Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aliyya Rifki
"Latar belakang: Penentuan derajat degenerasi diskus intervertebralis (DDI) dan pemantauan progresivitasnya sangat penting untuk menentukan tatalaksana dan memantau efektivitas terapi. Penilaian T2 map menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi derajat DDI secara kuantitatif namun dengan hasil yang bervariasi, tergantung pada mesin, coil, protokol, dan perangkat lunak MRI yang digunakan.
Metode: MRI sekuens T2 – weighted image potongan sagital digunakan untuk menilai dan mengelompokkan derajat DDI lumbal berdasarkan skala Modifikasi Pfirrmann. Derajat DDI lumbal yang termasuk dalam kriteria penelitian adalah derajat 2 – 4. Pasien yang tidak memiliki diskus normal (derajat 1) dieksklusi. MRI sekuens T2 mapping potongan mid – sagital digunakan untuk memperoleh rerata nilai T2 map dengan meletakkan Regio of Interest (ROI) di seluruh penampang diskus normal dan diskus yang berdegenerasi. Rerata nilai T2 map diskus yang berdegenerasi dibandingkan dengan diskus normal pada pasien yang sama, sehingga didapatkan nilai rasio (T2 map index).
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata nilai T2 map index pada tiap derajat skala Modifikasi Pfirrmann (p < 0,001), dimana semakin berat derajat DDI lumbal, maka rerata nilai T2 map index semakin rendah (derajat 1: 0,97 ± 0,05 ms; derajat 2: 0,93 ± 0,07 ms; derajat 3: 0,60 ± 0,11 ms; derajat 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Kesimpulan: Penghitungan nilai T2 map index dapat digunakan untuk mengevaluasi progresivitas DDI lumbal secara kuantitatif dan dapat mengeliminasi variabilitas nilai T2 map.

Background: Severity and progression of intervertebral disc degeneration in early stages should be evaluated not only for an adequate treatment planning, but also for monitoring the effectiveness of therapies. Obtaining T2 map value using MR T2 mapping was beneficial for the assessment of disc degeneration albeit different MR machine, coil, software, and protocol used could affect its value.
Methods: Sagittal T2 – weighted image were used to evaluate lumbal disc degeneration by Modified Pfirrmann grading system. Grade 2 – 4 were included, while patients without grade 1 disc (normal disc) were excluded. Using mid – sagittal MR T2 mapping, range of interest (ROI) were placed in whole disc. Mean T2 map value in degenerated disc was compared to mean T2 map value in normal disc with resultant of a ratio (T2 map index).
Results: Mean T2 map index value between each Modified Pfirrmann grading differed significantly (p < 0,001). Higher Modified Pfirrmann grade correlates with lower mean T2 map index value (grade 1: 0,97 ± 0,05 ms; grade 2: 0,93 ± 0,07 ms; grade 3: 0,60 ± 0,11 ms; grade 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Conclusion: T2 map index is reliable in evaluating the progressivity of lumbal disc degeneration quantitatively and in eliminating T2 map value variabilities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Jessica Rosaline
"Latar belakang: Pasien kanker rentan mengalami malnutrisi dan disabilitas menyebabkan sulitnya pengukuran tinggi badan aktual untuk penentuan status gizi dan tata laksana nutrisi optimal. Penelitian membahas korelasi antara panjang depa dengan tinggi badan aktual yang diharapkan menghasilkan rumus estimasi.
Metode: Penelitian observasional potong lintang pada 68 pasien rawat jalan di poliklinik radiologi RSCM Agustus-September 2019 yang dipilih menggunakan simple random sampling. Pelaksanaan penelitian di departemen ilmu gizi FKUI-RSCM menggunakan data sekunder; dianalisis memakai SPSS versi 20.0. Analisis univariat uji Kolmogorov-Smirnov pada variabel usia, status gizi pasien, tinggi badan, dan panjang depa pasien. Analisis bivariat dengan uji spearman’s correlation.
Hasil: Pasien rata-rata berusia 46,4(10,8) tahun; mayoritas berjenis kelamin laki-laki (51,5%), tingkat pendidikan SMA (35,3%), kanker kepala leher (64,7%), stadium kanker 3 (36,6%), dan status gizi normal (38,2%). Rata-rata panjang depa 161(47,7-204) cm, rata-rata tinggi badan 157(39-180) cm. Korelasi yang sangat kuat antara panjang depa dengan tinggi badan (r = 0,924); signifikan secara statistik (p < 0,001).
Kesimpulan: Hubungan antara panjang depa dengan tinggi badan pada pasien poliklinik radioterapi RSCM menunjukkan derajat hubungan yang sangat kuat serta signifikan secara statistik dan dapat dipakai sebagai alternatif pengukuran tinggi badan.

Introduction: Cancer patients are prone to malnutrition and disability, which makes it difficult to measure actual height for nutritional status and optimal nutritional management. The study discusses the correlation between arm span and height which is expected to produce an approximate formula.
Method: A cross-sectional observational study on 68 outpatients at the radiology polyclinic RSCM August-September 2019 selected using simple random sampling. Implementation of research in the department of nutrition science FKUI-RSCM using secondary data; analyzed using SPSS version 20.0. Kolmogorov-Smirnov test univariate analysis on the variables of age, nutritional status of patients, height, and arm span of patients. Bivariate analysis with Spearman correlation test.
Result: The mean age of patients was 46.4(10.8) years; the majority were male (51.5%), high school education level (35.3%), head and neck cancer (64.7%), cancer stage 3 (36.6%), and normal nutritional status (38, 2%). The average arm span is 161(47.7-204) cm, the average height is 157(39-180) cm. Very strong correlation between arm span and height (r = 0.924); statistically significant (p < 0.001).
Conclusion: The relationship between arm span and height in RSCM radiotherapy polyclinic patients shows a very strong and statistically significant degree of relationship and can be used as an alternative height measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusi Susilawati
"Latar Belakang: Harapan hidup pasien thalasemia bergantung transfusi bertambah baik karena transfusi darah dan terapi kelasi besi yang sesuai. Penyakit jantung akibat toksisitas besi tetap menjadi penyebab utama kematian pada pasien thalasemia bergantung transfusi. MRI T2* jantung dapat mendeteksi dini toksisitas besi di jantung dan dapat mengevaluasi hasil pengobatan dengan membandingkan nilai T2* pra dan pasca terapi kelasi besi.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan mendapatkan profil perbaikan toksisitas besi di jantung pada pasien thalasemia dewasa bergantung transfusi. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan feritin serum dan saturasi transferin.
Metode Penelitian: pre and post test dengan data sekunder retrospektif pada pasien dewasa thalasemia bergantung transfusi yang kontrol di poliklinik thalasemia Kiara dan poliklinik dewasa hematologi-onkologi medik RSUPN Cipto Mangukusumo. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2019. Data sekunder diperoleh dari rekam medis dan registri pasien thalasemia berupa riwayat medis, jenis obat kelasi besi, nilai T2* jantung satu tahun berturut-turut, kadar feritin serum dan saturasi transferin. Analisis data berupa data deskriptif dan uji marginal homogeneity serta uji kappa.
Hasil: Sebanyak 115 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Terdapat perbaikan T2* jantung sebanyak 7,0% dan menetap baik (T2* jantung tetap >20 milidetik) sebanyak 72,2%. Tidak terdapat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan feritin serum (nilai kappa = 0,044) dan perbaikan nilai T2* jantung dengan saturasi transferin ( nilai kappa = 0,011).
Simpulan: Perbaikan toksisitas besi di jantung pasca terapi kelasi besi sebanyak 7,0% dan menetap baik sebanyak 72,2%. Tidak terdapat kesesuaian antara perbaikan nilai T2* jantung dengan perbaikan kadar feritin serum dan saturasi transferin.

Background: Life expectancy of the transfusion dependent thalassemia patients is getting better because of blood transfusion and appropriate iron chelation therapy. Heart disease due to iron toxicity remains the leading cause of death in thalassemia patients who need transfusion. MRI T2* can allow to detect premature iron toxicity in the heart and can evaluate the results by comparing myocardial T2* pre and post iron chelation therapy.
Objectives: This study aims to obtain a profile of improvement in cardiac iron toxicity in adult thalassemia patients who need transfusion. This study also supports to see aggrement between improvement in myocardial T2* with improved serum ferritin level and transferrin saturation.
Methods: pre and post test with retrospective secondary data in adult thalassemia patients requiring controlled transfusions in Kiara thalassemia clinic and hematology-medical oncology clinic Cipto Mangukusumo General Hospital. The study was conducted in July-Desember 2019. Data were obtained from medical records and thalassemia registry, which consisted of medical history, type of chelation, myocardial T2* within one year, serum ferritin level and transferrin saturation. Data analysis was performed in descriptive data and marginal homogeneity test and Kappa test.
Results: A total of 115 patients were included in this study. There was an improvement of a myocardial T2* in 7.0% patients and persistently good (myocardial T2* remains >20 milliseconds) in 72.2%. There was no agreement between improvement in myocardial T2* with improvement in serum ferritin level (kappa value 0.044) and improvement in myocardial T2* with transferrin saturation (kappa value 0.011).
Conclusion: Improvement of cardiac iron toxicity after iron chelation therapy was 7.0% and persistently good in 72.2%. There was no agreement between the improvement in myocardial T2* with improvement in serum ferritin level and transferrin saturation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
"Laju kekambuhan tuberkulosis (TB) di Nusa Tenggara Timur hanya mencapai 71,3% di era Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Pasien pasca TB memiliki risiko kembali terinfeksi TB hingga empat kali lipat di daerah endemik. Sementara itu, kontak serumah pasien juga merupakan kelompok dengan kelompok risiko tinggi sakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gambaran klinis dan radiologi serta mencari faktor yang berhubungan pada pasien pasca TB dan kontak serumah.
Penelitian ini meggunakan desain potong lintang pada pasien pasca TB dan kontak serumah pasien. Pasien diambil berdasarkan catatan Puskesmas tahun 2003-2010 di NTT yang telah dinyatakan sembuh atau selesai pengobatan. Sebanyak 63 pasien pasca TB dan 45 kontak serumah mengikuti penelitian ini. Gejala klinis yang dominan terdapat pada pasien pasca TB yakni batuk produktif kronik (69,8%) sementara pada kontak serumah yakni penurunan berat badan (26,7%) dan sesak napas (24,4%). Sebanyak 54% pasien pasca TB dan 35,6% kontak serumah memiliki lesi aktif radiologi. Gejala batuk berdahak kronik berhubungan bermakna dengan adanya lesi aktif (p=0,001). Pasien pasca TB dalam rentang waktu tiga tahun setelah pengobatan TB secara statistik berhubungan bermakna terhadap kejadian lesi aktif radiologi (p=0,012). Pada penelitian ini juga didapatkan 11 dari 35 subjek (31,4%) memiliki sputum BTA positif, dimana sembilan diantaranya merupakan pasien pasca TB.

Cure rate TB in East Nusa Tenggara was around 71.3% in the era of DOTS. Post tuberculosis patients had four times increased risk of TB reinfection, especially in high endemic area. Meanwhile, household contacts were prone to TB disease as they had high exposure to TB. This study aimed to evaluate the clinical symptoms and radiologic findings and factors associated with them among post TB patients and household contacts.
This was cross sectional study involving post TB patients and household contacts. Patients were recruited based on Primary Heath Center (Puskesmas) registry from 2003-2010 in three districts in East Nusa Tenggara. Sixty-three patients and 45 household contacts were recruited in this study. The most dominant clinical symptom among post TB patients was chronic productive cough (69.8%) whereas among household contacts were weight loss (26.7%) and dyspnea (24.4%). Fifty-four persen post TB patients and 35.6% household contacts had active lesions based on radiological reading. Chronic productive cough was associated with active lesion (p=0.001). Post TB patients in three years period after completion of TB therapy was associated with active lesion (p=0.012). In this study, we examined sputum smear with 11 from 35 subjects (31.4%) had positive sputum smear, with nine of them were post TB patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Hanisafitri
"Pada era pandemi COVID-19 seperti ini, sistem pembelajaran dialihkan menjadi pembelajaran jarak jauh yang dilaksanakan secara online, tak terkecuali dengan kegiatan ujian. Sistem pembelajaran jarak jauh membutuhkan berbagai sarana teknologi yang dapat mendukung proses penilaian keseluruhan pembelajaran seperti sistem Computer-Based Test (CBT). Salah satu sarana yang mendukung dalam pengukuran pemahaman siswa yaitu dengan concept map. Penilaian pada concept map biasanya sulit dilakukan karena tidak ada batasan bagaimana concept map harus dibangun. Oleh karena itu, terdapat pendekatan alternatif lain yaitu framework Kit-Build concept map. Saat ini, sudah ada plugin question type pada Moodle untuk jawaban berupa concept map, namun belum terdapat plugin question type pada Moodle berupa concept map yang menerapkan metode Kit-Build. Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dosen dan mahasiswa terkait pelaksanaan ujian online dengan menciptakan plugin question type pada Moodle berupa concept map dengan metode Kit-Build. Penelitian ini menggunakan metode Software Development Life Cycle (SDLC) Waterfall untuk pengembangan dan User-Centered Design untuk perancangan desain antarmuka. Dengan ini, penelitian menghasilkan plugin question type pada Moodle dengan metode Kit-Build untuk dosen dan mahasiswa. Selanjutnya, dilakukan evaluasi untuk menilai usability perancangan desain secara kualitatif dengan usability testing dan kuantitatif melalui kuesioner System Usability Scale. Selain itu, dilakukan functional test untuk melakukan validasi apakah kebutuhan fungsional yang dikembangkan sudah terpenuhi atau tidak. Hasil perhitungan dari evaluasi SUS menunjukkan skor 86.428 dengan predikat A yang artinya sudah cukup baik.

In the era of the COVID-19 pandemic, the systems of learning that we normally use has shifted towards a more online and distance learning, an example of this is the implementation of online exam activities held through zoom. Distance learning systems require various technological tools that can support the overall learning assessment process such as the Computer-Based Test (CBT) system. One of the tools that supports the measurement of student understanding is the concept map. Assessment of a concept map is usually difficult because there are no limits as to how the concept map should be constructed. However, there is an alternative approach to solve this issue which is through the Kit-Build concept map framework. Currently, there is a question type plugin on Moodle for answers in the form of concept maps, but there is no question type plugin on Moodle in the form of concept maps that apply to the Kit-Build method. This study aims to meet the needs of lecturers and students regarding the implementation of online exams by creating a question type plugin on Moodle in the form of a concept map using the Kit-Build method. This research uses the Waterfall Software Development Life Cycle (SDLC) method for development and User-Centered Design for interface design. With this, the research resulted in a question type plugin on Moodle with the Kit-Build method for lecturers and students. Furthermore, an evaluation was carried out to assess the usability of the design qualitatively through usability testing and quantitatively through the System Usability Scale questionnaire. In addition, a functional test is conducted to validate whether the functional requirements developed have been met or not. Using the SUS evaluation, we also managed to accumulate a score of 86,428 with an A predicate, this number indicates an excellent result."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim, translator
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Streptomisin adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral pada pasien TB paru kategori dua dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular. Kekurangan dari streptomisin adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya pendengaran. Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten, daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. Tuli akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Penggunaan obat ini masih menjadi dilema, karena efek samping streptomisin dapat menyebabkan tuli sensorineural, sedangkan obat ini perlu diberikan pada penderita TB paru kategori dua dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang melibatkan 46 sampel, pasien TB paru setelah terapi Streptomisin sulfat yang mengalami penurunan pendengaran >15 dB pada frekuensi 8000 Hz sebanyak 12 sampel (26,1%) dan secara statistik bermakna.

ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a health problem in the world, especially in developing countries. Streptomycin is an aminoglycoside class of antibiotics that must be given parenterally in patients with category two of pulmonary tuberculosis and working to prevent the growth of extracellular organisms. Disadvantages of streptomycin is toxic side effects on the eighth cranial nerve that can cause vestibular dysfunction and / or loss of hearing. Ototoxic has long been known as a side effect of treatment with increasing medical and drugs more potent, ototoxic drugs list growing. Deafness due to ototoxic persistent can occur days, weeks or months after completion of treatment. The use of these drugs is still a dilemma, because the side effects of streptomycin can cause sensorineural hearing loss, whereas these drugs should be given to category two of pulmonary tuberculosis patients within a certain period. In this study, involving 46 samples, pulmonary tuberculosis patients after therapy Streptomycin sulfate experiencing hearing loss > 15 dB at a frequency of 8000 Hz as many as 12 samples (26.1%) and statistically significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Adlina Suryabrata
"Letter-Naming Knowledge merupakan kemampuan dasar yang perlu dikuasai oleh anak usia prasekolah yang dikembangkan dengan pengalaman literasi formal di rumah. Penyediaan pengalaman literasi formal dapat dilakukan oleh orangtua sebagai pemberi instruksi dengan metode direct instruction (DI) maupun oleh media elektronik dengan metode computer-assisted instruction (CAI). DI dan CAI memiliki persamaan berupa perspektif yang mendasari, namun juga perbedaan berupa kualitas pemberian instruksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh metode DI, CAI, dan kombinasi keduanya untuk meningkatkan letter-naming knowledge. Untuk mengetahui perbedaan pengauh ketiga metode tersebut, dilakukan penelitian kuasi-eksperimental pada anak usia prasekolah beserta ibu sebagai pemberi intruksi (N=24).
Hasil perbandingan Kruskal-wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan yang signifikan antara ketiga metode instruksi (chi-square 2.583, sig=0.275) Akan tetapi, hasil analisis tambahan terhadap skor pre-test dan post-test pada masing-masing kelompok menunjukkan bahwa kelompok anak yang diberikan metode DI dan kombinasi DI-CAI mengalami peningkatan skor letter-naming knowledge yang signifikan. Hasil perbandingan antar ketiga metode yang tidak signifikan diduga disebabkan oleh tidak adanya perbedaan dalam kualitas pemberian instruksi baik dalam metode DI maupun CAI.

Letter-naming knowledge is a basic skill that needed to be developed in preschool through formal literacy experience at home with parents as provider or instructor. As the advancement of technlogy, not only human, computer is also able to be instructor to develop letter-naming knowledge. these two type of instructors refer to different instructional method, direct instruction (DI) and Computer-Assisted Instruction (CAI). Both of the instructional method have behavioral and cognitivismn perspective.
This reaserch aims to investigate the difference of effect of instructional method (direct instruction only, computer-assisted instruction only, and combination of both) toward development of letter-naming knowledge in preschool, by conducting a quasi-experimental research with preschool children and mothers as participants (N=24). The data would be analyzed using Kruskal-Wallis.
Result shows that there are no difference of effect of instructional method toward development of letter-naming knowledge (chi-square=2.583, sig=0.275). However, additional analysis of development in each group shows that among the children in three groups differing in instructional methods, only children instructed with computer-assisted instruction method only does not experience inprovement in letter-naming knowledge score significantly. The result was presumably caused by the minimum difference of quality of instructions given in DI and CAI.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63792
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Esterina
"Radioterapi masih menjadi pilihan utama terapi kanker baik di dunia maupun di Indonesia. Pengobatan dengan radioterapi dimulai dengan tahap perencanaan radioterapi pada Treatment Planning System (TPS). Perencanaan radioterapi ini mutlak diperlukan untuk menghidari kecelakaan radiasi berupa over dosis atau under dosis pada pasien. Tujuan dari penelitan ini adalah mengevaluasi ketidakpastian dosimetri pada Teknik 3D-CRT dan IMRT sehingga didapatkan gambaran ketepatan/akurasi dan penyimpangan dosis radiasi yang diterima pasien dengan dosis yang direncanakan di TPS. Penelitian untuk teknik 3D-CRT menggunakan phantom CIRS thorak model 002LFC dan IMRT menggunakan solid water phantom mengikuti protokol standar pengujian sesuai Tecdoc 1583 tahun 2008 dan pengujian sesuai rekomendasi AAPM Task Group 119. Pengukuran dosis dilakukan menggunakan bilik ionisasi volume aktif 0,65 cm3 pada Linac energi 6 MV pada tujuh Linac. Besarnya prosentase titik pengukuran yang berada diluar toleransi ke tujuh Linac berturut-turut adalah sebesar 6,66%, 10%, 17,39%, 10%, 26,66%, 56,66%, 30%. Beberapa Linac melebihi tolerasi karena algoritma TPS tidak mampu memodelkan dengan baik penggunaan wedge. Besarnya deviasi dosis untuk 3D-CRT yang berada diluar rentang toleransi pada umumnya terjadi pada kasus uji empat untuk titik 10, yang pada perencanaannya menggunakan berkas tangensial pada material inhomogen, kasus uji 6 yang menggunakan blok dan material inhomogen. Hasil penelitian pada teknik IMRT dilihat dari nilai confidence limit (CL) yang menggambarkan kesesuaian hasil pengukuran dosis dengan hasil perencanaan. Nilai CL untuk pengukuran dosis titik perencanaan IMRT pada daerah dosis tinggi pada Linac A sampai Linac F berturutturut adalah sebesar 3,95%, 2,83%, 6,30%, 2,33%, 5,49%, 9,27% dengan batasan yang ditetapkan TG 119 adalah 4,07%. Nilai Confidence Limit (CL) hasil pengukuran dosis titik perencanaan IMRT pada daerah dosis rendah pada Linac A sampai Linac F berturut-turut adalah sebesar 4,64%, 3,96%, 4,88%, 5,05%, 3,33%, 10,40% dengan batasan yang ditetapkan TG 119 adalah 4,05%. Hasil pengujian IMRT, Linac yang memakai algoritma AAA secara umum menghasilkan deviasi yang berada dalam rentang toleransi, sedangkan yang memakai algoritma superposisi banyak pengukuran dengan deviasi yang berada di luar rentang toleransi. Kata Kunci : 3D-CRT, IMRT, TG-119, Confidence Limit

Radiotherapy is still the main choice of cancer therapy both in the world and in Indonesia. Radiotherapi’s treatment begins with the radiotherapy planning stage in the Treatment Planning System (TPS). This planning is absolutely necessary to avoid radiation accidents in the form of over dose or under dose to the patient. The purpose of this study was to evaluate the uncertainty of dosimetry in the 3D-CRT and IMRT techniques in order to obtain an overview of the accuracy and the amount of radiation dose deviation received by the patient with the planned dose at the TPS. Research for 3D-CRT technique using phantom CIRS thorax model 002LFC and IMRT using solid water phantom following the standard testing protocol according to Tecdoc 1583 in 2008 and testing according to the recommendations of AAPM Task Group 119. The dose measurement was carried out using an active volume ionization chamber of 0.65 cm3 on Linac energy 6 MV on seven Linac.The magnitude of the deviation of the dose calculated from the TPS with the measured dose for 3D-CRT on the seven Linacs was 6,66%, 10%, 17,39%, 10%, 26,66%, 56,66%, 30%. Some Linacs exceed the tolerance because the TPS algorithm is not able to properly model the use of wedges. The magnitude of the dose deviation for 3D-CRT which is outside the tolerance range generally occurs in the four test case for point 10, which is designed to use tangential beams on inhomogeneous materials, test case 6 using inhomogeneous blocks and materials. The results of research on the IMRT technique, the value of the confidence limit (CL) which describes the suitability of the dose measurement results with the planning results, for dose measurement of IMRT planning points in the high-dose area on Linac A to Linac F respectively 3.95%, 2.83%, 6.30%, 2.33%, 5.49%, 9.27% with the limit set by TG 119 is 4.07%. The Confidence Limit (CL) measurement results of the IMRT planning point in the low dose area in Linac A to Linac F are 4.64%, 3.96%, 4.88%, 5.05%, 3.33%, respectively. 10.40% with the limit set by TG 119 is 4.05%. The result of the IMRT test, Linac using the AAA algorithm generally produces deviations that are within the tolerance range, while those using the superposition algorithm have many measurements with deviations that are outside the tolerance range. Keywords: 3D-CRT, IMRT, TG-119, Confidence Limit."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Ilmyaningsih
"Laporan magang ini membahas mengenai sistem informasi akuntansi dan pengendalian internal pada siklus pembelian PT. NNN. PT. NNN menawarkan solusi untuk menangani pencetakan dokumen seperti billing statement dan polis asuransi yang berkualitas dengan cepat dan mudah. Metode penulisan laporan magang ini adalah dengan cara wawancara dan pengamatan langsung penulis selama program magang berlangsung. Pengendalian internal pada PT. NNN sudah cukup baik, kecuali untuk pemisahan fungsi pada fungsi penerimaan dan fungsi gudang sebaiknya terpisah dan dalam kegiatan otorisasi terhadap dokumen sebaiknya diotorisasi oleh pejabat yang berwenang mengotorisasi dokumen.

This internship report discussed about accounting information system and internal control in the buying cycle of PT. NNN. PT. NNN offers a solution to handle a document's printing such as billing statements and insurance policies with a good quality, quickly, and easily. The Data was collected by interview and direct observation of the author during the ongoing of internship. Internal control on PT. NNN was good enough, except for the separation of the functions. In the receiving's function and warehouse's function should be separated and the authorization to document activites should be authorized by the competent authority."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yoanita Astriani
"Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan dan penyakit genetik yang paling sering didapati di dunia. Terapi dengan transfusi dan terapi kelasi pada pasien thalassemia memberikan angka survival yang lebih panjang. Salah satu komplikasi transfusi berkala adalah peningkatan kadar besi yang terakumulasi pada hipofisis. Hipogonadotropik hipogonadisme yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas merupakan abnormalitas utama pada sistem endokrin pasien thalassemia anak. Pencitraan MRI berguna menilai deposit besi hipofisis.
Tujuan: Mengetahui kemampuan sekuens T2 dan T2 relaksometri dalam menilai deposit besi di hipofisis yang memiliki gambaran klinis keterlambatan pubertas.
Metode: Menggunakan desain komparatif studi potong lintang (comparative cross sectional) dengan data primer, minimal sampel 28 pasien. Analisis data dalam penetuan titik potong menggunakan metode reciver operating curve (ROC) kemudian dihitung tingkan sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis pada kelompok pubertas terlambat lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok pubertas normal. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 78,15 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas masing-masing 92,9% dan 75,0%. Titik potong T2 relaksometri hipofisis untuk membedakan pubertas terlambat dan normal yakni 20,19 ms dengan perkiraan sensitivitas dan spesifitas keduanya adalah 100%.
Kesimpulan: Nilai T2 dan T2 relaksometri hipofisis dapat meningkatkan peran MRI dalam mendeteksi status laju pubertas pada pasien transfusion dependent thalassemia sehingga pasien thalassemia dengan deposit besi yang berat di hipofisis serta prediksi keterlambatan pubertas dapat mendapatkan terapi yang lebih optimal.

Thalassemia is an inherited hemolytic anemia disease and is a genetic disease most commonly found in the world. Treatment with transfusion and chelation therapy in thalassemia patients provides a longer survival rate. One of periodic transfusion complications is an increase in iron in the pituitary. Hypogonadotropic hypogonadism which has a clinical picture of delayed puberty is a major abnormality in the endocrine system in pediatric thalassemia patients. MRI imaging is useful in assessing iron deposits in the pituitary.
Purpose: To determine the ability of T2 and T2 relaxometry sequences of pituitary in assessing pituitary iron deposits which have a clinical picture of delayed puberty Methods: Using a comparative cross sectional design with primary data, with minimum sample of 28 patients. Analysis of data in determining the cut point was using the reciver operating curve (ROC) method and then calculated the sensitivity and specificity.
Result : T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit in the delayed puberty group were significantly lower than in the normal puberty group. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to differentiate delayed and normal puberty is 78.15 ms with estimated sensitivity and specificity of 92.9% and 75.0%, respectively. The T2 relaxometry cut-off point for pituitary iron deposit to delayed and normal puberty is 20.19 ms with an estimated sensitivity and specificity of both is 100%. Conclutions: T2 and T2 relaxometry values of pituitary iron deposit can enhance the role of MRI in detecting the rate of puberty in patients with transfusion dependent thalassemia so patients with severe pituitary iron deposit and whom predicted with delayed puberty could have optimal therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>