Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227995 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Baiq Iza Azqiya
"Praktik paradiplomasi pertama kali muncul sejak Perang Dunia Satu dan mengalami perkembangan pasca berakhirnya Perang Dunia Dua dan dan dimulainya Perang Dingin. Dalam kurun waktu singkat, praktik paradiplomasi telah menyebar secara luas di berbagai belahan dunia, seperti di Kawasan Asia, salah satunya adalah di Indonesia. Praktik paradiplomasi di Indonesia pertama kali berlangsung sejak tahun 1960-an, kemudian terus berkembang dan menjadi tren yang banyak diadopsi oleh pemerintah daerah di Indonesia, termasuk dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui kerja sama sister province dengan Provinsi Kujawsko-Pomorskie sejak tahun 2018. Pada April 2019, kerja sama ini melakukan penandatanganan Letter of Intent (LoI), selanjutnya, memasuki tahun 2020-2022 kerja sama ini mengalami penurunan aktivitas dan tidak menunjukkan progres yang signifikan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian studi kasus, penelitian ini menelusuri mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika proses implementasi kerja sama sister province ini, dengan menggunakan teori utama yakni Paradiplomasi. Dari sini kemudian dicapai hasil yang menunjukkan dinamika proses implementasi kerja sama sister province NTB dan Kujawsko-Pomorskie dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang diklasifikasikan ke dalam dua sisi, pertama faktor eksternal yang mencakup hubungan bilateral antara Indonesia dan Polandia dan krisis Pandemi COVID-19. Kedua, faktor internal, diantaranya adalah pertama, desentralisasi, kedua, birokrasi dalam aspek manajemen kelembagaan dan keterbatasan sumber daya manusia dalam birokrasi di Pemerintah Provinsi NTB, ketiga, kepemimpinan dan manajemen dalam aspek karakteristik dan demokratisasi pemimpin dari Pemerintah Provinsi NTB. Demikian, kerja sama ini menunjukkan praktik paradiplomasi yang buruk yang dipengaruhi oleh faktor keterbatasan pada sumber daya manusia dan karakteristik dari kepemimpinan Pemerintah Provinsi NTB.

The practice of paradiplomacy first emerged in World War One and developed after the end of World War Two and the start of the Cold War. In a short period of time, the practice of paradiplomacy has spread widely in various parts of the world, such as in the Asian Region, one of which is in Indonesia. The practice of paradiplomacy in Indonesia first took place in the 1960s, then continued to develop and became a trend that was widely adopted by local governments in Indonesia, including in this case the West Nusa Tenggara Provincial Government through sister province cooperation with Kujawsko-Pomorskie Province since 2018. In April 2019, this cooperation signed a Letter of Intent (LoI), then, entering 2020-2022 this cooperation experienced a decline in activity and did not show significant progress. Using a qualitative approach and case study research method, this research explores the factors that influence the dynamics of the implementation process of this sister province cooperation, using the main theory of Paradiplomacy. The results show that the dynamics of the implementation process of the sister province cooperation between NTB and Kujawsko-Pomorskie are influenced by a number of factors that are classified into two sides, first, external factors which include bilateral relations between Indonesia and Poland and the COVID-19 Pandemic crisis. Second, internal factors, including first, decentralization, second, bureaucracy in the aspect of institutional management and limited human resources in the bureaucracy in the NTB Provincial Government, third, leadership and management in the aspect of characteristics and democratization of leaders from the NTB Provincial Government. Thus, this cooperation shows poor paradiplomacy practices that are influenced by the limited human resources and characteristics of the leadership of the NTB Provincial Government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Nusha Raspati
"Diplomasi TNI Angkatan Laut dilaksanakan oleh Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dalam bentuk operasi, latihan, dan pendidikan bersama dengan negara sahabat, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan tools Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) melalui penyebaran kuesioner secara
langsung kepada pelaku yang pernah terlibat di daerah operasi Perairan Natuna Utara dengan tujuan untuk meneliti kemampuan preventive diplomacy TNI Angkatan Laut di Laut Cina Selatan dalam rangka mempertahankan stabilitas kawasan Asia Tenggara. Hasil analisis perhitungan hipotesis menunjukkan koefisien determinasi data preventive diplomacy sebesar 0,654 sehingga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan TNI Angkatan Laut
dalam mempertahankan stabilitas kawasan Asia Tenggara sebesar 64,5%. Penelitian ini mengharapkan agar penggunaan operasi yang dilakukan oleh TNI Angkatatan Laut dapat menciptakan peace making dan peace keeping di Laut Cina Selatan guna meningkatkan pengaruh diplomasi preventif terhadap kemampuan menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara."
Jakarta: Seskoal Press, 2020
023.1 JMI 8:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Nur Sahid
"Umumnya pengukuran demokrasi bersifat global dan lintas negara, padahal demokrasi lokal tak kalah menarik diamati. Indonesia mengembangkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mengukur dinamika demokrasi lokal berbasis provinsi. Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi dengan capaian demokrasi terburuk (2009-2014), ditandai oleh banyaknya kejadian yang melanggar kebebasan sipil, aksi kekerasan massa, tidak maksimalnya peran DPRD, serta macetnya kaderisasi partai politik. Penelitian ini mengajukan pertanyaan pokok: Mengapa kondisi demokrasi  Provinsi NTB pada tahun 2009-2014 relatif buruk? Studi ini merupakan pendalaman IDI melalui pengumpulan dan analisis data sekunder serta wawancara mendalam, difokuskan di tiga kabupaten/kota dengan tingkat kasus kekerasan tertinggi: Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kota Mataram. Temuan penting studi ini, era otonomisasi memberi keleluasaan yang sangat luas kepada pemerintah daerah mewakili aktor negara dalam memunculkan berbagai pengaturan ekstensif yang mengatur kehidupan beragama sehingga mengancam kebebasan sipil. Banyaknya kasus kekerasan dan tindakan main hakim sendiri menunjukkan keadaban sipil dan budaya politik belum tumbuh baik di masyarakat. Padahal, keadaban sipil dan budaya politik adalah fondasi penting yang diperlukan dalam membangun demokrasi. DPRD sebagai lembaga demokrasi lokal tidak berperan maksimal dalam menjalankan peran dan fungsi pokoknya dalam hal legislasi, penganggaran, dan pengawasan, selain keterwakilan perempuan di DPRD yang rendah. Partai politik lokal tidak berhasil menjalankan kaderisasi sebagai fungsi tradisionalnya yang penting.

Usually, the measurement of democracy is conducted in a global context and involves cross-country comparisons. In fact, local democracy can also become an interesting object of study. This research examines the Indonesia Democracy Index (IDI) as a province-based local democracy measurement. West Nusa Tenggara (NTB) has been chosen a focus of this research because in the period of 2009-2014, it is the country’s province with poorest democratic achievements, which were marked by a high number of challenges to civil liberties, incidents of mass violence, weak of DPRD’s role, and the stalled regeneration of local political parties. This is an advance of the study of IDI through the collection and analysis of secondary data and in-depth interviews, focused on the three districts/cities with the highest levels case of violence, namely: Bima District, Dompu District, and Mataram City. The key finding of this study is: The regional autonomy era in Indonesia has pushed forward an extensive religious life control, which tends to be discriminatory and contradicts the principles of democracy. The number of cases of violence and vigilantism shows that civil virtues and political culture have not grown well in the society. In fact, these are important foundations needed in building democracy. DPRD does not play a maximum role in carrying out its main roles and functions in terms of legislation, budgeting, and supervision. In addition to the low representation of women in DPRD. Local political parties have not succeeded in carrying out regeneration as their important traditional function."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harza Sandityo
"Perjanjian Internasional merupakan sumber utama hukum internasional. Terdapat perbedaan istilah-istilah perjanjian internasional namun hal tersebut tidak berpengaruh pada kekuatan hukum perjanjian internasional itu sendiri. Negara sebagai salah satu subyek hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional. Pemerintah Pusat merupakan elemen negara yang dapat mengikatkan negara kedalam sebuah perjanjian internasional. Pemerintah Daerah memiliki peranan besar dengan adanya otonomi daerah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk membentuk hubungan luar negeri diantaranya dituangkan dalam perjanjian internasional. Perjanjian Kerja Sama Sister City/Sister Province merupakan salah satu perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Untuk dapat mengikatkan diri dalam Perjanjian Kerja Sama Sister City/Sister Province harus mengikuti rangkaian mekanisme koordinasi dan konsultasi dengan Kementerian Luar Negeri dan mendapatkan surat kuasa penuh (full powers) sehingga dapat menandatangani perjanjian internasional untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Perjanjian Kerja Sama Sister City/Sister Province dapat memberikan banyak peluang untuk mengembangkan daerah.

Treaties are the main source of international law. There are several different terms of treaties but that fact doesn't affect the legal force of international treaty itself. State as one of the international law subject has the capacity to engage in to a treaty. The Central Government is the state's element that can bind a State into a treaty. Local governments have a major role with the regional autonomy and they must adjust to the needs to form international relations which inter-alia established with treaties. Sister City/Sister Province Cooperation Agreement is one of the treaty that concluded by the Local Government. In order to bound to a Sister City/Sister Province Cooperation Agreement the Local Government must follow series of mechanisms of coordination and consultation with the Ministry of Foreign Affairs and to obtain full powers so that the treaty is signed for and on behalf of the Central Government (Government of the Republic of Indonesia). Sister City/Sister Province Cooperation Agreement can provide many opportunities to develop the region."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S303
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Sri Gayatri Kancana Dewi
"Penelitian ini membahas mengenai mekanisme koordinasi antara BKKBN Pusat dengan kantor perwakilannya di provinsi Nusa Tenggara Barat dalam pengambilan keputusan penyusunan strategi komunikasi untuk program pendewasaan usia perkawinan. Kemudian, skripsi ini juga mendeskripsikan peran hubungan masyarakat dalam pengambilan keputusan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis deskriptif dengan strategi studi kasus. Hasil penelitian menemukan bahwa model koordinasi pusat-provinsi adalah two-way symmetrical. Sedangkan, peran hubungan masyarakat masih minim, yaitu hanya sebagai disemminator. Padahal, hubungan masyarakat dapat mengoptimalkan perannya dalam pengambilan keputusan untuk strategi komunikasi pendewasaan usia perkawinan yang belum efektif, karena menghadapi ketidaksesuaian antara masalah dengan solusi strategi komunikasi; serta belum optimalnya pemanfaatan riset.

This research is about the coordination mechanisms between BKKBN offices at central level and West Nusa Tenggara province on making decisions on communication strategy for Increasing the Age of First Marriage Program Combating Early Marriage Program and seeking for the role of public relations in that decision making. This qualitative research is using case study strategy to describe the topic. Results show that the central provincial coordination forms a two way asymmetrical model. While public relations unit rsquo s role is limited to only disseminator role.The role should have been extended to help the ineffective communication strategy caused by problem solution mismatches and lacking of research utilization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S69276
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Erashima Tio
"Kerja sama sister province telah dikenal lama dan telah diterapkan oleh pemerintah daerah dari berbagai wilayah termasuk Indonesia dan Tiongkok. Hubungan kerja sama ini dibentuk untuk membantu mengembangkan potensi dan perekonomian masing-masing wilayah. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang turut aktif menjalin hubungan kerja sama sister province dengan berbagai pemerintah daerah yang setingkat di luar negeri. Jawa Barat telah menjalin kerja sama sekaligus dengan empat provinsi di Tiongkok, yakni Heilongjiang, Sichuan, Guangxi Zhuang, dan Chongqing. Hubungan kerja sama sister province yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah kerja sama Chongqing-Jawa Barat. Kerja sama sister province Chongqing-Jawa Barat sudah dimulai semenjak penandatanganan Letter of Intent pada tahun 2015 dan Memorandum of Understanding pada tahun 2017. Setelahnya ada begitu banyak rencana kerja sama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk dijalankan. Prospek dari kerja sama ini ialah untuk meningkatkan perekonomian kedua belah pihak. Masing-masing wilayah memiliki potensi yang dapat mendukung satu sama lain lewat kerja sama ini. Namun, dibalik potensi dan prospek kerja sama yang ada, terdapat beberapa kendala yang menjadi hambatan, salah satunya adalah belum adanya implementasi dari keseluruhan rencana kerja yang telah disepakati.

Sister Province cooperation have been implemented by local government from various regions including Indonesia and China. Sister province cooperation have been created to boost up each region potential and economy. West Java is one of many provinces in Indonesia that actively establish sister province cooperation with many local governments from foreign countries. West Java have been established sister province cooperation outright with four provinces from China, Heilongjiang, Sichuan, Guangxi Zhuang, and Chongqing. Sister province cooperation that will be discussed in this research is sister province cooperation between Chongqing-West Java. Chongqing-West Java sister province cooperation have been established since the signing of Letter of Intent in 2015 and Memorandum of Understanding in 2017. Since then, there are many work plans that have been agreed by both parties to be implemented. The prospect from this cooperation is to increase each region economy and it is supported by each region potentials. However, this cooperation facing some constraints, one of them is the work plans that have been agreed haven`t implemented yet."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Satria Utama
"Penelitian ini menjelaskan tentang faktor penentu terjadinya pergeseran dominasi elit lokal dari aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru NW dalam pilkada NTB pasca Orde Baru. Secara umum, pergeseran elit lokal pasca kejatuhan rezim Orde Baru terjadi akibat adanya kekosongan dominasi struktur pemerintah pusat dan kelembagaan partai politik di daerah yang memberi ruang aktor lokal untuk mendominasi melalui ikatan-ikatan etnis untuk menguasai struktur pemerintahan di daerah (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). Di sisi lain, kekosongan aktor pemerintah pusat mendorong adanya perubahan peran elit agama yang terlibat dalam politik (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). Fenomena pergeseran dominasi aktor aristokrat Sasak kepada kelompok Tuan Guru di NTB menunjukkan hal yang berbeda. Kendati hilangnya dominasi rezim Orde Baru, akan tetapi dominasi dari aktor yang memiliki kedekatan pada struktur kekuasaan di pemeritah pusat mampu mendominasi kontestasi politik elektoral di daerah. Di sisi lain, ikatan etnis hanya menjadi media penguat perbedaan identitas kelompok yang bersaing, bukan sebagai penentu kemenangan aktor. Justru faktor utama yang menyebabkan adanya pergeseran dominasi elit di NTB yakni kapasitas dari aktor sentral dan institusi informal yang memiliki kedekatan dengan beragam aktor lain di daerah. Dengan kata lain, kehadiran aktor elit agama dalam aktivitas politik merupakan cerminan dari ketiadaan kompetitor dari luar kalangan elit agama yang memiliki kapasitas aktor dan kelembagaan informal yang kuat di daerah. Studi ini menggunakan teori struktur kekuasaan masyarakat (Knoke, 1990) dan teori kelembagaan informal (Helmke & Levitsky, 2002) sebagai alat analisis. Berdasarkan penggunaan teori tersebut, pergeseran elit lokal di NTB terjadi akibat adanya kapasitas aktor sentral yang dimiliki kelompok Tuan Guru NW yang mampu memanfaatkan struktur informal Nahdlatul Wathan melalui pilkada langsung pada tahun 2008, 2013 dan 2018. Di pihak lain, kelompok aristokrat Sasak hanya terfokus pada aktor tanpa menggunakan kelembagaan informal dalam membentuk integrasi dan koordinasi guna mencapai tujuan bersama. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan aktor aristokrat Sasak hanya mampu mendominasi dalam pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada tahun 1998 dan 2003, sedangkan kelompok Tuan Guru NW memiliki dominasi dalam pilkada langsung tahun 2008, 2013 dan 2018.

This study explains the determinants of the shift of local elite domination from Sasak aristocratic actors to the group of Tuan Guru NW in the West Nusa Tenggara Elections post New Order. In general, the shift in local elites after the fall of the New Order regime occurred due to the emptiness of the dominance of the central government and political parties in the regions which gave local actors space to dominate through ethnic ties to control the governance structures in the regions (Vel, 2001; Buehler, 2007; MacDougall, 2007; Toha, 2012; Tasanaldy, 2012; Choi, 2014). On the other hand, the void of central government actors encourages a change in the role of religious elites involved in politics (Kingsley, 2014; Fahrrurozi, 2018). The phenomenon of Sasak aristocratic actor domination shifting to the Tuan Guru group in West Nusa Tenggara shows a different matter. Although there was a loss of dominance of the New Order regime, the dominance of actors who had a closeness to the power structure at the Soeharto regime was able to dominate electoral political contestation in the regions. On the other hand, ethnic ties only serve as a medium to reinforce the differences in the identities of competing groups, not as a determinant of actor's victory. It is precisely the main factor that causes a shift in dominance, namely the capacity of the central actor who has closeness with various other actors in the area. In other words, the presence of religious elite actors in political activities is a reflection of the absence of competitors from outside the religious elite who have strong informal actor and institutional capacity in the regions. This study uses the theory of community power structures (Knoke, 1990) and informal institutional theory (Helmke & Levitsky, 2002) as analytical tools. Based on the use of this theory, the shift in local elites in West Nusa Tenggara occurred due to the capacity of the central actors owned by the Tuan Guru NW group who were able to utilize the informal structure of Nahdlatul Wathan through direct elections in 2008, 2013 and 2018. On the other hand, Sasak aristocratic groups were only focused on actors without using informal institutions in forming integration and coordination in order to achieve common goals. This study shows that the ability of Sasak aristocratic actors was only able to dominate in parliament elections in 1998 and 2003, while the Tuan Guru NW group had dominance in the direct elections in 2008, 2013 and 2018."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Azami Nasri
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tata kelola kolaboratif pada pelaksanaan program NTB Zero Waste. Program NTB Zero Waste merupakan salah satu program unggulan Pemprov NTB yang memiliki tujuan untuk mewujudkan NTB sebagai daerah yang bebas sampah pada tahun 2023. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah collaborative givernance regime (CGR) oleh Emerson & Nabatchi (2015). Pendekatan penelitian ini adalah post-positivist dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam ke 10 narasumber dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses kolaborasi berdasarkan teori CGR, hanya terdapat 6 sub-dimensi dari 13 sub-dimensi yang terpenuhi yakni; (3) kegagalan sebelumnya untuk mengatasi masalah; (6) tingkat konflik dan kepercayaan; (7) kepemimpinan; (8) konsekuensi dari insentif; (9) saling ketergantungan; dan (11) keterlibatan prinsip. Terdapat 7 kriteria yang belum terpenuhi yakni seperti 4 kriteria (1) kondisi sumber daya; (2) kebijakan dan kerangka hukum; (4) dinamika politik/hubungan kekuasaan; (5) keterhubungan jaringan; yang terdapat dalam dimensi system context. Selain itu, pada dimensi drivers terdapat 1 kriteria yang belum terpenuhi yakni (10) ketidakpastian. Kemudian, pada dimensi collaborative dynamics, kriteria yang belum terpenuhi yakni (12) motivasi bersama, dan (13) kapasitas dalam melakukan aksi bersama. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa kolaborasi dalam proses pengelolaan sampah regional pada program NTB Zero Waste di Kota Mataram belum memenuhi tata kelola kolaboratif dalam pengelolaan sampah.

This study aims to describe collaborative governance in the implementation of the Zero Waste program. The NTB Zero Waste program is one of the flagship programs of the NTB Provincial Government which has the goal of realizing NTB as a waste-free area by 2023. The theory used in this research is the collaborative givernance regime (CGR) by Emerson & Nabatchi (2015). This research approach is post-positivist with in-depth interview data collection techniques with 10 informants and literature study. The results showed that the collaboration process based on the CGR theory, there were only 6 sub-dimensions of the 13 sub-dimensions that were fulfilled, namely; (3) prior failure to address the issues; (6) level of conflict and trust; (7) leadership; (8) consequences incentives; (9) interdependence; and (11) principle engagement. There are 7 criteria that have not been met, such as 4 criteria (1) condition of resources; (2) policy and legal framework; (4) political dynamics/power relations; (5) network connectivity; contained in the system context dimension. In addition, in the drivers dimension there is 1 criterion that has not been met, namely (10) uncertainty. Then, in the collaborative dynamics dimension, the criteria that have not been met are (12) shared motivation, and (13) capacity for joint action. Based on this, the conclusion is that collaboration in the regional waste management process at NTB Zero Waste in Mataram City has not fulfilled collaborative governance in waste management."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariani Tri Rahmi
"Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita yang diakibatkan karena kekurangan gizi kronis dan terjadi dalam jangka waktu panjang ditandai dengan tinggi/panjang badan anak terhadap usia <-2 SD kurva pertumbuhan WHO. Prevalensi Stunting di Indonesia pada tahun 2022 adalah 21,6%. Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi yang mengalami kenaikan prevalensi stunting dari dari 31,4% pada tahun 2021 menjadi 32,7% pada tahun 2022. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu faktor risiko penyebab stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB. Desain dalam penelitian ini adalah cross-sectional menggunakan data SSGI 2022. Sampel dalam penelitian ini anak anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang terpilih menjadi responden SSGI 2022. Analisis data dilakukan menggunakan chi-square dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah balita dalam keluarga, sumber air minum, dan kepemilikan jamban berhubungan dengan kejadian stunting (p<0,05). Faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sumber air minum setelah dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin anak dan pendidikan ibu (OR : 1,399 ; 95% CI : 1,168-1,675).

Stunting is a condition of failure to grow in toddlers due to malnutrition over a long period of time characterized by the height/length of the child's body for age <-2 SD on the WHO growth curve. The prevalence of stunting in Indonesia in 2022 is 21.6%. NTB Province is one of the provinces that has experienced an increase in the prevalence of stunting from 31,4% in 2021 to 32,7% in 2022. This research aims to determine the risk factors that cause stunting in children aged 24-59 months in NTB Province. The design of this study was cross-sectional using SSGI 2022 data. The sample in this study was children aged 24-59 months in NTB Province who were selected as respondents to the SSGI 2022. Data analysis was carried out using chi-square and multiple logistic regression. The results of the study showed that gender, maternal education, maternal occupation, the number of children under five in the family, drinking water sources, and ownership of toilet were related to the incidence of stunting (p<0.05). The dominant factor associated with the incidence of stunting in children aged 24-59 months in NTB Province is drinking water sources which is influences by the sex of the child and maternal education (OR : 1,399 ; 95% CI : 1,168-1,675)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Liswanda
"Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sumatera Utara yang merupakan provinsi dengan prevalensi IMD tertinggi dan terendah pada Analisis Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Demografi Indonesia Tahun 2017 dengan desain penelitian cross sectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 161 ibu di NTB dan 261 ibu di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan IMD di kedua provinsi tersebut dan faktor dominannya.

            Berdasarkan hasil analisis univariat, cakupan IMD di NTB sebesar 78,9% dan di Sumatera Utara sebesar 34,5%. Dari hasil analisis bivariat, didapatkan bahwa IMD memiliki hubungan dengan metode persalinan (p-value 0,000 dan OR 7,4), komplikasi kehamilan (p-value 0,031 dan OR 5,7), dan skin-to-skin contact (p-value 0,000 dan OR 6,6) di Provinsi NTB. Sementara di Sumatera Utara, didapatkan bahwa IMD memiliki hubungan dengan tempat persalinan (p-value 0,032 dan OR 0,55) dan metode persalinan (p-value 0,000 dan OR 7,2). Hasil analisis multivariat, didapatkan bahwa metode persalinan menjadi faktor dominan yang berhubungan dengan IMD di Provinsi NTB (p-value 0,002 dan AOR 5,6) dan Sumatera Utara (p-value 0,000 dan AOR 8,1).

.....This study discusses the factors related to the implementation of EIBF in the Provinces of West Nusa Tenggara (NTB) and North Sumatra which are the provinces with the highest and lowest prevalence of EIBF in the Indonesia Demographic and Health Survey (DHS) Analysis 2017. This study uses secondary data from the 2017 Indonesian DHS with a cross sectional research design. The number of samples used were 161 mothers in NTB and 261 mothers in North Sumatra. The purpose of this study was to determine the factors associated with IMD in the two provinces and the dominant factors, so that they can be taken into consideration in making policies by the local government.

Based on the results of univariate analysis, the prevalence of IMD in NTB was 78.9% and in North Sumatra was 34.5%. From the results of bivariate analysis, it was found that EIBF had a relationship with delivery method (p-value 0.000 and OR 7.4), pregnancy complications (p-value 0.031 and OR 5.7), and skin-to-skin contact (p-value 0.000 and OR 6.6) in NTB Province. Meanwhile in North Sumatra, it was found that EIBF had a relationship with the place of delivery (p-value 0.032 and OR 0.55) and method of delivery (p-value 0.000 and OR 7.2). The results of multivariate analysis showed that the method of delivery was the dominant factor associated with EIBF in the Provinces of NTB (p-value 0.002 and AOR 5.6) and North Sumatra (p-value 0.000 and AOR 8.1)."

Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>