Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156903 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Athira Marsya Khairina
"Gangguan tidur umum ditemukan pada pasien end-stage kidney disease (ESKD) anak yang menjalani hemodialisis. Jumlah dan kualitas tidur berperan penting dalam pertumbuhan seorang anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui persentase gangguan tidur dan hubungannya dengan usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan populasi pasien ESKD anak berusia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penilaian gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for children (SDSC) bahasa Indonesia. Pasien yang mengonsumsi obat antikejang, antihistamin, dan antiansietas selama 3 hari sebelum pengambilan data tidak diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan 88,9% dari total 27 pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM mengalami gangguan tidur dengan jenis terbanyak (59,3%) gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0,05) antara usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis dengan gangguan tidur. Sebagai kesimpulan, gangguan tidur banyak ditemukan pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM. Usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM.

Sleep disturbances are common in pediatric end-stage kidney disease (ESKD) patients undergoing hemodialysis. Sleep quantity and quality play an important role in child’s growth. This study aims to determine the percentage of sleep disturbances and their association with age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis. A cross-sectional study was conducted with a population of ESKD patients aged 4-18 years undergoing hemodialysis at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sleep disturbances were assessed using the Indonesian language sleep disturbance scale for children (SDSC) questionnaire. Patients who took anticonvulsant, antihistamine, and anti-anxiety drugs for 3 days before data collection were not included. It was found that 88.9% of the total 27 pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM experienced sleep disturbances with the most frequent type was disturbances in initiating and maintaining sleep (59,3%). Bivariate analysis showed no significant relationship (p>0.05) between age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis and sleep disturbances. In conclusion, sleep disturbances are commonly found in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM. Age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis had no significant association with sleep disturbances in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iffatul Faizah
"Anak End-Stage Kidney Disease (ESKD) dapat mengalami berbagai komplikasi yang diantaranya berupa gangguan tidur. Umum diketahui bahwa tidur memiliki peran penting dalam pertumbuhan serta perkembangan anak. Sayangnya data terkait gangguan tidur pada anak ESKD yang menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) masih sangat sedikit yang menjadi alasan mengapa penelitian ini dilakukan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui profil tidur anak ESKD yang menjalani terapi CAPD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. (RSCM). Seluruh pasien anak ESKD yang menjalani CAPD dimasukkan menjadi subjek untuk dievaluasi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah menjalani CAPD minimal selama 1 bulan. Kriteria Eksklusi adalah konsumsi obat antikejang, antihistamin, antiansietas dan obat lain yang memiliki efek kantuk selama 3 hari sebelum pengisian kuesioner Skala Gangguan Tidur untuk Anak (SDSC). Gangguan tidur diidentifikasi pada 11 dari total sampel 20 pasien. Jenis gangguan tidur terbanyak berupa gangguan memulai serta mempertahankan tidur. Uji bivariat dilakukan dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, etiologi penyakit ginjal kronis (PGK) durasi CAPD, dan status gizi dengan skor total SDSC. Kesimpulan yang dapat diambil adalah prevalensi gangguan tidur anak ESKD yang menjalani CAPD di RSCM sebesar 55% serta belum ditemukan faktor bermakna terhadap gangguan tidur pada populasi anak tersebut.

Children with End-Stage Kidney Disease (ESKD) can experience various complications, including sleep disturbances. It is commonly known that sleep has important roles in the growth and development of children. Unfortunately there is limited data regarding sleep disturbances in ESKD children undergoing continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) which is the reason why this study was conducted. The purpose of this study was to determine the sleep profile of ESKD children undergoing CAPD at Cipto Mangunkusumo Hospital. (RSCM). All ESKD pediatric patients undergoing CAPD were included as subjects. The inclusion criteria were undergoing CAPD for at least 1 month. Exclusion criteria were anticonvulsants, antihistamines, antianxiety drugs consumption or other drugs with drowsy effect for 3 days before filling out the Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) questionnaire. Sleep disturbance was identified in 11 of the total sample of 20 patients. The most common type of sleep disturbances is disturbance in initiating and maintaining sleep. Bivariate tests were carried out and found no association between age, sex, etiology of chronic kidney disease, duration of CAPD, and nutritional status with SDSC total score. Conclusion, the prevalence of sleep disorders in ESKD children undergoing CAPD at RSCM is 55% and no significant factors have been found for sleep disturbances in this population "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA.
Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel.

Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed.
Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients.
Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatina Anjela
"Latar belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) menjadi sorotan global dengan prevalens yang meningkat. Data di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalens PGTA pada kelompok usia ≥15 tahun sebesar 19,3%. Anak dengan PGTA yang menjalani dialisis, menghadapi risiko mortalitas tinggi. Kemajuan teknologi dialisis telah meningkatkan kesintasan, tetapi terdapat beberapa faktor yang memengaruhi mortalitas.
Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA pada anak yang menjalani dialisis. Dengan intervensi terhadap faktor tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kesintasan pasien anak dengan PGTA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan 3 tahun terhadap pasien anak dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM, serta faktor yang memengaruhinya. Data diperoleh melalui penelusuran rekam medis di Instalasi Rekam Medis RSCM, dengan rentang waktu rekam medis dari 1 Januari 2016 hingga 31 Oktober 2020. Populasi terjangkau adalah pasien anak usia <18 tahun dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM. Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan eksklusi terkait rekam medis yang tidak lengkap. Data dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode Kaplan-Meier untuk analisis kesintasan pasien secara keseluruhan. Analisis multivariat cox regression dilakukan untuk variabel yang memiliki nilai p < 0,250 pada uji bivariat.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 207 subjek anak dengan PGTA. Proporsi jenis kelamin terdiri dari 52,7% lelaki, dengan usia dominan ≥ 5 tahun (92,3%). Sindrom nefrotik menjadi etiologi terbanyak (29%), diikuti oleh nefritis lupus (16,4%) dan hipoplasia ginjal (15,9%). Hemodialisis menjadi modalitas dialisis inisial utama (90,8%), dengan 77,8% subjek memiliki status gizi baik. Hipertensi dijumpai pada 65,5% subjek, dan anemia pada 93,7%. Sepsis menjadi penyebab kematian utama (38%). Kesintasan tiga tahun pasien mencapai 56,5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa inisiasi dialisis pada usia <5 tahun [HR 3,26 (1,69-6,28)], etiologi glomerular [HR 2,02 (1,26-3,24)], dan gizi kurang/buruk [HR 1,59 (1,03-2,46)] berhubungan dengan risiko kematian yang signifikan.
Kesimpulan: Angka kesintasan 3 tahun pasien PGTA pada anak dengan dialisis di RSCM adalah 56,5%. Faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA anak di RSCM adalah inisiasi dialisis pada usia <5 tahun, etiologi glomerular, dan gizi kurang/buruk.

Background: End-Stage Renal Disease (ESRD) has garnered global attention with increasing prevalence. In Indonesia, ESRD prevalence in 2018 among individuals aged ≥15 years was 19.3%. Children with ESRD, particularly those undergoing dialysis, face a heightened risk of mortality. Technological advancements in dialysis have improved survival rates, yet several factors significantly influence mortality.
Objective: To identify factors that influence survival of children with ESRD undergoing dialysis. Intervention to these factors may improve the survival of children with ESRD.
Method: This study adopts a retrospective cohort design based on a 3-year survival analysis of pediatric patients with ESRD undergoing dialysis at RSCM, along with influencing factors. Data were obtained through the retrieval of medical records from the RSCM Medical Record Installation, covering the period from 1 January 2016 to 31 October 2020. The population comprised children under 18 years old with ESRD who are undergoing dialysis at RSCM. The study sample represents a subset of the accessible population meeting inclusion and exclusion criteria, with exclusions related to incomplete medical records. Descriptive analysis and Kaplan- Meier methods were employed for overall patient survival analysis. Multivariate Cox regression analysis was conducted for variables with a p-value < 0.250 in bivariate tests.
Results: The study involved 207 pediatric ESRD subjects. Gender distribution was 52.7% male, with the majority aged ≥ 5 years (92.3%). Nephrotic syndrome was the most prevalent etiology (29%), followed by lupus nephritis (16.4%) and renal hypoplasia (15,9%). Hemodialysis was the predominant initial dialysis modality (90.8%), with 77.8% of subjects having good nutritional status. Hypertension was found in 65.5% of subjects, and anemia in 93.7%. Sepsis emerged as the leading cause of death (38%). Three-year survival reached 56.5%. Analysis results indicated that initiation of dialysis at age <5 years [HR 3.26 (1.69-6.28)], glomerular etiology [HR 2.02 (1.26-3.24)], and moderate/severe malnutrition [HR 1.59 (1.03-2.46)] were associated with a significant risk of mortality.
Conclusion: Three years survival of children with ESRD undergoing dialysis at RSCM was 56.5%. Factors that influence the survival were initiation of dialysis at age <5 years, glomerular etiology, and moderate/severe malnutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Gowara
"Kelainan regio orofasial pada GGT pasien gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis. Beberapa kelaian orofasial pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis telah dilaporkan. Namun, sampai saat ini, terutama di Indonesia, data yang ada tentang hal tersebut masih sangat terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan orofasial pada pasien GGT yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah studi observasi potong lintang. Subjek penelitian dipilih berdasarkan metode consecutive sampling. Sebanyak 93 pasien yang memenuhi kriteria inklusi merupakan subjek penelitian ini. Subjek berpartisipasi dalam wawancara menggunakan kuesioner yang menanyakan tentang adanya keluhan subjektif, pemeriksaan klinis dan pengukuran saliva.
Hasil: Serostomia (82,8%), dysgeusia (66,7%), rasa metal (57%), rasa baal perioral (24,7%) merupakan gejala yang sering ditemukan. Temuan klinis meliputi tongue coating (100%), deposit kalkulus (97,8%), mukosa mulut yang pucat (94,6%), sialosis (75,3%), bau uremik (40,9%), bercak hemoragik (39,8%), angular keilitis (37,7%), perdarahan gingival (15,1%), dan kandidiasis oral (3,2%). Perubahan saliva terkait peningkatan viskositas (86%), pH (80,6%), kapasitas dapar (76,3%). Selanjutnya terjadi pengurangan tingkat hidrasi mukosa (79,6%) dan laju alir saliva tanpa stimulasi (22,6%) dan dengan stimulasi (31,2%).
Simpulan: Temuan kelaianan orofasial pada penelitian ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang menyeluruh untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal terminal GGT.

Several orofacial disorders in patients with end stage renal disease (ESRD) undergoing hemodialysis have been reported. However, up to the present, particularly in Indonesia, such data still limited.
Objective: the purpose of this study was to assess the orofacial disorders in patients with ESDR undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: The study was conducted through observation using a cross-sectional design. The subjects were selected by consecutive sampling. Ninety-three patients fulfilled the inclusion criteria and enrolled in this study. They participated in the structural interview-using questionnaire assessing subjective complaints; clinical examinations; and salivary measurements.
Results: Xerostomia (82.8%) dysgeusia (66.7%), metal taste (57%), perioral anesthesia (24.7%) were the common symptoms. Clinical findings consisted of tongue coating (100%), calculus deposits (97.8%), pallor of oral mucous (94.6%), sialosis (75.3%), uremic odor (40,9%), haemorrhagic spot (39.8%), angular cheilitis (37.7%), gingival bleeding (15.1%), and oral candidiasis (3.2%) were also found. Salivary changes showed the increase of salivary viscosity (86%), pH (80.6%), buffer capacity (76.3%) whereas decrease of mucous hydration level (79.6%) and the flow rates of unstimulated (22.6%) and stimulated (31.2%) whole saliva were observed.
Conclusion:
The findings of orofacial disorders required attention and further comprehensive management to enhance the quality of life of patients with ESDR.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Deswita
"ABSTRAK

Abstrak Latar belakang: Insomnia umum ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Insomnia berdampak negatif pada aspek fisiologis, fisik, psikologis dan sosial, bahkan menjadi ancaman kematian bagi pasien. Faktor biologis, psikologis dan gaya hidup serta dialisis diduga menjadi penyebab insomnia pada populasi ini. Metode: Menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional, sampel 105 responden, melalui consecutive sampling technique. Insomnia dievaluasi dengan menggunakan The Minimal Insomnia Symptom Scale (MISS). Hasil: Insomnia dialami oleh 54 responden (51,4%), insomnia berhubungan signifikan dengan kram otot (p value=0,047), nyeri, (p value=0,034), stress (p value=0,005), sleep hygiene (p value = 0,018), dan strategi koping (p value = 0,015). Strategi koping merupakan faktor yang dominan berhubungan dengan insomnia (p value= 0,015; OR: 2,9), kesemua faktor tersebut 97% berpeluang mempengaruhi insomnia. Rekomendasi: diperlukannya penelitian lanjutan mengenai intervensi yang dapat meningkatkan strategi koping untuk menurunkan angka insomnia pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialsis. Kata kunci: hemodialisis, gagal ginjal terminal, insomnia, strategi koping.


ABSTRACT


Abstract Background: Insomnia is commonly occur in end stage kidney disease patients who undergoing hemodialysis. Insomnia has negative impacts on physiological, physical, social, psychological aspects and furthermore, cause death threats in those patients. There are various factors are related to insomnia in this population, which are biological, psychological and lifestyle, dialysis. Method:This study used a Cross Sectional design, recruited 105 patients, selected by consecutive sampling technique. Insomnia was evaluated by using The Minimal Insomnia Symptom Scale (MISS). Results: Insomnia was experienced by 54 respondents (51.4%) and had significant associated with muscle cramps (p value=0.047), pain (p value=0.034), stress (p value=0.005), sleep hygiene (p value=0.018), and coping strategies (p value=0.015). Coping strategies was the dominant factor associated with insomnia (p value= 0,015; OR: 2.9), all these factors have 97% the chance to determine insomnia. Recommendation: further research needs to focus on interventions which may improve coping strategies to reduce insomnia incidence in end stage kidney diseases patients who undergoing hemodialsis. Keyword:hemodialysis, end stage kidney disease, insomnia, coping strategy

"
2019
T52123
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Rahmi Dian Reswara
"End-stage kidney disease (ESKD) pada anak berdampak tidak terbatas pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga perubahan emosi dan perilaku. Namun, kondisi ini seringkali diabaikan. Di Indonesia, data mengenai gangguan emosi dan perilaku khususnya pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis (HD) jumlahnya pun terbatas. Studi potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, jenis gangguan, dan asosiasi faktor-faktor yang berhubungan terhadap gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD. Total 28 pasien ESKD anak di RSCM usia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis minimal 1 bulan diikutkan dalam penelitian. Skrining gangguan emosi dan perilaku diukur menggunakan PSC-17. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square/Fisher. Studi ini menemukan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD di RSCM sebesar 32%, dengan persentase abnormal tertinggi pada subskala internalisasi (21,4%). Variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) terhadap gangguan emosi dan perilaku.

Children with end-stage kidney disease (ESKD) have behavioral and emotional difficulties in addition to physical health problems. But this condition is frequently disregarded. Data on emotional and behavioral issues among pediatric ESKD patients in Indonesia, especially those receiving hemodialysis (HD), is still scarce. The purpose of this cross-sectional study is to identify the prevalence, type, and correlation of variables associated with emotional and behavioral issues in pediatric hemodialysis patients. There were a total of 28 pediatric ESKD patients at RSCM, ages 4 to 18, who received hemodialysis treatment for at least one month included in this study. The children were screened for emotional and behavioral problems using PSC-17 questionnaire. Bivariate analysis was measured using Chi-Square/ Fisher test. This study discovered the prevalence of behavioral and emotional issues in children with ESKD receiving HD in RSCM is 32%, high proportion found in internalization subscale (21.4%). The risk of emotional and behavioral issues was shown to be significantly correlated with gender (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malina Luthfiana
"Latar Belakang: Kelebihan volume cairan pasien hemodialisis akan berakibat pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Self-efficacy penting dalam peningkatan perilaku kesehatan yang tercermin dari kepercayaan pasien akan kemampuannya dalam membatasi asupan cairan. Tujuan: Penelitian ini mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan self-efficacy pembatasan cairan pasien hemodialisis.
Metode: Pendekatan cross sectional digunakan untuk mengidentifikasi hubungan usia, jenis kelamin, lama hemodialisis, pengetahuan, kualitas hidup, dukungan sosial, dan IDWG dengan self-efficacy pembatasan cairan. Responden adalah 100 pasien hemodialisis yang diambil dengan teknik simple-random sampling.
Hasil: Analisis korelasi Pearson menunjukkan faktor yang berhubungan dengan self-efficacy pembatasan cairan adalah usia (p<0,001), pengetahuan (p=0,015), kualitas hidup (p<0,001), dukungan sosial (p<0,001), dan IDWG (p<0,001). Analisis regresi linier menunjukkan usia kualitas hidup, dan dukungan sosial adalah faktor dominan (r2=0,7) dengan kualitas hidup merupakan faktor paling dominan (r=0,543).
Rekomendasi: Untuk meningkatkan self-efficacy pasien, perawat perlu meningkatkan pengkajian terhadap kualitas hidup dan dukungan sosial untuk pasien hemodialisis.

Background: Fluid overload in hemodialysis patients will increase patients morbidity and mortality. Self-efficacy is important for improving health behavior which reflects patients believe about their capability to restrict fluid intake.
Objective: This study identified factors related hemodialysis patients self-efficacy to restrct fluid intake. Method: Cross sectional approach was used to identify the relationship of age, sex, duration of hemodialysis, knowledge, quality of life, social support, and IDWG with self-efficacy of fluid restriction. Respondents were 100 hemodialysis patients who were taken using simple random sampling technique.
Results: Pearson correlation showed that factors related to self-efficacy of fluid restriction were age (p<0,001), knowledge (p=0,015), quality of life (p<0,001), social support (p<0,001), and IDWG (p<0,001). Linear regression analysis showed that age, quality of life, and social support were dominant factor (r2=0,7). Quality of life was the most dominant factor (r=0,543).
Recommendation: To improve patients self-efficacy, nurses need assessment the quality of life of hemodialysis patients and social support for hemodialysis patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T51775
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Johanes Charles Tangel
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik pada anak memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pemasangan catheter double lumen (CDL) untuk hemodialisis. Studi tentang faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bertujuan mengevaluasi hubungan antara parameter laboratorium, seperti kadar platelet dan albumin serum, dengan disfungsi kateter. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik.

Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.

Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.

Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.


Background: Chronic kidney disease in children requires special attention, particularly in the placement of double-lumen catheters (DLC) for hemodialysis. A study on the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease undergoing hemodialysis aimed to evaluate the relationship between laboratory parameters, such as platelet levels and serum albumin, and catheter dysfunction. This research is expected to enhance understanding of the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease.

Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.

Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>