Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185406 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lalu M. Safrizal Kurnia Ramdhoni
"Latar Belakang: Dokter anestesiologi dituntut untuk memiliki kompetensi sesuai dengan perkembangan keilmuan. Pengetahuan akan gas anestetik inhalasi merupakan pengetahuan dasar yang wajib dikuasai oleh dokter spesialis anestesiologi. Kurangnya kompetensi tersebut dapat mengakibatkan peningkatan jumlah morbiditas dan mortalitas dalam praktik anestesiologi. Metode pemelajaran yang selama ini dilakukan antara lain diskusi dan pemberian kuliah. Di era pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini, sudah memungkinkan digunakannya screen based simulation (SBS) dalam bentuk aplikasi untuk pemelajaran anestetik inhalasi bagi residen Anestesiologi, seperti aplikasi Gas Man®. Aplikasi Gas Man® bertujuan untuk membantu peserta didik memahami fisiologi dan patofisiologi obat anestetik inhalasi.
Metode: Penelitian ini merupakan Randomized Controlled Trial. Subjek penelitian merupakan residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI tahun akademik 2022–2023 dengan status aktif Tahap Pembekalan dan Tahap Magang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Sampel dilakukan randomisasi menggunakan halaman web www.randomizer.org, dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok simulasi dan diskusi. Sampel diberikan pre test dan post test, serta mengisi survei kepuasan di akhir kegiatan.
Hasil: Kelompok simulasi mendapat nilai median (IQR) post test 80 (76,67-83,33) sedangkan kelompok diskusi 50 (40-66,67) dengan nilai P=0,000<0,05. Masing-masing kelompok memiliki tingkat kepuasan "Puas" 63,2% dan 68,4% (secara berurutan).
Kesimpulan: Metode pemelajaran berbasis simulasi dengan menggunakan aplikasi Gas Man® lebih baik jika dibandingkan berbasis diskusi dalam peningkatan pengetahuan ambilan dan distribusi anestetik inhalasi residen Anestesi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yono Taryono
"Penggunaan ventilator pada pasien yang sudah mengalami perbaikan harus segera dilakukan penyapihan. Salah satu indikator penyapihan ventilator adalah dengan menggunakan RSBI. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan nilai RSBI pada semi fowler 15°, 30° dan 45°. Rancangan penelitian ini pre-experimental designs dengan desain penelitian menggunakan one group pretest posttest design. Pemilihan sampel dengan consecutive sampling sebanyak 27 responden. Uji statistik dengan menggunakan uji repeated anova. Hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan nilai RSBI pada semi Fowler 15°, 30° dan 45° p value 0.003, terdapat perbedaan yang signifikan nilai RSBI pada semi Fowler 15° dengan semi Fowler 30° p-value 0,013, tidak terdapat perbedaan yang signifikan nilai RSBI pada semi Fowler 15° dengan semi Fowler 45° p-value 0,629, dan terdapat perbedaan yang signifikan nilai RSBI pada semi Fowler 30° dengan semi Fowler 45° p-value 0,003. Rekomendasi dari penelitian ini semi Fowler pada 30° adalah posisi yang terbaik untuk mendapatkan nilai RSBI yang paling rendah.

Patients with ventilator need to have weaning process gradually. RSBI is one of the indicators in giving weaning process patient with ventilator. The purpose of this study is to examine and compare the score of RSBI on patient with ventilator who is given semi fowler position 15°, 30° and 45°. This is pre-experimental designs study using one group pretest posttest design. Consecutive sampling had been used in recruiting 27 respondents. Repeated anova had been used to analyze the data. The result shows significant different amongst RSBI score on semi Fowler position 15°, 30° and 45° (p value 0.003). Significant different also shows on RSBI score between semi Fowler 15° and 30° (p-value 0,013), semi Fowler 30° and 45° (p-value 0,003), however there is no significant different on RSBI score between semi Fowler 15° and 45° (p-value 0,629). It is recommended that semi Fowler 30° is the best semi Fowler position with the lowest score of RSBI."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T34813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sholichin
"Resistensi saluran nafas nonelastik merupakan resistensi terhadap aliran udara dalam saluran nafas pada pasien PPOK yang dlkarenakan adanya mukus yang berlebihan di saluran napas. Salah satu cara memperbaiki resistensi saluran nafas nonelastik pada pasien PPOK adalah fisioterapi dada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya perbedaan penurunan resistensi saluran nafas nonelastik sebelum dan sesudah fisioterapi dada, adanya perbedaan penurunan resistensi saluran nafas nonelastik antara kelompok yang melakukan fisioterapi dada dan yang tidak melakukan fisioterapi dada, Serta variabel yang paling dominan mempengaruhi penurunan resistensi saluran nafas nonelastik sesudah fisioterapi dada. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan desain randomized control group pretest-postrest. Sampel penelitian adalah 42 responden dengan menggunakan teknik random sampling.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa resistensi salunan nafas nonelastik lebih baik sesudah diberikan fisiotempi dada pada kelompok intervensi (p=0.000, a=0,01), resistensi saluran nafas nonelastik lebih baik pada kelompok intervensi daripada kelompok kontrol (p=0.000, cz =0,01), Serta tidak ada variabel yang paling berpengaruh terhadap penurunan resistensi saluran nafas nonelastik sesudah fisioterapi dada (p=0.152, a=0,01). Kesimpulan penelitian ini adalah fisioterapi dada dapat menurunkan resistensi saluran nafas nonelastik. Penelitian ini merekomendasikan fisioterapi dada dapat menjadi salah satu intervensi dalam asuhan keperawatan pasien PPOK."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
T22857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Annisa
"ABSTRAK
Terapi inhalasi merupakan salah satu strategi penatalaksanaan gangguan bersihan jalan napas pada anak balita dengan pneumonia meskipun beberapa penelitian tidak merekomendasikan tindakan tersebut dalam pengobatan rutin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian terapi inhalasi dengan lama hari rawat anak balita penderita pneumonia. Desain penelitian menggunakan cross-sectional. Seratus dua pasien penderita pneumonia dalam data rekam medis diambil secara consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian terapi inhalasi dengan lama hari rawat. Pemberian terapi inhalasi dengan menggunakan bronkodilator kombinasi ?-agonis dan antikolinergik NaCl 0,9 dan bronkodilator ?-agonis NaCl 0,9 lebih efektif mengurangi lama hari rawat.

ABSTRACT
Inhalation therapy is one of optional management of impaired airway clearance in children under age of five with pneumonia. This study aimed to examine correlation of inhalation therapy and hospital length of stay in children under age of five with pneumonia. This cross sectional study included 102 consecutive patients with pneumonia in medical record. The study result showed a significant correlation between the use of inhalation therapy and hospital length of stay. Inhalation therapy with combination of bronchodilator agonist and anticholinergic NaCl 0.9 and bronchodilator agonist NaCl 0.9 are more effective to reduce hospital length of stay in children under age of five with pneumonia."
2016
T47453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nency Martaria
"Tujuan. Tujuan pertama yaitu mengetahui kemudahan pemasangan Laryngeal Mask Airway(LMA) dengan teknik baku disertai penekanan lidah. Tujuan kedua yaitu mengetahui perbandingan kemudahan pemasangan LMA antara teknik baku disertai penekanan lidah dan teknik baku.
Latar Belakang. Laryngeal Mask Airway merupakan alat bantu jalan nafas untuk mengatasi kesulitan jalan nafas. Teknik terbaru pemasangan Laryngeal Mask Airway berdasarkan penelitian Roodneshin dkk yang dipublikasikan pada Tanaffos 2011 yaitu teknik baku disertai penekanan lidah memberikan angka keberhasilan pemasangan 100%(tingkat keberhasilan paling tinggi pada penelitian LMA). Pemasangan LMA diharapkan mulus dan berhasil dalam pemasangan pertama tanpa menimbulkan trauma tetapi dalam prakteknya, pemasangan LMA bisa lebih dari satu kali. Penelitian ini dilakukan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo sebagai penelitian perbandingan pertama dari penelitian Roodneshin dkk dengan beberapa penyesuaian.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 80 pasien dewasa yang menjalani operasi elektif dengan anestesia umum menggunakan Laryngeal Mask Airway. Secara random, 40 pasien mengalami pemasangan LMA dengan teknik baku disertai penekanan lidah dan 40 pasien mengalami pemasangan LMA dengan teknik baku. Upaya pemasangan dan kemudahan pemasangan LMA dicatat dan dinilai. Pemasangan mudah bila kurang atau sama dengan 2 kali pemasangan LMA. Komplikasi pemasangan LMA berupa noda darah, nyeri menelan dan nyeri tenggorokan dicatat dan dinilai. Analisa statistik dilakukan dengan uji Chi-square dan Fisher Exact. Batas kemaknaan yang digunakan untuk semua uji adalah p<0,05.
Hasil. Perbandingan proporsi keberhasilan upaya pemasangan pertama kali antara kelompok teknik baku disertai penekanan lidah dan teknik baku adalah 87,5% dibandingkan 65%. Perbandingan proporsi keberhasilan upaya pemasangan maksimal dua kali antara kelompok teknik baku disertai penekanan lidah dan teknik baku adalah 100% dibandingkan 97,5%. Secara statistik, perbandingan upaya pemasangan, kemudahan, komplikasi nyeri menelan, komplikasi nyeri tenggorokan antara teknik baku disertai penekanan lidah dan teknik baku, tidak berbeda bermakna.
Kesimpulan. Pemasangan Laryngeal Mask Airway dengan teknik baku disertai penekanan lidah tidak lebih mudah dibandingkan teknik baku(100% dibandingkan 97,5%). Kekerapan komplikasi yang berbeda bermakna berupa noda darah (0% pada teknik baku disertai penekanan lidah dibandingkan 6,2% pada teknik baku).

Purpose, The objective of this study is to know easiness of inserting Laryngeal Mask Airway(LMA) with the classic approached combined with tongue supression technique. Secondly, the study is to compare the success rate between classic approached combined with tongue supression technique and classic approached technique.
Background. Laryngeal Mask Airway is a device to overcome the difficulty of the airway management. Novel technique of Laryngeal Mask Airway insertion based on Roodneshin et aI research, publicised in Tanaffos 2011 was the classic approached combined with tongue supression technique resulted in 100% succes rate of insertion(highest success rate based on LMA research or study). LMA insertion is expected to be smooth and successful in the first attempt without inflicting trauma but in daily practice, insertion LMA can be more than once. This research is done at Cipto Mangunkusumo Hosptal, as the first comparison of research Roodneshin et al with some adjustments.
Methods. The study was done at 80 adult patients who underwent elective surgery with general anesthesia. A total of 80 adult patients was scheduled for elective operation with general anesthesia using Laryngeal Mask Airway. In random, 40 patients undergoing LMA insertion with classic approached combined with tongue supression technique and 40 patients undergoing LMA insertion with classic approached technique. The effort and success rate of LMA insertion was noted and evaluated. The easiness is if the insertion is attempted maximally twice. Complications of LMA insertion such as blood stains, sore throat, dysphagia was noted and evaluated. Statistical analysis conducted by test Chi-square and Fischer Exact. P<0,05 was considered significant.
Result. Comparison proportion first attempt of Laryngeal Mask Airway insertion between classic approached combined with tongue supression technique and classic approached technique was 87,5% compared with 65%. The proportion maximally twice attempt of Laryngeal Mask Airway insertion between classic approached combined with tongue supression technique and classic approached technique was 100% compared with 97,5%. Statistically, comparison attempt, success rate, dysphagia, sore throat between classic approached combined with tongue supression technique and classic approached technique, not significantly different.
Conclusion, Laryngeal Mask Airway insertion with classic approached combined with tongue supression technique no more easy compared with classic approached technique(100% compared with 97,5%). Complication which statistically significant different was blood stains(0% with classic approached combined with tongue supression technique compared with 6,2% classic approached technique).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Prisca Meivita
"Di tengah wabah Tuberkulosis TB, penelitian tentang obat tuberkulosis baru yang dapat memberikan resolusi penyembuhan lebih cepat sangatlah penting. Penemuan baru tersebut berperan penting dalam menurunankan jumlah pasien yang terjangkit wabah TB di seluruh dunia. Efektivitas rifapentin telah dinilai dan telah terbukti menjadi antibiotik yang paling efektif untuk menyembuhkan TB. Penggunaan rifapentin yang sering dengan dosis yang tinggi dapat menghasilkan resolusi penyembuhan yang lebih cepat. Namun, berdasarkan penelitian terdahulu, tingkat penggunaan yang sering tidak dapat dicapai secara oral melainkan dalam bentuk aerosol sehingga langsung menuju ke paru-paru yang terinfeksi. Oleh karena itu, dengan meningkatnya minat terhadap efektivitas rifapentin, penelitian ini mengintegrasikan bentuk hirup dari kristal rifapentin yang diperoleh dengan menggunakan metode kristalisasi dengan penambahan anti-pelarut dalam sistem batch dengan menggunakan aseton sebagai pelarut dan air suling sebagai anti-pelarut. Selain itu, penelitian ini menyelidiki mengenai pengaruh jumlah benih seed , rasio supersaturasi, dan waktu pengkristalan terhadap karakterisasi produk kristal yang dihasilkan agar dapat diperoleh ukuran yang sesuai. Berdasarkan penelitian terhadap masing-masing pengaruh, diperoleh hasil optimal pada penelitian tanpa menggunakan benih unseeded dengan rasio supersaturasi = 1.26.

In the midst of Tuberculosis pandemic, a research about new tuberculosis drug that results in more rapid resolution of tubercular infection is important. It will play a crucial role in accelerating the reductions in tuberculosis incidence that is occurring worldwide. The effectiveness of rifapentine has been assessed and it has been proven to be the most effective antibiotics for Tuberculosis. A frequent administration and dose of rifapentine resulted in more rapid resolution of tubercular infection. However, based on former research, high exposure levels for treatment shortening may be unachievable with oral administration and might instead be achieved by direct aerosol delivery of rifapentine to the pulmonary site of infection. Therefore, with the growing interest toward the effectiveness of rifapentine in frequent administration and dose, this research integrates an inhalable form of crystalline rifapentine prepared using anti solvent batch crystallization method with acetone as a solvent and distilled water as an anti solvent. Moreover, this research investigates the effect of seed loading, supersaturation ratio, and residence time on the characterization of crystalline rifapentine in order to form a crystalline rifapentine in an inhalable size. Based on the assessment of each effect, optimum result was obtained at unseeded experiment with supersaturation ratio 1.26. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S67064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washli Zakiah
"Latar belakang: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) merupakan alat bantu napas noninvasif pilihan pertama pascaekstubasi untuk bayi prematur. Saat ini High flow nasal cannula (HFNC) digunakan sebagai alternatif lain yang sama efektif nya seperti nCPAP.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi, keamanan dan angka kegagalan terapi penggunaan HFNC dibandingkan nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur.
Metode: Uji klinis acak terkontrol tidak tersamar tunggal dilakukan Februari-Juni 2024 di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kriteria inklusi adalah bayi usia gestasi antara 28 minggu sampai 36 minggu 6 hari yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik. Randomisasi dilakukan pada 42 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok (nCPAP vs HFNC).
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,747) kegagalan terapi dalam waktu < 1 jam (23,8% vs 33,3%) dan 1-24 jam (42,9% vs 33,3%). Tidak terdapat perbedaan nilai pCO2 pada analisis gas darah (p=0,683), kejadian trauma hidung (p=0,317), dan skor nyeri (p=0,795) yang menggunakan ventilasi noninvasif HFNC dan nCPAP. Meskipun tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian distensi abdomen (p=0,197) pada kedua kelompok, namun HFNC memiliki angka penurunan kejadian distensi abdomen yang lebih besar dibandingkan nCPAP.
Simpulan: Tidak ada perbedaan kegagalan terapi pemakaian HFNC dibanding nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur. Angka kejadian distensi abdomen didapati lebih kecil pada pemakaian HFNC.

Background: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) is the primary noninvasive respiratory support choice after extubation for neonates. Hence, High Flow Nasal Cannula (HFNC) has use as effective as nCPAP.
Objective: To determine the efficacy, safety, and therapy failure rates of HFNC and nCPAP post-extubation in preterm neonates.
Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted from February-June 2024 in the Neonatology Division of the Department of Pediatrics, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. The inclusion criteria were preterm (28 weeks to 36 weeks 6 days) with mechanical ventilation. Randomization was performed on 42 subjects, divided into two groups (nCPAP vs HFNC)
Results: There was no significant difference (p=0,747) in the proportion of therapy failure, within <1 hour (23,8% vs 33,3%) and 1-24 hours (42,9% vs 33,3%). There was no difference in the proportion of pCO2 values in blood gas analysis (p=0.683), nasal trauma (p=0.317), and pain scores (p = 0.795) between HFNC and nCPAP. Although there was no significant difference in abdominal distension rate (p=0.197) between the two groups, HFNC had a greater reduction in abdominal distension than nCPAP.
Conclusion: There was no difference in the proportion of therapy failure between HFNC and nCPAP use post-extubation in preterm. The incidence of abdominal distension was found lower with HFNC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Arnady
"
Sediaan inhalasi serbuk kering dapat menjadi solusi untuk pengobatan tuberkulosis karena dapat memaksimalkan konsentrasi obat pada daerah yang terinfeksi. Obat antituberkulosis yang memiliki kelarutan yang rendah seperti rifampisin akan menurunkan efektivitas kerja obat di paru-paru yang hanya memiliki sedikit volume cairan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat serbuk inhalasi rifampisin dengan kelarutan dan disolusi yang lebih baik menggunakan manitol dan polivinilpirolidon K-30. Serbuk inhalasi rifampisin-manitol 1:1 dan 1:2, rifampisin-PVP 1:1 dan 1:2, serta rifampisin-manitol-PVP 1:1:1 dibuat dengan semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh dikarakterisasi secara fisik, kimia, serta kelarutan dan disolusi. Penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk inhalasi rifampisin berhasil diformulasikan dengan menggunakan manitol dan PVP K-30 dan adanya peningkatan kelarutan dan disolusi. Peningkatan kelarutan dan disolusi didukung oleh hasil DSC, XRD, dan FTIR yang menunjukkan terjadinya interaksi antara rifampisin dengan kedua pembawa dan perubahan bentuk kristal. Serbuk inhalasi rifampisin-PVP 1:2 F4 terbukti paling baik meningkatkan kelarutan rifampisin dalam aquademineralisata dengan kelarutan dari 1,853 0,175 mg/mL menjadi 25,519 0,187 mg/mL serta disolusi dari 8.812 2.199 menjadi 54,943 5,622 selama 2 jam. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa rifampisin dapat diformulasikan sebagai serbuk inhalasi yang memiliki kelarutan dan disolusi yang lebih baik dengan penambahan PVP K-30 1:2.

ABSTRACT
Dry powder inhalation can be a solution for tuberculosis treatment because it allows high drug concentration in the infected area of lung. Poorly soluble antitubercular drug, such as rifampicin can limit the therapeutic effect in the limited lung fluid volume. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin with a better solubility using mannitol and polyvynilpryrrolidone K 30 as carriers. Rifampicin mannitol 1 1 and 1 2, rifampicin PVP 1 1 and 1 2, and rifampicin mannitol PVP 1 1 1 were made by spray drying. These inhalation powder were characterized by their physical properties, chemical properties, also solubility and dissolution. This study showed that rifampicin inhalation powder were successfully formulated using mannitol and PVP and also increasing its solubility and dissolution. The characterization with DSC, XRD, FTIR showed the interaction between rifampicin with both carriers and the deformation to amorphous state. Rifampicin PVP 1 2 F4 inhalation powder appeared to show the best result in enhancing rifampicin rsquo s solubility in deionized water from 1.853 0.175 mg mL to 25.519 0.187 mg mL also dissolution from 8.812 2.199 to 54.943 5.622 . Based on these results, it can be concluded that rifampicin can be formulated into inhalation powder and perform better solubility and dissolution with the combination of rifampicin PVP K 30 1 2."
2017
S68343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahagia Wiba Cyntia
"ABSTRAK
Untuk memformulasikan serbuk inhalasi tertarget makrofag dibutuhkan eksipien dengan karakteristik yang sesuai untuk dapat membawa obat sampai makrofag. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kombinasi kitosan dan gum xanthan memiliki indeks mengembang yang baik pada pH makrofag sehingga dapat dijadikan sebagai eksipien tertarget makrofag. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat serbuk inhalasi menggunakan kitosan-xanthan KX sebagai pembawa yang dapat menahan pelepasan obat pada cairan paru pH 7,4 dan memfasilitasi pelepasan obat pada cairan makrofag paru pH 4,5 . KX dibuat dengan mencampurkan kitosan dan gum xanthan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1. KX kemudian dikarakterisasi meliputi penampilan, bentuk morfologi, uji termal, spektrum inframerah, derajat keasaman, dan viskositas. Serbuk kering inhalasi dibuat dengan menggunakan rifampisin sebagai model obat dan lima eksipien berbeda yaitu kitosan, gum xanthan, KX l:1, 1:2, 2:1. Serbuk inhalasi dikarakterisasi penampilan, morfologi, kadar air, distribusi ukuran partikel, kadar zat aktif, efisiensi penjerapan, dan pelepasan obatnya. Serbuk inhlasi dengan karakteristik terbaik yaitu formula 3 dengan eksipien KX 1:1 yang menghasilkan rendemen 22,48 , rentang ukuran 1,106 ndash; 3,580 m, efisiensi penjerapan sebanyak 120,162 , dan dapat melepas obat sebanyak 3,145 dalam medium pH 7,4 dan sebanyak 23,774 dalam medium pH 4,5. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa eksipien KX 1:1 dapat digunakan sebagai pembawa dalam formulasi serbuk inhalasi rifampisin.

ABSTRACT
Suitable excipient with certain characteristics is required in formulating inhalation powder to deliver drug into macrophage. Previous study had shown that the combination of chitosan and gum xanthan had remarkable swelling properties at macrophage condition pH 4.5 , thus it is suitable to be used as a macrophage targeted excipient. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin using chitosan xanthan CX as a carrier that can sustain drug release in lung fluid pH 7.4 and facilitate drug release in pulmonary macrophage fluid pH 4,5 . CX was prepared by mixing the chitosan and xanthan gum with the ratio 1 1, 1 2, and 2 1. Physical appearance, morphology, thermal properties, functional group, acidity, and viscosity of CX were then characterized. The inhalation powder were formulated by using rifampicin as a drug model and five different excipients which were chitosan, gum xanthan, and CX 1 1, 1 2, 2 1. Physical appearance, morphology, moisture content, and drug release of each formula of inhalation powder was evaluated. This study showed that rifampicin CX 1 1 was the best formula with yield of 22.48 , partical size range of 1.106 ndash 3.580 m, entrapment efficiency of 120.162 , and release 3,145 of rifampicin at pH 7.4 and 23.774 of rifampicin at pH 4.5. Based on these results, it can be concluded that CX 1 1 is a suitable excipient to formulate dry powder inhalation of rifampicin. "
2017
S69422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Restu Anggita
"Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan dan salah satu obat yang digunakan adalah antibiotik rifampisin. Walaupun terapi oral rifampisin untuk pasien tuberkulosis sudah tersedia, terapi secara inhalasi yang menargetkan langsung ke paru dan alveolus diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan inovasi serbuk kering inhalasi yang dapat digunakan dalam regimen terapi tuberkulosis. Penelitian terhadap pengembangan obat TB dalam bentuk serbuk kering sudah ada, namun belum ada yang mengombinasikan kitosan dengan gelatin. Pada penelitian ini dilakukan formulasi, karakterisasi, dan evaluasi sitotoksisitas dari lima serbuk kering inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-gelatin dengan variasi konsentrasi kitosan dan gelatin. Serbuk dibuat menggunakan metode semprot kering, kemudian dianalisis bentuk dan ukuran partikel geometris dan aerodinamisnya, lalu diuji pelepasannya dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 dan SLS 0,05%, dan dalam larutan KHP pH 4,5. Formulasi dengan profil pelepasan yang paling baik diambil untuk diuji sitotoksisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dipilih F3 (Kit-Gel 2:1) sebagai formula terbaik dengan bentuk partikel sferis, rentang diameter partikel geometris 0,825-1,281 μm dan ukuran partikel aerodinamis 11,857 ± 1,259 μm, dengan persentase rifampisin kumulatif yang terdisolusi dalam dapar fosfat sebesar 45,894 ± 0,876% dan dalam larutan KHP sebesar 42,117 ± 0,912%. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT assay dan parameter viabilitas sel. Serbuk F3 lebih aman digunakan daripada rifampisin dalam konsentrasi 0,1 mg/mL dengan viabilitas sel sebesar 91,68%.

Tuberculosis is a respiratory tract disease in which one of the first-line agents used is rifampicin. Oral rifampicin for TB patients is widely available, but inhalation therapy that targets the lungs and alveolus directly could give a better outcome. This drives the need for developing a dry inhalation powder that could be incorporated into the therapeutic regimen of TB. Previous studies on the development of TB medication have been performed, but the application of combination of excipients of chitosan and gelatin as carrier has not been studied. In this study, formulation, characterization, and cytotoxicity evaluation of five rifampicin dry inhalation powders with various concentration of its chitosan-gelatin carrier were studied. The powder was produced with dry-spraying method. Its shape, aerodynamic and geometric particle size were then analyzed. Its releasing profile in phosphate buffer (pH 7.4 and SLS 0.5%) and potassium hydrogen phthalate (pH 4.5) was also tested. Formulation with the best releasing profile was used for cytotoxicity test. F3 (Chit-Gel 2:1) showed the best profile with spherical particle shape and geometric and aerodynamic particle size 0.825-1.281 μm and 11.857 ± 1.259 μm respectively, the cumulative rifampicin percentage dissolved in phosphate buffer and potassium hydrogen phthalate (KHP) were 45.894 ± 0.876% and 42.117 ± 0.912%, respectively. Cytotoxicity evaluation was conducted using MTT assay method with cell viability as the parameter. F3 is less cytotoxic than rifampicin in 0.1 mg/mL with cell viability 91.68%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>