Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Hanif Sulthoni
"Meskipun hukum positif di Indonesia hingga saat ini masih belum mengatur secara jelas dan pasti mengenai penggantian jenis kelamin, namun terdapat beberapa pengaturan yang pada dasarnya menyinggung mengenai hal ini secara implisit. Adapun UU Adminduk telah mengkategorikan penggantian jenis kelamin sebagai suatu bentuk peristiwa penting lainnya, sehingga seorang transeksual yang telah melakukan prosedur penggantian jenis kelamin dapat mencatatkan identitas barunya tersebut dengan syarat telah mendapatkan Penetapan Pengadilan. Ditemukan permasalahan lain dimana ketiadaan hukum yang mengatur mengenai hal ini membuat hakim harus melakukan penggalian terhadap sumber hukum tidak tertulis serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, hakim juga diharuskan untuk melakukan penemuan hukum guna mengisi kekosongan hukum yang ada. Atas hal tersebut, maka penelitian ini akan melakukan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam menetapkan suatu permohonan penggantian jenis kelamin serta mengidentifikasi metode penemuan hukum apa yang digunakan. Adapun penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif analitis, dimana permasalahan yang ada akan dilakukan analisis secara kualitatif dengan acuan literatur dan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini sendiri adalah hakim dalam menetapkan suatu permohonan penggantian jenis kelamin tidak hanya mempertimbangkannya melalui aspek hukum saja, melainkan juga melihat pada aspek medis, sosial, dan agama. Untuk aspek hukum sendiri, hakim mendasarkan pertimbangannya pada UUD 1945, UU HAM, UU Adminduk, UU Kekuasaan Kehakiman, serta Perpres No. 25 Tahun 2008. Sedangkan untuk aspek medis, hakim menggunakan 5 (lima) aspek dalam menentukan jenis kelamin seseorang, antara lain aspek kromosom, aspek kelamin primer, aspek kelamin sekunder, aspek hormonal, dan aspek psikologis. Dan untuk metode penemuan hukum yang digunakan sendiri adalah metode konstruksi hukum dengan jenis Rechtsvervijnings, dimana hakim akan mengkonstruksikan ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam rangka mengubah jenis kelaminnya.

Even though positive law in Indonesia has yet to regulate sex reassignment, there are several regulations which basically allude to this matter implicitly. The Demography Administration Law categorizes sex reassignment as another form of important event, so that a transsexual who has undergone a sex reassignment procedure can register their new identity on condition that they have received a court decision. Another problem was found where the absence of laws governing this matter made judges have to dig into unwritten sources of law and the values that live in society. In addition, judges are also required to make legal discoveries to fill the existing legal void. For this reason, this study will analyze the judge's considerations in determining a request for sex reassignment and identify which legal discovery method to use. As for this research, it is a descriptive analytical literature research, in which the existing problems will be analyzed qualitatively with reference to the literature and applicable provisions. The results of this study are that judges in determining an application for sex reassignment do not only consider it through legal aspects, but also look at medical, social and religious aspects. For the legal aspect itself, judges based their considerations on the 1945 Constitution, the Human Rights Law, the Demography Administration Law, the Judicial Powers Law, and Presidential Regulation No. 25 of 2008. As for the medical aspect, judges use 5 (five) aspects in determining a person's sex, including chromosomal aspects, primary sex aspects, secondary sex aspects, hormonal aspects, and psychological aspects. And for the legal discovery method that is being used by the judge is the legal construction method with the Rechtsvervijnings type, where the judge will construct the conditions that must be fulfilled by someone in order to change their sex."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Prismawarni
"Jenis kelamin ahli waris mempengaruhi besar bagian warisan yang didapat menurut Hukum Kewarisan Islam. Namun, dewasa ini terdapat orang yang berkeinginan mengubah jenis kelaminnya yang disebut sebagai transeksual. Transeksual merupakan bentuk gangguan identitas gender yang ditandai dengan keinginan transeksual untuk mengubah jenis kelaminnya melalui operasi penggantian kelamin. Saat ini operasi penggantian kelamin sudah dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang kedudukan ahli waris transeksual yang telah melakukan operasi penggantian kelamin dalam Hukum Kewarisan Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa Hukum Islam mengharamkan operasi penggantian kelamin terhadap transeksual dan kedudukan ahli waris transeksual tersebut adalah ahli waris dengan jenis kelamin sebelum dilakukan operasi.

Beneficiary‟s sex will influence the amount of legacy in terms of Islamic Inheritance Law. However, today there are people who wish to change their sex, called as transsexual. Transsexual is a gender identity disorder that is marked by the desire to change their sex by way of sex reassignment surgery. Nowadays, sex reassignment surgery has been legalized by Law Number 23/2006 about The Indonesian Population Administration.
The objective of this thesis is to describes and analyze about the legal position of transsexual who have sex reassignment surgery as a beneficiary in terms of Islamic Inheritance Law. The research method used in this thesis is a normative juridicial research. The result of the research is that sex reassignment surgery forbidden in Islamic law and the legal position of transsexual who has sex reassignment surgery is his sex before surgery.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildatun Aziza
"Ambiguous genitalia merupakan kondisi medis dimana alat kelamin seseorang tidak dapat secara sederhana ditentukan dengan tegas dan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum karena dapat mengakibatkan kekeliruan antara identitas pada dokumen kependudukan dengan jenis kelamin seseorang yang sebenarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan bentuk yuridis normatif dan bersifat deskriptif untuk menjelaskan pengaturan operasi penggantian kelamin di Indonesia, menjelaskan tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam operasi penggantian kelamin berdasarkan kondisi ambiguous genitalia dan menganalisis kedudukan ambiguous genitalia sebagai pertimbangan Hakim dalam Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. Dari hasil penelitian diketahui bahwa: (1) operasi penggantian kelamin di Indonesia diatur secara khusus dalam Kepmenkes No. 191 Tahun 1989; (2) sebagai pihak yang terlibat aktif dalam operasi penggantian kelamin, sebagai salah satu metode penanganan ambiguous genitalia, dokter dan rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum administrasi, perdata, dan pidana; (3) ambiguous genitalia tidak disebutkan secara spesifik dalam pertimbangan Hakim pada Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung namun merupakan faktor medis sebagaimana tertuang dalam keterangan saksi dan alat bukti surat, yang bersama-sama faktor yuridis, agama, dan psikologis dipertimbangkan oleh Hakim sebelum mengabulkan permohonan penggantian kelamin.  Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan beberapa hal seperti revisi dan pembentukan peraturan terkait penggantian kelamin, sosialisasi serta penelitian akademis lanjutan terkait ambiguous genitalia dan operasi penggantian kelamin.

Ambiguous genitalia is a medical condition where a persons genitals cannot be simply determined firmly and potentially cause legal problems because it can lead to errors between identity in the document of population and the actual sex of a person. The research method used in this study is a normative-descriptive juridical to explain the provisions of sex reassignment surgery in Indonesia, explain the responsibilities of doctors and hospitals in sex reassignment operations based on ambiguous conditions of genitalia; and analyze the position of ambiguous genitalia as Judges consideration in Couert Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. From the results of the study it was revealed that: (1) sex reassignment operations in Indonesia is specifically regulated in Kepmenkes No. 191 of 1989; (2) as parties actively involved in sex reassignment operations, doctors and hospitals have administrative, civil and criminal legal responsibilities; (3) ambiguous genitalia is not specifically mentioned in consideration of the Judge in Court Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung but it is a medical factor as stated in the witness statement and proof of letter, which together with juridical, religious and psychological factors are considered by the Judge before granting the request for sex change. Based on the results of the study, the authors suggest several things such as revisions or establishment to the law, socialization and further academic research about ambiguous genitalia and sex reassigment surgery."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Afrissyah
"Pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna dengan jenis laki-laki dan perempuan. Dengan majunya teknologi kedokteran saat ini dimungkinkan bagi seseorang melakukan operasi penggantian kelamin dan bahkan beberapa orang telah mendapat penetapan dari Pengadilan tentang perubahan status mereka didepan hukum. Sehingga, keberadaannya ini menimbulkan permasalahan hukum terhadap status hukum dan akibat hukum serta perkawinan yang dilakukan oleh mereka.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah Hukum Islam memperbolehkan perkawinan oleh transeksual yang telah diakui perubahan status kelaminnya oleh Pengadilan Negeri. Serta bagaimana Undang-Undang perkawinan di Indonesia memandang permasalahan perkawinan transeksual tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Hasil penelitian adalah pada dasarnya tindakan operasi diharamkan, namun dibolehkan apabila terdapat kondisi yang memaksa. Sehingga Hukum Islam secara tegas tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan antara seorang transeksual dengan orang yang sebenarnya berjenis kelamin sama, kecuali perubahan jenis kelaminnya sah menurut Hukum Islam. Sedangkan berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang belum ada aturan secara tegas tentang transeksual, meski Undang-Undang perkawinan mendasarkan sah tidaknya suatu perkawinan juga ditentukan oleh ketentuan dalam tiap-tiap agama, maka tetap dimungkinkan bagi seorang transeksual yang telah mendapat penetapan dari pengadilan untuk melangsungkan perkawinan asalkan syarat perkawinan tersebut tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam agama dari orang yang bersangkutan.

Naturally, God have created human as His perfect creation as male and female. With the latest medical technology, it is possible nowadays for everyone to do sex reassignment surgery and some of those have received the Decision from the court about the legal changes of their status. Therefore, the existing of it caused the legal problem about the legal status and the legal implication of their marriage done by them.
The purpose of this research paper is to know whether Islamic Law allow the marriage which is done by the transsexual person which status had been recognized by the Court, and how the Act of Marriage's point of view about the transsexual marriage itself. The research is a normative legal research with qualitative analysis on secondary data.
The result of this research are: basically, the surgery is allowed if there is any force major therefore, Islamic Law not strictly ban the marriage of an transsexual person with the similar sex spouse unless its transsexual is legal according to Islamic Law. It is different with the Act of Marriage which haven't strictly regulate about transsexual although the act of marriage regulate whether the marriage is legal from every religion, therefore it is possible for a transsexual person who had been approved by court to get married if the marriage requirement is not banned or not broken the requirement of his/her religion.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richie Juneo
"Indonesia telah memperbolehkan perubahan jenis kelamin sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mengkategorikan perubahan jenis kelamin sebagai peristiwa penting lainnya. Akan tetapi, pengaturan tersebut hanya sebatas panduan administratif, tanpa adanya pengaturan mengenai persyaratan seseorang untuk melakukan perubahan jenis kelamin. Berbeda dengan Indonesia, Inggris Raya dan Iran memiliki ketentuan yang spesifik mengatur mengenai perubahan jenis kelamin seseorang. Inggris Raya mengatur perihal perubahan jenis kelamin di dalam Gender Recognition Act 2004 yang memiliki standar-standar tertentu yang seseorang perlu tempuh untuk melakukan perubahan jenis kelamin, begitupula dengan Iran yang memiliki peraturan yang tercantum di dalam Fatwa Ayatollah Khomeini yang mengizinkan perubahan jenis kelamin, selama seseorang mengalami gender identity disorder. Inggris Raya dan Iran juga mengatur mengenai dampak jika seseorang telah melakukan perubahan jenis kelamin, sedangkan Indonesia belum mengaturnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan maupun persamaan antara hukum mengenai perubahan jenis kelamin seseorang antara Indonesia dengan Inggris Raya dan Iran. Adapun persamaan tersebut terletak pada status jenis kelamin setelah melakukan perubahan, kutipan pada akta lahir, pengajuan permohonan permohonan perubahan jenis kelamin tidak dapat ditolak sebelum diperiksa, alat bukti maupun barang bukti yang memadai, serta khusus dengan Inggris Raya dan Indonesia, dapat dilakukan
upaya banding. Di lain sisi, perbedaan antara Indonesia dengan Inggris Raya dan Iran terletak
pada keberadaan dasar hukum, pihak yang mengevaluasi permohonan, persyaratan seseorang untuk melakukan perubahan, status perkawinan, sertifikat yang membuktikan telah dilakukannya perubahan jenis kelamin, serta antara Indonesia dengan Iran, terdapat perbedaan khusus, yakni Iran tidak dapat mengajukan upaya banding apabila permohonan pertama
ditolak.

Indonesia has allowed sex change as stated in the Explanation of Article 56 paragraph (1) of
the Population Administration Law which categorizes sex change as another important event. However, these arrangements are only limited to administrative guidelines, without any regulation regarding the requirements for someone to change sex. In contrast to Indonesia, the United Kingdom and Iran have specific provisions governing changing one's sex. The United Kingdom regulates the matter of changing sex in the Gender Recognition Act 2004 which has certain standards that a person needs to go through to change sex, as well as Iran which has
regulations listed in the Fatwa of Ayatollah Khomeini which allow changing sex, as long as a
person experiencing gender identity disorder. United Kingdom and Iran also regulate the impact if someone has changed sex, while Indonesia has not regulated it. The results of this study found that there were differences or similarities between the laws regarding changing a person's sex between Indonesia and the United Kingdom and Iran. The similarity lies in the status of gender after making changes, citations on birth certificates, submissions of requests for gender changes cannot be rejected before being examined, sufficient evidence and evidence, and specifically with United Kingdom and Indonesia, appeals can be made. On the other hand, the difference between Indonesia and the United Kingdom and Iran lies in the existence of a legal basis, the party evaluating the application, the requirements for a person to make a change, marital status, a certificate proving that a sex change has been made, and between Indonesia and Iran, there is a special differences, where Iran cannot appeal if the first application is rejected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Yaqin
"Jenis kelamin merupakan salah satu identitas yang melekat pada diri manusia. Dalam kenyataannya terdapat orang yang merasa bahwa jenis kelamin mereka tidak merepresentasikan diri mereka yang sesungguhnya atau sering disebut dengan transeksual. Hal tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan maupun diskriminasi dari masyarakat. Untuk menghindari potensi tersebut, seseorang transeksual akan melakukan Operasi Ganti Kelamin. Permasalahan yang terjadi adalah tidak terdapat aturan yang jelas terkait kebolehan maupun prosedur pelaksanaan Operasi Ganti Kelamin. Namun, terdapat Putusan Nomor 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel terkait permohonan perubahan kelamin. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan di Indonesia terkait penentuan status hukum jenis kelamin dan dampak Operasi Ganti Kelamin terhadap status hukum Warga Negara Indonesia yang kemudian akan dianalisis berdasarkan Putusan Nomor 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dan dilakukan menggunakan tipe penelitian deskriptif untuk menganalisis data yang ditemukan dari peraturan perundang-undangan dan sumber literatur yang lain mengenai dampak Operasi Ganti Kelamin terhadap status hukum Warga Negara Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa tidak ada aturan yang jelas terkait Operasi Ganti Kelamin. Perubahan status hukum jenis kelamin seseorang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus didahului dengan putusan Pengadilan. Ketiadaan atau ketidakjelasan aturan tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menolak kasus. Oleh karena hal tersebut hakim harus mencari cara untuk memutuskan perkara Operasi Ganti Kelamin. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan oleh hakim adalah menggunakan teori interpretasi dari Dworkin yakni law as interpretation.

Sex is an identity that is always attached to every person. But in reality, there are some people felt that their sex cannot represent their true self. This condition is called as a transsexual. Obviously, this condition can cause a problem or a discrimination from the society. To avoid those problems, a transsexual will do Sex Reassignment Surgery (SRS). The problem is there are no clear regulations about that in Indonesia. However, there is a jurisprudence number 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel about a plea to change his sex legal status. Hence, this research is aim to find the regulations in Indonesia about the determination of sex legal status and the Impact of SRS on the legal status of Indonesian citizens. That aim will be analyze based on the jurisprudence number 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel. The form of this research is normative juridical and is using a descriptive type of research to analyze various data from regulation in Indonesia and other literature sources regarding about the impact of SRS on the legal status of Indonesian citizens. Based on the research conducted, the results are that there are no clear regulations about SRS. Related to Law number 23 of 2006 about Civil Administration, the transformation of sex legal status must be preceded by a jurisprudence. The unclear regulation about SRS can not be a justification by judge to reject the case. Hence, judge should find a way out for settle the case about SRS. One of the way out that can used by judge is using interpretation theory called “law as interpretation” by Dworkin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanya Vanessa Daniella
"Gestational surrogacy merupakan metode penanaman embrio dalam rahim wanita yang tidak memberikan sel telurnya dalam pembuahan tersebut, disebut sebagai ibu pengganti, untuk kemudian dikandung, dilahirkan, dan dikembalikan kepada pasangan atau seseorang sebagai orang tua yang dituju dari si anak berdasarkan perjanjian di antara para pihak. Masih bersifat kontradiktif, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai praktik dan perjanjian gestational surrogacy di Indonesia, sehingga hak keperdataan anak yang lahir melalui praktik tersebut dipertanyakan. Di sisi lain, gestational surrogacy bukan lagi merupakan hal yang tabu untuk dilakukan di beberapa negara, termasuk Rusia yang memperkenankan praktik dan perjanjian tersebut, bahkan dianggap sebagai salah satu negara yang paling liberal dalam hal pengaturan terkait gestational surrogacy. Praktik dan perjanjian gestational surrogacy melahirkan beberapa permasalahan hukum, di antaranya status hukum, status kewarganegaraan, dan status kewarisan anak yang samar atau tidak pasti mengingat anak tersebut memiliki hubungan tidak hanya dengan ibu pengganti, tetapi juga dengan orang tua yang dituju. Dalam menyelesaikan permasalahan terkait, penulisan ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis, sehingga dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan akan dilakukan analisis untuk mencoba menjelaskan keberlakuan praktik gestational surrogacy di negara Indonesia dan Rusia, khususnya mengenai perjanjian serta permasalahan hukum yang dilahirkan apabila ditilik berdasarkan hukum yang berlaku pada masing-masing negara. Berangkat dari permasalahan hukum tersebut, hendaknya segera disusun regulasi khusus terkait praktik dan perjanjian gestational surrogacy di Indonesia agar menciptakan kepastian hukum, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi terjadinya penyelundupan hukum yang dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan hukum bagi para pihak yang terlibat, termasuk anak yang lahir melalui praktik dan perjanjian tersebut. Terhadap permasalahan hukum tersebut, Rusia yang memiliki beberapa produk hukum khusus dalam mengatur praktik dan perjanjian gestational surrogacy menjamin bahwa status keperdataan anak yang dilahirkan melalui praktik gestational surrogacy mutlak sama dengan status hukum anak sah yang dikandung secara alamiah.

Gestational surrogacy is a method of implanting an embryo in the uterus of a woman who does not provide her egg cells in the fertilization, referred to as a surrogate mother, to then be conceived, born, and returned to a couple or someone as the intended parent(s) of the child based on an agreement between the parties. Until now, there are no laws and regulations that specifically regulate the practice and agreement of gestational surrogacy in Indonesia, so the civil rights of children born through this practice are questionable. On the other hand, gestational surrogacy is no longer a taboo thing to do in several countries, including Russia which allows this practice and agreement, and is even considered one of the most liberal countries in terms of arrangements related to gestational surrogacy. The practice and agreement of gestational surrogacy gave rise to several legal issues, including the ambiguous or uncertain legal status, citizenship status, and inheritance status of the child considering that the child has a relationship not only with the surrogate mother but also with the intended parents. In solving related problems, this paper uses a normative juridical research type and is analytically descriptive in nature, so that in interpreting laws and regulations an analysis will be carried out to try to explain the applicability of gestational surrogacy practices in Indonesia and Russia, especially regarding agreements and legal issues that arise when viewed based on the laws in force in each country. Concerning these legal issues, special regulations should be drawn up immediately regarding the practice and agreements of gestational surrogacy in Indonesia in order to create legal certainty, so as not to provide an opportunity for law smuggling to occur which is feared will cause legal problems for the parties involved, including children born through the practice and the agreement. With regard to these legal issues, Russia, which has several special legal products regulating gestational surrogacy practices and agreements, guarantees that the civil status of children born through the practice of gestational surrogacy is absolutely the same as the legal status of legitimate children conceived naturally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Anugerah Lase
"Penetapan sementara adalah suatu mekanisme perlindungan bagi pemilik Merek terdaftar dalam hal terjadinya suatu pelanggaran Merek. Penetapan sementara diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penetapan sementara merupakan perintah Pengadilan Niaga atas permohonan Pemohon dengan tujuan untuk mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak atas Merek; pengamanan ddan pencegahan hilangnya barang bukti oleh pelanggar; dan/atau penghentian pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, penetapan sementara merupakan suatu mekanisme yang menghindarkan ataupun meminimalisir kerugian yang akan dialami oleh pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek. Apabila melihat pengaturan mengenai penetapan sementara di negara lain, ditemukan suatu perbedaan dan juga persamaan mengenai mekanisme penetapan sementara. Persamaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencegah dan meminimalisir dialaminya kerugian bagi pemilik Merek terdaftar. Perbedaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, yaitu dari dapat diajukannya upaya hukum terhadap penetapan sementara, serta ada atau tidak adanya suatu uang jaminan. Selanjutnya, diketahui bahwa masih terdapat beberapa pihak yang belum mengerti mekanisme permohonan penetapan sementara. Hal ini terlihat dari tidak sesuainya permohonan penetapan sementara berdasarkan UU MIG. Terdapat pihak yang masih mengajukan permohonan penetapan sementara dengan mekanisme gugatan penghentian pelanggaran Merek berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UU MIG. Selain permasalahan tersebut, penetapan sementara juga memiliki permasalahan dalam pengaturannya itu sendiri. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaturan penetapan sementara beserta dengan perbandingan pengaturan penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, bagaimana permasalahan pengaturan penetapan sementara, serta kekeliruan pemohon dalam permohonan penetapan sementara.

Injunction is a protection mechanism for registered Mark owners when a Mark infringement occured. Injunction are regulated in Law Number 20 of 2016 about Marks and Geographical Indications. The Injunction is an order from the Commercial Court at the Petitioner's request with the aim of preventing the entry of goods suspected of infringing on Trademark Rights; securing and preventing the loss of evidence by violators; and/or cessation of violations to prevent greater losses. Therefore, a temporary determination is a mechanism that avoids or minimizes losses that will be experienced by registered Mark owners from Mark infringements. The arrangements regarding injunction in Indonesia and other countries, have differences as well as similarities. The similarity of the implementation of injunction in the United States and Australia has the same objective, namely to prevent and minimize losses for registered Mark owners. The difference from the implementation of the injunction in the United States and Australia, namely from the possibility of filing legal remedies against the provisional order, and the obligation of a bail. Furthermore, it is known that there are still several parties who do not understand the mechanism for requesting an interim determination. This can be seen from the incompatibility of the request for a injunction based on the MIG Law. There are parties who are still submitting requests for injunctions with a claim mechanism for ending Mark infringement based on Article 84 paragraph (1) of the MIG Law. Apart from these problems, the injunction also has problems in the regulation itself. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how the injunction is regulated along with a comparison of the provisional determination arrangements in the United States and Australia, how are the problems of injunction arrangements, and the applicant's confusion in the application for the injunction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ezha Nafis Aufa Laili
"ABSTRAK
Meskipun hukum merek di Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa pemilik merek wajib untuk menggunakan mereknya di dalam perdagangan, masih terdapat permasalahan berkaitan dengan ketentuan penggunaan merek, terutama mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek. Pemilik merek seringkali gagal dalam menentukan apakah ketentuan penggunaan merek telah dipenuhi dan hal tersebut menyebabkan hilangnya hak atas merek mereka. Sehubungan dengan hal ini, harus dipahami bahwa merek adalah aset bisnis yang penting, sehingga perlu untuk menyediakan perlindungan kepada pemilik merek dengan memberikan ketentuan dan interpretasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penggunaan merek di dalam hukum merek di Indonesia. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memeriksa ketentuan hukum merek khususnya mengenai penggunaan merek. Skripsi ini akan membahas permasalahan merek yang timbul dari konsep-konsep dasar penggunaan merek. Skripsi ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan komparatif terhadap hukum merek di beberapa negara. Berdasarkan pada hukum merek dan praktiknya di beberapa negara, merek harus digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek yang sesuai harus dilakukan oleh pemilik merek. Jika pemilik merek dapat menetapkan bahwa mereknya digunakan dalam perdagangan dan penggunaan merek dilakukan dengan sesuai, hak eksklusif atas merek dapat beroperasi dengan sebagaimana mestinya.

ABSTRACT
Although trademark law in Indonesia has firmly regulated that it is compulsory for trademark owners to use their trademarks in the course of trade, there are still some issues regarding the use of trademark provisions, especially about what constitutes use of a trademark. Trademark owners often fail to determine whether the use of a trademark provision is satisfied, and it brings to the loss of their trademarks. With respect to this viewpoint that shapes the issue, it must be understood that trademarks are important business assets, so it is necessary to provide trademark owners protection by giving a clear provision and interpretation about what constitutes use of a trademark in Indonesian trademark law. The purpose of this thesis is to examine the law relating to trademarks with particular emphasis on the use of a trademark. This thesis will discuss trademark issues that emerge from the basic concepts of use of a trademark. This thesis applies normative juridical research with a conceptual and comparative approach to trademark law in some countries. Based on the trademark law and practices in some countries, trademarks must be used in the course of trade and the proper use of a trademark must be actionable by the trademark owners. If trademark owners can establish that their trademarks are used in the course of trade and in the proper way, the exclusive right of a trademark can operate indefinitely."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satjipto Rahardjo
Bandung: Alumni, 1983
340.598 SAT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>