Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83845 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pramudhian Firdaus
"Kebakaran hutan dan lahan adalah kejadian yang mengancam kehidupan dan mata pencaharian, mempengaruhi ekonomi nasional, dan memiliki potensi yang berdampak panjang pada manusia. Saat ini, 62 persen wilayah Kalimantan mengalami kerentanan kebakaran hebat, dengan kira-kira 10 persen dari wilayah tersebut memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Untuk mengurangi dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap kerusakan lingkungan dan manusia, analisis spasial dan temporal perlu dilakukan salah satunya menggunakan metode machine learning. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spatio-temporal titik panas, hubungan antara titik panas dan unsur iklim, dan memproyeksikan potensi titik panas secara spatio-temporal di daerah Kalimantan Timur. Titik panas didapat dari database SiPongi selama periode 2013-2022 diklasifikasikan menggunakan emerging hotspot analysis. Data iklim dari model TerraClimate dengan resolusi 1/240 dinilai pada setiap pola titik panas yang ada dengan menghitung nilai korelasi dan determinasi pada setiap unsur, yaitu curah hujan, suhu maksimum, evapotranspirasi, kecepatan angin, dan kelembaban tanah. Forest-based forecast digunakan untuk melihat potensi titik panas menggunakan berdasar unsur iklim dan geografis lainnya di Kalimantan Timur. Pola sebaran titik panas di Kalimantan Timur secara spasial dari penelitian ini dapat diketahui memiliki pola yang terklasifikasikan atau mengelompok dengan karakteristiknya masing-masing. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa unsur iklim memiliki nilai yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi titik panas. Proyeksi titik panas menggunakan machine learning algoritma random forest dalam penelitian ini dapat menunjukkan prakiraan titik panas dengan kesesuaian jumlah daerah potensi titik panas secara spatio-temporal

Forest fires are events that threaten lives and livelihoods, affect national economies, and have the potential to have long-lasting impacts on people. Currently, 62 percent of Kalimantan is highly vulnerable to fires, with approximately 10 percent of the area experiencing very high vulnerability. To reduce the impact of forest fires on environmental and human damage, spatial and temporal analysis needs to be carried out, one of which is using machine learning methods. This study aims to analyze the spatio-temporal patterns of hotspots, the relationship between hotspots and climatic elements, and project hotspot potential spatio-temporally in the East Kalimantan region. Hot spots obtained from the Sipongi database for the period 2013-2022 are classified using emerging hotspot analysis. Climate data from the TerraClimate model with 1/240 resolution is assessed for each hotspot pattern by calculating the correlation and determination values for each element, namely rainfall, maximum temperature, evapotranspiration, wind speed, and soil moisture. Forest-based forecasts are used to see potential hotspots based on climate and other geographical elements in East Kalimantan. The spatial distribution pattern of hotspots in East Kalimantan from this study can be seen to have a pattern that is classified or grouped with their respective characteristics. The results also show that the climate element has a value that influences the location of hotspots. Hot spot projections using the machine learning random forest algorithm in this study can show hotspot predictions with the spatio-temporal suitability of the number of potential hot spot areas."
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Muthia Harahap
"[ABSTRACT
Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.

ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari., Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryana, auhtor
"Hotspot adalah sesuatu yang tidak biasa, anomali, menyimpang, wabah, intensitas tinggi, atau disebut juga daerah kritis. Pendeteksian hotspot sangat berguna sebagai monitoring, etiologi, manajemen, atau peringatan dini. Scan statistics adalah suatu metode untuk mendeteksi area hotspot, sedangkan space time scan statistics adalah metode scan statistics yang memperhatikan informasi area dan waktu secara simultan dalam mendeteksi hotspot. Metode ini mendeteksi hotspot dengan scanning window yang berbentuk silinder, dimana setiap silinder yang terbentuk merupakan calon hotspot yang mungkin terjadi. Pendeteksian hotspot dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati beberapa data set, dimana data set adalah kelompok data pengamatan yang terdiri dari jumlah kasus, ukuran populasi dan koordinat dari masing-masing area yang diamati. Pendeteksian ini didasarkan pada kombinasi dari beberapa data set tersebut. Studi kasus pada penelitian ini adalah kesehatan bayi dan balita di kota Depok. Dari hasil pendeteksian ini diperoleh beberapa kombinasi yang menghasilkan hotspot yang sama, sehingga area dan waktu yang sering muncul pada kombinasi-kombinasi tersebut ditetapkan sebagai hotspot yaitu puskesmas Pasir Putih yang terjadi pada tahun 2011. Artinya area ini paling parah dibandingkan area yang lain mengenai kesehatan bayi dan balitanya. Hasil ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah setempat atau stakeholder lainnya dalam mengambil kebijakan terutama dibidang kesehatan.

Hotspot means something unusual, anomaly, aberration, outbreak, critical resource area, etc. Hotspot detection is very useful as monitoring, etiology, management, or early warning. Scan statistics is a method for detecting the location of hotspot, while the space-time scan statistics are statistics scan method that takes into account the location and time information simultaneously in detecting hotspot. This method detects hotspot with a cylindrical window, where each cylinder formed a candidate hotspot that may occur. Hotspot detection in this study conducted by observing multiple data sets, where the data set is a group of observational data consist of the number of cases, the size of the population and the coordinates of each location were observed. This detection is based on a combination of some of the data sets. The case study in this research is the health of infants and toddlers in Depok city. From the results of this detection obtained some combinations that produce the same hotspot, so that the location and time that often appear in these combinations are designated as hotspot Pasir Putih health center that occurred in 2011. It means this area is worst among other areas about its the health of infants and toddlers. This result is expected to be a guideline for local governments or other stakeholders in making decisions, especially in the field of health."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Luthfita
"Kabupaten Kubu Raya merupakan salah satu dari 14 Kabupaten/Kota rawan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat dan mengalami kejadian kebakaran setiap tahun. Berdasarkan data Kesatuan Pengelolaan Hutan pada tahun 2018, terdapat sekitar 4406 titik panas yang tersebar di Kabupaten Kubu Raya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan aspek kondisi fisik wilayah yang meliputi ketebalan gambut, tutupan lahan dan curah hujan serta aspek sosial masyarakat yang meliputi kepadatan penduduk, tingkat pendidikan dan jenis lapangan usaha di Kabupaten Kubu Raya. Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode overlay dengan Sistem Informasi Geografis. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa wilayah di Kabupaten Kubu Raya yang terdeteksi sangat rawan sebesar 12,77 % dengan total luas wilayah 1124,31 km², rawan tinggi yaitu sebesar 26,75 % dengan total luas wilayah 2419,68 km², rawan rendah yaitu sebesar 31,48 % dengan total luas wilayah 3421,38 km², sedangkan tingkat rawan sangat rendah yaitu 29,00 % dengan total luas wilayah 2408,07 km². Hasil pengolahan menunjukkan bahwa Wilayah dengan tingkat kerawanan tertinggi yaitu Kecamatan Rasau Jaya dan wilayah dengan tingkat kerawanan terendah yaitu Kecamatan Kubu.
Kubu Raya Regency is one of 14 regencies / cities prone to forest and land fires in West Kalimantan Province and experiences fires every year. Based on data from the Forest Management Unit in 2018, there are around 4406 hotspots spread across Kubu Raya Regency. The purpose of this study is to analyze areas prone to forest and land fires based on aspects of the physical condition of the area including peat thickness, land cover and rainfall as well as social aspects of society which include population density, education level and type of business field in Kubu Raya Regency. The spatial analysis used in this study uses the overlay method with Geographic Information Systems. The results of the analysis that have been carried out show that the area in Kubu Raya District that was detected was very vulnerable at 12.77% with a total area of ​​1124.31 km², high vulnerable at 26.75% with a total area of ​​2419.68 km², low at risk that is amounting to 31.48% with a total area of ​​3421.38 km², while the level of vulnerability is very low at 29.00% with a total area of ​​2408.07 km². The analysis shows that the area with the highest level of vulnerability is Rasau Jaya District and the area with the lowest level of vulnerability is Kubu District."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musafaah
"Unmet need KB di Indonesia belum mencapai target khususnya di Pulau Kalimantan. Penurunan unmet need KB dapat mencegah kematian ibu. Adanya desentralisasi menuntut pemerintah daerah membuat kebijakan kesehatan seperti program KB. Analisis spatio-temporal dibutuhkan untuk menyelidiki unmet need KB yang berguna untuk memantau program KB. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola spasial dan faktor faktor yang mempengaruhi unmet need KB tahun 2018-2021 di tingkat Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan, Indonesia. Studi ekologi dilakukan pada 56 Kabupaten/kota di Pulau Kalimantan pada tahun 2018-2021. Data berbentuk agregat dan bersumber dari Laporan Pengendalian dan Pelayanan Kontrasepsi BKKBN, Buku Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Website Dewan Jaminan Sosial Sistem Informasi Terpadu. Analisis data dengan menggunakan Geographically Temporal Weighted Regression. Hasil penelitian menunjukkan Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Kota Tarakan, Bontang, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur konsisten berada pada klaster I (High-high) pada tahun 2018-2021. Pemodelan unmet need KB yang didapatkan pada tingkat Kabupaten/kota di Pulau Kalimantan selama 2018-2021 adalah kemiskinan, pendapatan, non cakupan JKN, rasio praktik bidan mandiri, rasio faskes KB pemerintah, rasio faskes KB swasta, rasio penyuluh KB dengan nilai adjusted R square sebesar 46,06%. Kemiskinan berpengaruh dalam meningkatkan unmet need KB di 43 Kabupaten/Kota (76,8%) di Pulau Kalimantan, Indonesia selama 2018-2021. Non cakupan JKN berpengaruh dalam meningkatkan unmet need KB di 35 Kabupaten/kota (62,5%) di Pulau Kalimantan, Indonesia selama 2018-2021. Rasio praktik bidan mandiri, rasio faskes KB pemerintah dan rasio faskes KB swasta berpengaruh terhadap unmet need KB tetapi belum dapat menurunkan unmet need KB di Pulau Kalimantan, Indonesia selama 2018- 2021. Rasio penyuluh KB berpengaruh dalam menurunkan unmet need KB di 22 Kabupaten/kota (39,3%) di Pulau Kalimantan, Indonesia selama 2018-2021. Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan kepada SKPD-KB di Kabupaten/kota untuk memprioritaskan program KB pada penduduk miskin dalam menurunkan unmet need KB dengan mendekatkan program KB seperti pelayanan KB dan penyuluhan KB khususnya pada Kabupaten/kota yang konsisten tergolong kemiskinan tertinggi selama 2018-2021, yaitu Kapuas Hulu, Melawi, Kayong Utara, Paser, Kutai Barat, Kutai Timur, Mahakam Ulu dan Bulungan.

Unmet need for family planning in Indonesia has not yet reached the target, especially on the island of Kalimantan. Reducing the unmet need for family planning can prevent maternal deaths. Decentralization requires local governments to create health policies such as family planning programs. Spatio-temporal analysis is needed to investigate unmet need for family planning which is useful for monitoring family planning programs. The aim of this research is to determine the spatial patterns and factors that influence the unmet need for family planning in 2018-2021 at the district/city level on the island of Kalimantan, Indonesia. Ecological studies were carried out in 56 districts/cities on Kalimantan Island in 2018-2021. Aggregate data is used and comes from the BKKBN Contraception Control and Services Report, the Central Statistics Agency (BPS) Publication Book and the Social Security Council's Integrated Information System Website. Data analysis using Geographically Temporal Weighted Regression. Poverty has an influence in increasing the unmet need for family planning in 43 districts/cities (76.8%) on Kalimantan Island, Indonesia during 2018-2021. Non-coverage of JKN has an influence in increasing the unmet need for family planning in 35 regencies/cities (62.5%) on Kalimantan Island, Indonesia during 2018-2021. The ratio of independent midwife practices, the ratio of government family planning health facilities and the ratio of private family planning health facilities have an influence on the unmet need for family planning but have not been able to reduce the unmet need for family planning on the island of Kalimantan, Indonesia during 2018-2021. The ratio of family planning instructors has an influence in reducing the unmet need for family planning in 22 districts/cities (39.3%) on Kalimantan Island, Indonesia during 2018-2021. Based on the results, it is recommended for SKPD-KB in districts/cities to prioritize family planning programs for the poor in reducing the unmet need for family planning by bringing family planning programs closer together such as family planning services and family planning counseling, especially in districts/cities which consistently have the highest poverty level during 2018-2021 namely Kapuas Hulu, Melawi, North Kayong, Paser, West Kutai, East Kutai, Mahakam Ulu and Bulungan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidia Ayu
"Coronavirus Disease (COVID-19) adalah penyakit baru yang melanda dunia tahun 2020.
Penyakit ini diperkirakan berasal dari Wuhan, China (Rothan HA, 2020). WHO
menetapkan COVID-19 sebagai pandemi karena penyakit ini telah berhasil menginfeksi
lebih dari 190 negara di dunia. DKI Jakarta adalah Ibu Kota di Indonesia yang turut
menjadi salah satu Provinsi dengan kasus konfirmasi positif COVID-19 tertinggi sampai
akhir Juli 2020. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan rate kasus COVID-19 pada
15 kecamatan Jakarta dengan intensitas tertinggi. Alasan dipilihnya 15 kecamatan dengan
intensitas tertinggi untuk menjadi area penelitian karena lebih dari 63,43% kasus
konfirmasi COVID-19 dilaporkan dari 15 kecamatan, yakni Kecamatan Gambir,
Menteng, Sawah Besar, Kemayoran, Taman Sari, Senen, Tanah Abang, Johar Baru,
Tambora, Grogol Petamburan, Cempaka Putih, Pademangan, Setia Budi, Matraman, dan
Palmerah. Rate kasus COVID-19 pada area ini kemudian dibuat model GSTAR, model
ini merupakan salah satu pemodelan dalam time seriesstokastik yang mempertimbangkan
indeks spasial atau lokasi dan waktu (Budi, 2019). Matriks bobot biner, matriks bobot
seragam, dan matriks bobot jarak pada penelitian ini dibentuk sebagai matriks dependensi
spasial antar lokasi atau disebut matriks bobot W. Hasil identifikasi STACF dan STPACF
untuk semua matriks pembobot spasial didapatkan model yang sama, yaitu GSTAR(3,1).
Pendugaan parameter model GSTAR(3,1) dilakukan untuk setiap matriks pembobot
tersebut. Model GSTAR(3,1) yang terbaik diperoleh berdasarkan matriks pembobot
jarak, dengan RMSE terkecil yaitu 0.1271.

Coronavirus Disease (COVID-19) is a new disease that hit the world in 2020. This disease
is thought to have originated in Wuhan, China (Rothan HA, 2020). WHO has designated
COVID-19 as a pandemic because this disease has successfully infected more than 190
countries in world. DKI Jakarta is the capital city in Indonesia which is also one of the
provinces with the highest positive confirmed cases of COVID-19 until the end of July
2020. This study aims to model the level of COVID-19 cases in 15 sub-districts of DKI
Jakarta with the highest intensity. The reason for choosing 15 sub-districts with the
highest intensity to be the research area was because more than 63.43% of confirmed
COVID-19 cases were reported from 15 sub-districts, that is Gambir, Menteng, Sawah
Besar, Kemayoran, Taman Sari, Senen, Tanah Abang, Johar Baru Districts , Tambora,
Grogol Petamburan, Cempaka Putih, Pademangan, Setia Budi, Matraman, and Palmerah.
Rate of COVID-19 cases in this area is then made a GSTAR model, this model is one of
the models in a stochastic time series that considers spatial index or location and time
(Budi, 2019). The binary weight matrix, uniform weight matrix, and distance weight
matrix in this study were formed as a spatial dependency matrix between locations or
called the W weight matrix. The results of STACF and STPACF services for all spatial
weighting matrices obtained the same model, that is GSTAR (3,1). Estimation of
parameters of the GSTAR model (3,1) is carried out for each weighting matrix. The best
GSTAR (3,1) model is based on a distance weighted matrix, with an RMSE of 0.1271
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dely Farhani
"ABSTRAK
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang paling banyak di Indonesia. Banyaknya jumlah penduduk di Jawa Barat menimbulkan banyaknya pula permasalahan salah satunya adalah diare. Pada tahun 2016, insiden diare di Jawa Barat sebesar 1.261.159 kasus, tertinggi di Indonesia. Spasial atau pemetaan dianggap perlu untuk memudahkan dalam mengetahui wilayah persebaran faktor risiko dan karakteristik wilayah terhadap kejadian diare, namun belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi sebaran dan menganalisis korelasi antara kejadian diare dan faktor risikonya di Jawa Barat Tahun 2010-2016. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi, sehingga menggunakan total populasi sebagai unit analisisnya yaitu 27 kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2010-2016. Hasil penelitian menunjukkan proporsi diare paling tinggi 761/10.000 penduduk dengan PHBS rendah ada di Kota Sukabumi tahun 2010. Cakupan akses air minum terlindung Kabupaten Karawang selalu rendah. Sedangkan cakupan akses jamban sehat berfluktuasi. Jumlah penduduk miskin cenderung mengalami penurunan, namun kepadatan penduduk semakin tinggi. Kejadian diare lebih banyak terjadi pada dataran rendah Kab. Karawang dibandingkan dataran sedang dan dataran tinggi Kab. Purwakarta dan Kab. Bandung Barat . Berdasarkan hasil pemetaan, daerah yang kerawanan diarenya tinggi ada di Kota Cimahi dan Kota Tasikmalaya. Kemudian, untuk analisis korelasi menunjukkan hanya cakupan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PHBS yang berkorelasi dengan kejadian diare p-value = 0,001 dan r = - 0,246 . Perlunya menyusun prioritas upaya pengendalian diare sesuai dengan karakteristik wilayah tiap kabupaten/kota dan khususnya di daerah-daerah dengan tingkat kerawanan diare yang tinggi seperti Kota Cimahi dan Kota Tasikmalaya.

ABSTRACT
West Java is the most populous province in Indonesia. The number of residents in West Java in effect is one of them is diarrhea. By 2016, the incidence of diarrhea in West Java is 1,261,159 cases, the highest in Indonesia. Spatial or mapping needs to be done to determine the areas and factors associated with the occurrence of diarrhea, but not yet done. The purpose of this study is the distribution and analysis between the incidence of diarrhea and risk factors in West Java Year 2010 2016. This study uses the design of ecological studies, using the total population as an analysis unit that is 27 districts cities in West Java 2010 2016. The results showed the highest proportion of diarrhea 761 10,000 population with low sanitation and hygiene behavior in Sukabumi City in 2010. The coverage of protected drinking water access Kabupaten Karawang is always low. While the view of access to healthy latrines fluctuate. The number of poor people usually goes down, but the higher the population density. The incidence of diarrhea is more prevalent in lowland Karawang district than the medium and highland plains Purwakarta and West Bandung districts . Based on the mapping results, the diarrhea area is high in Cimahi and Kota Tasikmalaya. Then, for free analysis, only PHBS points were correlated with the incidence of diarrhea p value 0.001 and r 0.266 . The need to prioritize the handling of diarrhea in accordance with typical areas and areas with high diarrhea levels such as Cimahi City and Tasikmalaya City.."
2018
T49858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Eka Pranastuti
"Pada skripsi ini, dibahas model SIS dengan intervensi perawatan medis berupa pengobatan ke rumah sakit untuk individu terinfeksi. Model ini digunakan untuk menggambarkan dinamika penyebaran penyakit tertentu secara spasial. Model epidemi SIS akan direkonstruksi dengan melibatkan dua faktor, yaitu faktor intervensi perawatan medis, dan faktor spasial. Sejumlah individu terinfeksi diberikan intervensi perawatan medis untuk
mempercepat waktu pemulihan. Hasil dari simulasi menunjukkan bahwa mobilitas manusia dapat mempengaruhi penyebaran penyakit secara spasial. Faktor spasial terlibat dalam model dengan pendekatan persamaan diferensial parsial. Dalam skripsi ini, dibahas hasil dan interpretasi dari titik keseimbangan, analisis kestabilan, dan Basic Reproduction Number (R0), dan metode beda hingga digunakan untuk mendekati solusi numerik model dalam beberapa skenario intervensi di lapangan.

In this thesis discussed the SIS model with medical treatment intervetion in the form of hospital treatment for infected individuals. This model is used to describe the dynamic of the spatial spread of certain diseases. The SIS epidemic model will be reconstructed by involving two factors, namely Medical Treatment Intervetion factors, and spatial factors. Some infected individuals are given medical treatment intervention to accelerate
the recovery time. Simulation results show that human mobility can affect the spread ofdisease spatially. Spatial factors are involved in to the models with PDE approached. In this thesis, the results and interpretation of equillibrium, system stability analysis, and R0 are discussed, and finite difference methods used to approaches numerical solutions of models in several intervention scenarios in the field.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neuhaus, Fabian
"Summary:
This book focuses on the creation of space as an activity. The argument draws not only on aspects of movement in time, but also on a cultural and specifically social context influencing the creation of the spatial habitus. The book reconsiders existing theories of time and space in the field of urban planning and develops an updated account of spatial activity, experience and space-making. Recent developments in spatial practice, specifically related to new technologies, make this an important and timely task. Integrating spatial-temporal dynamics into the way we think about cities aids the implementation of sustainable forms of urban planning. The study is composed of two different case studies. One case is based on fieldwork tracking individual movement using GPS, the other case utilises data mined from Twitter. One of the key elements in the conclusion to this book is the definition of temporality as a status rather than a transition. It is argued that through repetitive practices as habitus, time has presence and agency in our everyday lives. This book is based on the work undertaken for a PhD at the Centre for Advanced Spatial Analysis and was and accepted as thesis by University College London in 2013"
Cham: Springer, 2015
711.409 NEU e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of this article is to examine the spatio-temporal aspect of the working force enganged in manufacturing, household and agricultural activities in India. The objectives are four-fold: (I) to measure the mean point shifts of workers employed in manufacturing, household and agricultural activities since 1951, (ii) to map analyse the spatial distribution of different types of working force, (iii) to measure, analyse and map the future probable trend of working force in India, and (iv) to assess the intensity of working force. "
GEOUGM 10:40 (1980)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>