perjanjian, sehingga akta hibah yang dibuat dengan dasar surat tersebut dinyatakan batal oleh hakim dan berakibat kepada Sertipikat Hak Milik Nomor 1024/ Kelurahan Kotamatsum IV/ tanggal 1 Desember 2000 atas nama BP yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Akibat dari adanya pemalsuan tersebut, pelaksanaan hibah wasiat menjadi terkendala. Upaya hukum yang dilakukan ahli waris untuk menjadi pemilik sertipikat yang sah adalah dengan mengajukan permohonan pembatalan sertipikat untuk melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap kepada kantor pertanahan sebagaimana menurut Pasal 33 ayat (2) Permen ATR/BPN No.21 Tahun 2020 dan perlu melakukan pendaftaran tanah

.Testamentary grants are carried out after the testator dies, but in its implementation there are often conflicts such as the possession of heritage property by unauthorized parties. This study discusses the legal status of testamentary grants that have been granted on the basis of fake land transfer letters, the grant deeds are used to issue property rights certificates as per the Medan District Court Decision Number 527/Pdt.G/2023/PN.Mdn and the efforts of heirs to become the legal owners of the certificates that are the object of dispute. This study uses a research method with a doctrinal approach. The legal position of the testamentary grant that has been granted with a fake land handover letter in the decision is declared valid by the judge. This is because the land transfer letter whose signature was forged and did not meet the legal requirements of the agreement, so that the grant deed made on the basis of the letter was declared null and void by the judge and resulted in the Certificate of Property Rights Number 1024 /Kotamatsum IV Village / dated December 1, 2000 in the name of BP which was declared to have no legal force. As a result of the forgery, the implementation of the will grant is constrained. The legal remedy made by the heirs to become the legal owner of the certificate is to submit an application for cancellation of the certificate to implement a court decision with permanent legal force to the land office as according to Article 33 paragraph (2) of the Minister of ATR/BPN No.21 of 2020 and it is necessary to register the land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>