Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134732 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Radian Syam
"Masa transisi demokrasi sejak pengunduran diri Presiden Soeharto tahun 1998 membawa perubahan terhadap struktur ketatanegaraan Republik Indonesia melalui empat kali perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu perubahan yang signifikan adalah perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Berbeda dengan masa pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, sistem pemerintahan daerah pada masa reformasi cenderung diarahkan pada makin menguatnya otonomi pemerintahan daerah.
Penguatan otonomi pemerintahan daerah ditandai pula dengan pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan walikota secara langsung berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis."
Pemilihan kepala daerah secara demokratis ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerahnya berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi:
"Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan."
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung ini mulai dilaksanakan pada bulan Juni 2005, diawali dengan pemilihan bupati Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah dilangsungkan pada tanggal 2 Juni 2005. Untuk tahun 2005 terdapat 226 kepala daerah yang harus segera diganti, terdiri dari 11 Gubernur, 180 Bupati dan 35 walikota, pada tahun 2006 hingga 2008 terdapat 21 provinsi dan 202 kabupaten/kota yang harus melaksanakan pemilihan kepala daerah, dan pada tahun 2009 segera diikuti oleh 1 provinsi dan 39 kabupaten/kota. Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun 2009 nanti seluruh rakyat di pelosok negeri secara politik akan sangat disibukkan oleh 33 pemilihan Gubernur dan 434 pemilihan Bupati/Walikota yang dilakukan secara langsung."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholidin
"Sistem Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) atau sering disingkat dengan MLA merupakan sistem kerjasama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan khususnya terhadap kejahatan lintas negara (transnasional crime). Sistem ini lahir dari kaidah-kaidah hubungan antarnegara yang telah diterapkan oleh Indonesia baik dengan perjanjian maupun tidak. Pada awal tahun 2006, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Batik dalam Masalah Pidana, yang menjadikan payung hukum dalam penerapan sistem ini di Indonesia. Terkait kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menerapkan sistem ini dengan tujuan utama adalah dalam mencari, mengejar, dan menyita, serta mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia,
Berkenaan dengan penyusunan tesis ini, penulis mencoba melihat pelaksanaan sistem bantuan timbal balik antarnegara di Indonesia dari 4 (empat) aspek yaitu: Pertama, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan hukum; Kedua, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antarnegara yang lebih menekankan kepada prinsip kerjasama; Ketiga, Hubungan antar kewenangan penegakan hukum hams lebih sistematis dan terpadu untuk menerapkan sistem bantuan timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan yang luar biasa (extraordindry crime); dan Keempat, adalah bentuk sistem bantuan timbal batik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan resiprositas sebagai perwujudan Good Governance. Pelaksanaan sistem bantuan timbal balik mendapat prediksi masalah yang akan muncul, mengingat sistem ini merupakan hal baru dalam mendukung Hukum Acara Pidana di Indonesia maka diperlukan kajian tentang bagaimana pelaksanaan sistem ini dapat menyesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum di Indonesia sehingga dapat dicapai suatu kesempurnaan dalam pelaksanaan sistem ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silahuddin
Bandung: PKP2A I - LAN, 2007
352.13 SIL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Budi Eko Wardani
"Perubahan partai politik setelah rezim Orde Baru membawa konsekuensi serius bagi peran partai politik. Pertama, adanya pergeseran peran partai politik dari aktor di pinggiran kekuasaan menjadi aktor utama yang berperan membentuk kekuasaan politik. Kedua, adanya keharusan partai politik melakuka reformasi internal untuk tujuan memenangkan kekuasaan politik sekaligus menjawab tuntutan publik. Ketiga, terkait keterlibatan partai politik dalam pemilihan untuk mengisi jabatan politik dan jabatan politik.
Partai politik lalu dihadapkan pada paradigma baru yaitu bekerja profesional, memiliki kemampuan bekerjasama atau bernegosiasi dengan partai lain dalam meraih kemenangan, serta melihat konstituen sebagai aset atau kapital yang harus terus dikumpulkan dan dipelihara. Salah satu strategi memenangkan pemilihan umum adafah melalui koalisi politik. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat hasil Pemilu 2004 menghasilkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tak terhindarkan. Salah satunya yang terjadil dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Pilkada yang dimuiai pada Juni 2005 menjadi arena politik baru bagi partai-partai politik. Dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan salon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pofa koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26
Tesis ini menggunakan tiga kerangka teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama adalah teori koalisi politik dari William Riker yang menekankan prinsip ukuran (Minimal Winning Coalitions) dan Robert Axelrod yang menekankan prinsip kedekatan preferensi kebijakan (Minimal Connected Winning). Kedua, teori pilihan rasional untuk melihat kontestasi pilihan-pilihan kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan para aktor untuk berkoalisi. Keputusan berkoalisi adalah sebuah pilihan rasional dalam rangka memaksimalkan kepentingan atau keuntungan yang dapat diraih. Ketiga, adalah teori oligarki dari Robert Michels. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh struktur partai dalam mempengaruhi pembentukan koalisi partai.
Setidaknya ada lima faktor yang diuji dalam tesis ini - mengacu pada kasus Pilkada Banten- untuk melihat pengaruhnya dalam pembentukan koalisi partai. Pertama adalah pemetaan kekuatan politik di DPRD. Tingkat pengaruh faktor ini sedang karena diperlukan untuk memenuhi persyaratan pencalonan 15% suara atau kursi. Tetapi calon dapat saja membentuk koalisi dengan partai-partai non parlemen jika diperlukan. Kedua, pertimbangan platform partai dalam pembentukan koalisi, apakah sifatnya ideologis atau pragmatis. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena partai pada dasarnya dapat membangun koalisi dengan partai manapun tergantung pemaksimalan kepentingan yang dapat diraih.
Faktor ketiga adalah mekanisme internal penjaringan oleh partai politik. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena tidak ada keharusan partai melakukan penjaringan internal, dan kalaupun dilakukan, hasilnya tidak mengikat atau dapat dibatalkan oleh pengurus pusat. Keempat adalah peran dewan pengurus pusat (DPP) partai. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi karena rekomendasi atau persetujuan DPP bersifat mutlak sehingga tidak ada alternatif lain bagi pengurus daerah selain mengikuti petunjuk DPP. Dan kelima adalah peran figur bakal calon kepala daerah. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi dalam pembentukan koalisi karena figur yang mendanai penggalangan dukungan selama pencalonan. Partai politik secara institusi biasanya tidak rnengeluarkan materi untuk mendukung pencalonan kepala daerah.

The post new order change within political parties brought serious consequences towards their role: These include: the shift within the political parties' role from being marginal actors in the national power sphere, towards assuming a main role in the formation of political power; political parties being obliged to conduct internal reforms for the sake of winning the contested political power and in order to answer public demands; political parties' involvements in elections dedicated towards filling political position slots.
Political parties were then introduced to a new paradigm which encompassed virtues such as professionalism, ability to cooperate and negotiate with other parties in the attempt of winning the election, and in how they were to view constituents as valuable assets of which supports must always be gathered and preserved. One of the strategies in winning political elections is by creating political coalition(s). Political coalitions in building a new government and in order to create a better bargaining power in the parliamentary or cabinet political processes have become an inevitable phenomenon in this post-reform era. This phenomenon was considered as an obvious one due to the fact that the 2004 election had bred out a fragmentated and balanced political party power configuration. Such configuration later induced many parties to form coalitions as a necessity to anticipate the situation in other elections, as can be seen in the direct regional leader election ("Pemilihan Kepala Daerah Langsung" - PiLKADA).
The Pilkada, which began on June 2005, became a new arena for political parties. From over 211 Pilkada held in 2005, 126 of them were won by candidates supported by party coalitions, while another 85 were won by candidates supported by parties not engaging in coalitions. For many parties, the coalitions made during the Pilkada had certain features: (1) Quantitatively, the abundance of coalitions was made possible due to the many elections held; (2) mapping requirements made many central party officials to allow greater freedom for their local agents to decide coalitions; (3) the tendency within Pilkada coalition patterns exhibited a divergent and unpredictable trend. One of the examined which showed such tendency was the Banten Province Pilkada held on November 26, 2006 in which 4 candidate pairs who participated in this event were all supported by political party coalitions.
This thesis applies three theoretical frameworks in order to answer its research question. The first one is political coalitions theory by William Riker, which emphasizes the measurement principle (Minimal Winning Coalitions), and Robert Axelrod, which emphasizes the policy preference connectedness principle (Minimal Connected Winning). The second one is the rational choice theory which will be used to analyze the contestation of interest choices, which serves as a basis for actors' decision making to form coalitions. Such decision can be seen as a rational choice in order to maximize an actor's interest and benefits. The third theoretical framework applied here is oligrarchic theory by Robert Michels. This theory will be used to view how party structures influence the decision to form coalitions.
There at least five factors which this thesis seeks to analyze, referring to the Banten Pilkada case, in order to see their effect to party coalition formations. The first factor is the political power mapping in DPRD level. This factor's level of influence is medium, due to its function to fulfill the 15% vote or chair requirement. However, candidates may likely form coalitions with non-parliamentary parties if necessary. The second factor is the party platform considerations in coalition formations, whether they include the involvement of ideological preferences or more pragmatic stances. The influence level of this factor can bee deemed low due to the fact that most parties are likely to build coalitions with any party depending on the interest maximization which can be gained.
The third factor is the internal networking mechanisms by political parties. This factor's level of influence is low due to the inexistence of requirements by parties to conduct internal networkings. However, if such mechanism is to occur, the results would likely to be non-bounding or cancellable according to the decision of central organizers. The fourth factor is the role of party's central organizing board (Dewan Pengurus Pusat - DPP). This factor has a high level of influence due to the absolute recommendation or agreement made by the DPP which in turn negates all other alternatives for local organizers to follow except the ones established by the DPP. The fifth factor is the role of local leader candidates. This factor is highly influential in determining the coalition formation due to the role of certain figures who financially support the candidates. Political parties are normally refrained from committing material supports during the local leader elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
352 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Feizal Rachman
"Maksud penelitian ini adalah untuk memahami motivasi apa saja yang mendorong kiai melibatkan dill pada pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2006. Kemudian, bagaimana peran dan keterlibatan kiai dalarn pelaksanaan pilkada Iangsung tersebut.
Sebagai alat analisis, digunakan teori-teori, yaitu: politik lokal model Stoker dan Cornelis; teori peran (role theory) dari Soekanto, Linton, dan Levinson; kepemimpinan informal (informal leadership) yang diulas Soemardjan, Weber, dan Arifin; teori patron-Mien model Ferlis; dan partisipasi politik yang dimunculkan Rush dan Althoff. Sedangkan, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi lertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Studi kepustakaan juga dilakukan untuk memperkaya perspektif penelitian.
Penelitian ini mcnunjukkan bahwa keterlibatan kiai dalam pilkada tidak terlepas dari kemampuan kiai yang mampu memobilisasi massa karena perannya sebagai pembentuk opini (opinion leader). Ada dua cara yang dilakukan kiai dalam membentuk opini pubiik itu. Panama, secara verbal, misalnya berbicara langsung kepada masyarakat, termasuk di dalamnya santri dan para alumni pesantren_ Kedua, secara non-verbal, yaitu melalui aksi-aksi politik yang dilakukan secara berbeda, misalnya para kiai bergerilya untuk mendapatkan dukungan alas pilihan politiknya. Ada juga kiai yang melakukan aksi pembelaan terhadap calon yang didukungnya agar tidak terganjal dalam proses pilkada, karena sang calon terkait masalah hukum.
Motivasi keterlibatan kiai dibagi menjadi dua: motivasi ideal dan motivasi praksis-personal. Motivasi ideal berangkat dari pemahaman (internalisasi) kiai terhadap nilai-nilai ajaran agartla Islam yang mendorong kiai terjun dalam dunia politik. Sedangkan. motivasi praksis-personal didasarkan atas konteks politik yang terjadi. Dalam penelitian ini, konteks politik itu adalah pilkada. Motivasi yang dimaksud ada tiga macam. Pertrrma, dorongan karena alasan emosional (afektual-emosional). Kedua, dorongan untuk menjaga eksistensi pesantren (rasional-bertujuan) Ketiga, dorongan untuk menjaga independensi pesantren (rasiona!-bernilai).
Teori-teori yang digunakan, seperti tersebut di alas, sesuai dengan temuan lapangan. Dengan demikian, implikasi teoritis atas penelitian ini adalah berupa penegasan (confirmation).

The aim of the research is to understand the motivation which endorses kiai or religious scholar to involve in direct local election (pi/kada) in Tasikmalaya District in 2006. Then, it also aims to understand the role and involvement of kiai in the election.
As tool of analysis, it uses theories of local theory especially the model of Stoker and Cornelis; theory of role from Soekanto, Linton, and Levinson; informal leadership by Soemardjan, Weber, and Arifin; theory of patron-client modelled by Ferlis, and political participation initiated by Rush and Althoff. Method of research used in the study is qualitative which tries to understand and interpret the meaning of human interaction and behaviour in particular situation according to researcher's own perspective. In collecting data, in-depth interview is applied to any persons who involve and have interest in the election. Literature study is also carried out to enrich the perspective of the study.
The study shows that the involvement of kiai in the election relates to the ability of them to mobilize people because of their role as opinion leader. There are two methods applied by kiai to develop public opinion. The first is verbal such as speak directly to people, and also their student (santri) and alumni. The second is non-verbal which is doing different political action such as ask some key persons to support their political choice. There is a kiai who defends his candidate in order to make him surpass the process of candidacy successfully because his legal problem.
The motivation of kiai is divided into two which are ideal motivation and praxis-personal motivation. Ideal motivation is based on the understanding of them or internalization on Islamic values that endorse them to do political activities. Meanwhile, praxis-personal motivation is based on existing political situation. In the study, the context is direct local election. The motivation itself is divided into three. They are affectual-emotional motivation, rational-objective motivation to maintain the existence of religious school, and rational-valuable to maintain the independence of the school.
Theories applied in the study as mention above are equivalent with the findings. Therefore, theoretical implication of the study is confirmation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Laura Astrid H.
"Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah melalui PP No. 12 tahun 1999 diharapkan netralitas politik birokrasi akan dapat terjamin tidak hanya dengan cara melepaskan keanggotaan PNS dalam Parpol, namun yang lebih penting adalah menegakkan sikap dan perilaku PNS agar benar-benar berorientasi kepada kepentingan publik dan profesional serta bersikap imparsial terhadap parpol. Penulisan tesis yang berjudul ?Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pilkada? ini menggunakan metode penelitian hukum normatif maupun metode penelitian empiris, dengan titik berat pada penelitian normatif. Maksud dan tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui secara yuridis netralitas pegawai negeri sipil dalam Pilkada dan mengetahui keberpihakan Pegawai Negeri Sipil dalam Pilkada Malang, Gowa dan Kutai Kertanegara.Secara yuridis netralitas Pegawai Negeri Sipil telah diatur dalam suatu Undang-Undang Nomor Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1999 secara tegas menetapkan bahwa seorang pegawai negeri yang akfif dalam partai politik harus melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri, namun yang sering terjadi, bahwa di Indonesia jabatan menteri misalnya, jabatan menteri bukan jabatan pegawai negeri, tetapi jabatan politik. Seringkali seorang menteri (yang berasal dari pegawai negeri) sulit memisahkan jabatan dirinya sebagai pejabat pemerintah yang juga sebagai fungsionaris partai. Yang menjadi permasalahannya adalah mengapa netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah sangat diperlukan dan bagaimana mengupayakan netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah? ada sejumlah larangan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penegakan netralitas birokrasi dan PNS, yakni:pertama,dalam kampanye dilarang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta Kepala Daerah, kecuali apabila pejabat tersebut menjadi calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah. kedua,Pejabat negara yang menjadi calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dalam jabatannya, menjalani cuti di luar tanggungan negara dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketiga, PNS, anggota TNI/POLRI dilarang dilibatkan sebagai peserta kampanye atau juru kampanye pilkada. Keempat, Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan Kepala Daerah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Pada akhirnya diharapkan pemilu mendatang merupakan tonggak bagi redefinisi peran birokrat/ PNS sebagai public servan, tentunya berlaku juga pada pilkada langsung.

With the issuance of government policy through the PP No. 12 Tahun 1999 expected the political neutrality of the bureaucracy will be guaranteed not only by civil servants to release membership in political parties, but more important is to uphold the attitude and behavior of civil servants in order to really oriented to the public interest and professional and impartial attitude towards political parties. The writing methods of this thesis entitled "Neutrality of Civil Servants in the elections" is a normative legal research methods and empirical research methods, with emphasis on normative research. The purpose and objective of this thesis is to obtain judicial neutrality of civil servants in the election and find out partisanship in the election of Civil Servants in Malang, Gowa and Kutai Kertanegara. Judicially, neutrality of Civil Servants has been regulated in PP No. 12 Tahun 1999 provides that a civil servant who is active in a political party should let go of his status as civil servants, but that often happens, that in the Indonesia office of the minister for instance, the post office of civil servants rather than ministers, but political office. Often a minister (which comes from civil servants) is difficult to positions itself as a government official who is also a party functionary. The problem is why the neutrality of civil servants in the Regional Head Election is needed and how to seek the neutrality of civil servants in local elections? There are some restrictions that need to be considered in connection with the enforcement of the neutrality of the bureaucracy and civil servants, namely: first, the campaigns are prohibited from involving judges in all courts, enterprises structural officers, functional officers in the country as well as regional head office, unless the officer is a candidate for the Head Regional / Deputy Regional Head. Second, the state officials who become candidates for Regional Head / Deputy Head of the Region in implementing the campaign does not use the associated facilities in the office, taking temporary leave without pay. Third, civil servants, members of the TNI/Police involved as participants are prohibited from campaign or election campaigners. Fourth, state officials, officials of the structural and functional in the country and regional heads of office are prohibited from making decisions and/ or actions that benefit or harm one of the candidates during the campaign. In the end, it expects the upcoming election is a major milestone for the redefinition of the role of bureaucrats / civil servants as a public servant, of course, applies also to direct election."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27910
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>