Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160845 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmaudina Hidyanissa
"Film merupakan sebuah media komunikasi massa yang menampilkan cerita dalam bentuk audio visual. Mulan (2020) merupakan film hasil karya Disney yang diadaptasi dari cerita rakyat Cina. Film Mulan (2020) mengisahkan perjuangan seorang perempuan bernama Hua Mulan yang harus menyamar sebagai laki-laki untuk menggantikan posisi ayahnya dalam berperang melawan suku Rouran. Sebagai seorang perempuan yang menyamar menjadi laki-laki, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Mulan. Penolakan yang didapat Mulan setelah menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang perempuan di dalam pasukan mencerminkan adanya konsep patriarki. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan konsep patriarki di Cina dalam film Mulan (2020) dan untuk menunjukkan sejauh mana kesesuaian interpretasi sineas barat terhadap konsep patriarki di Cina dalam film Mulan (2020). Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotika John Fiske. Semiotika adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan tanda-tanda. Melalui teknik analisis The Code of Television dari John Fiske yang terdiri dari level realitas, level representasi dan level ideologi, ditemukan tiga variabel patriarki menurut Kamla Bhasin yang paling menonjol dalam film yaitu kontrol atas tenaga kerja perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan dan kontrol atas gerak perempuan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya kesesuaian interpretasi sineas barat (Disney) terhadap konsep patriarki di Cina.

Film is a medium of mass communication that shows stories in audio visual form. Mulan (2020) is a Disney film that is adapted from the Chinese Folk Tales. Mulan (2020) tell the story about the struggle of a woman named Hua Mulan who must disguise as a man to replace her father's position in the war against the Rouran tribe. As a woman who is disguised as a man, many challenges has to face by Mulan. The rejection that Mulan received after show her identity as a woman in the army reflects the concept of patriarchy. This study aims to show the patriarchy concept in China in Mulan (2020) and to show how far suitability of western filmmaker interpretation of the concept of patriarchy in China in the Mulan movie (2020). This study uses the semiotic analysis technique of John Fiske. Semiotics is a branch of science that associated with signs. Through the analysis technique The Code of Television by John Fiske which consist of levels of reality, level of representation and level of ideology, three patriarchy variables according to Kamla Bhasin's which most prominent were found in the film is control of women's labour power, control of women's sexuality and control of women's mobility. The results of the study also show that there is a suitability of the interpretation of western filmmaker (Disney) with the concept of patriarchy in China."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leona Dwi Untari
"Penelitian ini menggunakan film Mulan (1998) versi animasi dan Mulan (2020) versi live action sebagai korpus penelitian. Korpus tersebut memuat permasalahan gender androgini dengan narasi yang berbeda. Berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah mengangkat permasalahan gender, penelitian ini berfokus pada isu androginitas (femininitas dan maskulinitas yang tinggi dalam satu individu) yang direpresentasikan melalui tokoh Mulan. Dengan menggunakan konsep Androgini Bem S.L (1974)., penelitian ini mencoba membongkar transformasi androginitas pada tokoh Mulan dalam kedua film tersebut dan refleksinya. Hasil analisis menemukan androginitas Mulan terbentuk karena adanya dukungan dari lingkungan sekitar, peran orang tua, dan keyakinan diri sendiri dalam menentukan identitas yang diinginkan. Transformasi tersebut dapat dimaknai dengan adanya upaya Disney (sebagai rumah produksi film bertema princess/putri) untuk melakukan koreksi terhadap cara pandangnya terhadap permasalahan gender.

This study uses the animated version of the Mulan (1998) film and the live action version of Mulan (2020) as the research corpus. The corpus contains androgynous gender issues formulated in different narratives. Different from previous studies that have raised gender issues, this research focuses on the issue of androgyny (high femininity and masculinity in one individual) which is represented through the character Mulan. By using the concept of Androgynous Bem S.L. (1974), this research tries to uncover the androgynous transformation of Mulan's character in the two films and her reflection. The analysis found that Mulan's androgyny was formed because of the support from the surrounding environment, the role of parents, and her self-confidence in determining the desired identity. This transformation can be interpreted by Disney's efforts (as a princess/princess-themed film production house) to make corrections to its perspective on gender issues.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Aura Nuryasmin
"Perilisan film Mulan (2020) telah memicu perdebatan berkelanjutan mengenai bagaimana film live-action tersebut kurang merepresentasikan kebudayaan Cina meskipun telah menyatakan niatnya untuk memberikan penggambaran yang akurat demi memuaskan penonton-penonton di Tiongkok. Tulisan ini mengkaji karakter, cerita, dan bahasa visual dalam film Mulan (2020) sehingga menghasilkan sebuah kajian tekstual yang komprehensif dengan berfokus pada Konfusianisme sebagai latar budaya dari film tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana identitas gender dan konsep kehormatan menurut kebudayaan Cina direkonstruksi agar selaras dengan ajaran Konfusianisme yang autentik. Penelitian dilakukan melalui pendekatan teoretis Feminisme Konfusius menggunakan konsep Jen dan teori yin-yang. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep kehormatan bertransformasi menjadi sejalan dengan karakteristik kepribadian seorang Jen, sebuah konsep jati diri dalam Konfusianisme yang didasarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Identitas gender Mulan menyimbolkan maskulinitas dan feminitas yang selaras dengan konsep murni dari yin-yang, yang menitikberatkan pada harmoni dibandingkan ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, film ini berhasil merekonstruksi pemikiran Konfusianisme yang mengembalikan aspek fundamentalnya sebagai filosofi yang mendukung ideologi feminisme.

The release of Mulan (2020) has incited an undergoing debate that the live-action movie still lacks Chinese cultural representation despite its original intention to show accurate depiction to please Chinese audiences. This paper examines the characters, the story, and the visual language in the movie Mulan (2020) resulting in a comprehensive textual analysis that focuses on Confucianism as the cultural setting of the movie. It aims to explore how gender identity and the notion of honor according to Chinese culture are reconstructed to align with the authentic Confucianism teachings. The research is conducted through Confucian Feminism theoretical approach with the concept of Jen and yin-yang to frame the findings. This research finds that the notion of honor is changed in a way that is still in line with what it means to be a person of Jen, a concept of self in Confucianism that fundamentally emphasizes humanness. Mulan’s gender identity that embodies masculinity and femininity fits the original yin-yang concept, which offers harmony rather than gender inequality. Therefore, it can be concluded that this movie redefines Confucianism to its original ideal as a philosophy that encourages feminist ideology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Sekarzeta
"Seiring dengan perkembangan budaya populer yang menyuarakan kesetaraan gender, Disney merilis dua film berjudul Mulan (2020) dan Raya and the Last Dragon (2021) yang menampilkan dua wanita kuat sebagai pemeran utama. Seperti diinformasikan di atas, dalam abstrak bahasa Indonesia, tujuan dari penulisan artikel adalah menelusuri bagaimana patriarki dan kesetaraan gender dapat mengakibatkan dua hubungan yang berbeda antara perempuan. Penelitian kualitatif ini akan menggunakan dua konsep: sisterhood (solidaritas antara perempuan untuk menghentikan seksisme) dan persaingan (hubungan kompetitif antara perempuan). Penelitian ini akan berfokus pada aspek visual, dialog, alur cerita, dan perkembangan hubungan antara perempuan pada film Mulan (2020) dan Raya and the Last Dragon (2021). Kedua film ini berbeda jika dibandingkan dengan film-film Disney lainnya dimana para wanita yang berkarakter baik akan membantu satu sama lain, dan antagonis akan selalu bertingkah jahat dari awal hingga akhir cerita. Selain itu, hubungan antara perempuan pada kedua film ini lebih rumit dibandingkan dengan hubungan yang biasa digambarkan oleh film Disney lainnya. Karakter protagonis dan antagonis diilustrasikan sebagai sosok yang mempunyai sisi baik dan buruknya masing-masing. Dalam kedua film ini, hubungan antara perempuan juga memiliki proses yang signifikan. Penulis menarik kesimpulan bahwa patriarki akan mendorong solidaritas antara Mulan dan Xianniang dari film Mulan (2020). Namun ketika kesetaraan gender muncul, para pemimpin perempuan, yang terikat pada kolektif dan komunitas mereka, akan saling bersaing seperti yang digambarkan oleh Raya dan Namaari dari film Raya and the Last Dragon (2021).

Following the mainstreaming of gender equality, Disney recently released two films titled Mulan (2020) and Raya and the Last Dragon (2021) that portray influential ladies as the main characters. This study investigates how the patriarchal society in Mulan and gender equality in Raya and The Last Dragon will result in different relations between women. Focusing on the relationships between protagonist and antagonist in Mulan and Raya and the Last Dragon, the author examines two dynamic connections influenced by the patriarchal system and gender equality. Disney breaks the traditional stereotypes of villains by depicting three-dimensional antagonists. In Mulan, even though Xianniang is introduced as the antagonist, the relationship between her and Mulan evolves positively as they fight against male oppression. However, Princess Namaari starts a friendly yet deceitful connection, leading to competition with another leader named Princess Raya in Raya and the Last Dragon. This qualitative research will use the concept of sisterhood and rivalry to analyze the connections between women, focusing on visual elements, dialogues, plot, and the development of the relationships in Mulan and Raya and the Last Dragon. The writer contends that Disney shows different perceptions regarding relationships between women. Based on these two films, the women in Mulan build sisterhood to gain gender emancipation, whereas when gender equality is achieved in Raya and the Last Dragon, the rivalry between women leaders, who are attached with their collective, appears."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Triastuti
"Tesis ini menelusuri bagaimana implikasi pengubahan yang dilakukan Disney dalam film animasi Mulan terhadap perempuan dan masyarakat Cina dengan menggunakan alat analisa semiotik Roland Barthes. Sistem bertingkat pada semiotik Barthes memperlihatkan bagaimana sebuah pesan yang sama, yaitu Mulan, dapat dilihat dari sisi yang berbeda. Menurut Disney, Mulan menjadi sebuah pesan tentang kepahlawanan seorang perempuan, karenanya Disney berani mengklaim bahwa Mulan dibuat dengan rasa keberpihakan kepada perempuan dan masyarakat non Barat.
Dilihat dari kerangka pemikiran feminisme dan mengacu pada perbedaan antara versi Cina dan versi Disney, film animasi Mulan menjadi sebuah pesan bahwa perempuan mengalami subordinasi yang bertingkat-tingkat. Subordinasi pertama terhadap perempuan terjadi ketika seseorang terlahir dengan jenis kelamin perempuan. Dengan bertopang pada mitos, masyarakat telah memberikan sekumpulan karakter pada perempuan yang mereka sebut sebagai karakter feminin. Masyarakat menjadikan karakter tersebut sebagai alasan yang kuat untuk menyebut perempuan sebagai mahluk yang subordinat dan menindas perempuan.
Subordinasi berikutnya terhadap perempuan terjadi ketika karakter feminin yang seolah menjadi karakter alamiah perempuan dilekatkan pada sesuatu (benda/orang/kelompok). Sehingga pada akhirnya apapun yang dinilai memiliki karakter feminin akan ditempatkan pada posisi yang subordinat dan mengalami penindasan. Karena mereka yang ingin berkuasa atas sesuatu pada akhirnya menggunakan cara-cara yang sama dengan cara-cara yang digunakan laki-laki untuk menguasai perempuan. Melalui pendekatan etnografis, saya menemui bahwa di tingkat penonton terdapat tiga kelompok berkenaan dengan makna yang mereka berikan terhadap Mulan: yaitu kelompok lover, kelompok ironist serta kelompok hater."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahayu
"Skripsi ini membahas representasi perempuan Cina dalam film animasi
yang diproduksi oleh the Walt Disney Company (Disney) berjudul "Mulan". Film animasi Disney kerap diposisikan sebagai film anak-anak yang steril dari muatan ideologis sehingga masih sedikit kajian kritis yang menga alisa film animasi Disney. Salah satu sebabnya adalah politics of innocence yang selama ini dilakukan Disney sebagai tameng untuk menutupi 1 otif ekonomi dan ideologi dalam setiap produksinya.
Di tengah menghangatnya wacana publik mengenai feminisme dan
multiku ltu ra lisme di Amerika Serikat, Disney emproduksi film animasi tentang kepahlawanan seorang perempuan Cina berjudul "Mulan". 'fema yang diambil film animasi ini berbeda denga kecenderungan film animasi dengan tokoh perempuan yang diproduks' Disney sebelumnya, yang tiaak pernah keluar dari narasi dom in an tokoh perempuan yang berasal dari dongeng Eropa, yang berperan sebagai putri kerajaan yang lemah dan selalu membutuhkan bantuan pangeran pujaannya.
Disney merepresentasikan perempuan Cina dalam film animasi "Mulan"
sebagai perempuan yang tidak mengikuti narasi dominan yang berlaku di
masyarakatnya yang patriarkh. Mulan direpresentasikan sebagai perempuan prajurit meskipun hukum yang berlaku di masyarakatnya pada saat itu melarang perempuan untuk ikut berperang. Narasi yang dibangun Disney dalam film animasi ini pada akhirnya harus berkompromi dengan narasi film-film komersial
Disney pada umumnya. Mulan yang pada akhir cerita dianggap sebagai pahlawan, tidak bisa terlepas dari tuntutan masyarakat sekitar yang masih menganggap kesuksesan perempuan belum lengkap tanpa kehadiran laki-laki sebagai pasangan hidupnya. Pengakuan keragaman kultur (dalam hal ini kebudayaan Cina) dan prinsip feminisme yang membebaskan perempuan dari dominasi pemikiran masyarakat yang patriarkh dalam "Mulan" tidak pernah bisa lepas dari motif
komersial dan· ideologis Disney sebagai produsernya"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S4057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Herviani Putri
"Mother マザー adalah film drama Jepang berdasarkan kisah nyata yang disutradarai oleh Tatsushi Omori yang menceritakan seorang boshi-katei, Akiko, yang gemar berjudi dan memiliki seorang anak bernama Shuhei. Hubungan Akiko dan Shuhei sepanjang film tidak menunjukkan kasih sayang antara ibu dan anak, melainkan hubungan yang tampak adalah codependent. Akiko juga sering menyuruh Shuhei untuk melakukan hal yang menyimpang seperti mencuri dan membunuh demi mendapatkan uang. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan amae yang gagal oleh karakter Akiko dan Shuhei yang direpresentasikan dalam film Mother マザー. Penulis menggunakan teori amae milik Takeo Doi dan kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis yang berfokus pada berbagai adegan dan dialog. Film ini menggambarkan amae yang terwujud adalah amae yang gagal antara boshi-katei dan anaknya. Film ini juga menyoroti bagaimana amae yang terjadi memiliki kaitannya dengan on dan giri serta menjadi wacana pendukung pada realita di masyarakat Jepang kontemporer.

Mother マザー is a Japanese drama movie based on a true story directed by Tatsushi Omori that tells the story of a boshi-katei, Akiko, who likes to gamble and has a son named Shuhei. Akiko and Shuhei's relationship throughout the movie does not show the affection between mother and son, but rather a codependent relationship. Akiko also often tells Shuhei to do deviant things such as stealing and killing for money. Based on that, this study aims to describe the failed amae by the characters Akiko and Shuhei represented in the movie Mother マザー. The author uses Takeo Doi's amae theory and then analyzed using a descriptive analysis method that focuses on various scenes and dialogues. The film depicts amae that materializes as a failed amae between the boshi-katei and her son. The movie also highlights how amae that occurs has a connection with on and giri and becomes a supporting discourse on reality in contemporary Japanese society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Resmiliana
"Penelitian ini bertujuan melihat perkembangan moralitas tokoh Shuhei pada film Mother (2020). Penulis menggunakan teori perkembangan psikoseksual (kompleks oedipus) dan teori psikoanalisis (id, ego, superego) yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Penelitian berargumen bahwa terdapat kaitan antara kompleks oedipus dengan perkembangan moralitas, dimana karakter Shuhei cenderung berperilaku menyimpang ketika dikuasai kompleks oedipus id (hasrat) untuk selalu menuruti perintah Akiko (ibunya) demi memperoleh cintanya. Namun, ketika kompleks oedipusnya terepresi, superego (moralitas) dalam diri Shuhei mulai berkembang.

This research aims to see the morality development of the character Shuhei in the film Mother (2020). The researcher use theory of psychosexual development (oedipus complex) and the psychoanalytic theory (id, ego, superego) proposed by Sigmund Freud. The research argues that there is a relation between oedipus complex and morality development, where Shuhei's character tends to behave deviantly when controlled by id's oedipus complex (desire) to always obey Akiko's (mother) orders to gain her love. However, when his oedipus complex was repressed, his superego (morality) also developed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Mellinda
"Penikmat film mengenal tokoh Mulan dari film produksi Disney berjudul Mulan yang dirilis pada tahun 1998. Mulan adalah tokoh yang diceritakan menyamar menjadi laki-laki untuk menggantikan ayahnya di medan perang. Mulan memiliki banyak versi, dalam jurnal ini akan memfokuskan pada Film Mulan : Rise of a Warrior (2009) yang disutradrai oleh Jingle Ma. Film ini menceritakan konflik antara bangsa Rouran yang ingin merebut wilayah kekuasaan Wei dan bangsa Wei itu sendiri yang ingin mempertahankan wilayahnya. Menampilkan dua tokoh utama wanita dari etnis yang sedang berperang, yaitu Hua Mulan dari bangsa Wei sebagai jenderal pasukan Wei yang memimpin ratusan ribu pasukan laki-laki dalam perang serta menjadi penengah bagi kedua bangsa. Serta Putri Rouran dari bangsa Rouran yang diakhir cerita menjadi sosok yang membawa perdamaian bagi kedua bangsa.

The public is familiar with Mulan as the main character from Disneys animation film of the same name released in 1998. She disguised herself as a man to replace her father as a general in a war. There are several film adaptations of her stories and this paper focuses on Jingle Mas Mulan: Rise of a Warrior (2009) with emphasis on the role of its two conflicting ethnic female leaders. Hua Mulan leads the Weis in defending their lands against the invasion of the Rourans led by their Princess. Mulan guides her army of men into the battlefield and becomes the agent of peace with Princess of Rouran herself eventually becomes the one who restores peace for both tribes."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Farobi Fatkhurridho
"Waktu menjadi sebuah objek kaji dengan tingkat kompleksitas yang rumit, memahami waktu adalah berbicara perihal periodisasi, sejarah, dan memori. Waktu kemudian diidentifikasi sebagai gerak yang hadir dalam manifestasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Film menjadi sebuah medium yang mampu memanifestasikan gerak dan waktu dalam produk visual dan tertangkap indera manusia. Film dapat membuat objek bergerak maju, mundur, atau bahkan berhenti sama sekali. Tenet (2020) adalah sebuah film yang mengaplikasikan konsep tersebut. Sebagai film fiksi sains, Tenet mengolah dimensi temporal baik dalam gagasan dan kemasan melalui sinematografi dan struktur naratifnya. Tenet menghadirkan gagasan kesadaran waktu yang tumpang tindih dari masa lalu, masa kini, dan masa sekarang. Sebuah mesin pintu putar dalam Tenet digunakan sebagai signifikansi hadirnya paradoks determinisme atau kondisi tercekik dalam lingkaran waktu yang sirkuler. Bentuk aporia atau kebimbangan deterministik yang dialami tokoh dalam Tenet merefleksikan dialog kesadaran manusia atas dimensi waktu. Tenet menyajikan perdebatan dua perspektif sikap manusia terhadap waktu, yakni perspektif yang modern dan manusia yang postmodern direpresentasikan melalui tokoh Protagonis dan Sator. Dalam tahapan yang lebih ideologis, Tenet menjadi film yang penuh ambivalensi dalam menyajikan dialog perspektif sikap manusia terhadap waktu tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan terminologi dan perspektif metamodenisme, yakni kemustahilan yang terus diusahakan. Segala agenda yang dilakukan oleh Protagonis dan Sator pada akhirnya akan berakhir pada kemustahilan, hal tersebut dikarenakan mereka telah terjebak dalam paradoks determinisme atau tercekik dalam putaran waktu yang sirkuler.

Time becomes an object of study with a complicated level of complexity, understanding time is talking about periodization, history, and memory. Time is then identified as motion that is present in past, present and future manifestations. Film is a medium capable of manifesting motion and time in visual products and is captured by the human senses. Movies can make objects move forward, backward, or even stop altogether. Tenet (2020) is a film that applies this concept. As a science fiction film, Tenet cultivates a temporal dimension both in ideas and packaging through its cinematography and narrative structure. Tenet presents the idea of overlapping time consciousness of the past, present, and present. A revolving door machine in Tenet used as a medium for the paradox of determinism or suffocation in a circular time loop. The form of aporia or deterministic indecision experienced by characters in Tenet reflects the dialogue of human consciousness on the dimension of time. Tenet presents a debate on two perspectives of human attitudes towards time, namely the modern perspective and the postmodern human being represented through the Protagonis and the Sator. In a more ideological stage, Tenet becomes a film full of ambivalence in presenting a dialogue from the perspective of human attitudes towards that time. This related to the terminology and perspective of metamodernism, namely the impossibility that continues to be pursued. All the agendas carried out by the Protagonis and Sator will eventually end in impossibility, this is because they have been trapped in the paradox of determinism or suffocated in a circular time loop.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>