Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178530 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erpryta Nurdia Tetrasiwi
"Latar Belakang: Individu dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dilaporkan mengalami peningkatan risiko terjadinya sarkopenia dan juga sebaliknya. Penelitian mengenai DMT2 dengan sarkopenia mayoritas berasal dari populasi geriatri. Sampai saat ini belum ada studi yang membandingkan profil metabolik dan parameter inflamasi di kelompok DMT2 dengan dan tanpa sarkopenia pada usia yang lebih muda.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan rerata profil metabolik dan parameter inflamasi pada penyandang DMT2 nongeriatri dengan dan tanpa sarkopenia.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan individu dengan DMT2 nongeriatri berusia  18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021- Januari 2022. Dilakukan pengambilan data sekunder berupa antropometri dan laboratorium yang mencakup Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c dan profil lipid. Kadar interleukin (IL)-6 dan IL-10 serum diukur menggunakan teknik ELISA. Kelompok sarkopenia terdiri atas possible dan true sarcopenia berdasarkan kriteria Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019.
Hasil: Dari 100 subjek, 35 subjek dikategorikan ke dalam possible sarkopenia dan 4 subjek true sarkopenia. Subjek DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia memiliki median (RIK) nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c yang lebih tinggi dibanding subjek tanpa sarkopenia yaitu berturut-turut [6,52 (4,05-17,26) vs. 4,66 (2,61-10,14); p=0,025] dan [9,0% (7,3-10,3)% vs. 7,4% (6,6-8,45)%; p=0,002]. Tidak terdapat perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 antara kedua kelompok, sementara kadar IL-10 hanya terdeteksi pada 33 sampel sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
Kesimpulan: Median nilai HOMA-IR dan kadar HbA1c kelompok DMT2 nongeriatri dengan sarkopenia lebih tinggi dibanding kelompok tanpa sarkopenia. Tidak ditemukan perbedaan kadar profil metabolik lain dan IL-6 sebagai parameter inflamasi antara kedua kelompok tersebut. Tidak dilakukan analisis beda rerata kadar IL-10 karena sedikitnya sampel yang terdeteksi.

Background: Individuals with type 2 diabetes mellitus (T2DM) are at increased risk for sarcopenia and vice versa. Studies in T2DM with sarcopenia mostly came from the geriatric population. To date, no study has compared the metabolic profile and inflammatory parameters in younger T2DM subjects with and without sarcopenia.
Aim: This study aimed to assess the mean differences in the metabolic profile and inflammatory parameters of nongeriatric T2DM individuals with vs. without sarcopenia.
Method: This cross-sectional study involved nongeriatric T2DM individuals aged 18-59 years old visiting Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and January 2022. Secondary data was obtained, namely anthropometric and laboratory data including Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR), HbA1c and lipid profile. Serum levels of interleukin (IL)-6 and IL-10 were measured using the ELISA technique. The sarcopenia group consists of individuals with possible and true sarcopenia based on the Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS) 2019 criteria.
Results: From 100 subjects, 35 was categorized as possible sarcopenia and 4 as true sarcopenia. Nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia had significantly higher median (interquartile range) HOMA-IR and HbA1c compared to nonsarcopenic subjects [6.52 (4.05-17.26) vs. 4.66 (2.61-10.14); p=0.025] and [9.0% (7.3-10.3)% vs. 7.4% (6.6-8.45)%; p=0.002]. There were no differences in other levels of metabolic profile and IL-6 between the two groups, while IL-10 levels were only detected in 33 samples and could not be analyzed further.
Conclusion: Median HOMA-IR and HbA1c nongeriatric T2DM subjects with sarcopenia was higher than those without sarcopenia. There was no difference in other metabolic profile and IL-6 level as inflammation parameter between the two groups. IL-10 was not analysed further due to the small sample number that were detected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Diyan Monica
"Obesitas dan diabetes tipe 2 adalah masalah global dengan angka kejadian yang meningkat pesat. Hubungan antara obesitas dan diabetes melibatkan resistensi insulin dan mikrobiota usus. Namun, belum ada studi di Jakarta yang menganalisis profil mikrobiota usus pada obesitas dengan atau tanpa diabetes tipe 2. Penelitian ini bertujuan menganalisis profil mikrobiota usus dengan metode sekuensing 16S rRNA pada subjek dengan dan tanpa diabetes tipe 2. Hasil analisis menunjukkan perbedaan komposisi mikrobiota usus antara obesitas dengan dan tanpa diabetes tipe 2. Beberapa kelompok bakteri berkaitan dengan kondisi tersebut. Filum Firmicutes dan Bacteroidota, famili Oscillospiraceae, genus Faecalibacterium dan Clostridia UCG-014 berkaitan dengan non-obesitas dan berkorelasi negatif dengan kadar lemak tubuh. Sementara filum Proteobacteria dan Bacteroidota, famili Enterobacteriaceae dan Erysipelotrichaceae, genus Eschericia Sighella dan unspecified Lachnospiraceae berkaitan dengan obesitas dan berkorelasi positif dengan kadar lemak tubuh dan IMT. Beberapa kelompok bakteri juga berkaitan dengan diabetes tipe 2, seperti filum Bacteroidota, famili Oscillospiraceae, dan genus Oscillospiraceae UCG-002 yang berkorelasi negatif dengan kadar GDP, GDS, dan HOMA-IR, serta filum Actinobacteriota, famili Veillonellaceae, genus Dialister dan Bifidobacterium berkorelasi positif dengan kadar GDP, GDS, dan HOMA-IR. Perbedaan pola distribusi mikrobiota usus juga terlihat pada analisis alpha dan beta diversity. Hasil penelitian ini memberikan wawasan baru tentang peran mikrobiota usus dalam obesitas dan diabetes tipe 2.

Obesity and type 2 diabetes are global health issues with rapidly increasing prevalence. The relationship between obesity and diabetes involves insulin resistance and gut microbiota. However, there has been no study in Jakarta analyzing the gut microbiota profile in obesity with or without type 2 diabetes. This research aims to analyze the gut microbiota profile using 16S rRNA sequencing on subjects with and without type 2 diabetes. The analysis results show differences in gut microbiota composition between obesity with and without type 2 diabetes. Several bacterial groups are associated with these conditions. Phylum Firmicutes and Bacteroidota, family Oscillospiraceae, genus Faecalibacterium, and Clostridia UCG-014 are associated with non-obesity and negatively correlated with body fat levels. On the other hand, phylum Proteobacteria and Bacteroidota, families Enterobacteriaceae and Erysipelotrichaceae, genus Eschericia Sighella, and unspecified Lachnospiraceae are associated with obesity and positively correlated with body fat levels and BMI. Some bacterial groups are also associated with type 2 diabetes, such as phylum Bacteroidota, family Oscillospiraceae, and genus Oscillospiraceae UCG-002, which are negatively correlated with GDP, GDS, and HOMA-IR levels, as well as phylum Actinobacteriota, family Veillonellaceae, genus Dialister, and Bifidobacterium, which are positively correlated with GDP, GDS, and HOMA-IR levels. Differences in gut microbiota distribution patterns are also evident in the alpha diversity analysis. The results of this study provide new insights into the role of gut microbiota in obesity and type 2 diabetes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Illavi
"Latar belakang: Program Pengendalian Penyakit Kronis (Prolanis) merupakan garda terdepan penanganan DMT2 di Indonesia sejak 2014. Kontrol metabolik DMT2 yang dikenal dengan ABC: (A) A1c, (B) blood pressure, dan (C) low-density lipoprotein-cholesterol merupakan parameter metabolik utama pencegahan primer PKV pada DMT2.
Tujuan: Mengetahui dan mempelajari peran Prolanis pada pengendalian parameter metabolik dan kesusuaian implementasi kegiatan Prolanis secara bersamaan pada populasi DMT2 di Puskesmas.
Metode: Studi mixed-method ini menggunakan desain penelitian potong lintang di 10 Puskesmas Kecamatan DKI Jakarta menggunakan cluster random sampling. Pengambilan sampel analisis kualitatif dilakukan secara purposive sampling pada penanggung jawab Prolanis lewat wawancara terpimpin serta telaah dokumen pada pemegang program Prolanis. Analisis kuantitatif menggunakan sampel peserta Prolanis di Puskesmas lewat data rekam medis Puskesmas untuk menilai kendali parameter metabolik ABC.
Hasil: Dari 376 peserta Prolanis, 47,9% memiliki nilai HbA1c <7%. Proporsi pengendalian tekanan darah dan kolesterol LDL mencapai 69,7% dan 32,2% secara berturut-turut. Hanya 12,5% subjek yang memiliki kontrol ABC yang baik. Hanya usia >60 tahun yang secara independen berhubungan bermakna dengan pencapaian kontrol HbA1c pada analisis multivariat dengan OR 1,68 (1,11 – 2,56), nilai p 0,015. Analisis kualitatif menunjukkan belum adanya standard operating procedure (SOP) Prolanis yang seragam, keterbatasan obat-obat di Puskesmas, tidak terlaksananya kegiatan kunjungan rumah atau pengingat SMS, dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Prolanis sejak 2014.
Kesimpulan: Pengendalian HbA1c <7% peserta Prolanis DMT2 mencapai 47,9% di Puskesmas DKI Jakarta. Ketercapaian pengendalian TD, kolesterol LDL, dan IMT secara berturut-turut adalah 69,7%, 32,4%, dan 26,9%. Usia >60 tahun berhubungan dengan kontrol HbA1c yang lebih baik. Tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin, komorbiditas, durasi keikutsertaan dalam Prolanis dan kepatuhan terhadap Prolanis dengan kontrol HbA1c yang baik. Terkait kesesuaian aktivitas Prolanis, seluruh Puskesmas di DKI Jakarta tidak menjalankan kegiatan pengingat SMS dan kunjungan rumah kepada peserta Prolanis. Kualitas Prolanis DMT2 berdasarkan aspek input, proses, output dan luaran masih dirasa kurang baik penerapannya di Puskesmas DKI Jakarta.

Background: A National Chronic Disease Management Program, Prolanis, has been launched to manage T2DM cases Indonesia primary health care facilities since 2014. Managing ABC (HbA1c <7%, blood pressure <140/90 mmHg, and low-density lipoprotein-cholesterol <100 mg/dL) acts as the primary prevention of cardiovascular disaease. Unfortunately, no study has ever evaluated the ABC control and the quality of Prolanis implementation concomitantly.
Aim: To identify the Prolanis’ role in controlling metabolic ABC parameters altogether with the quality of its implementation of Prolanis activities.
Methods: This was a mixed-method study using a triangulation design conducted in 10 primary healthcare facilities in Jakarta, the capital city of Indonesia. A quantitative approach using cross- sectional method was used to analyze the ABC and its affecting factors using T2DM patients’ data in each Puskesmas. Qualitative analysis was conducted using an in-depth interview with the program coordinator to evaluate the implementation of the program activities.
Results: A total of 376 T2DM patients were included in this study. Only 47.9% of subjects reached good glycemic control while only 12.5% met the ABC control criteria. Older age (>60 year) was significantly associated independently with HbA1c <7%, OR 1.68 (95% CI 1.13 – 2.56), p-value 0.015). No significant association was observed in other factors related to HbA1c control. Qualitative analysis showed no similar standard operating procedure on Prolanis implementation, lacking adequate T2DM medications including insulin, inappropriate Prolanis activities, and myriad obstacles that might be associated with poor glycemic control and other metabolic parameters.
Conclusion: Good glycemic control was achieved in 47.9% of Prolanis members. The proportions of subjects who achieved BP, LDL cholesterol, and BMI targets were 69.7%, 32.4%, and 26.9% respectively. Older age (>60 years) was independently associated with desired HbA1c target <7%. No association between sex, comorbidity, duration of Prolanis involvement, and compliance in Prolanis activities with good glycemic control was found in this study. All Puskesmas did not implement SMS reminders and home visits to Prolanis members. The quality of Prolanis at the Puskesmas in DKI Jakarta was not properly implemented based on the input, process, output, and outcome analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Isna Fatya
"Latar Belakang: Terdapat dua jenis obesitas berdasarkan risiko kardiometaboliknya, yaitu metabolically healthy obese (MHO) dan metabolically unhealthy obese (MUO). Kelompok MUO lebih berisiko mengalami DM tipe 2 karena terdapat resistensi insulin yang dicetuskan endotoksemia metabolik akibat disbiosis usus, melalui peningkatan permeabilitas usus. Belum ada data mengenai perbedaan permeabilitas usus, yang diwakili oleh kadar intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata kadar I-FABP pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian Divisi Endokrin, Metabolik, Diabetes FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang berjudul “Profil Mikrobiota Usus, Mikrobiota Rongga Mulut, Inflamasi, dan Resistensi Insulin pada Berbagai Spektrum Disglikemia” periode Juli 2018-Agustus 2019. Sebanyak 63 subjek obesitas berdasarkan kriteria WHO untuk Asia (IMT ≥25 kg/m2) dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan kriteria ADA: dengan dan tanpa DM tipe 2. Kadar I-FABP diperiksa dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay. Analisis data dengan uji T tidak berpasangan untuk perbedaan rerata I-FABP. Uji regresi logistik dilakukan untuk faktor perancu.
Hasil: Mayoritas subjek ialah perempuan (82,53%), usia >45 tahun (63,50%), obesitas grade I (54,00%), obesitas sentral (93,70%). Rerata I-FABP pada kelompok dengan DM tipe 2 lebih tinggi, yaitu 2,82 (1,23) ng/mL vs. 1,78 (0,81) ng/mL (p<0,001; IK95% 0,51-1,55).
Simpulan: Rerata kadar I-FABP lebih tinggi pada kelompok obesitas dengan DM tipe 2 dan independen terhadap faktor usia.

Background: There are two types of obesity based on its cardiometabolic risk, which are metabolically healthy obese (MHO) and metabolically unhealthy obese (MUO). The MUO exerts higher risk to develop type 2 DM because of higher state of insulin resistance due to metabolic endotoxemia through gut dysbiosis and increased intestinal permeability. There is no study regarding the difference of intestinal permeability, using intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), in obese people with and without type 2 DM in Indonesia.
Objective: To know the mean difference of I-FABP in obese people with and without T2DM in Indonesia.
Method: A cross-sectional study using secondary data from the study of Division of Endocrine, Metabolism and Diabetes FMUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta entitled "Profile of the Intestinal Microbiota, Oral Cavity Microbiota, Inflammation, and Insulin Resistance in Various Spectrums of Dysglycemia" for the period July 2018-August 2019. A total of 63 obese subjects based on WHO criteria for Asia (BMI ≥25 kg/m2) were divided into 2 groups based on ADA criteria for diabetes: with and without T2DM. The I-FABP levels were checked using enzyme-linked immunosorbent assay method. Data was analyzed using unpaired T test for mean difference of I-FABP while logistic regression test was performed for confounding factors.
Results: The majority of the subjects were women (82.53%), age >45 years (63.50%), obesity grade I (54.00%) and central obesity (93.70%). The I-FABP level of T2DM group was higher compared to without T2DM group, namely 2.82 (1.23) ng/mL vs. 1.78 (0.81) ng/mL (p<0.001; 95% CI 0.51-1.55).
Conclusion: The mean level of I-FABP was higher in the obese group with T2DM which is independent of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Ayu Larasati
"ABSTRAK
Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah masalah global yang sangat serius. Penyakit ini menyerang pada usia yang paling produktif sehingga dapat menurunkan derajat ekonomi dan mengurangi usia harapan hidup. Patogenesis DM sangat erat kaitannya dengan inflamasi, ditandai dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-8 dan TNF. Namun, belum ada agen antiinflamasi yang terbukti berperan dalam tatalaksana DMT2. Butirat merupakan asam lemak rantai pendek yang diproduksi dari fermentasi pati resisten di lumen usus. Dalam kondisi normal butirat diserap dan digunakan sebagai sumber energi bagi sel kolonosit, hati dan otot. Butirat mampu berikatan dengan reseptor GPR41 dan GPR43 pada monosit sehingga mampu mengubah pola ekspresi sitokin, aktivasi, migrasi dan diferensiasi sel. Sehingga menarik untuk meneliti pengaruh butirat terhadap migrasi dan sitokin yang diekspresikan oleh monosit pada pasien DMT2. Kadar sitokin dihitung dari supernatan yang diambil dari kultur monosit . Sebanyak 37 subJek dibagi menjadi dua perlakuan yaitu kontrol dan dengan penambahan butirat. Monosit hari pertama diisolasi dalam gel kolagen tipe 1 untuk dilakukan uji migrasi menggunakan μ-slide chemotaxis IBIDI. Analisis gambar menggunakan software ImageJ dan Chemotaxis tool. Terdapat adanya perbedaan yang bermakna pada rasio TNF/IL 10 antara kelompok sehat dan DMT2. Butirat juga terlihat menekan produksi sitokin TNF dan meningkatkan produksi IL10. Indikator migrasi monosit seperti jarak akumulasi dan kecepatan migrasi memiliki perbedaan bermakna antara kelompok sehat dan DMT2. Butirat dapat menekan laju migrasi monosit diikuti dengan penurunan jarak dan kecepatan migrasi monosit

ABSTRACT
Type 2 Diabetes Mellitus (DMT2) is a very serious global problem. This disease attacks at the most productive age so that it can reduce economic status and reduce life expectancy. The pathogenesis of DM is very closely related to inflammation. characterized by increased levels of proinflammatory cytokines such as IL-6, IL-8 and TNF. However, no anti-inflammatory agent has been proven to play a role in the management of T2DM. Butyrate is a short chain fatty acid produced from resistant starch fermentation in the intestinal lumen. In normal conditions the butyrate is absorbed and used as an energy source for colonocytes, liver and muscle cells. Butirate is able to bind to GPR41 and GPR43 receptors on monocytes so that it can change the pattern of cytokine expression, activation, migration and cell differentiation. So it is interesting to examine the effect of butyrate on migration and cytokines expressed by monocytes in T2DM patients. Cytokine levels were calculated from supernatants taken from monocyte cultures. A total of 37 subjects were divided into two treatments, namely control and with addition of butyrate. The first day monocytes were isolated in type 1 collagen gel for migration testing using the slide chemotaxis IBIDI. Image analysis using ImageJ and Chemotaxis tool software. There was a significant difference in the TNFα / IL 10 ratio between healthy groups and T2DM. Butyrate also appears to suppress TNF cytokine production and increase IL10 production. Monocyte migration indicators such as accumulation distance and migration speed have significant differences between healthy groups and T2DM. Butirat can reduce inflammation responds and the distance and speed of monocyte migration"
2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uly Indrasari
"Latar belakang - Mikroangiopati serebral merupakan salah satu komplikasi vaskular pada Diabetes Mellitus (DM). Salah satu parameter pada Transcranial Doppler (TCD) yang menilai adanya resistensi distal dari arteri yang diperiksa yang dapat merefleksikan adanya mikroangiopati di otak adalah Pulsatility Index (PI). Penelitian ini menghubungkan antara rerata PI arteri serebri media (Middle Cerebral Artery/MCA) dengan kejadian retinopati diabetik yang merupakan komplikasi yang paling spesifik dan tersering pada DM tipe 2.
Tujuan - Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 di otak pada penyandang DM tipe 2 beserta titik potongnya pada kurva ROC dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode - Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 60 subyek DM tipe 2 tanpa komplikasi makrovaskular, terdiri dari 29 pasien retinopati dan 31 pasien tanpa retinopati dari poliklinik rawat jalan endokrin RS Cipto Mangunkusumo periode November 2013 ? April 2014. Dilakukan pemeriksaan TCD untuk menilai PI MCA. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c dianalisis sebagai faktor perancu.
Hasil - Pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati memiliki nilai rerata PI arteri serebri media yang lebih tinggi secara bermakna (1,17±0,25) dibandingkan dengan penyandang DM tipe 2 tanpa retinopati (1,05±0,26) dengan p=0,001. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c tidak berhubungan terhadap perubahan rerata PI MCA (p=0,187; p=0,608; p= 0,734; p=0,159; p=0,548). Titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.
Simpulan - Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan rerata nilai PI MCA secara bermakana antara kelompok dengan dan tanpa retinopati dengan nilai titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.

Background - Cerebral microangiopathy is one of the most important complications in diabetes mellitus. Elevation in pulsatility index (PI) as measured by Transcranial Doppler (TCD) have been postulated to reflect increased vascular resistance distal of artery being examined. This study correlate PI mean of middle cerebral artery (MCA) with retinal mikroangiopathy which is the most common and specific in diabetic patients.
Objective - To determine differences in PI MCA group with and without retinopathy in type 2 diabetic patients and to find the cuttpoint value at ROC curve.
Methods - The study was carried out in sixty diabetic patients (with no other vascular abnormality), divided into 2 group, 29 type 2 diabetic patients with retinopathy and 31 diabetic patients without retinopathy. TCD was performed to record pulsatility index of MCA then analyzed to find the cuttpoint value. Ages, duration of diabetes, HbA1c levels, history of hypertension and dyslipidemia was analyzes as a confonding factor.
Results - The PI of MCA are significantly higher in diabetic patients with retinopathy than without retinopathy (P=0.001) with cutt of point at PI> 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesificity. Age, HbA1c level, diabetes duration, history of hypertension and dislipidemia does not have a meaningful relationship with change cerebral status (p = 1.000, p = 0.657, p = 0.354, p = 0.538).
Conclusions - There are significant differences beetwen mean of pulsatility index in diabetic patients with and without retinopaty. The Cuttpoint are at PI > 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesifisity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Martinus
"Latar Belakang: Sebesar 90% penderita DM merupakan DMT2. Komplikasi makrovaskular pada DM merupakan komplikasi ke tiga terbanyak setelah retinopati dan neuropati. Kematian pada DMT2 tujuh puluh lima persen disebabkan oleh PJK. Hal yang mendasari kejadian PJK adalah aterosklerosis yang didahului oleh proses disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai oleh adanya peningkatan endotelin-1 (ET-1) dan penurunan NO akibat peningkatan inhibitor eNOS, asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar ADMA dan ET-1 dengan keparahan Penyakit Jantung Koroner (PJK) stabil dengan dan tanpa DMT2.
Metode: Penelitian potong lintang, analitik pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2 yang akan menjalani angiografi koroner pertama kali. Dilakukan pemeriksaan ADMA, ET-1, HbA1c dan evaluasi lesi koroner dengan sistim skoring berdasarkan syntax score (SS). Analisis untuk melihat 2 perbedaan median dilakukan dengan uji Mann Whitney dan perbedaan median lebih dari 2 kelompok dengan uji Kruskal Wallis pada distribusi data yang tidak normal.
Hasil: Dari 28 orang pasien PJK stabil dengan DMT2 dan 30 pasien PJK stabil tanpa DMT2 didapatkan proporsi usia hampir sama, wanita lebih banyak pada kelompok DMT2. Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 lebih tinggi dibanding tanpa DM (p 0,6; 2,1 dan p 0,3). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dari HbA1c < 7% ( p 0,7 dan p 0,8).Kadar ADMA pada DMT2 dan SS tinggi lebih rendah dibanding SS rendah(p 0,7), sedangkan kadar ET-1 pada DMT2 dan SS tinggi, lebih tinggi dibanding SS rendah (p 0,9). Kadar ADMA dan ET-1 pada DMT2 dengan SS rendah dan HbA1c ≥ 7% lebih rendah dibanding HbA1c < 7% ( p 0,5 dan p 0,5).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ADMA dan ET-1 dengan kontrol glukosa darah pada kelompok syntax score rendah.

Background: Ninety percent of diabetes patients have type 2 diabetes mellitus (T2DM). Macrovascular complication was the third highest complication in diabetes after retinopathy and neuropathy. Coronary artery disease (CAD) resulting from diabetes is responsible for 75% of diabetes-related death. Underlying mechanism of CAD is atherosclerosis initiated by endothelial dysfunction. The endothelial dysfunction is marked by endothelin-1 (ET-1) levels raise and NO decrement, as a result of eNOS inhibition by increased asymmetrical dimethylarginine (ADMA).
Objective: To determine the difference of asymmetrical dimethylarginine (ADMA) and endotelin-1 (ET-1) levels to evaluate the severity and complexity of coronary lesion in stable coronary artery disease (SCAD) with and without T2DM.
Methods: This is an analytical cross-sectional study. We obtained serum sample and measured ADMA, ET-1, HbA1c levels and evaluated coronary lesion by syntax score (SS). Analysis of the ADMA and ET-1 correlation was evaluated by blood glucose control and SS. Mann-Whitney U test was used to compare two independent mean, Kruskal-Wallis test was used for differences among the groups median if variables were not normally distributed.
Results: We enrolled 28 stable CAD patients with T2DM and 30 stable CAD patients without T2DM. Baseline coroner angiography results with age proportion were similar in both groups. Women were predominant in T2DM group. ADMA and ET-1 levels in T2DM were higher than in without T2DM (58,0 and 50,5 with p 0,6 ; 2,1 and 1,8 with p 0,3). ADMA dan ET-1 levels in T2DM with HbA1c ≥ 7% were lower than in T2DM with HbA1c < 7% (51,7 and 65,3 with p 0,7 ; 2,08 and 2,14 with p 0,8). ADMA level in T2DM with high SS was lower than ones with low SS (44,5 and 58,4 with p 0,7), ET-1 level in T2DM with high SS was higher than in T2DM with low SS (2,72 and 2,08 with p 0,9). ADMA and ET-1 levels in T2DM with low SS and HbA1c ≥ 7% were lower than HbA1c < 7% (47,8 and 72,0 with p 0,5 ; 2,06 and 2,14 with p 0,5).
Conclusions: ADMA and ET-1 levels in patient SCAD with and without T2DM are insignificantly related. There is no significant difference of ADMA and ET-1 levels with blood glucose control and low syntax score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Louise Kartika Indah
"Asupan serat pada penyandang DM tipe 2 maupun orang sehat di Indonesia rendah, meskipun berbagai penelitian membuktikan bahwa serat bermanfaat dalam memperbaiki profil lipid. Uji klinis acak menyilang ini bertujuan mengetahui pengaruh penambahan serat makanan terhadap profil lipid penyandang DM tipe 2 usia 20−64 tahun, dengan kadar serum kolesterol total >150 mg/dL, atau kolesterol LDL >100 mg/dL, atau kadar HDL < 45 mg/dL, atau trigliserida >150 mg/dL.
Setiap subyek penelitian menjalani dua macam perlakuan diet selama 3 minggu, dengan wash out selama 1 minggu: diet DM sesuai rekomendasi PERKENI dengan makanan selingan berserat 5,88 g/hari. Dilakukan wawancara karakteristik demografi, pengukuran tinggi dan berat badan, penilaian asupan zat gizi dengan metode food record 3 x 24 jam serta pemeriksaan profil lipid sebelum dan setelah perlakuan.
Rentang usia subyek penelitian 47-61 tahun, sebagian besar subyek adalah perempuan, dan tingkat pendidikan rendah, serta tingkat aktivitas fisik ringan, dengan status gizi obes I sebanyak 66%. Subyek dapat mengonsumsi makanan selingan berserat sebanyak 90% dari anjuran. Makanan selingan berserat dapat ditoleransi dengan baik, tanpa ada keluhan yang berarti. Sebagian besar subyek penelitian tidak dapat mengikuti anjuran diet DM nya, terutama dalam hal asupan protein, lemak, dan serat. Terlihat penurunan yang bermakna pada kadar serum kolesterol total (p=0,03) dan trigliserida (p=0,04) setelah konsumsi makanan selingan berserat.
Kesimpulan: diet DM dengan konsumsi serat sebagai makanan selingan sebesar 5,88 g/hari menurunkan kadar serum kolesterol total dan trigliserida serum dibandingkan dengan diet DM pada penyandang DM tipe 2. Penelitian lanjutan dianjurkan dengan menambah serat dalam makanan selingan.

Dietary fiber intake of type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) patients and general Indonesian population were lower than recommendation, despite proven beneficial effect of dietary fiber on serum lipid profile. This randomized cross-over clinical trial aims to investigate the effect of 5,88 g/day fiber snack supplementation for 3 weeks on serum lipid profile among 20−64 years old T2DM patients with either serum concentration cholesterol total >150 mg/dL, cholesterol LDL >100 mg/dL, cholesterol HDL <45 mg/dL, or triglyceride >150 mg/dL.
Every subject underwent two treatments for 3 weeks with 1 week wash out: 5.88 g/day dietary fiber in snack bars integrated in diabetic diet recommended by Indonesian Diabetic Association (PERKENI). Assessments of sociodemographic, body height and weight, dietary intake using food record 3x24 hours method during study period, and lipid profile before and after intervention were performed.
Subjects age ranged 47-61 years, majority was female, low educational level, sedentary physical activity, and 66% obese. Subjects managed to consume 90% of the dietary fiber snack bars, without experiencing any side effects. Majority of subjects could not follow their diabetic dietary regimen, especially consumption of protein, fat and fiber. There were significant decreases total cholesterol (p=0.03) and triglyceride (p=0.04) serum concentrations after consumption of dietary fiber in snack bars.
Conclusion : diabetic diet with 5.88 g/day fiber snack decreases total cholesterol and triglyceride serum concentrations compared to diabetic diet alone in patients with T2DM. Further study to increase the amount of fiber in snack is proposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruzicka Ilma Faradisi
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan beberapa faktor pada DM tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Mutan p53 yang terbukti berkontribusi terhadap perkembangan tumor sementara insulin yang diketahui berperan dalam mengendalikan kadar gula tubuh, dipilih menjadi biomarker yang akan diteliti pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan kadar mutan p53 dan insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (n=51) dan pasien DM tipe 2 (n=51). Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Pada penelitian, diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,774) pada nilai mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (1,65±0,10 ng/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (1,62±0,09 ng/mL). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) pada kadar insulin antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (19,33±2,68 µIU/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (37,31±2,68 µIU/mL). Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dengan kadar insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (r=0,191; p= 0,179) dan pada kelompok pasien DM tipe 2 (r=-0,081; p= 0,574). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kadar mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker dan kelompok pasien DM tipe 2, namun terdapat perbedaan pada kadar insulin pada kedua kelompok. Selain itu, tidak ada korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dan insulin pada kedua kelompok.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown that several factors in type 2 DM are related to cancer incidents. Mutant p53 is scientifically proven to contribute in tumor development while insulin that known well to play an important role in controlling body glucose levels, therefore those two biomarkers were chosen to be investigated in this study. This research aimed to study the correlation of mutant p53 and insulin in type 2 DM + cancer (n=51) and type 2 DM patients (n=51). This research was a cross-sectional study with consecutive technique sampling. This study showed that there was no significant difference (p=0.774) of mutant p53 value between type 2 DM + cancer patients group (1.65±0.10 ng/mL) and type 2 DM patients group (1.62±0.09 ng/mL). However, it was significant difference (p<0.001) of insulin value in type 2 DM + cancer patients group (19.33±2.68 µIU/mL) and type 2 DM patients group (37.31±2.68 µIU/mL). There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in type 2 DM + cancer patients group (r=0.191; p=0.179) and type 2 DM patients group (r=-0.081; p=0.574). Based on the results, we concluded that there was no significant difference of mutant p53 value in type 2 DM + cancer patients group and in type 2 DM patients group but there was significant difference of insulin value in both groups. There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in both groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>