Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darren Alfonsus Wanri
"Latar belakang: Tingginya stres oksidatif yang tidak diimbangi oleh antioksidan yang cukup untuk menangkal radikal bebas akan menyebabkan terjadinya aging. Tubuh manusia memiliki antioksidan endogen seperti GSH untuk memperlambat proses aging, namun apabila tidak mencukupi, dibutuhkan suplementasi antioksidan eksogen seperti CA. CA memiliki kandungan seperti flavonoid dan triterpenoid yang mampu meningkatkan antioksidan tubuh, seperti GSH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh CA terhadap kadar GSH otak tikus Rattus norvegicus pada usia 12, 24, dan 36 minggu.
Metode:  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sampel berupa jaringan biologis tersimpan dari enam kelompok tikus perlakuan, yaitu kelompok tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak CA dengan dosis 300 mg/kg BB selama 30 kali pemberian pada usia 12, 24, dan 36 minggu.
Hasil: Kadar GSH otak pada kelompok tikus yang diberi CA menurun bermakna dibandingkan dengan kelompok tikus kontrolnya pada usia 12 minggu (p=0.002) dan usia 36 minggu (p=0.019). Pada kelompok tikus usia 24 minggu, kadar GSH otak pada tikus yang diberi CA meningkat bermakna (p=0.000) dibandingkan kelompok tikus kontrolnya. Pada kelompok tikus kontrol, tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0.126) antar ketiga kelompok usia, sedangkan pada kelompok tikus yang diberi CA, terdapat perbedaan bermakna (p=0.01) antar ketiga kelompok usia.
Kesimpulan: Pemberian ekstrak CA dapat menyebabkan perbedaan bermakna kadar GSH otak tikus Rattus norvegicus usia 12, 24, dan 36 minggu dibandingkan dengan otak tikus kontrol.

Introduction: The increase in oxidative stress that is not balanced with sufficient antioxidants to reduce free radicals will cause aging. The human body benefits from endogenous antioxidants like GSH to slow down its aging process. If the amount is inadequate, supplementation of exogenous antioxidants like CA is necessary. CA contains flavonoids and triterpenoids which are able to increase body antioxidants, such as GSH. This research aims to discover the effects of CA on GSH levels in the brain of 12, 24, and 36 week old Rattus norvegicus.
Method: This research was experimentally conducted with samples consisting of stored biological tissue from groups of rats divided into the control groups and the groups that were given CA extract at a dose of 300 mg/kg BW for 30 times on 12, 24, and 36 week old rats.
Result: The brain GSH levels of rats groups that were supplied with CA decreased significantly compared to their control groups on 12-week-old rats (p=0.002) and 36-week-old rats (p=0.019). The brain GSH levels of the 24-week-old rats increased significantly (p=0.000) compared to their control group. There was no significant differences (p=0.126) between the three age control groups, whereas, on groups that were supplied with CA, they significantly differed (p=0.01).
Conclusion : Suppliance of the CA extract causes significant difference on GSH levels in the brain of 12, 24, and 36 week old Rattus norvegicus compared to the control groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Asmaradhana Sahara
"Biaya penanganan penyakit neurodegeneratif sangat tinggi. Penyebab penyakit ini adalah penuaan yang dikaitkan dengan stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan protein yang menghasilkan karbonil. Centella asiatica (CA) berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kejadian stres oksidatif, termasuk di otak. Penelitian eksperimental ini menggunakan 36 ekor tikus Rattus norvegicus yang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan CA usia 12, 24, serta 36 minggu. Kelompok perlakuan CA diberi ekstrak CA 300 mg/kgBB selama 30 hari. Kadar karbonil diukur menggunakan uji spektrofotometer. Kadar karbonil otak tikus 36 minggu lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus 12 minggu (p=0,004) dan 24 minggu (p=0,016). Kadar karbonil otak tikus 24 minggu yang diberi ekstrak CA lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus kontrol 24 minggu (p=0,026). Kadar karbonil otak tikus 12 dan 36 minggu yang diberi ekstrak CA tidak berbeda bermakna dibandingkan tikus kontrol 12 minggu (p=0,956) dan 36 minggu (p=0,602). Kadar karbonil otak tikus dipengaruhi oleh usia tikus, lebih tinggi secara bermakna pada kelompok usia 36 minggu dibandingkan dengan kelompok usia 12 dan 24 minggu. Ekstrak CA 300 mg/kgBB menyebabkan peningkatan kadar karbonil pada otak tikus usia 24 minggu, namun tidak pada usia 12 dan 36 minggu.

The cost of treating neurodegenerative diseases is very high. The cause of this disease is aging caused by oxidative stress. Oxidative stress causes the breakdown of proteins that produce carbonyls. Centella asiatica (CA) may be an antioxidant that can reduce oxidative stress, including in the brain. This experimental study used 36 Rattus norvegicus rats which were divided into six groups, namely the control group and the CA treatment group aged 12, 24, and 36 weeks. The brain carbonyl levels of 36 weeks rats were higher than those of 12 weeks (p=0.004) and 24 weeks (p=0.016) rats. Brain carbonyl levels of 24 weeks rats that were given CA extract were higher than those of 24 weeks control rats (p=0.026). Brain carbonyl levels of rats 12 and 36 weeks given CA extract were not significantly different from control rats at 12 weeks (p=0.956) and 36 weeks (p=0.602). Brain carbonyl levels were affected by the age of the rats, significantly higher in the 36 weeks age compared to the 12 and 24 weeks age. CA extract 300 mg/kgBW caused an increase in carbonyl levels in the brains of rats aged 24 weeks, but not at the age of 12 and 36 weeks."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Somalinggi, Chelsea Gracia
"Latar belakang: Dewasa ini manusia hidup lebih lama, diperkirakan bahwa 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih pada tahun 2030. Proses penuaan dihubungkan dengan akumulasi radikal bebas yang diproduksi pada proses metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada sel dan penurunan antioksidan. Kerusakan oksidatif ditandai salah satunya dengan peningkatan molekul berupa Malondialdehyde (MDA) sebagai penanda peroksidasi lipid. Penggunaan antioksidan bersifat krusial untuk menangkal kerusakan oksidatif dan mencegah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Centella asiatica adalah salah satu tanaman herbal yang memiliki potensi antioksidan. Tujuan: Studi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan Centella asiatica (CA) dalam menangkal stres oksidatif dengan mengukur kadar MDA pada jaringan otak tikus Rattus norvegicus usia 12, 24, dan 36 minggu. Metode: Studi eksperimental menggunakan sediaan homogenat otak dari tikus Rattus novergicus usia 12, 24, dan 36 minggu yang tidak diberi dan diberi ekstrak CA dengan dosis 300 mg/kgBB selama 30 hari. Pengukuran kadar MDA pada masing-masing kelompok dilakukan dengan menggunakan metode Will’s dan dikelola menggunakan SPSS. Hasil: Didapatkan penurunan kadar MDA otak bermakna pada kelompok tikus 12 minggu yang diberikan CA dibandingkan dengan kelompok tikus yang tidak diberi. Peningkatan kadar MDA otak yang bermakna didapatkan pada kelompok tikus usia 24 minggu yang diberikan CA dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi. a. Kesimpulan: Pemberian Centella asiatica 300 mg/kgBB selama 30 hari mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 12 minggu, namun tidak mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 24 dan 36 minggu.

Introduction: Nowadays, human live longer. It is estimated that by 2030, 1 in 6 people will be 60 years and older. The aging process is linked with accumulation of free radicals produced in the process of aerobic metabolism and cause damage to cell dan decline of antioxidant levels. Oxidative damage can be measured by the increase in MDA, a marker of lipid peroxidation. Antioxidant is crucial to combat oxidative damage and prevent diseases caused by aging. Centella asiatica is an herb plant known for its antioxidant potential. Objective: To assess the ability of Centella asiatica to combat oxidative stress which is measured by the brain Malondialdehyde levels of rats aged 12, 24, and 36 weeks Methods: Brain homogenate of Rattus norvegicus rats divided into 6 groups with 3 different age groups, 3 group were given Centella asiatica extract and 3 group were not. MDA levels was measured using Wills method and the data was analyzed using SPSS . Result: There was significant decrease in brain MDA levels in rats aged 12 weeks given CA compared with the group that was not. There was significant increase in brain MDA levels in rats aged 24 weeks given CA compared with the group that was not. There was no difference in brain MDA levels between 36 weeks old rats. Pemberian Centella asiatica 300 mg/kgBB selama 30 hari mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 12 minggu, namun tidak mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 24 dan 36 minggu. Conclusion:Administration of CA 300 mg/kg for 30 days can combat oxidative stress in rats aged 12 weeks, but was not able to do the same with rats aged 24 and 36 weeks."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ermawati
"Tujuan penelitian ini adalah membuat sediaan gel transfersom glutation yang berkhasiat sebagai antioksidan dan menguji daya penetrasi kemudian membandingkannya dengan gel glutation yang tanpa dibuat transfersom. Formulasi transfersom dibuat 3 formula yang berbeda pada konsentrasi glutation (0,25;0,5;1g/50ml). Metode pembuatan trasnfersome menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Suspensi transfersom kemudian dimasukkan ke dalam sediaan gel dan diuji daya penetrasi menggunakan sel difusi Franz. Suspensi transfersom formula ke- 3 dengan ukuran partikel 145,61 nm; polidispersity indeks 0,212 dan efisiensi jerapan 73,76%±0,85 dipilih untuk dibuat sediaan gel. IC50 serbuk glutation sebesar 72,29±0,57 ppm. Jumlah kumulatif glutation terpenetrasi dalam gel transfersom lebih besar yaitu 4718,1566±887,344μgcm-2 sedangkan gel glutation tanpa transfersom sebesar 2177,6410±152,64μgcm-2. Fluks pada gel transfersom juga lebih besar yaitu 567,4380±112,52μgcm-2jam-1sedangkan gel glutation tanpa dibuat transfersom sebesar dan 256,9135±68,74. μgcm-2jam-1. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa gel transfersom glutation dapat berpenetrasi melalui kulit secara in vitro lebih baik dibandingkan dengan gel glutation tanpa dibuat transfersom.

The aim of this study was to formulate glutathione transfersome gel which have antioxidant activity and evaluate its in vitro penetration compared to glutathione nontransfersome gel. Three transfersomes formulations which differ glutathione concentration (0.25;0.5;1g/50 ml) were made using thin layer hidration method. Antioxidant testing using DPPH method and penetration testing using Franz Difussion Cell.The third formulation was choosen to be loaded into gel because the characteristics were the best: vesicle size was 145.61 nm ; polydispersity index was 0.212 and entrappment efficiency was 73.76%±0.85. It was found that IC50 Glutathione powder is 72.29±0.57 ppm. The cumulative amount permeated of glutathione transfersome gel was bigger (4718.1566 ± 887.344μgcm-2) than nontransfersome gel (2177.6410 ± 152.64μgcm-2). Transfersome gel flux (567.4380 ± 112.52μgcm-2h-1) was bigger compared to non transfersome gel (256.9135 ± 68.74. μgcm-2h-1). The conclusion is glutathione transfersomes gel has better penetration than glutathione nontransfersome gel.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
T42878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estiana Filzadiyanti
"Menurut The Free Radicals Theory of Aging akumulasi radikal bebas salah satu faktor penyebab penuaan yang dapat merusak sel-sel tubuh. Tubuh memiliki sistem antioksidan untuk menjaga homeostasis dan melindungi dari stres oksidatif. Namun, antioksidan endogen yang bekerja dianggap belum sepenuhnya dapat menangani masalah tersebut, sehingga diperlukan suplementasi antioksidan eksogen yang memanfaatkan sumber tanaman herbal di Indonesa. Tanaman Acalypha indica (AI) dan Centella asiatica (CA) diketahui memiliki berbagai kandungan senyawa, salah satunya adalah flavonoid. Pada berbagai penelitian, flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang diketahui dapat membantu melindungi tubuh dari stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak AI dan CA terhadap kadar antioksidan Glutation (GSH) otak tikus Sprague Dawley tua. Studi eksperimental in vivo menggunakan otak tikus dari lima kelompok percobaan, yaitu tikus kontrol tua, tikus yang diberi AI (250 mg/kgBB), tikus yang diberi CA (300mg/kgBB), tikus yang diberi vitamin E (15 UI/kgBB), dan tikus kontrol muda. Pengukuran kadar GSH menggunakan metode Ellman. Kadar GSH otak pada kelompok tikus yang diberi AI lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan tikus yang diberi CA (p= 0,001), Vitamin E (p=,006), dan tikus kontrol muda (p= 0,003). Kadar GSH pada kelompok tikus kontrol tua lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan tikus yang diberi CA, Vitamin E, dan tikus kontrol muda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua tanaman memiliki kadar antioksidan dan berpotensi sebagai suplemen bagi tubuh.

According to The Free Radical Theory of Aging, accumulation of free radicals lead to aging which can damage body cells. Our body has antioxidant system to maintain homeostasis and protect from oxidative stress. However, the endogenous antioxidant cant fully solve the problem, thus our body needs exogenous antioxidant supplement that can utilize from herbal plants in Indonesia. Acalypha indica (AI) and Centella asiatica (CA) is a plant known having several chemical compounds which one of them is flavonoid. In many studies, flavonoid has antioxidant activity that can help protect body from oxidative stress. This study has objective to discover the effect of AI and CAs extract to antioxidant GSH (glutathione) level in old Sprague Dawley rats brains.This study was conducted as in vivo experimental research using rats brains from 5 experimental groups, which are old control rats, rats that were given AI (250 mg/kgBW), rats that were given CA (300 mg/kgBW), rats that were given vitamin E (15 UI/kgBW), and young control rats. Measurement of GSH lever was done by using Ellman method. GSH level in group of rats that were given AI was significantly higher compared to brain GSH level in group of rats that were given CA (p=0.001), vitamin E (p=0.006), and young control rats (p=0.003). GSH level in old control rats group was significantly higher compared to group of rats that were given CA, vitamin E, and young control rats. This result show that both plants have antioxidant activity and potentially used as supplementation for body."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulita
"Menopause mengakibatkan defisiensi estrogen yang menyebabkan terjadinya osteoporosis. Daun pegagan mengandung fitoestrogen yang bisa menggantikan kerja estrogen di dalam tubuh untuk mencegah osteoporosis. Untuk menganalisis pengaruh larutan esktrak daun pegagan terhadap kadar kalsium dan fosfat pada tulang, dilakukan aplikasi ekstrak pegagan pada tikus ovariektomi dengan dosis 60mg/kgBB, 120mg/kgBB, dan 180mg/kgBB selama 30 hari. Pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat tulang dilakukan melalui teknik destruksi basah dan pengukuran menggunakan spektrofotometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan esktrak daun pegagan tidak dapat mempertahankan kadar kalsium dan fosfat tulang pada tikus ovariektomi.

Menopause causes estrogen deficiency, which leads to osteoporosis. Centella asiatica L. contains phytoestrogen that could act as estrogen in the body to prevent osteoporosis. In order to analize effect of Centella asiatica L. leaves extract to bone calcium and phosphate level, the extract was administered to the ovariectomized rats with dose of 60mg/kgBW, 120mg/kgBW, and 180mg, kgBW for 30 days. The bone calcium and phosphate level were acquired by wet ashing technique and spectrophotometer measurement. The result showed Centella asiatica L. leaves extract is not able to maintain bone calcium and phosphate level of ovariectomized rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valdi Ven Japranata
"ABSTRACT
Pendahuluan: Penuaan adalah penurunan integritas struktur dan fungsi organisme yang bersifat progresif dan tidak dapat kembali. Pada manusia, hal ini berdampak pada penurunan kognisi dan kekuatan otot, serta peningkatan kerentanan terhadap penyakit degeneratif. Kecepatan penuaan individu berkaitan dengan derajat stres oksidatif yang ditentukan oleh keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Ekstrak etanol Centella asiatica (CA) diketahui berefek antioksidan dan antiinflamasi sehingga berpotensi sebagai agen antipenuaan untuk individu tua. Metode: Tikus Sprague-Dawley (SD) tua dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kontrol negatif (n = 6), kontrol positif (vitamin E 6 IU, n = 7), dan perlakuan (ekstrak etanol CA 300 mg/kg berat badan, n = 8). Sebagai pembanding, terdapat satu kelompok tambahan yang terdiri atas tikus SD muda (n = 6). Kognisi tikus SD sebelum perlakuan ditentukan menggunakan labirin Y. Perlakuan kemudian diberikan selama 28 hari dan kognisi tikus dinilai setiap minggunya. Pada hari ke-29, kekuatan otot tikus diukur dengan uji genggaman dan tikus diterminasi untuk diukur kadar interleukin-6 (IL-6) darah dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil: Peningkatan kekuatan otot (p = 0,014) dan penurunan kadar IL-6 darah (p = 0,001) yang signifikan ditemukan pada kelompok perlakuan dengan CA dibandingkan kontrol negatif, namun tidak ditemukan perbedaan signifikan secara statistik pada kognisi baik antarkelompok setiap minggu maupun antarminggu setiap kelompok (p > 0,05). Kesimpulan: Pemberian ekstrak etanol CA menurunkan kadar IL-6 darah dan meningkatkan kekuatan otot pada tikus SD tua, namun tidak berefek terhadap kognisi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari efek CA sebagai agen antipenuaan.

ABSTRACT
Introduction: Aging is progressive and irreversible declines in structural integrity and function of organisms. In human, it leads to cognition and muscle strength impairment, also increased vulnerability to degenerative disorders. Individual aging rate is influenced by degree of oxidative stress, determined by equilibrium between free radicals and antioxidants. Centella asiatica (CA) ethanolic extract has antioxidant and anti-inflammatory effects so it potentially acts as antiaging agent for aged individuals. Methods: Aged Sprague-Dawley (SD) rats were divided into three groups: negative control (n = 6), positive control (vitamin E 6 IU, n = 7), and treatment (CA ethanolic extract 300 mg/kg body weight, n = 8). There is an additional group of young SD rats for comparison (n = 6). Their cognition was measured with Y-maze prior treatment. The treatment was given for 28 days and the cognition level was measured each week. At day 29, their muscle strength was measured with grip test and the rats were terminated to determine their blood interleukin-6 (IL-6) level with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Results: Significant muscle strength improvement (p = 0,014) and blood IL-6 level reduction (p = 0,001) were found in group receiving CA treatment compared with negative control, but differences in cognition were not significant, both among groups each week and among weeks each group (p > 0,05). Conclusions: CA ethanolic extract treatment reduces blood IL-6 level and improves muscle strength in aged SD rats, but exerts no effect to cognition. Further studies are required to investigate CA effect as antiaging agent."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anshorulloh Abd Fath
"ABSTRAK
80 persen infertilitas pria berhubungan dengan gangguan motilitas pada sperma, atau yang disebut juga asthenozoospermia. Stres oksidatif, dan kurangnya pertahanan terhadap keadaan tersebut, dapat menjadi faktor hilangnya motilitas pada sperma. Glutation adalah antioksidan yang penting dalam pertahanan terhadap stres oksidatif di tubuh manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara konsentrasi glutation pada seminal plasma dengan kejadian asthenozoospermia. Pada penelitian case-control ini, seminal plasma dari pria dengan parameter sperma normal n=20 dan pasien dengan asthenozoospermia dikumpulkan. Dengan metoda spektrofotometris oleh Ellman, konsentrasi glutation pada sampel-sampel tersebut diukur, dan hasilnya dianalisis secara statistik menggunakan independent t-test. Rerata konsentrasi glutation pada seminal plasma pria dengan normozoospermia adalah 6.03 ?M 2.44, sementara pada pria dengan asthenozoospermia adalah 7.70 ?M 2.96. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua nilai tersebut p=0.081 . Dapat diambil kesimpulan bahwa rerata konsentrasi glutation di seminal plasma dengan pria dengan normozoospermia dan asthenozoospermia tidak berbeda secara signifikan

ABSTRACT
Eighty percent of male infertility is associated with asthenozoospermia, a term coined for a disturbance in sperm motility. Oxidative stress, and the lack of protection against it, is associated with loss of motility in human spermatozoa. Glutathione is a key antioxidant in the defense against oxidative stress in the body. The present study aims to identify the relationship between seminal plasma glutathione concentration and asthenozoospermia. In this case control study, the seminal plasma of males with normal semen parameters n 20 and asthenozoospermic patients n 14 was collected. Using Ellman rsquo s spectrophotometric method, the concentration of glutathione in the samples was measured, and the results were analyzed statistically using independent t test. The mean seminal plasma glutathione levels in normozoospermic and asthenozoospermic males were 6.03 M 2.44 and 7.70 M 2.96, respectively. There was no significant difference between the two values p 0.081 . In conclusion, there was no significant difference in seminal plasma glutathione concentration between normozoospermic and asthenozoospermic males. "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanissa
"Defisiensi estrogen pada wanita post-menopausal berakibat pada menurunnya massa tulang seperti yang terlihat pada penderita osteoporosis. Oleh karena itu, diperlukan bahan pengganti estrogen sebagai terapi osteoporosis post-menopausal. Melalui penelitian ini diteliti efektifitas pegagan sebagai bahan pengganti estrogen. Terapi dengan pegagan berbagai konsentrasi pada tikus yang telah diovariektomi menunjukkan hasil peningkatan jumlah osteosit, diikuti dengan penurunan jumlah osteoklas namun tidak ada peningkatan jumlah osteoblas yang bermakna.

Estrogen deficiency in post-menopausal women results in reduced bone quality as seen in osteoporotic patients. Thus, an alternative estrogen source is needed as post-menopausal osteoporosis therapy. In this research, the efectivity of Centella as phytoestrogens is examined. Therapy with Centella in different concentrations in ovariectomized rats shows increased number of osteocytes, followed by decreased number of osteoclasts but no significant increase of osteoblasts.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S568895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Francesca Chandra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Glutation tereduksi (GSH) adalah antioksidan endogen nonenzimatik utama di paru dan saluran pernapasan. GSH mengoksidasi spesi oksigen reaktif (ROS) untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidatif, sehingga GSH menjadi salah satu parameter pengukuran derajat stres oksidatif. Hipoksia sistemik kontinu telah diketahui menyebabkan pembentukan ROS dan kerusakan oksidatif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu paparan hipoksia sistemik kontinu terhadap pembentukan ROS di jaringan paru, yang direpresentasikan melalui kadar GSH. Metode: Sampel paru didapat dari tikus Sprague-Dawley jantan berusia 6-8 minggu dengan berat badan 150-200 g, yang telah terpapar kondisi normoxia (kontrol) atau hipoksia sistemik kontinuselama hari. Kemudian, kadar GSH diukur dari ekstrak jaringan paru. Hasil: Data analisis dengan ANOVA mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara kadar GSH paru terhadap perbedaan waktu pemaparan hipoksia sistemik kontinu Perbandingan post hoc LSD memperlihatkan bahwa dibutuhkan pemaparan hipoksia setidaknya 5 hari untuk menimbulkan efek, ditunjukkan dengan adanya penurunan bermakna kadar GSH pada kelompok hipoksia 5 hari dan 7 hari Namun, paparan hipoksia selama kurang dari atau sama dengan 3 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar GSH. Kemudian, uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik yang sangat kuat antara waktu pemaparan hipoksia terhadap kadar GSH paru Kesimpulan: Waktu pemaparan hipoksia sistemik kontinu mempengaruhi kadar GSH paru secara berbanding terbalik, di mana kadar GSH paru semakin menurun seiring dengan semakin bertambahnya waktu paparan hipoksia

ABSTRACT
Background: Reduced-glutathione (GSH) is a major endogenous nonenzymatic antioxidant in the lung and airway system. GSH oxidizes reactive oxygen species (ROS) to prevent oxidative damage. Hence, GSH is considered one of the parameters for measuring the degree of ROS-induced oxidative stress. Continuous systemic hypoxia has been known to cause ROS formation and oxidative damage. Consequently, this research attempted to see the effect of exposure time to continuous systemic hypoxia to ROS formation in the lung as reflected by GSH level. Methods: Lung samples were collected from 6-8 weeks old male Sprague-Dawley rats weighing 150-200g, previously exposed to normoxic environment (control) or continuous systemic hypoxia (days. Afterwards, GSH level was measured from lung extracts. Results: Data analysis using ANOVA indicated a significant difference in lung GSH level upon different exposure times to continuous systemic hypoxia Post hoc LSD comparisons revealed that hypoxic exposure should be of at least 5 days to yield an effect, as shown by significantly reduced GSH level in hypoxic groups of 5 days . Meanwhile, hypoxic exposure for 3 days or less did not significantly affect GSH level. Further Pearsons correlation analysis demonstrated a very strong negative relationship between hypoxic exposure times and lung GSH level Conclusion: The exposure times to continuous systemic hypoxia were inversely proportional to lung GSH level, in which lung GSH level decreased as the exposure time was increased.
"
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>