Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226501 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Agung Ayu Jayanthi Wulan Utami
"Tujuan : Pembangunan pusat pelayanan radioterapi sampai saat ini belum menjadi prioritas utama khususnya di negara berkembang. Tingginya biaya yang dihabiskan untuk pusat pelayanan merupakan salah satu alasannya. Biaya terkait sumber daya manusia (SDM) berhubungan erat dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Pengetahuan terkait produktivitas yang mencakup beban SDM dan penggunaan pesawat radiasi merupakan dasar untuk terciptanya pelayanan radioterapi dengan biaya efektif. Oleh karena itu, digagaslah penelitian tentang produktivitas SDM dan penggunaan pesawat radiasi di pusat pelayanan Onkologi Radiasi di Indonesia sebagai bagian dari penelitian terkait biaya radioterapi. Metode : studi deskriptif cross sectional. Subjek penelitian merupakan seluruh pusat pelayanan Onkologi Radiasi di Indonesia yang telah melakukan pelayanan selama setahun. Subjek diberikan kuesioner secara digital yang berisikan pertanyaan terkait ketersediaan SDM dan pesawat radiasi. Data yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam Radiotherapy Resources and Cost Calculator (RRCC) v.20 serta dilakukan penghitungan dengan asumsi aktual sesuai kondisi di Indonesia. Hasil : beban kerja Dokter Spesialis, Fisika Medis, dan RTT di Indonesia bervariasi dengan rerata beban kerja secara berurutan sebesar 92,5% (asumsi aktual), 97,7%, 107,6%, dan 80,8%. Beban kerja SDM secara statistik lebih tinggi pada pusat pelayanan dengan brakhiterapi dan pusat pelayanan dengan jumlah pasien yang tinggi. Rerata penggunaan pesawat radiasi sebesar 104,1% dan 138% secara statistik signifikan lebih tinggi pada rumah sakit pemerintah dan jumlah pasien tinggi. Jumlah pasien memiliki korelasi kuat dengan jumlah kebutuhan dokter spesialis (r=0,927), fisika medis (r=0,838) dan RTT (r=0,886). Jumlah pasien dapat menjadi prediktor untuk menentukan kebutuhan Dokter Spesialis dengan adjusted R2 = 72,1% dan 80%, kebutuhan fisika medis adjusted R2 = 69,3%, dan kebutuhan RTT dengan adjusted R2 = 83,3%.Kesimpulan : produktivitas SDM dan penggunaan pesawat radiasi pada pusat pelayanan Onkologi Radiasi di Indonesia bervariasi. Penghitungan produktivitas dengan RRCC v.20 dapat diaplikasikan pada pusat pelayanan Onkologi Radiasi di Indonesia.

Objective: The development of a radiotherapy center has not been a top priority, especially in developing countries. The high cost spent on service centers is one of the reasons. Human resource costs are inextricably linked to operational expenses. Knowledge related to productivity, which includes the workload of human resources and the use of radiation equipment, is the basis for creating cost-effective services. Therefore, research was initiated on human resource productivity and the use of radiation equipment at radiotherapy centers in Indonesia as part of research related to radiotherapy costs. Method: descriptive cross-sectional study. The research subjects were all radiotherapy centers in Indonesia that had been running for a year. Subjects were given a digital questionnaire containing questions related to the availability of human resources and radiation equipment. The data obtained is then entered into the Radiotherapy Resources and Cost Calculator (RRCC) v.20, and calculations are carried out with actual assumptions according to conditions in Indonesia. Results: The workload of specialists, medical physicists, and RTTs in Indonesia varies, with an average workload of 92.5% (actual assumption), 97.7%, 107.6%, and 80.8%, respectively. HR workload is statistically higher in centers with brachytherapy and in centers with a high number of patients. The mean use of radiation equipment was 104.1% and 138%, respectively, statistically significantly higher in government hospitals, and centers with a high number of patients. The number of patients has a strong correlation with the number of specialists (r = 0.927), medical physics (r = 0.838), and RTT (r = 0.886). The number of patients can be a predictor for determining the need for specialist doctors with adjusted R2 values of 72.1% and 80%, medical physics needs with adjusted R2 values of 69.3%, and RTT needs with adjusted R2 values of 83.3%. Conclusion: HR productivity and the use of radiation equipment at radiation oncology service centers in Indonesia vary. The calculation of productivity with RRCC v.20 can be applied to radiotherapy centers in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmasari
"Latar Belakang: Radioterapi baik sebagai terapi tunggal maupun sebagai terapi kombinasi, memegang peranan yang penting dalam penatalaksanaan kanker payudara kiri. Eskalasi dosis dikatakan mampu meningkatkan kontrol dan menurunkan angka kekambuhan namun di sisi lain dapat meningkatkan angka toksisitas. Hingga saat ini masih terus dilakukan studi untuk menganalisis parameter dosimetri diantara teknik Three Dimensional Conformal Radiotherapy-Field and Field, Volumetric Modulated Arc Therapy, dan Helical Tomotherapy pada kanker payudara di departemen Radioterapi RSUPN-CM.
Metode: Studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi pada 10 data CT plan pasien kanker payudara kiri yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Dosis 50 Gy diberikan pada PTV dalam 25 fraksi. Cakupan PTV dievaluasi menggunakan Indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI. Menilai perbandingan PTV lokal D98, D95, D2, D50 dan supraklavikula dan menilai organ kritis sekitar target seperti paru kiri ipsilateral V20 le; 30, paru kanan contralateral V5 le; 50, jantung V25 le;10, payudara kanan contralateral Dmean < 5Gy.
Hasil: Dari hasil analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF, VMAT maupun HT dalam mencapai dosis D98 dan D95, pada D50 terdapat perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara VMAT dengan HT p=0,508. Dalam hal ini, ketiga teknik mampu memberikan cakupan dosis minimal yang baik pada volume target, meskipun begitu dari hasil penelitian ini teknik HT mampu memberikan nilai rerata D95 yang superior. Untuk D50 lokal ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, maupun VMAT dengan HT p=0,005. Didapat teknik HT memiliki nilai rerata D50 yang paling baik 50.01 0.25. Untuk D2 dari hasil analisis statistik ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,005, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,005, maupun VMAT dengan HT p=0,005.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata D98 dan D95, namun terdapat perbedaan bermakna pada cakupan dosis D2 dan D50 antara teknik 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, dan VMAT vs HT, seluruhnya memperlihatkan perbedaan yang bermakna p < 0,05 . Rerata durasi penyinaran paling tinggi didapatkan dengan teknik HT dan paling rendah pada 3DCRT-FIF.

Background: Radiotherapy as a main or combination therapy, holds an important role in the management of left breast cancer. Dose escalation is said to increase control and lower recurrence rate. On the other hand, dose escalation increases toxicity. Until now there is many study comparing dosimetry parameters between three different techniques; Three Dimensional Conformal Radiotherapy ndash; Field and Field 3DCRT-FIF, Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT and Helical Tomotherapy HT and in relation to left breast cancer in radiotherapy department RSUPN-CM.
Method: This is an experimental study with intervention on 10 left breast cancer patients, CT planning data. All the subjects underwent radiation in radiotherapy department RSUPN-CM. 50 Gy dose in 25 fractions was given for PTV. Afterwards, PTV coverage was evaluated using conformity index CI and homogeneity index HI . Comparison of critical organs was evaluated using Dmax le; 50 Gy spinal cord, V25 le; 10 heart, V20 le; 30 lung ipsilateral and V5 le; 30 lung contraleteral and Dmean < 5 Gy right breast.
Results: From the statistical analysis there is no difference between 3DCRT-FIF, VMAT and HT in achieving D98 in local PTV. At the D95 value there is a difference between 3DCRT- and VMAT p = 0.022, 3DCRT-FIF with HT p = 0.005, but no value exists between VMAT and HT p = 0.508. In this case, one of the techniques employed gives a good minimum amount of volume targets, although the results of this technique HT are able to provide a superior D95% average. For D50% locally found, there are three groups that exist between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,000, 3DCRT-FIF with HT p = 0,000, and VMAT with HT p = 0,005. HT technique has the highest mean D50 50.01 0.25. For D2 of the analysis results found there were significant differences in 3 groups that existed between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,005, 3DCRT-FIF with HT p = 0,005, and VMAT with HT p = 0,005.
Conclusion: There is no D98% and D95%, but there is still a difference with D2% and D50% between 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, and VMAT vs HT, all significant differences (p <0.05). The highest average duration of exposure with HT and lowest on 3DCRT-FIF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Mahati
"ABSTRAK
Karsinoma nasofaring menempati urutan ketiga dari keganasan yang dicatat di Pavilyun Yohannes RSCM. seta-lab Karsinoma Mamma dan Karsinoma Serviks Uteri.
Beberapa penulis menyatakan penanganan karsinoma nasofaring terpilih adalah terapi radiasi berdasarkan radiosensitivitas den lokalisasinya yang tercakup dalam lapangan radiasi
Sebagian baser dari penderita ka {karsinoma} nasofaring disertai pembesaran kelenjar regional. Bahkan Fletcher mendapatkan 90% ka nasofaring disertai pembesaran kel. (kelenjar) regional.
Pengamatan respons radiasi pada pembesaran kel. regional ka nasofaring ini dilakukan berdasarkan banyaknya penderita yang datang di pavilyun Yohannes dengan pembesaran kel. regional dan evaluasi terhadap respons radiasi mudah dilaksanakan dan dilihat secara klinis.
Tujuan pengamatan ini adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan terapi radiasi terhadap pembesaran kel. regional serta faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunderson, Leonard L.
Philadelphia : Elsevier Saunder, 2012
616.994 CLI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Diana
"Film gafchromic adalah salah satu dosimetri pada radioterapl Penentuan dosis kulit di pasien kanker serviks dengan foton dapat digunakan film gafchromic. Sebelumnya terlebih dahulu film dikalibrasi. Kalibrasi film ditujukan untuk mencari hubungan antara optikal densitas dengan dosis. Selain itu film juga divariasikan terhadap lapangan dan juga kedalaman target. Ketiga hal tersebut digunakan untuk faktor koreksi pada penentuan dosis kulit pasien kanker serviks. Dengan dibandingkan dengan data dan Treatment Planning System diperoleh hasil yang baik karena penyimpangan kurang dan satu persen.

Gafchromic film is one of dosimetry in radiotherapy. It can measure skin dose in patient sen/ix cancer with photon beam 6 MV using gafchromic film. First, film must be caliberate with variation dose. It is for know relationship between dose and optical densitas. And then, film with variation field square and depth target. There used correction factor for calculate skin dose in patient servix cancer. The different between data from TPS (Treatment Planning System) and calculate dose from film is good because less than one percent."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29467
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cholid Badri
Jakarta: UI-Press, 2000
PGB 0180
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Donald Arinanda Manuain
"Kanker payudara dan kanker paru secara berturutun merupakan kasus terbanyak dan ketiga terbanyak diantara berbagai jenis kanker yang ada di Indonesia. Radioterapi sebagai salah satu modalitas utama penanganan kanker diperlukan untuk mengatasi kedua jenis kanker ini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui besaran tingkat utilisasi radioterapi untuk kanker payudara dan paru berdasarkan data dari senter radioterapi di Indonesia pada tahun 2019. Tingkat utilisasi radioterapi (TUR) terbagi atas tingkat utilisasi radioterapi optimal, yaitu tingkat utilisasi radioterapi berdasarkan panduan laksana yang diperlukan dan tingkat utilisasi radioterapi aktual, yaitu tingkat utilisasi radioterapi yang didapatkan oleh pasien dalam kenyataan sehari-hari. Pada studi ini dari total 8.625 kasus kanker payudara dan 2.088 data kasus kanker paru didapatkan bahwa TURo kanker payudara adalah 66,33% (50,7 – 78,2%) dan TURo kanker paru adalah 86,97% (72,8 – 90,2%) Sedangkan TURa kanker payudara adalah 33,6% dan TURo kanker paru adalah 18,2% Berdasarkan keduanya dapat dilakukan perhitungan persentase yang tidak terpenuhi untuk kanker payudara adalah 49,25% (33,6 – 56,95%) dan kanker paru sebesar 78,98% (74,90 – 79,74%). Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk identifikasi faktor yang mempengaruhi tingkat utilisasi radioterapi dalam upaya menutup kesenjangan antara TURo dan TURa.

Breast cancer and lung cancer respectively are the most common cases and the third most cancer cases in Indonesia. Radiotherapy as one of the main modalities of cancer treatment is needed to treat these two types of cancer. This research is a descriptive study conducted to determine the utilization rate of radiotherapy for breast and lung cancer based on data from radiotherapy centers in Indonesia in 2019. The radiotherapy utilization rate (RTU) is categorized into the optimal radiotherapy utilization rate, namely the radiotherapy utilization rate based on the provided guidelines and the actual radiotherapy utilization rate, namely the radiotherapy utilization level obtained by the patient in daily practice. In this study, from a total of 8,625 cases of breast cancer and 2,088 data of lung cancer cases, it was found that optimal RTU for breast cancer was 66.33% (50.7 – 78.2%) and optimal RTU for lung cancer was 86.97% (72.8 – 90.2%) while the actual RTU for breast cancer was 33.6% and the actual RTU for lung cancer was 18.2%. The percentage of unmet need for breast cancer was 49.25% (33.6 – 56.95%) and lung cancer was 78.98% (74.90 – 79.74%). Further research can be carried out to identify factors that affect radiotherapy utilization rates in an effort to close the gap between optimal and actual RTU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Gunita Dyana Kumara
"ABSTRACT
Penelitian ini mengupayakan untuk melakukan verifikasi MU teknik IMRT melalui pendekatan yang disederhanakan dalam bentuk lapangan segmental. Penyederhanaan metode verifikasi MU teknik IMRT dapat dimungkinkan terjadi peningkatan error MU hingga mendekati batas acuan ±3.5%. Proses verifikasi MU secara bertahap dilakukan pada lapangan standard dan blok (non-treatment) kemudian pada perencanaan 3 pasien kanker payudara dan 2 pasien kanker serviks yang menggunakan teknik IMRT (lapangan treatment). Menggunakan Matlab, MU dari data yang terekam pada TPS Eclipse dapat diproses dengan menggunakan kalkulasi sesuai AAPM TG-71, kemudian nilai error MU tersebut diverifikasi setiap segmennya. Hasil verifikasi MU pada lapangan non-treatment sangat baik, memberikan rata-rata error MU ±0.7% dengan threshold ±(3-5) %, namun pada teknik IMRT mencapai nilai ±(50-80)% yang terpaut jauh dari threshold ± 3.5%. Nilai error MU teknik IMRT yang sangat besar diakibatkan oleh bukaan MLC pada lapangan segmental sangat kecil dan tersebar acak yang memengaruhi pemilihan titik tinjau dan equivalent square menjadi tidak tepat. Oleh karena itu metode dan kalkulasi pada penelitian ini disarankan hanya digunakan untuk verifikasi MU non-IMRT, lebih tepatnya untuk lapangan sederhana, sedangkan untuk verifikasi MU pada teknik IMRT diperlukan metode dan kalkulasi yang lain.

ABSTRACT
In this thesis, we assess MU verification independently for IMRT treatment techniques by simplifying the calculation on its segmental fields. Due to simplification, the result on IMRT MU verification may increase MU error near its threshold (±3.5%). The process of verification is done systematically on standard and blocked field (non-treatment) and then on patient planning which consists of 3 breast cancer and 2 cervix cancer patients with IMRT techniques. We process patient data from TPS Eclipse(TM) using Matlab(c) and calculate it by AAPM TG-71 algorithm, so then its MU error can be verified for each segment. The result of MU verification on non-treatment fields is decent which averaged on ±0.7% with a threshold of ±(3-5)%. However, on IMRT techniques reaches the value of ±(50-80)%, which considerably high considering its limit is ± 3.5%. High MU error on IMRT techniques is due to MLC opening of segmental fields are small and scattered that lead to inaccuracy of control point selection and equivalent square value. Consequently, methods and calculation on this thesis only suggested for MU verification on non-IMRT fields, especially standard fields, while MU verification of IMRT fields considered to have a more advanced method."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Adam
"Pendahuluan : Radioterapi pada kanker kepala dan leher menggunakan teknik Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) atau Intensity-modulated Radiotherapy (IMRT) membutuhkan akurasi yang tinggi dalam pelaksanaannya. Upaya ini dilakukan dengan mengetahui kesalahan set-up melalui proses verifikasi yang disesuaikan dengan beban kerja setiap unit radioterapi. Dengan demikian dapat diterapkan margin CTV-ke-PTV yang ideal untuk mendapatkan dosis yang adekuat pada area target radiasi.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang mengambil data verifikasi menggunakan Cone Beam Computed Tomography (CBCT) dari 9 pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan radioterapi dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) antara bulan Oktober 2013 hingga Desember 2013. Pergeseran pada lapangan radiasi yang didapatkan dari hasil verifikasi dalam lima fraksi awal dianalisis untuk memperoleh kesalahan sistematik dan kesalahan acak, yang selanjutnya dihitung untuk mendapatkan margin CTV-ke-PTV.
Hasil : Sebanyak 135 data verifikasi CBCT dianalisa. Besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang didapatkan berturut-turut sebesar 1.5 mm dan 2.7 mm pada sumbu laterolateral, 2.2 mm dan 3.1 mm pada sumbu kraniokaudal, serta 2.2 mm dan 1.9 mm untuk sumbu anteroposterior. Margin CTV-ke-PTV yang diperoleh sebesar 4.9 mm, 6.6 mm dan 5.8 mm untuk masing-masing sumbu laterolateral, kraniokaudal dan anteroposterior.
Kesimpulan : Verifikasi menggunakan CBCT dalam lima fraksi awal merupakan metode yang efektif untuk deteksi dan koreksi kesalahan set-up. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi pemberian margin CTV-ke-PTV dan menunjukkan pemberian margin sebesar 5 mm sudah cukup adekuat dalam pelaksanaan radioterapi kanker kepala dan leher dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi RSCM. Diperlukan upaya tambahan untuk meningkatkan koreksi kesalahan set-up dengan memperhitungkan beban kerja unit radioterapi.

Introduction : Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) or Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) for head and neck cancer is a highly accurate procedure. Verification is needed to detect and correct set-up errors, adjusted according to workload of each radiotherapy center. Therefore, an ideal CTV-to-PTV margin can be applied to ensure adequate target volume coverage.
Methods : This is a cross-sectional study using Cone Beam Computed Tomography (CBCT) verification data of 9 head and neck cancer patients treated with 3DCRT/IMRT in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital between October 2013 and December 2013. Translation errors from the first five fractions were analyzed to count for systematic and random errors. These errors were then calculated to acquire CTV-to-PTV margin.
Results : A total of 135 CBCT data were analyzed. Systematic and random errors were respectively 1.5 mm and 2.7 mm in laterolateral direction, 2.2 mm and 3.1 mm in craniocaudal direction, and 2.2 mm and 1.9 mm in anteroposterior direction. CTV-to-PTV margin were 4.9 mm, 6.6 mm and 5.8 mm in laterolateral, craniocaudal and anteroposterior direction, respectively.
Conclusions : CBCT verification in first five fractions was effective in detecting and correcting set-up errors. The calculated CTV-to-PTV margin can be used as recommended margin and showed that 5 mm margin was adequate in planning 3DCRT/IMRT technique for head and neck cancer in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital. An extra effort might be done to improve the correction of set-up errors adjusted to workload.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Senoaji
"Latar Belakang: KGB pelvis merupakan salah satu faktor prognostik penting dalam kanker serviks. Penggunaan booster radiasi adalah tindakan noninvasif dan memberikan hasil yang menjanjikan. Teknik SIB sebagai modalitas pemberian booster terunggul telah diaplikasikan di RSCM sejak Januari 2020, namun belum pernah dinilai tingkat keberhasilannya. Tujuan: Mengetahui perbedaan respon klinis, kesintasan, dan toksisitas akut pada populasi kanker serviks IIIC1 antara yang mendapat radiasi teknik SIB dengan teknik non-SIB. Studi ini juga bertujuan mencari faktor prognostik kesintasan. Metode: 125 pasien kanker serviks IIIC1, 35 mendapatkan teknik SIB, 90 mendapatkan teknik non-SIB. Dari populasi tersebut, dinilai respon klinis tumor primer dan KGB berdasarkan MRI evaluasi pertama. Toksisitas akut dinilai berdasarkan penilaian mingguan. Pada pasien juga dilakukan uji Kaplan-Meier untuk mengetahui kesintasan dan analisis multivariat untuk mengetahui faktor prognostik yang memengaruhi kesintasan Hasil: Median Follow-up adalah 64 minggu pada grup SIB dan 84 minggu pada grup non-SIB. Grup yang mendapatkan SIB memiliki median ukuran KGB yang lebih besar dibandingkan grup non-SIB (p= 0,000). Respon komplit tumor primer ditemui pada 92,3% pasien grup non-SIB dan 81,8% pasien grup SIB yang tidak berbeda bermakna. Respon komplit KGB ditemukan pada 95,4% pasien grup non-SIB dan 91% pasien grup SIB. Median kesintasan 83 minggu pada grup SIB dan 127 minggu pada grup non-SIB, yang berbeda bermakna secara statistik. Analisis subgrup dengan membandingkan pasien dengan ukuran KGB yang sama pada kedua grup, menunjukkan tidak ada perbedaan kesintasan pada kedua grup. Uji multivariat menunjukkan 6 variabel yang memengaruhi prognostik kesintasan pasien kanker serviks IIIC1. Ukuran tumor primer, ukuran short-axis KGB, histopatologi non-KSS, NLR preterapi adalah faktor prognostik kesintasan yang buruk, sedangkan kadar hemoglobin dan pemberian kemoterapi adalah faktor prognostik kesintasan yang baik. Kesimpulan: Kesintasan pasien yang mendapatkan SIB lebih rendah dibandingkan grup non-SIB (p= 0,048) namun dengan membandingkan ukuran KGB yang sama, memperlihatkan kesintasan yang tidak berbeda (p= 0,26). Walaupun demikian, respon lokoregional 6 bulan pada kedua grup menunjukkan hasil yang serupa (p= 0,489)

Background: Pelvic lymph nodes is important prognostic factors in cervical cancer. The use of radiation boosters is noninvasive and provides promising results. The SIB technique as the best booster modality has been applied at RSCM since January 2020, but its level of success has never been assessed. Aims: To determine the differences in clinical response, survival and acute toxicity in the IIIC1 cervical cancer population between those who received SIB technique radiation and non-SIB technique radiation. This study also aims to find prognostic factors for survival. Methods: 135 IIIC1 cervical cancer patients included, 35 received SIB techniques, 90 received non-SIB techniques. The clinical response of the primary tumor and KGB was assessed based on the first MRI evaluation. Acute toxicity was assessed based on weekly assessments. The Kaplan-Meier test also carried out the to determine survival. Multivariate analysis is done to determine prognostic factors that influence survival.. Results: Median follow-up was 64 weeks in the SIB group and 84 weeks in the non-SIB group. The group that received SIB had a larger median lymph node size than the non-SIB group (p= 0,000). Complete response of primary tumor was found in 92.3% of patients in the non-SIB group and 81.8% of patients in the SIB group, which was not significantly different. Complete KGB response was found in 95.4% of patients in the non-SIB group and 91% of patients in the SIB group. Median survival was 83 weeks in the SIB group and 127 weeks in the non-SIB group, which was statistically significantly different. Subgroup analysis comparing patients with the same lymph node size in both groups showed no difference in survival in the two groups. Multivariate testing shows 6 variables that influence the prognostic survival of IIIC1 cervical cancer patients. Primary tumor size, short-axis lymph node size, non-SCC histopathology, pretherapy NLR are poor survival prognostic factors, while hemoglobin levels and chemotherapy administration are good survival prognostic factors. Conclusion: The survival of patients who received SIB was lower than the non-SIB group (p= 0.048) but when comparing the same lymph node size, survival was not different (p= 0.26). However, the 6-month locoregional response in both groups showed similar results (p= 0.489)"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>