Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143066 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erik Tapan
Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2004
616 ERI f (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarmo Sunaryo Poorwo Soedarmo
Jakarta : Universitas Indonesia , 1988
618.929 SUM d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Shabira Anjani
"Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyrakat dan perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya. Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan salah satu bentuk pelayanan kefarmasian di puskesmas. Contoh kegiatan PIO yaitu dengan membuat media edukasi dalam bentuk video, leaflet, atau poster. Salah satu informasi yang dapat disampikan adalah mengenai terapi non farmakologi. Terapi non faramakolgi adalah terapi yang bertujuan untuk mencegah, mengobat, atau mengatasi masalah kesehatan tanpa melibatkan penggunaan obat. Penyakit yang memiliki tingkat prevelensi tinggi di puskesmas antara lain demam, flu, batuk dan diare. Oleh karena itu, tugas khusus ini bertujuan untuk memberikan informasi pada pasien di Puskesmas Kecamatan Ciracas mengenai terapi non-farmakologi untuk demam, flu, batuk dan diare pada anak. Metode pelaksanaan yang digunakan dalam pemberian informasi obat yaitu dengan media edukasi video yang akan diputar di ruang tunggu Puskesmas Kecamatan Ciracas. Video berdurasi 1-2 menit dan dilengkapi dengan animasi yang menarik serta informasi yang singkat, jelas, dan mudah dipahami. Terapi Non farmakologi demam dapat dilakukan dengan mengkompres dengan air hangat, memperbanyak asupan cairan, dan istirhat yang cukup. Untuk penanganan batuk dan flu dengan menghindari pemicu dan menkonsumsi air atau racikan hangat. Terapi non-farmakologi diare dengan memperbanyak minum untuk mencegah dehidrasi, mengkonsumi oralit, memilih makanan yang tepat, dan menjaga kebersihan. Saat berkonsultasi obat dengan apoteker tanyak 5-O obat sebagai bentuk dari GeMa CerMat (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat). Apabila kondisi tidak membaik maka dapat berobat ke fasiliat kesehatan terdekat.

Puskesmas is a first level health care facility that prioritize in promotional and preventive care for the community and individuals in their area. An example of pharmaceutical service in Puskesmas is providing drug information. The information that are given can be in the form of media such as videos, posters, or leaflets. An example information that may be given to the patients are about non-pharmacological therapies. Non-pharmacological therapy is a therapy that aimed at preventing, treating, or addressing health problems without involving the use of medicines. Usually the diseases that may be treated with non-pharmacological approach are those that are light and uncomplicated, such as cold, flu, cough, and diarrhea. Therefore, this paper aims is to provide information to patients in Puskesmas Ciracas on non-pharmacological therapy for fever, flu, cough and diarrhea in children. The implementation method is by creating an educational video that will be played in the waiting room of Puskesmas Ciracas. The duration of the video is 1-2 minutes long and contains exciting animations as well as brief, clear and easy-to-understand information. Non-pharmacological therapy of fever can be done with warm water compress, increase fluid intake, and sufficient rest. Treating cough and flu can be done by avoiding triggers and consuming warm water. Non-pharmacological approach of treating diarrhea by drinking enough fluid to prevent dehydration, consuming oralit, choosing the right food, maintain hygiene. When consulting drug with a pharmacist, make sure to ask The 5-O as a form of GeMa CerMat. If child condition does not improve, are advised to seek medical hel at the nearest facility."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Dwiyandari
"Infeksi baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau penyebab infeksi dan keadaan non-infeksi lainnya dapat menimbulkan respon inflamasi sistemik tubuh. Respon inflamasi sistemik ini merupakan akibat dari kerusakan endotelial yang luas yang dapat mengakibatkan aktivasi sistem koagulasi baik secara langsung maupun akibat dilepaskannya mediator-mediator inflamasi.
Endotel normal adalah dalam keadaan anti trombotik, profibrinolitik. Kondisi tersebut terjadi akibat produksi penghambat koagulasi dan modulator fibrinolisis. Kerusakan endotel akan mengubah kondisi anti trombotik, profibrinolitik menjadi protrombotik, antifibrinolitik. Aktivasi sistem koagulasi akibat kerusakan endotel terjadi melalui pelepasan faktor jaringan atau tissue factor (TF) dan pembentukan trombus trombosit oleh faktor von willebrand (FvW) kemudian terjadi penghambatan fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1). Faktor von willebrand disintesis oleh endotel dan trombosit dan bersirkulasi sebagai multimer besar FvW. Bila terjadi kerusakan jaringan, multimer besar FvW akan terpapar dan menarik trombosit untuk membentuk trombus trombosit. Trombosit dan sel endotel kemudian akan mengeluarkan PAI yang menghambat aktivitas fibrinolisis. Aktivitas antikoagulan juga akan terhambat melalui berkurangnya ekspresi trombomodulin, antitrombin III (ATIII), dan sintesis tissue factor pathway inhibitor (TFPD. Kompleks tissue factor-faktor VII teraktivasi (TF-FVIIa) yang terbentuk akibat stimulasi mediator inflamasi kemudian akan mengaktivasi pembentukan trombin dan fibrin. Trombin yang terbentuk dapat menstimulasi kembali adhesi endotel dan agregasi trombosit dan menstimulasi sel endotel untuk melepaskan FvW dan tissue plasminogen activator (tPA).
Pada infeksi virus demam berdarah seperti virus dengue, keterlibatan endotel merupakan faktor yang penting dalam terjadinya manifestasi Minis. lnfeksi virus dengue dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis dengan manifestasi Minis yang terberat adalah demam berdarah dengue (DBD) yang disertai renjatan atau sindrom syok dengue (SSD). Demam berdarah dengue terutama yang bermanifestasi berat menimbulkan masalah kesehatan di kawasan Asia Tenggara termasuk di Indonesia akibat tingginya angka kematian. Pada awal tahun 2004 terjadi kejadian luar biasa di sebagian besar profinsi Indonesia dimana tercatat 52.013 kasus DBD yang dirawat dengan angka kematian pada 603 kasus.
Keterlibatan endotel pada infeksi virus dengue dapat menyebabkan gangguan hemostasis baik secara langsung akibat interaksi mikroorganisme dengan sel endotel maupun secara tidak langsung melalui ekspresi TF pada permukaan sel endotel yang diperantarai oleh pelepasan sitokin.
Penelitian van Gorp, dkk mendapatkan bahwa pada SSD yang bertahan hidup terjadi kondisi prokoagulan pada awal perjalanan penyakit dan menjadi antikoagulan pada face rekonvalesen yang ditandai dengan peningkatan kadar trombin antitrombin (TAT) pada awal perawatan dan semakin menurun sesuai perjalanan penyakit. Trombin antitrombin menunjukkan terdapatnya pembentukan trombin dan konsumsi antitrombin, Sedangkan pada pasien DBD berat yang tidak bertahan hidup tetap terjadi kondisi prokoagulan ditandai dengan kadar TAT yang tetap tinggi. Berkurangnya antikoagulan alamiah seperti ATIII, protein C, dan protein S merupakan salah satu penyebab menetapnya kondisi prokoagulan. Ekspresi antikoagulan alamiah seperti ATIII maupun protein C, protein S merupakan akibat dari terjadinya kerusakan endotel luas pada DBDISSD.
Penelitian Willis mendapatkan adanya penurunan kadar antikoagulan seperti protein C, S, dan ATIII pada pasien SSD yang sebanding dengan beratnya penyakit, demikian juga Van Gorp yang mendapatkan nilai protein C dan S yang lebih rendah pada pasien yang meninggal dibanding pasien yang hidup. Kondisi prokoagulan berupa pembentukan trombin dan penurunan antikoagulan terjadi akibat kerusakan endotel yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vaskular ini berhubungan dengan beratnya perembesan plasma yang dapat dinilai dari terjadinya gejala klinis syok.
Penelitian terdahulu mendapatkan pada DBD derajat II telah terjadi koagulasi intravaskular diseminata (KID) yang juga ditandai oleh penurunan kadar ATIII dan jumlah trombosit. Terjadinya penurunan ATIII pada DBD menimbulkan pertanyaan apakah penurunan ATIII hanya akibat pemakaian antitrombin mengiringi pembentukan trombin atau apakah ada faktor lain yang menyebabkan penurunan kadar ATIII seperti akibat dari pelepasan sitokin, akibat langsung dari kerusakan endotel, ataupun akibat gangguan hati yang menyertai DBD/SSD. Apabila pemakaian antitrombin sebagai penyebab utama penurunan antitrombin diduga akan terdapat hubungan yang kuat antara penurunan antitrombin dengan pembentukan trombin. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kasus yang fatal terjadi akibat menetapnya kondisi prokoagulan yang mengakibatkan terjadinya mikrotrombi pada berbagai organ tubuh dan menyebabkan kegagalan multi organ. Di lain pihak gangguan fungsi organ pada DBD dapat sebagai akibat langsung dari virus ataupun proses imunologis. Apabila didapatkan hubungan antara pembentukan trombin dengan gangguan fungsi organ yang dapat dinilai melalui skor PELOD (pediatric logistic organ dysfunction) maka diduga mikrotrombi sebagai penyebab utama gangguan fungsi organ yang terjadi."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anky Tri Rini Kusumaning Edhy
"BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan manifestasi klinis berat penyakit arbovirus. Penelitian tentang manifestasi klinis DBD telah banyak dan dibahas secara luas oleh Sumarmo (1983), tetapi tidak banyak diungkapkan keadaan sistem pernafasan pada DBD. Pengamatannya terhadap analisis gas darah telah sampai pada kesimpulan yang serupa dengan penelitian Pongpanich dan Kumponpant (1973), yaitu hasil analisis gas darah menunjukkan gambaran asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik kompensasi. Kompensasi ini berhubungan dengan asidosis metabolik akibat renjatan, seperti dilaporkan Varavithya dkk. (1973).
Dalam penelitian mereka pada pasien 'Dengue Shock Syndrome' didapatkan asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik, tetapi tidak dibedakan derajatnya. Selain itu Miller dkk.(1967) menduga pula bahwa alkalosis respiratorik ads kaitannya dengan peningkatan ventilasi karena kenaikan suhu tubuh seperti yang terjadi pada malaria, karena rangsangan demam terhadap pusat pernafasan. Faktor eksitasi serta rasa ketakutan juga diduga menjadi penyebab.
Bhamarapravati dkk. ( 1967 ) mengemukakan bahwa pada 100 autopsi pasien DBD ditemukan edema dan perdarahan paru di samping terdapatnya cairan di dalam rongga pleura, perikardium, dan peritoneum. Tamaela dan Karjomanggolo (1982) melaporkan bahwa secara radiologis edema paru dan efusi pleura bahkan telah terlihat sejak awal penyakit ini dan dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis dalam keadaan yang meragukan.
Pada DBD terjadi gangguan pernafasan akibat kebocoran plasma melalui kapiler paru yang cedera dengan akibat lebih lanjut terjadi edema paru serta efusi pleura (Pongpanich dan Kumponpant, 1973; Rohde, 1978; WHO, 1986). Kasim (1982) mendapatkan kesan bahwa edema paru akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas di aloveoli dan selanjutnya terjadi hipoksemia yang dikompensasi dengan hiperventilasi. Hipoksemia dapat diikuti dengan hipoksia jaringan disertai laktoasidosis yang akan menambah keadaan hiperventilasi, dan pada analisis gas darah tampak seperti gambaran alkalosis respiratorik yang dapat disertai peningkatan pH.
Hiperventilasi adalah bertambahnya ventilasi alveolar karena berbagai sebab yaitu : hipoksemia, asidosis metabolik dan faktor central yang mengakibatkan tekanan parsial CO2 ( PaCO2 ) kurang dari 30 mmHg (Shapiro dkk., 1978).
Edema paru pada DBD terjadi sebagai akibat ekstravasasi cairan dan plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler. Edema ini pada stadium permulaan berupa edema interstisial yang akan menghambat difusi gas di paru. Hambatan difusi oksigen terjadi lebih dahulu oleh karena koefisien difusi oksigen adalah 1/20 koefisien difusi CO2. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan PaO2 atau keadaan hipoksemia yang akan merangsang pusat pernafasan dan terjadi hiperventilasi. Hipoksemia mengakibatkan berbagai derajat hipoksia jaringan dan diikuti peningkatan metabolisme anaerob dan pembentukan asam laktat serta asidosis metabolik yang dapat menambah hiperventilasi"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T1611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan demam dan perdarahan. Selain itu terdapat efusi pleura yang diduga karena peningkatan permeabilitas vaskular. Berdasarkan tanda tersebut, diduga disfungsi endotel memegang peranan dalam patogenesis demam berdarah dengue.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pada demam berdarah dengue terjadi disfungsi endotel dengan memeriksa kadar sVCAM-1, von Willebrand factor dan petanda aktivasi koagulasi yaitu D dimer. Di samping itu ingin diketahui apakah ada hubungan antara petanda disfungsi endotel dengan beratnya penyakit. Desain penelitian ini potong lintang, kelompok kasus terdiri atas 31 penderita DBD dan kelompok kontrol terdiri atas 30 penderita demam bukan DBD. Kadar sVCAM-1 diperiksa dengan cara ELISA, vWF dengan cara enzyme linked fluorescent assay (ELFA) dan D-dimer dengan cara sandwich enzyme immunoassay.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar sVCAM-1 pada kelompok DBD dan kelompok kontrol berturut-turut adalah 1323 ng/mL dan 1003 ng/mL, sedangkan simpang bakunya berturut-turut 545 ng/mL dan 576 ng/mL. Rerata kadar vWF pada kelompok DBD dan kontrol berturut-turut 284% dan 327%, dengan simpang baku berturut-turut 130% dan 141%. Kadar sVCAM-1 tidak berkorelasi dengan jumlah trombosit, kadar albumin, kadar D dimer dan beratnya penyakit. Terdapat korelasi lemah antara kadar vWF dengan D dimer dan beratnya penyakit. ( r = 0,472 dan r = -0,450).
Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sVCAM-1, vWF dan D dimer menunjukkan bahwa pada DBD terjadi disfungsi endotel. Namun tidak ada hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit.

Endothelial Dysfunction in Dengue Hemorhagic Fever. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is characterized by fever, bleeding, and pleural effusion which may be caused by increased vascular permeability. Based on these findings it is assumed that endothelial dysfunction plays a role in the pathogenesis of DHF.
The aims of this study was to know whether endothelial dysfunction occurs in DHF by measuring sVCAM-1, vWF, and D dimer. The relationship between endothelial dysfunction and severity of the disease would also be analyzed. This was a cross sectional study which involved 31 DHF patients and 30 non DHF fever patients as control group. The level of sVCAM-1 was determined by ELISA method, vWF by enzyme linked fluorescent assay , and D dimer by sandwich enzyme immunoassay.
The results indicated that mean of sVCAM-1 level in DHF group and control group were 1323 ng/mL and 1003 ng/mL, while standard deviation (SD) were 545 ng/mL and 576 ng/mL respectively. The mean of vWF level in DHF group and control group were 284% and 327%, with SD 130% and 141% respectively. The level of sVCAM-1 did not correlate with platelet count, albumin level, D dimer level and severity of disease. There was a weak correlation between vWF level with D dimer and severity of disease ( r = 0,472 and r = -0,450 ).
Conclusion: The results of this study indicate that endothelial dysfunction occurs in DHF, but there is no correlation between sVCAM-1 with severity of disease, only a weak correlation between vWF with D dimer and severity of disease is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Kepadatan populasi Ae.aegypti meningkat di musim hujan, dan dapat diukur dengan angka rumah, angka wadah, angka brito dan landing rate. Nyamuk ini mengalami metamorfosis lengkap dan memerlukan waktu 10 hari untuk pertumbuhan dari telur sampai nyamuk dewasa. Ae.aegypti dan Ae.albopictus sepintas lalu sulit dibedakan, karena keduanya berwarna dasar hitam dengan belang-belang putih pada bagian badannya; namun perbedaan terlihat pada mesonotum yang membentuk gambaran lire (Ae.aegypti) dan garis tebal putih yang memanjang (Ae.albopictus). Pemerintah telah memilih dan menganjurkan untuk melaksanakan pengendalian vektor DBD dengan PSN. "
MPARIN 6 (1-2) 1993
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Muhibuddin Waly
"Kasus DBD dewasa terus meningkat pesat, di lain pihak penelitian-penelitian yang dilaporkan terutama dilakukan pada anak-anak
Trombositopenia merupakan unsur sentral dalam patogenesis penyakit DBD. Penyebab utama trombositopenia yang diakui saat ini pada demam/sakit <5 hari adalah sumsum tulang, oleh karena didapatkan gambaran hiposelularitas pada seluruh sampel dengan jumlah megakariosit menurun sampai dengan normal. Sedangkan setelah demam/sakit 5 hari penyebab trombositopenianya terutama oleh proses di peri£er yaitu konsumtif koagulopati, antigen antibodi kompleks yang merusak trombosit, peningkatan aktivitas RES jaringan untuk menghancurkan trombosit serta kemungkinan kemampuan virus itu sendiri untuk merusak trombosit.
Masalah lain lagi yaitu terus berkembangnya patofisiologi DBD mulai dari teori secondary heterologus infection, teori virulensi dan teori genetik dani Halstead. Dengan diketahuinya bahwa sel target dan virus dengue untuk dapat berkembang biak adalah sel monosit, makrofag dan sel kupffer kemudian diketahui pula adanya respons imunologis tubuh terhadap infeksi virus dengue dan tersebarnya kompleks virus antibodi (antigen antibodi kompleks) ke banyak jaringan tubuh (endotel pembuluh darah, ginjal, otak, trombosit, pankreas), maka reaksi hipersensitivitas tipe III dipertimbangkan sebagai dasar patofisiologi DBD.
Hal ini akan bertambah kuat bila pemberian steroid temyata mampu untuk mengurangi lama trombositopenia sehingga mempercepat lama perawatan dan mencegah komplikasi. Hal lain yang memperkuat teori hipersensitivitas tipe III selain penyebaran kompleks imun di jaringan-jaringan tubuh ialah apabila diternukan reaksi autoimun (reaksi imunologis tubuh untuk menghancurkan jaringannya sendiri).
Pada penelitian ini ternyata didapatkan reaksi autoimun berupa antibodi trombosit yang positif sampai dengan 62,5% sampel dan terbukti secara statistik sebagai penyebab utama trombositopenia serta penurunan-penurunan tajam dari jumlah trombosit. Steroid ternyata terbukti secara klinik dan statistik mengurangi lama trobositopenia dan mencegah penurunan tajam dari jumlah trombosit pada pasien-pasien dengan antibodi trombosit yang positif.
Selain itu pada penelitian ini juga dibuktikan bahwa tidak semua gambaran sumsum tulang menunjukkan hiposelularitas pada demam/sakit <5 hari (hanya 63,5% sampel).
Sedangkan secara analisis regresi multipel sumsum tulang ternyata hanya menempati urutan ketiga sebagai penyebab trombositopenia kelompok demam/sakit <5 hari setelah antibodi trombosit dan DIC talc terkompensasi (berarti proses diperiferlah yang lebih berpengaruh).
Selain hal-hal di atas pada penelitian ini didapatkan bahwa hemokoensentrasi yang.meningkat hanya terdapat pada 30% sampel, trauma sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan nyata dan sensitivitas serta spesifisitas dari rapid imunokrornatografi yang cukup baik."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Siyam
"Demam berdarah dengue (DBD) menimbulkan syok dan kematian. Penderita DBD di Yogyakarta sebagian besar usia 1 - 12 tahun dengan DBD parah. Asupan vitamin D rendah diasumsikan penyebab DBD parah. Asumsi ini perlu dibuktikan dengan menganalisis pengaruh asupan Vitamin D dan keparahan DBD. Rancangan penelitian adalah studi kasus kontrol. Penelitian di bangsal rawat inap anak dan instalasi catatan medik RS Jogja dan RSUP Dr. Sardjito. Kasus adalah anak usia 1 - 14 tahun dengan DBD grade III & IV, kontrolnya DBD grade I & II. Data asupan vitamin D diambil dengan food frequency questionnaire (FFQ). Variabel luar adalah indeks massa tubuh (IMT), usia, status penyakit kronis dan intensitas terpapar matahari pagi. Analisis dengan uji-t dan regresi logistik. Hasil penelitian didapatkan 60 kasus dan 60 kontrol tanpa matching. Cut-off point asupan vitamin D berdasarkan ROC curve adalah 2,7 μg/hari. Penderita DBD parah rata-rata asupan vitamin D 1,10 kali lebih sedikit dibandingkan DBD tidak parah. Rata-rata asupan vitamin D lebih rendah 1 μg/day bersama IMT ≥18,75 kg/m2, penyakit kronis, dan kurang terpapar matahari pagi berpengaruh pada DBD parah (OR=0,47; 95% CI: 0,32-0,71). Cukup Asupan vitamin D disarankan untuk menghindari keparahan DBD. Penyakit kronis dan berat badan lebih perlu menjadi perhatian tenaga medis sebagai kewaspadaan dini terjadinya shock.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) lead to shock and death. Patient in Yogyakarta mostly aged 1 - 12 years old with severe dengue. A low vitamin D intake is assumed to be the cause of severe dengue. This assumption needs to be proved by analyzing the effect of vitamin D intake and severity of DHF. Study design was a case control study. Research on children's wards and medical record installation in hospital. Cases were children with DHF grade III and IV, the control of DHF grade I & II. Data vitamin D intake was obtained by FFQ. Outer variables: BMI, age, chronic diseases and intensity morning sun exposure. Analysis by t-test and logistic regression. The results showed 60 cases and 60 controls without matching. Cut-off point vitamin D intake based ROC curve was 2.7 μg/day. Patients with severe dengue average vitamin D intake of 1.10 times less than not severe dengue. The average vitamin D intake lower 1 μg/day with a BMI ≥ 18.75 kg/m2, chronic disease, and less exposed to the morning sun effect on severe dengue (OR = 0.47, 95% CI: 0.32 to 0.71). Sufficient vitamin D intake is recommended to avoid the dengue severity. Chronic diseases and more weight should be a concern of medical personnel as early warning shock occurrence."
Semarang: Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Departemen Epiodemiologi dan Biostatistik, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>