Ditemukan 156134 dokumen yang sesuai dengan query
Wawan
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh paradigma militer Turki yang masih beranggapan bahwa militer masih mendominasi berbagai aspek dalam sosial politik Turki sebagaimana pada masa awal pemerintahan Republik. Kudeta lima jam membuktikan kapabilitas Erdogan yang mampu mengalahkan dominasi militer di Turki sehingga kondisi ini mengharuskan militer Turki untuk melakukan penyesuaian dengan gaya kepemimpinan dan sistem politik Erdogan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif. Data diperoleh melalui kajian kepustakaan terhadap berbagai media cetak dan digital seperti buku, artikel ilmiah, dan laporan mengenai dinamika militer di Turki serta berbagai perubahan kebijakan pada militer Turki pasca kudeta 2016. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah transisi demokrasi Huntington dan Strong State Francis Fukuyama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Adaptasi militer Turki dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu Adaptasi Ideologi, Adaptasi Konstitusi dan Adaptasi Organisasi Militer (Restrukturisasi Organisasi). Pada Adaptasi Ideologi Sekuler-Kemalis di Tubuh Militer menitik beratkan pada ketegangan antara ideologi Pro Islam-Konservatif dengan ideologi Kemalist Sekuler. Pada Adaptasi konstitusi terjadi beberapa perubahan yakni melemahnya kewenangan dan keterlibatan militer dalam sistem politik di Turki, sehingga kewenangan yang diberikan terhadap militer hanya sebatas pada pertahanan negara saja. Pada Adaptasi Organisasi Militer, Erdogan mengambil kebijakan yang cukup ekstrem yaitu untuk mengembalikan konteks militer ke barak. Fenomena ini memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan kontrol pemerintahan sipil terhadap Angkatan Bersenjata Turki pasca percobaan kudeta terjadi pada tahun 2016.
This research is motivated by the Turkish military paradigm which still thinks that the military still dominates various aspects of Turkey's social politics as in the early days of the Republican government. The five-hour coup proved Erdogan's capability to defeat military domination in Turkey, so that this condition required the Turkish military to make adjustments to Erdogan's leadership style and political system. The method used in this research is qualitative. The data was obtained through a literature review of various print and digital media such as books, scientific articles, and reports on military dynamics in Turkey as well as various policy changes to the Turkish military after the 2016 coup. The theory used in this research is Huntington's democratic transition and Francis Fukuyama's Strong State. This study concludes that Turkey's military adaptation can be seen from three dimensions, namely Ideological Adaptation, Constitutional Adaptation and Military Organizational Adaptation (Organizational Restructuring). The Adaptation of Secular-Kemalist Ideology in the Military Body focuses on the tension between Pro-Islamic-Conservative and the Secular Kemalist. In the adaptation of the constitution, several changes occurred, namely the weakening of the authority and involvement of the military in the political system in Turkey, so that the authority given to the military was only limited to national defense. In the adaptation of the Military Organization, ErdoÄan took a quite extreme policy, namely to return the military context to the barracks. This phenomenon shows that there has been an increase in the control of the civilian government over the Turkish Armed Forces after the attempted coup occurred in 2016."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fauzia Fadila
"
ABSTRAKTesis ini mengkaji kudeta selama masa pemerintahan Necmettin Erbakan dan Recep Tayyib Erdogan, di mana hasil kedua kudeta tersebut menunjukkan kontradiksi. Penelitian ini menggambarkan secara kualitatif faktor-faktor yang memimpin kudeta dengan melihat faktor militer internal dan eksternal. Mengacu pada teori penyebab kudeta oleh Eric Nordlinger menemukan bahwa, pertama Keberhasilan atau kegagalan kudeta ditentukan oleh kondisi internal militer, semakin kuat militer internal, semakin besar kemungkinan kudeta akan berhasil. Keberhasilan kudeta terhadap Erbakan didorong oleh faktor militer internal yang kuat dan kegagalan kudeta terhadap Erdogan disebabkan oleh faktor militer internal yang lemah melalui amandemen konstitusi 1982. Jika stabilitas dan keamanan negara stabil maka peluang kudeta untuk berhasil sangat kecil. Kegagalan kudeta terhadap Erdogan adalah efek dari stabilitas dan keamanan negara yang cenderung lebih stabil dan aman daripada selama pemerintahan Erbakan yang menderita krisis ekonomi yang berkepanjangan dan masalah-masalah Kurdi yang tak berujung.
ABSTRAKThis thesis examines coups during the reign of Necmettin Erbakan and Recep Tayyib Erdogan, in which the result of those two coups show a contradiction. This study describes qualitatively the factors that led the coup by looking at internal and external military factors. Referring to the theory of the cause of coup by Eric Nordlinger found that, first The success or failure of a coup is determined by the internal condition of the military, the stronger the internal military, the more likely the coup will succeed. The success of the coup against Erbakan was driven by a strong internal military factor and the failure of the coup against Erdogan was caused by the weak internal military factor through the 1982 constitutional amendment. If the stability and security of the country is stable then the chances of coup to be succeeded are very small. The failure of the coup against Erdogan was the effect of the stability and security of the state which tended to be more stable and secure than during the Erbakan government which suffered a prolonged economic crisis and the endless Kurdish problems."
2017
S67054
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Farandy Nurmeiga
"Proses integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara yang dianggap berada di wilayah Eropa berawal dari integrasi ekonomi yang kemudian berubah menjadi integrasi politik. Salah satu negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa adalah Turki. Turki sudah mengajukan diri untuk mengikuti proses negosiasi keanggotaan Uni Eropa sejak tahun 1959, tetapi hingga tahun 2019 Turki masih belum mendapat status sebagai negara anggota Uni Eropa. Padahal, Turki telah memiliki pemimpin baru dari partai pro kebijakan Eropa. Pemimpin tersebut adalah Recep Tayyip Erdogan yang kemudian menjabat posisi Perdana Menteri dan Presiden Turki. Namun, terdapat pandangan di elit Uni Eropa yang menyebut bahwa Erdogan adalah penyebab memburuknya hubungan Turki dan Uni Eropa.
Gaya kepimpinan milik Presiden Erdoğan dapat menjadi salah satu pengaruh tidak diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam makalah ini adalah bagaimana gaya kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan dan mengapa hal tersebut dapat memengaruhi proses keanggotaan Turki di Uni Eropa Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian tersebut maka teori yang digunakan adalah teori gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Margaret G. Hermann.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang datanya diperoleh dari sumber data primer hasil dari kuesioner dan publikasi transkrip wawancara Erdogan dengan media serta sumber data sekunder hasil dari studi pustaka berupa buku biografi, artikel jurnal, berita, internet, dan statistika. Penelitian ini memiliki temuan bahwa Erdogan memiliki gaya kepemimpinan yang siap dalam mengahadapi hambatan politik, tertutup dalam proses pengolahan informasi, dan memiliki motivasi untuk membangun relasi. Gaya kepemimpinan tersebut berdampak pada sulit untuk diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa.
The process of integration carried out by the European Union towards countries considered to be in European territory originated from economic integration which later turned into political integration. One country that wants to join as a member of the European Union is Turkey. Turkey has volunteered to take part in the process of negotiating European Union membership since 1959, but until 2019 Turkey still has not received the status of an EU member state. In fact, Turkey already has a new leader from the pro-European party. The leader was Recep Tayyip Erdogan who then held the position of Prime Minister and President of Turkey. However, there is a view in the European Union elite that Erdogan is the cause of deteriorating relations between Turkey and the European Union. President Erdogans leadership style can be one of the influences not accepted by Turkey as an EU member state. The research question raised in this paper is what is the leadership style of Recep Tayyip Erdogan And why does this affect Turkeys membership process in the European Union To help answer these research questions, the theory used is the theory of leadership style developed by Margaret G. Hermann. This study uses qualitative research methods whose data are obtained from primary data sources as a result of questionnaires and publication of transcripts of Erdogans interviews with media and secondary data sources resulting from literature studies in the form of biographies, journal articles, news, internet, and statistics. This study found that Erdogan has a leadership style that is ready to challenge political constraints, closed in the opensess to information, and has the motivation to build relationships. This leadership style has an impact on Turkeys acceptance as an EU member state."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54380
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Donny Pramudya Mahardi
"Recep Tayyip Erdogan merupakan Presiden Turki yang memiliki pengaruh dalam ranah politik internasional. Kebijakan luar negerinya kerap menimbulkan reaksi bagi negara maupun kelompok-kelompok tertentu. Penelitian ini akan membahas sikap politik Recep Tayyip Erdogan, khususnya kebijakan luar negerinya. Selain itu, penelitian ini juga membahas pengaruh kebijakan luar negeri Erdogan terhadap hubungan Indonesia-Turki dan organisasi masyarakat (ormas) berbasis Islam di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode mixed method (kualitatif-kuantitatif) dalam menganalisis data-data primer dan sekunder. Data diperoleh dari sumber literatur, data digital dari media massa dan media sosial, dan wawancara. Selain itu, data juga diperoleh dengan teknik survei. Kuesioner akan disebar kepada responden yang merepresentasikan ormas Islam (NU, Muhammadiyah, dan Jamaah Tarbiyah). Berdasarkan analisis tersebut, akan diketahui (1) kebijakan luar negeri Erdogan, (2) pengaruh kebijakan luar negeri Erdogan terhadap hubungan diplomatik Indonesia-Turki, dan (3) pengaruh kebijakan luar negeri Erdogan terhadap ormas Islam di Indonesia.
Recep Tayyip Erdogan is the President of Turkey who has influence in the realm of international politics. His foreign policies often cause reactions to certain countries and groups. This study discuss Recep Tayyip Erdogan's political stance, particularly his foreign policy. In addition, this study also discuss the influence of Erdoan's foreign policy on Indonesia-Turkey relations and Islamic-based community organizations (ormas) in Indonesia. This research was conducted using a mixed method (qualitative-quantitative) in analyzing primary and secondary data. Data is obtained from literature sources, digital data from mass media and social media, and interviews. In addition, data will also be obtained by survey techniques. Questionnaires will be distributed to respondents who represent Islamic organizations (NU, Muhammadiyah, and Jamaah Tarbiyah). Based on this analysis, it is known (1) Erdogan's foreign policy, (2) the influence of Erdogan's foreign policy on Indonesia-Turkey diplomatic relations, and (3) the influence of Erdogan's foreign policy on Islamic organizations in Indonesia."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Mhd. Alfahjri Sukri
"
ABSTRAKPenelitian ini membahas tentang kegagalan kudeta militer faksi Gulenis di Turki pada 15 Juli 2016. Adapun permasalahan yang dilihat adalah pertama, apa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan kudeta militer faksi Gulenis di Turki 15 Juli 2016? dan kedua, bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi gagalnya kudeta militer faksi Gulenis di Turki 15 Juli 2016?. Dalam mengalisis kasus di atas, peneliti menggunakan teori kudeta Edward Luttwak yang berbicara mengenai tahapan-tahapan suatu kudeta agar kudeta tersebut berhasil. Gagalnya kudeta dalam menjalankan tahapan tersebut akan menyebabkan gagalnya kudeta. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Adapun data-data dalam penelitian ini peneliti dapatkan melalui telaah dokumen dan literatur ilmiah serta juga melakukan wawancara. Temuan dari penelitian ini adalah, pertama, gagalnya kudeta militer faksi Gulenis ini disebabkan oleh gagalnya kelompok kudeta menangkap aktor kunci seperti Presiden Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim sehingga kedua tokoh tersebut berhasil memobilisasi massa untuk menolak kudeta. Kedua, adanya penolakan dari berbagai lapisan masyarakat Turki sehingga kelompok kudeta gagal dalam mendapatkan dukungan masyarakat atas kudeta yang dilakukan. Kedua faktor ini kemudian mempengaruhi gagalnya kudeta. Penelitian ini juga melihat adanya peran penting kemajuan teknologi seperti FaceTime dan media sosial yang mempengaruhi gagalnya kudeta karena FaceTime dan media sosial seperti Facebook dan Twitter dijadikan alat oleh Erdogan dan Binali Yildirim untuk berkomunikasi dan mengajak masyarakat menolak upaya kudeta. Media sosial juga dijadikan oleh masyarakat Turki sebagai sumber informasi tentang kudeta dan alat untuk menyebarkan aksi penolakan terhadap kudeta. Secara umum, penelitian ini menegaskan bahwa pentingnya menangkap aktor kunci seperti aktor pemerintahan dan militer dalam suatu kudeta disamping juga menguasai tempat-tempat strategis serta kelompok kudeta juga harus mendapatkan dukungan masyarakat atau tidak ada penolakan dari masyarakat agar suatu kudeta berhasil dijalankan. Di sini juga penelitian ini menegaskan pentingnya menguasi perkembangan teknologi dan media sosial untuk mempengaruhi persepsi masyarakat tentang kudeta yang dijalankan.
ABSTRACT This study discusses about the failure of military coup of Gulenist faction in Turkey on July 15, 2016. The observed problems are what factors that led to the failure of the military coup of Gulenist faction in Turkey were and how these factors affect the collapse of the Gulenist military coup did. The researcher uses Edward Luttwak 39 s coup theory which speaks about the stages of a coup in order for the coup to succeed to analyze this case. Furthermore, a case study approaches with qualitative research methods are used in this study. The data in this study research were done by literature reviews and interviews. The result showed that the failure of the Gulenist military coup d 39 etat was caused by the failure of the coup group to arrest the key actor such as President Erdogan and Prime Minister Binali Yildirim so that the two figures succeeded in mobilizing the mass to decline the coup. Moreover, there was some refusal from various Turkish society so that the coup group failed to gain public support. Technological advances such as FaceTime and social media also have an important role that affected the failure of the coup. FaceTime and social media such as Facebook and Twitter were used as tools by Erdogan and Binali Yildirim to communicate and invite people to decline the coup attempt. Social media was also used by Turkish society as a source of information and a tool to spread action against the coup d 39 etat. In conclusion, this study confirms that the importance of arresting key actor such as government and military actors in a coup while dominates the strategic places. The coup group must also have public support to get a successful coup. The study also emphasizes the importance of technology and social media to influence society about the coup."
2018
T51239
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Silmi Afina
"Terletak di antara Asia dan Eropa, Turki memiliki implementasi politik luar negeri yang unik terhadap dunia Timur dan Barat. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1923, Turki cenderung memprioritaskan Barat sebagai kiblat politik luar negerinya. Hal ini kemudian mengalami sejumlah perubahan ketika Recep Tayyip Erdoğan bersama partai AKP memegang kekuasaan di pemerintah Turki sejak tahun 2002. Turki tidak lagi hanya berkiblat ke Barat, namun juga mulai berinteraksi serta membangun relasi baik dengan kawasan tetangganya yakni Timur Tengah. Kajian literatur ini meninjau 30 literatur berbahasa Inggris dan terakreditasi internasional yang dikumpulkan dari berbagai sumber mengenai politik luar negeri Turki terhadap Timur Tengah pada masa pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan. Pemetaan kemudian dilakukan berdasarkan kerangka dari tulisan Sozen (2010) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar negeri suatu negara, antara lain conceptual setting, micro setting, serta macro setting dengan dua variabel yaitu variabel domestik dan eksternal. Kajian literatur ini berupaya untuk melihat adanya konsensus, perdebatan, dan kesenjangan dari kumpulan literatur tersebut. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan, tinjauan pustaka ini menemukan bahwa di antara berbagai faktor, faktor domestik menjadi salah satu pengaruh terkuat dalam implementasi politik luar negeri Turki terhadap Timur Tengah pada masa pemerintahan Erdoğan. Selain itu, kajian literatur ini juga menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kapabilitas Turki dalam menjalankan politik luar negerinya di kawasan tersebut. Kajian literatur ini merekomendasikan adanya penelitian lanjutan mengenai topik ini dengan turut melihat perkembangan terkini dari negara Turki saat ini.
Located between Asia and Europe, Turkey has a unique foreign policy implementation towards both the East and the West. Since its independence in 1923, Turkey has tended to prioritize the West as the mecca of its foreign policy. This then underwent several changes when Recep Tayyip Erdoğan with the AKP party held power in the Turkish government since 2002. Turkey is no longer only oriented to the West but has also begun to interact and build good relations with its neighboring Middle East region. This literature review analyzes 30 English-language and internationally accredited literature collected from various sources on Turkey's foreign policy towards the Middle East during the reign of Recep Tayyip Erdoğan. The mapping is then carried out based on the framework from Sozen (2010) regarding the factors that influence a country's foreign policy, including conceptual settings, micro settings, and macro settings with two variables, namely domestic and external variables. This literature review seeks to see the existence of consensus, debate, and gaps from the literature collection. Based on the studies conducted, this literature review found that among various factors, domestic factors became one of the strongest influences in the implementation of Turkey's foreign policy towards the Middle East during the reign of Erdoğan. In addition, this literature review also finds that there is a gap between Turkey's aspirations and capabilities in carrying out its foreign policy in the region. This literature review recommends further research on this topic by looking at the latest developments in the current state of Turkey"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Syaeful Bahri
"Tesis ini membahas mengenai pemikiran politik Recep Tayyeb Erdogan dan revolusi politik sekular sebagai dampaknya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan mengambil studi terhadap pergulatan politik sekular versus Islam dalam revolusi Turki. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa politik Erdogan yang memimpin partai AKP sebagai partai politik Islam dapat berkuasa dengan lebih dari satu dekade ditengah politik sekular yang begitu kuat. Tesis ini menemukan, bahwa ditengah gencatan politik sekular yang begitu besar, perlahan politik Erdogan dapat meruntuhkan politik sekular Attaturk dengan siasatnya bagaimana menguasai militer yang merupakan basis kekuatan terbesar pemerintah sekular Turki. Kendati demikian, pergulatan sekular versus Islam masih terus bergejolak dalam area kepemerintahan Turki.
This thesis discusses the political thought Recep Tayyeb Erdogan and secular political revolution as a result. This study is a qualitative research study of the political struggles taking secular versus Islamic revolution in Turkey. The results of this study indicate that Erdogan is leading the political party as the Islamic political party AKP to power more than a decade amid secular politics is so strong. This thesis found that the secular political truce amid so large, slowly Erdogan politics can undermine Ataturk's secular politics with tricks on how to master the military which is the largest power base of the Turkish secular government. Nevertheless, Islamic versus secular struggle still continues to flare in the area of governance Turkey."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nur Rifka Kholilah
"Kudeta Militer yang terjadi di Myanmar yang dimulai sejak bulan Februari 2021, menjadi perhatian berbagai negara internasional termasuk organisasi regional Asia tenggara yaitu ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). Kudeta militer ini terjadi karena tidak terimanya pihak militer atas kemenangan NLD (National League for Democracy) pada pemilu yang diadakan pada bulan November 2020. Adanya kudeta militer membuat masyarakat Myanmar tidak terima dan menginginkan kembalinya demokrasi. Masyarakat Myanmar melakukan aksi protes yang mana pihak militer melawannya dengan tindakan koersif hingga terjadi berbagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) seperti penculikan, penembakan dan sebagainya. Pelanggaran HAM yang terjadi ini menimmbulkan banyak korban jiwa dan keadaan Myanmar yang semakin tidak kondusif sehingga menjadi sebuah krisis kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional merasa prihatin dan mengambil peran untuk membantu Myanmar mencari solusi untuk mengatasi kudeta militer dan mengembalikan Myanmar ke arah demokrasi. Dalam menganalisis peran ASEAN, penulis menggunakan konsep flexible engangement atau constructive intervention dan responsibility to protect. Penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, skripsi, artikel, berita, perjanjian atau piagam internasional dan situs – situs online. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelembagaan untuk melihat peran lembaga regional yaitu ASEAN dalam membantu Myanmar mengatasi konflik HAM pasca kudeta militer. ASEAN menjalankan perannya dengan mengutamakan keharmonisan melalui cara damai untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Hal tersebut diimplementasikan dengan melakukan berbagai pertemuan formal dan informal hingga menghasilkan lima poin konsensus sebagai rekomendasi kepada Myanmar.
The military coup that took place in Myanmar, which began in February 2021, has attracted the attention of various international countries, including the Southeast Asian regional organization, namely ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations). This military coup occurred because the military did not accept the victory of the NLD (National League for Democracy) in the elections held in November 2020. The military coup made the people of Myanmar not accept and want the return of democracy. The people of Myanmar staged a protest which the military fought with coercive measures that resulted in various human rights violations such as kidnappings, shootings and so on. The human rights violations that have occurred have caused many casualties and Myanmar's increasingly unfavorable situation has become an increasingly worrying humanitarian crisis. Therefore, ASEAN as a regional organization is concerned and takes a role to help Myanmar find a solution to overcome the military coup and return Myanmar to democracy. In analyzing the role of ASEAN, the author uses the concept of flexible engagement or constructive intervention and responsibility to protect. In this study, the authors used qualitative methods using data obtained from books, journals, theses, articles, news, international treaties or charters and online sites. The approach used in this research is institutional to see the role of regional institutions, namely ASEAN in helping Myanmar overcome human rights conflicts after the military coup. ASEAN carries out its role by prioritizing harmony through peaceful means to resolve humanitarian problems that occur in Myanmar. This was implemented by holding various formal and informal meetings to produce five consensus points as recommendations to Myanmar."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Muhammad Haikal Hamdi
"
ABSTRAKJurnal ini membahas tentang kudeta yang dilakukan militer Mesir terhadap presiden Muhammad Mursi. Mesir memiliki sejarah panjang dengan kekuasaan militer. Sejak militer mengkudeta Raja Farouq pada tahun 1952, militer tidak pernah kehilangan kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Mesir hingga akhirnya gelombang Arab Spring pada tahun 2011 mengakhiri rezim militer yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Pemilu secara demokratis diselenggarakan demi memilih presiden dengan cara yang demokratis. Maka terpilihlah Muhammad Mursi dari kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin. Mursi terpilih pada bulan Juni 2012 dengan perolehan suara 51,7 . Mursi berupaya untuk mengembalikan keadaan ekonomi dan politik Mesir yang merosot pasca revolusi 2011. Namun ternyata, ada pihak yang tidak senang dengan berkuasanya Mursi. Salah satunya adalah pihak militer. Apalagi setelah Mursi mengeluarkan dekrit yang dianggap hanya menguntungkan dirinya. Ditambah cara Mursi yang terlalu frontal ingin menghilangkan pengaruh militer di berbagai sektor. Maka terjadilah demonstrasi besar-besaran menuntut presiden Mursi untuk turun. Suasana ini dimanfaatkan oleh militer untuk berafiliasi dengan kelompok oposisi untuk melengserkan Mursi. Dalam kondisi masyarakat yang sedang gaduh, militer menuntut Mursi untuk memperbaiki keadaan dalam waktu 48 jam sejak militer memberi ultimatum. Karena dianggap gagal, akhirnya militer mengambil alih pemerintahan pada 3 Juli 2013.
ABSTRACTThis journal discusses the Egyptian military coup against the president Muhammad Mursi. Egypt has a long history of military rule. Since the military coup against King Farouq in 1952, the military has never lost the highest authority in the government until the Arab Spring wave in 2011 put an end to the military regime. The election held in order to elect a president by democratic means. Then elected Islamist Mohammed Morsi from Muslim Brotherhood. Morsi was elected in June 2012 by a vote of 51.7 . Mursi seeks to restore the economic and political situation post revolution 2011. However, there are those who are not happy with Mursi to power. One of them is the military. Especially after Mursi issued a decree that considered only benefit him. Plus Mursi wants to eliminate the influence of the military in various sectors. Then there was massive demonstrations demanding the president Morsi to step down. This atmosphere is used by the military to be affiliated with opposition groups to depose Morsi. In conditions of the people who were being rowdy, demanding military Mursi to remedy the situation within 48 hours. Because it was considered a failure, the military finally took office on July 3, 2013."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Syaeful Bahri
"
ABSTRACTThis paper focused on the political thought of Recep Tayyeb Erdogan and secular political revolution. This research is a qualitative research which focused on the dynamics of secular vs Islamic political thought in Turkey. This research showed that Erdogan with the AK Party had managed to stay in power, for more than one decade, despite the secular system that adopted by Turkey. This paper showed that Erdogan had managed to overcome the secular system that was established by Attaturk, and how he managed to overcome the military which known as the guardian of the secular system in Turkey. Even though, the dynamics between the Islamic political thought vesus the secular system in Turkey is still ongoing process."
Jakarta: Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI), 2017
300 MEIS 4:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library