Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Corrigan, Timothy
Glenview: Scott, Foresman and Company, 1989
808.066 COR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rosida Erowati
"Film merupakan ekspresi seni yang diciptakan secara massal oleh sekelompok seniman dengan berbagai keahlian. Sebagai ekspresi seni, film selalu berbicara' tentang sesuatu. Film memiliki pesan yang dibicarakan melalui penyajian naratif dan bentuknya. Film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan tentang perdamaian yang seharusnya dapat tercipta di antara agama, generasi, gender dan negara melalui upaya untuk memahami dan memposisikan diri secara fleksibel dengan melakukan perjalanan melintas batas.
Dalam teks ini, peneliti mempertanyakan kondisi multikultur dan pesan perdamaian yang ditampilkan. Bagaimana keduanya dibicarakan, siapa yang membicarakannya dan bagaimana strategi-strategi untuk menciptakan perdamaian dalam kondisi multikultur muncul di dalam naratif dan bentuk film. Analisis terhadap kondisi multikultur dan pesan perdamaian di dalam film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran dengan menggunakan teori tentang struktur film, representasi, dan identitas yang cair menunjukkan bahwa film ini membicarakan kondisi multikultur dan perdamaian dalam konteks hubungan antara pusat dan pinggiran dalam wacana kebudayaan. Pusat dalam film ini adalah Prancis-Eropa, Yahudi, maskulin dan generasi tua. Sementara pinggiran adalah Turki-Mediterania, Islam, feminin dan generasi muda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran mengalami pergeseran dan akhir film yang berupa alur siklik membuka interpretasi tentang pembalikan kritis dalam hubungan tersebut. Di tengah perbincangan tentang hubungan Barat dan Timur yang didominasi isu terorisme atas nama agama, film ini dapat dipertimbangkan memiliki alternatif visi untuk menilai kembali hubungan Barat dan Timur, pusat dan pinggiran.

Film is an art expression that is created collectively by a group of artists with various individual skills. As an art expression, film always "speaks" something. Film has messages that are "spoken" and conveyed through narrative presentation and its own form. As a whole, the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran film wants to deliver a message about peace that is supposed to be able to be created among religions, generations, gender, and countries through some attempts to understand and position ourselves flexibly by committing a borderless journey.
In this text, the researcher questions the multicultural condition and the peace message presented. How these are spoken, who speaks about them, and how the strategies to create peace in a multicultural condition appear in the narration and film form. Analysis on the multicultural condition in the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Comm film, using the theories of film structure, representation, and identity which is liquid, shows that this film talks about the multicultural condition and peace in relation between the periphery and center context in the cultural discourse. The center in this film is France-Europe, Jewish, masculine, and old generation. On the other hand, the periphery is Turkish-Mediterranean, Moslem, feminine, and young generation.
The analysis result shows that the center-periphery relation undergoes a shifting and the end of the movie, which is cyclical, opens an interpretation about critical reversal in that relation. Among many discourses about the relation between the West and East that is dominated by terrorism issue based on religion, this film can be considered as having the alternative vision to re-value the relation between the West and East, the center and periphery."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steffanie Olivia Suyanto
"Pada tahun 2016, kasus kopi sianida mendapatkan perhatian luas hingga ke kancah internasionalyang kemudian diangkat menjadi film dokumenter oleh Netflix dengan judul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Film ini mempertanyakan proses pidana yang telah selesai berjalan. Persepsi baru yang berbeda dari wacana dominan masa lalu pun mulai bermunculan hingga menimbulkan pertanyaan besar dari publik terkait kebenaran kasus dan keadilan untuk Jessica. Penulisan ini berfokus pada reaksi sosial nonformal (kaji ulang masyarakat) terhadap reaksi sosial (film dokumenter). Film dokumenter ini memicu reaksi sosial nonformal dalam bentuk video pada media baru, seperti YouTube. Unit analisis tulisan ini adalah narasi dari beberapa video konten buatan pengguna yang mengulas film Ice Cold pada media sosial YouTube. Narasi-narasi tersebut dianalisis menggunakan konsep encoding dan decoding dari Stuart Hall, dilengkapi dengan analisis pembingkaian narasi (pembingkaian semantik, kognitif, dan komunikatif). Perspektif yang digunakan untuk mencermati konteks ini adalah kriminologi budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa narasi film dokumenter Ice Cold dapat diterima dengan baik oleh penonton dengan posisi dominan dan negosiasi. Dari reaksi penonton, terlihat kepanikan moral terhadap sistem peradilan pidana, dengan pandangan bahwa Jessica tidak bersalah sehingga terjadi demonisasi terhadap pihak Mirna sebagai setan rakyat yang baru.

In 2016, the cyanide coffee case received widespread international attention and was later made into a documentary by Netflix titled "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso." This film questions the completed criminal process. New perceptions that differ from the dominant discourse of the past began to emerge, raising significant public questions regarding the truth of the case and justice for Jessica. This paper focuses on non-formal social reactions (public reviews) to social reactions (the documentary film). The documentary triggers informal social reactions in the form of videos on new media platforms, such as YouTube. The unit of analysis in this paper is the narratives of several user-generated video contents that review the documentary "Ice Cold" on YouTube. The narratives are analyzed using Stuart Hall's concept of encoding and decoding, complemented by narrative framing analysis (semantic, cognitive, and communicative framing). The perspective used to examine this context is cultural criminology. The results of the analysis show that the narrative of the documentary "Ice Cold" can be well received by audiences with dominant and negotiated positions. From the audience's reaction, there is a moral panic towards the criminal justice system, viewing Jessica as innocent and resulting in the demonization of Mirna's side as the new folk devil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andreyna Tiarasari Mahandary
"Penelitian ini mengkaji tindak tutur mengkritik dalam film Willkommen bei den Hartmanns. Fokus penelitian ini adalah 1) bentuk kalimat yang meliputi tindak tutur mengkritik sertastrategi dalam merealisasikannya dan 2) penggunaan strategi kesantunan dalam tindak tutur mengkritik dalam film terkait. Strategi kesantunan dibahas karena memainkan peran penting dalam realisasi kritik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitiatif deskriptif yang didukung oleh metode kuantitatif. Data didapatkan melalui observasi dan pencatatan. Data kemudian dianalisis menggunakan strategi realisasi kritik yang dikembangkan oleh Nguyen (2005) dan teori strategi kesantunan oleh Brown dan Levinson (1987). Hasil temuan menunjukkan bahwa terdapat berbagai strategi realisasi tindak tutur mengkritik yang digunakan dalam film terkait meliputi strategi tindak tutur mengkritik langsung (37,7%) dan strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung (62,3%). Dari total 6 klasifikasi dalam strategi tindak tutur mengkritik langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah evaluasi negatif (44,8%). Dari total 9 klasifikasi strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah bertanya/mengandaikan (27,083%). Hasil temuan juga menunjukkan bahwa dalam konteks strategi kesantunan, jumlah penggunaan strategi samar-samar (42,22%) melebihi tiga strategi lainnya.

This research examines the speech acts of criticism in the film Willkommen bei den Hartmanns. The focus of this research is 1) the sentences form that include criticism speech acts and its realization strategy and 2)the use of politeness strategies during criticism speech acts in the aforementioned movie. The politeness strategy is discussed because it plays an important role in the realization of criticism. The research methods used analysis qualitative which is supported by quantitative methods. The data were obtained through observation and recording. The data were then analyzed using the criticism realization strategy developed by Nguyen (2005) and the politeness strategy theory by Brown and Levinson (1987). The findings showed that there are various strategies of criticism speech acts used in the movieincluding direct criticism (37,7%) and indirect criticism (62,3%). Out of 6 classifications in direct criticism strategy, the most used strategy was negative evaluation (44,8%). Out of 9 classificationsin indirect criticism strategy, the most used strategy was asking / supposing (27.083%). The findings also showed that in the context of politeness strategies, the use of off-record strategies (42.22%) outnumbered the other three strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Barnet, Sylvan
Boston: Little, Brown, 1979
808.066 BAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Barnet, Sylvan
London: Batsford Academic and Educational, 1985
808.066 BAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Riyanti
"Film dapat menjadi media untuk memproyeksikan realitas atau peristiwa dalam sejarah. Penelitian ini mengkaji salah satu aspek konflik yang terjadi di antara Israel dan Palestina, khususnya di penjara Israel dalam film 3000 Nights (2015) karya Mai Masri. Film ini menarik karena memperlihatkan perjuangan tak henti dari tokoh-tokoh perempuan berlatar Palestina menuntut keadilan dan kemerdekaan mereka, meskipun mereka berada dalam penjara Israel. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan kajian film yang memperlakukan film sebagai teks. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kajian film milik Boggs dan Petrie, teori resitensi milik James C. Scott, teori strukturalisme genetik milik Pierre Bourdieu, dan konsep film sebagai gambaran realitas milik Graeme Turner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alur digerakkan oleh resistansi tokoh utama bernama Layal untuk menuntut keadilan, karena terdapat kekerasan, diskriminasi, represi, eksploitasi, dan ketimpangan kekuasaan yang terjadi di dalam penjara Israel. Perlawanan Layal sejalan dengan tindakan tokoh-tokoh tahanan perempuan Palestina yang kemudian bersinergi dengan tahanan laki-laki Palestina. Film 3000 Nights tampak berusaha menunjukkan kritik terhadap sistem penjara Israel yang menjadi proyeksi arena konflik Palestina dan Israel masa itu.

Film can be a medium to project reality or historical events. This study examines one aspect of the conflict between Israel and Palestine, particularly in Israeli prisons, as depicted in the film 3000 Nights (2015) by Mai Masri. This film is noteworthy because it portrays the relentless struggle of female Palestinian characters demanding justice and freedom, even while imprisoned in Israel. The method used in this study is qualitative, employing film studies that treat films as texts. The theories and concepts applied include the film studies approach by Boggs and Petrie, the theory of resistance by James C. Scott, the theory of genetic structuralism by Pierre Bourdieu, and the concept of film as a depiction of reality by Graeme Turner. The study’s results show that the plot is driven by the resistance of the main character named Layal demanding justice in response to the violence, discrimination, repression, exploitation, and power imbalances occuring in the Israeli prison. Layal’s resistance is in line with the actions of Palestinian female prisoner figures who then synergize with the Palestinian male prisoners. The film 3000 Nights seeks to criticize the prison system, presenting it as a projection of conflict between Palestine and Israel at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cooper, Pat
New York: Focal Press, 2005
808.2 COO w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Liveright, 1972
791.437 AME
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gayatri Nadya Paramytha
"Skripsi ini membahas praanggapan yang muncul dalam tuturan adegan film Janji Joni dan juga maknanya. Penelitian ini bersifat deskriptif yang sumber datanya merupakan transkripsi dari tuturan dalam adegan film. Tujuan penelitian ini adalah mendeksripsikan praanggapan-praanggapan yang muncul dalam adegan film dan juga mengklasifikasikan jenis praanggapan yang muncul. Penelitian ini melihat kemunculan jenis-jenis praanggapan sesuai pemaparan Yule dan Grundy serta didukung oleh konteks situasi, partisipan, dan pengetahuan bersama. Hasilnya muncul lima jenis praanggapan dalam tuturan adegan film Janji Joni.
This study explains about presupposition appears in Janji Joni film as well as its meaning. This research uses descriptive type of research, transcription of utterance from certain scenes of this film became source of data. The purpose of this research is to describe presupposition that appears and also classify the type of presupposition based on Yule and Grundy?s theories and also enriched by context, participant, and background knowledge. The result shows that there are 5 types of presuppositions in utterance from certain scenes of Janji Joni film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S10989
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>