Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tubagus Erif Faturahman
"Penelitian ini membahas dua hal; Penyebab konflik dalam dunia internasional dan penyelesaiannya, serta pandangan Konstruktivisme terhadapnya; bersifat critical theory, yang mencoba membandingkan Konstruktivisme dan Realisme. Sebagai suatu hal residu dalam kehidupan manusia, konflik bukanlah sebuah deviasi atau patologi sosial. Sebaliknya, ia menjadi instrumen bagi proses kemajuan peradaban manusia. Konflik dipandang menjadi negatif manakala bersifat destruktif yang melandaskan pada benturan-benturan fisik. Konflik negatif inilah yang saat ini menjadi sebuah patologi yang harus dicari akar permasalahan dan solusinya. Memahami konflik dan penyelesaiannya sangat tergantung dari cara pandang atau paradigma yang digunakan. Dalam penelitian ini, cara pandang yang digunakan adalah Konstruktivisme. Berbagai paradigma yang selama ini mendominasi teori dalam hubungan internasional seperti Realisme dan Liberalisme, tidak lagi mampu menjangkau dalam menganalisa berbagai penyebab konflik yang sifatnya non materi, seperti pertentangan identitas. Gejala itu semakin kuat seiring dengan terjadinya perubahan sistem internasional dari bipolar ketat menjadi multipolar. Kegagalan besar yang dialami oleh berbagai paradigma dalam hubungan internasional untuk menyelesaikan konflik membuatnya tidak lagi mampu menjadi guide untuk menciptakan perdamaian. Kegagalan tersebut terjadi karena muasal pemikiran fllsafat mereka sangat positivistik. Berdasar filsafat ilmu, positivisme hanya akan dapat berjalan secara baik apabila diterapkan dalam menganalisa ilmu pasti, materi atau mahluk hidup selain manusia yang reguler. Menganalisa manusia yang dinamis dengan positivisme adalah sebuah kesalahan. Konstruktivisme adalah sebuah pendekatan pos-positivis, tidak melihat manusia dan gejalanya, seperti konflik, sebagai sebuah materi. Karena itu, pendekatan ini menekankan pada kekuatan ide atau pemahaman subyektilitas sebagai faktor utama yang menggerakkan masyarakat untuk menjadi damai atau konflik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
327.16 DIS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Munandar Soelaeman
"ABSTRAK
Kerusuhan tanggal 26 Desember 1995 di kabupaten Tasikmalaya memiliki makna sosiologis berupa resistensi terhadap sistem orde baru dan simbol gerakan perlawanan santri. Hal tersebut terjadi di daerah yang dikenal sebagai kota "santri" dan terjadinya sebelum Orde Baru tumbang atau sebelum reformasi 20 Mei 1998, sehingga merupakan peristiwa murni dalam konteks struktur sosial masyarakat Orde Baru.
Permasalahan penelitian ini yaitu mengapa terjadi kerusuhan sosial dan bagaimana model resolusi konfliknya. Kerusuhan sosial merupakan salah satu bentuk dari perilaku kolektif (collective behavior) yang bersifat agresif yang dilakukan secara spontan dan keras (force). Penyebab kerusuhan terkait dengan konflik individu, konflik vertikal, konflik horizontal dan karakter resistensi masyarakatnya. Realitas kerusuhan menunjukkan dimulai dengan konflik individu, konflik horizontal, dan konflik vertikal sebagai akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah. Untuk mengelaborasinya lebih tepat apabila dilakukan dengan pendekatan konstruktivis dan kondiisihitas struktural.
Metode penelitian adalah studi kasus yang bersifat eksploratif dan kualitatif dengan paradigma konstruktivis, yaitu melakukan konseptualisasi dengan "intepretatif reversible" antara segi empirik dan segi teoretik. Sumber data primer dari individu yang merepresentasikan dirinya dalam kelompok, organisasi, lembaga dan masyarakat. Pola sosial yang dikaji meliputi konflik individual, vertikal dan horizontal serta aspek resolusi konfliknya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa:
(1) Latar masalah kerusuhan barkaitan dengan bersinerginya konflik individual akibat tindakan penganiayaan oleh oknum polisi (terusiknva harkat dan martabat ulama yang menimbulkan kemarahan ummat), dengan faktor konflik vertikal (antara masyarakat dengan negara) dan konflik horizontal (antara warga masyarakat setempat dengan warga etnis Cina). Selain itu adanya sifat atau karakter daya resistensi masyarakat Tasikmalaya terhadap penguasa yang menindasnya dari masa ke masa. Faktor-faktor konflik Makro objektif tersebut meliputi beberapa hal berikut:
a. Konflik vertikal terkait dengan akibat Kebijakan pemerintah daerah beserta DPRD (sebagai suatu perserikatan yang dikordinasi secara memaksa) dengan legitimasi wewenangnya yang cenderung menjadi normatif. Wewenang tersebut telah mendominasi kelompok masyarakat, yang menyebabkan adanya ketidakpuasan. dari kekecewaan warga, sehingga menimbulkan konflik vertikal.
b. Konflik horizontal antara warga setempat dengan warga kelompok etnis Cina terjadi akibat perbedaan penguasaan akses ekorromi, yang meminggirkan pengusaha lokal, dan menjadikan oposisi kepentingan spesifik, eksklusif, penyimpangan sosial, dan main backing dengan aparat.
c. Adanya karakter daya resistensi masyarakat terhadap setiap penguasa penindas berupa tawaran kerangka ideal ideologi lslam, sebagai sumber pemusatan kekuatan yang dianggap sebagai alternatif petunjuk terbaik bagi penyelesaian penderitaan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D478
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Madeira Anggita Putri
"Perkebunan sawit merupakan sektor dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia. Konflik yang terjadi pada sektor perkebunan sawit kerap memunculkan aktivitas yang didalamnya melibatkan penggunaan kekerasan. Tugas Karya Akhir ini bertujuan untuk menganalisis konflik kebun sawit di Desa Bangkal dan mengidentifikasi kekerasan yang muncul sebagai bagian dari proses eskalasi konflik. Dalam tulisan ini, data terkait kasus konflik kebun sawit PT. HMBP 1 dan Masyarakat Desa Bangkal dikumpulkan melalui kajian kepustakaan dan dianalisis dengan menggunakan Teori Segitiga Konflik. Hasil analisis menemukan bahwa kedua aktor yang berkonflik mengembangkan sikap negatif terhadap satu sama lain akibat adanya pertentangan terkait pengelolaan tanah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perilaku, baik koersif maupun non koersif. Konflik ini bereskalasi melalui lima tahapan, yaitu mobilisasi, perluasan, polarisasi, disosiasi, dan jebakan. Dari lima tahap tersebut, empat diantaranya melibatkan dua jenis kekerasan, yakni kekerasan struktural dan kekerasan langsung, seperti ancaman kekerasan, penembakan gas air mata, dan penembakan menggunakan senjata api.

Oil palm plantations are the sector with the highest number of agrarian conflicts in Indonesia. Conflicts in the oil palm sector often involve activities that include the use of violence. This Final Project aims to analyze the oil palm plantation conflict in Bangkal Village and identify the violence that emerged as part of the conflict escalation process. In this paper, data related to the palm oil plantation conflict between PT. HMBP 1 and The Bangkal Village Community were collected through literature review and analyzed using the Conflict Triangle Theory. The analysis found that both conflicting parties developed negative attitudes towards each other due to disagreements over land management, manifested in various forms of behavior, both coercive and non-coercive. This conflict escalated through five stages, namely mobilization, enlargement, polarization, dissociation and entrapment. Among this five stages, four of them involve two types of violence, structural violence and direct violence, such as threats of violence, tear gas and firearms shootings.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Keron A. Petrus
"ABSTRAK
Konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan suatu
kawasan hutan masih terus berlangsung sebagai akibat dari implementasi berbagai
kebijakan pengelolaan hutan nasional yang cenderung meminggirkan keberadaan dan
peran masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Dalam tulisan ini konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan/sítuasi yang
dapat ditanggapi sebagai tidak adanya suatu kerja sama antara berbagai pihak untuk
mempertahankan suatu sumber daya tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah
masyarakat dan pemerintah (eq. aparat instansi kehutanan), sedangkan sumber daya
yang dimaksud adalab sumber daya hutan Gn. Betung. Ketidaksepakatan di antara
para pihak ini sebagai konsekuensi berbagai kebijakan pengelolaan hutan yang
berimplïkasi path ketidakpastian akses masyarakat ke dalam hutan. Mekanisme
penanggulanganlpenyelesaian konflik dapat ditanggapi sebagal prosedur-prosedur,
langkah-langkah, strategi-strategi yang dilakukanldikembangkan oleh berbagai pihak
yang terlibat konflik atau pihak-pihak atau lembaga/forum lain sebagal upaya
menyelesaikan sebuah konflik.
Secara keseluruhan kasus-kasus yang memicu terjadinya konflik dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni konflik penguasaan dan konflik
pemanfaatan kawasan hutan. Konflik penguasaan terdiri dari penyerobotan lahan,
pergeseran batas kebun/lahan paroh lahan, dan konflik warisan. Konflik
pemanfaatan kawasan hutan terdiri dari pembukaan hutan sekunder (primer),
perawatan bekas kebun/ladang (belukar), berladang, penebangan kayu, pengambilan
basil kebun, pencurian hasil kebun, pemungutan komisi penjualan basil kebun,
perantingan tanaman sonokeling, pencurian bibit/anakan dan konflik pakan temak
(ramban).
Konflik-konflik yang terjadi antar warga masyarakat setempat dengan
pemerintah (aparat instansi kehutanan) lebih disebabkan adanya pelarangan akses
dan tindakan represif aparat terhadap warga, sedangkan konflik antar sesama warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya lebih dipicu oleh tindakan pelecehan
terhadap hak-hak penguasaan (lahan) dan pemanfaatan hasil kebun yang dilakukan
oleh warga setempat terhadap warga lain, demikian juga konflik warga masyarakat
perkampungan Talang Mulya dengan warga masyarakat yang berasal dari luar lebih
dipicu oleh tindakan pelecehan hak pemanfaatan hasil kebun milik warga masyarakat
Setempat oleh warga yang berasal dari luar (kampung/desa tetangga).
Kajian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik berbeda dari suatu periode ke periode lain Penode 1940-an s/d 1982, jumlah
jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik masih bertangsung dalam jumlab jenis
konflik, frekwensi dan intensitas yang relatif rendah karena ada beberapa kebijakan
pengelolaan hutan yang ditanggapi sebagai kebijakan yang memberikan akses
kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan. Penode 1983 s/d Juni 1998
jumlah jenis konflik, frewnesi dan intensitas konflik memngkat tajam sebab adanya
kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang berimplikasi pada ketidakpastian akses.
Untuk periode JuIl 1998 s/d Mel 2000, jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik mulai menurun. Mulai terlihat adanya ketaatan warga masyarakat setempat
terhadap aturan-aturan bersama yang membawa pengaruh pada ketenangan dan
kepastian akses terhadap lahan garapan masing-masing.
Dalam upaya penanganan/penyelesaian konflik yang melibatkan warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya berkembang beberapa mekanisme
penanganan/penyelesaian antara lain dengan cara membiarkan saja dan mengelak,
cara paksaan, perundingan di antara para pihak yang berkonflik, dim dengan cara
mediasi melalui aparat pemerintahan kampung, instansi kehutanan, Kelompok
Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH), Gabungan KPHH dan Forum Musyawarah
Kelompok (FMK). Secam keselurtthan dalam upaya penanggulangan/penyelesaian
konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan masyarakat setempat tidak
mengacu pada aturan atau hukum nasional. Karena hukum nasional (terutama di
bidang kehutanan) sudah jelas melarang akses masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan Gn. Betting. Masyarakat cenderung meuggunakan aturan (hukum)
yang dibuat dan disepakati sendiri oleh masyarakat.
Hasil kajian ¡ni menunjukkan bahwa melalui organisasi dan pranata
pengelolaan hutan yang dibangun sendiri masyarakat berhasil menyelesaikan dan
sekaligus menekan tezjadinya konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan di
tingkat masyarakat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa penanganan konflik
konflik penguasaan cian pemanfaatan kawasan hutan diperlukan adanya kelembagaan
secara organisatoris yang dibangun oleh komunitas hutan yang bersangkutan. Sebab
dalam situasi sosial yang syarat dengan persaingan, tanpa kerjasama di antara semua
pihak pengelolaan huían secam bertanggung jawab mustahil dicapai, karena itu
situasi ¡ni perlu dipulihkan dengan memberi peluang agar dapat berkembangnya
suasana kebersamaan untuk melihat secam kolektif bahwa persoalan huían bukan
hanya menjadi persoalan pemerintah tetapi menjadi persoajan semua pihak
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loekman Soetrisno
Yogyakarta: Tajidu Press, 2003
303.6 Soe k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>