Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205793 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fu Xie (Siat)
"Konflik antar golongan akhir-akhir ini, terutama konflik yang berlatar belakang agama, membuktikan bahwa pembangunan sosial di Indonesia masih sangat kurang. Untuk bisa hidup rukun di Indonesia, yang terdiri dari banyak agama, perlu dikembangkan sikap dan perilaku inklusif. Seorang yang bersikap inklusif, tidak perlu berkompromi terhadap nilai-nilai kepercayaan yang dipegangnya. Dia tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan agamanya, namun dalam hidup bermasyarakat dia terbuka terhadap kelompok-kelompok yang lain.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi inklusivitas seseorang Kristen, dan bagaimana cara meningkatkannya, Penulis memilih kota Bandung karena kota ini adalah kota yang multi kultur.
Variabel yang diteliti yaitu lnklusivitas, Sikap maupun Inklusivitas, Perilaku dari orang-orang Kristen sebagai variabcl dependen. Sedangkan variabel independen yaitu: Aliran gereja, Struktur Gereja, Sistem Pemerintah Gereja, lnteraksi Antar Umat, Keterlibatan Orang Awam, lnklusivitas dari Gembala Sidang, dan juga latar belakang pribadi dari umat. Unit analisis dari penelitian ini yaitu orang Kristen Populasi target yaitu orang-orang Kristen yang ada di Kota Bandung, sedangkan populasi sampelnya yaitu orang-orang Kristen yang menjadi anggota gereja yang ada di Bandung. Kerangka sampel yang dipakai yaitu daftar gereja yang ada pada Departemen Agama Kota Bandung dan daftar anggota yang ada di gereja.
Untuk mendapatkan alat ukur yang reliable dan valid dilakukan uji coba yang dilaksanakan dua kali di Bogor. Setiap kali uji coba, dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas. Hasil uji coba yang kedua menunjukkan bahwa alat ukur sudah valid dan reliable. Pengambilan data dilakukan terhadap 19 gereja yang terpilih secara acak, dan dari setiap gereja dipilih 4 - 5 orang sehingga terkumpul 92 responden.
Untuk menyederhanakan pengolahan data dan memudahkan penarikan kesimpulan, variabel-variabel inklusivitas jemaat maupun inklusivitas gembala direduksi menjadi masing-masing 3 variabel dengan menggunakan analisis-faktor. Analisis step-wise regression dipakai untuk mengetahui variabel-variabel mana saja yang berpcngaruh terhadap variabel dependen.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi lnklusivitas-sikap-umat yaitu Aliran gereja, Lama Pendidikan, Punya Famili Agama Katolik, dan Aktif di Organisasi Rohani Aliran gereja Karismatik/Pentakosta lebih eksklusif dibanding aliran yang lain. Semakin lama pendidikan seseorang, maka dia akan semakin inklusif. Orang yang mempunyai famili orang Katolik, akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang tidak. Dan orang yang aktif dalam organisasi rohani (kecuali gereja) akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang tidak.
Sedangkan variabel yang mempengaruhi Inklusivitas-perilaku-jemaat yaitu lnklusivitas-Perilaku-Gembala dan Tokoh-Idola-Rohani. Semakin tinggi inklusivitas-perilaku-gembala, maka akan semakin tinggi pula umatnya. Dan orang yang hanya mempunyai tokoh idola rohani saja akan lebih eksklusif dibandingkan dengan yang mempunyai tokoh idola yang Iain (bukan hanya rohani).
Variabel-variabel yang mempengaruhi Inklusivitas-Perilaku-Jemaat-terhadap-Gereja-Lain yaitu Ink!usivitas-Perilaku-Gembala-terhadap-gereja-lain, etnis umat, dan Pernah-Sekolah-Katolik. Semakin tinggi lnklusivitas-Perilaku-gembala-terhadap-gereja-lain, maka semakin tinggi pula umatnya. Orang Kristen etnis Tionghoa kurang inklusif dalam perilakunya terhadap gereja lain dibanding etnis yang lain. Sedangkan orang Kristen etnis Sunda lebih inklusif dibandingkan dengan lain. Dan orang Kristen yang pemah bersekolah di sekolah Katolik, akan lebih inklusif dalam perilakunya terhadap gereja lain dibandingkan dengan yang tidak.
Dari hasil wawancara bisa disimpulkan: Orang yang eksklusif umumnya adalah orang yang kurang mau berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Orang-orang Kristen di Bandung umumnya memiliki tipifikasi yang negatif terhadap Orang Islam-Sunda. Hubungan orang Kristen terhadap Islam lebih tegang dibandingkan terhadap agama lain. Kelompok eksklusif minoritas akan semakin eksklusif jika dilarang dan dikucilkan oleh masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan ini, ada beberapa rekomendasi yang penulis ajukan berikut ini. Pemerintah harus memfasilitasi pola interaksi antar umat sehingga umat dari agama yang berbeda bisa saling berinteraksi dan jangan ada segregasi dalam bentuk apapun. Pemerintah perlu meninjau lagi larangan terhadap kelompok eksklusif minoritas supaya kelompok tersebut berkurang (hilang) eksklusivitasnya. Gereja harus memperdulikan masalah-masalah yang ada pada lingkungan dengan memberikan bantuan, namun bentuk bantuannya jangan hanya "melempar" saja tapi dalam bentuk yang bisa berinteraksi dengan masyarakat. Umat Kristen harus mengasihi semua orang tennasuk tetangganya dengan motif yang tulus dan bukan supaya mereka nanti jadi Kristen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taliawo, Riedno Graal
"Tesis ini membahas konflik antara kelompok pada pendirian tempat ibadah GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada konflik tersebut terjadi dominasi oleh satu kelompok kepada kelompok lainnya. Keragam otoritas dalam masyarakat, menurut Dafrendorf, yang memungkinkan hal itu terjadi. Mereka yang secara jumlah mayoritas menggunakan potensi tersebut sebagai sumber otoritas untuk mengontrol otoritas negara untuk mengikuti keinginan dan kepentingannya. Konflik yang terjadi melibatkan kelompok-kelompok lain di luar jemaat GKI Taman Yasmin dengan warga sekitar lokasi gereja (Forkami). HTI, FPI, GARIS, KontraS, dan Komnas Perempuan, misalnya, adalah beberapa kelompok kepentingan yang terlibat dalam konflik ini. Pada konflik GKI Taman Yasmin, negara sebagai pemegang otoritas penyelenggara negara (Pemerintah Kota Bogor) juga ”takluk” pada dominasi kelompok tertentu. Kelompok penolak memiliki alasan menolak pendirian gereja, yaitu karena di wilayah berdirinya gereja adalah mayoritas muslim, serta adanya pemalsuan tanda tangan warga pada 15 Januari 2006 yang dilakukan Munir Karta (sebagai Ketua RT) sebagai persetujuan pendirian gereja. Sebaliknya bagi kelompok pendukung, GKI Taman Yasmin dianggap telah memenuhi syarat pendirian gereja, dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA), kebijakan Pemkot Bogor membekukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja pada tahun 18 Februari 2008 adalah salah. Karena itu, kebijakan Pemkot Bogor yang mencabut IMB secara permanen pada 11 Maret 2011 dianggap menyalahi aturan, termasuk menyimpang dari rekomendasi wajib Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, pengaturan konflik kepentingan pada pendirian tempat ibadah melalui Pengadilan sebagai pihak ketiga adalah salah satu cara yang perlu dikembangkan sebagai mekanisme pengelolaan konflik.

This thesis discuss about inter group conflict on establishment of places of worship GKI Taman Yasmin in Bogor, West Java, using a qualitative approach. The results showed that conflict occurred because of domination by one group to another group. This is called Authority Diversity in society, according Dafrendorf. The majority potentially uses such as the source of authority to control the state authorities to follow their wishes and interests. Conflicts has involve other groups outside the GKI Taman Yasmin and societies around the location of the church (Forkami). HTI, FPI, GARIS, KontraS, and Komnas Perempuan, are some of the interest groups involved on that conflict. The State as stakeholder of the authority of state officials (City Government) was also "give in" to the group dominance. Repellent groups have rejected the establishment of the church building grounds. This happen because of the church will be established in the region of majority of Muslim, and because of the fake signature that do Munir Karta (as the head of neighborhood) on January 15, 2006 for the approval of the establishment of the church. The support groups, had considered that GKI Taman Yasmin had eligible to establishment of the church, and according the decision of the Supreme Court (MA), Bogor City Government policies to freeze Building Permit (IMB) of the church on February 18, 2008 is incorrect. Therefore, Bogor City Government policies that permit permanently revoked on March 11, 2011 is considered to violate the rules, including mandatory deviate from the recommendations of the Ombudsman of the Republic of Indonesia. Furthermore, setting a conflict of interest in the establishment of places of worship by the Court as a third party is one way to be developed as a mechanism of conflict management.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Saur Tumiur
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010
305 ORA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Meitra Mivida Nurliansuri Rachmanda
"Penelitian ini bertujuan unutk mengetahui dampak konflik yang terjadi di Lampung Selatan yaitu Kecamatan Way Panji terhadap ketahanan Wilayah/Daerah dan implikasinya terhadap ketahanan nasional. Latar belakang pemilihan judul dan objek penelitian tentang konflik di Way Panji, karena konflik tersebut sudah menjadi konflik yang berskala nasional dengan melibatkan bukan hanya kedua desa yang terlibat konflik melainkan sudah melibatkan bahkan sampai ke Banten. Penelitian ini menggunakan motode pendekatan kualitatif dengan sifat penelitian adalah deskriptif dan menggunakan data primer dan sekunder, yang didapat dari unit yang analisis (informan). Hasil penelitian menunjukan bahwa, terjadinya konflik etnis di Kecamatan Way Panji adalah akibat adanya kesenjangan sosial, dimana masyarakat Balinuraga sebagai pendatang menguasai sektor ekonomi, sedangkan masyarakat Agom yaitu masyarakat asli Lampung hanya sebagai penonton dari kekuasaan dan sumber-sumber kemakmuran di Kecamatan tersebut. Substansinya adalah karena tidak meratanya kesejahteraan yang dirasakan oleh penduduk asli yang mayoritas beretnis Lampung, dan sebaliknya masyarakat pendatang tingkat kesejahteraannya lebih baik, karena keuletan dan sikap stuggle mereka yang membuat mereka maju dalam status sosial ekonomi yang menimbulkan kecemburuan, kemudian konflik yang pada awalnya dapat diredam, akhirnya tidak dapat diredam dan menjadi konflik berskala nasional. Konflik etnik yang terjadi di Kecamatan Way Panji menimbulkan dampak yang sangat besar, antara lain korban jiwa, harta benda, dan hancurnya infrastruktur fisik dan sosial di wilayah konflik tersebut. Ditinjau dari eksistensi sebuah negara, maka konflik etnik tersebut tentunya akan menjadi sebuah ancaman terhadap keutuhan NKRI karena sudah melibatkan bukan hanya etnis Lampung dan etnis Bali melainkan beberapa etnik lain seperti Banten, Medan dll. Kondisi tersebut dapat melemahkan ketahanan wilayah tersebut, karena wilayah menjadi tidak kondusif dan tidak terkendali khususnya pada aspek kehidupan yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan.

This research aims to study the effects of the conflicts in South Lampung sub district namely Way Kanji to the region resilience and its implications to national resilience. The reason why to study Way Panji conflict is because the conflict has become national scale which involves not only two villages but its spread to the villages around the region. This study uses a qualitative approach method with descriptive nature and use of primary and secondary data obtained from informants. The results showed that, ethnic conflict in Way Panji is due to the existence of social inequality, which Balinuraga society as immigrants dominate economic sectors, while indigenous people of Lampung, Agom, was just as viewers of the power and resources of the prosperity of the district. The problem is the inequality of prosperity felt by the majority of the indigenous population in Lampung, and as the immigrant community life prosper because they struggle tenacity and attitude that make them advance in their socioeconomic status raises jealousy, therefore conflicts that can initially be muted, finally break lose and become a conflict of national scale. Ethnic conflict that occurred in Way Kanji raises huge impact in physical and social infrastructure in the region. Viewed from the existence of a state, the ethnic conflict is certainly going to be a threat to the integrity of the Republic because it is not only involved the people of Lampung and Bali but also some other ethnic groups such as Banten, Medan, etc.. This condition can weaken region’s resistance, because the region is not conducive and uncontrolled especially in relation to social, economic and defense security."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Madeira Anggita Putri
"Perkebunan sawit merupakan sektor dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia. Konflik yang terjadi pada sektor perkebunan sawit kerap memunculkan aktivitas yang didalamnya melibatkan penggunaan kekerasan. Tugas Karya Akhir ini bertujuan untuk menganalisis konflik kebun sawit di Desa Bangkal dan mengidentifikasi kekerasan yang muncul sebagai bagian dari proses eskalasi konflik. Dalam tulisan ini, data terkait kasus konflik kebun sawit PT. HMBP 1 dan Masyarakat Desa Bangkal dikumpulkan melalui kajian kepustakaan dan dianalisis dengan menggunakan Teori Segitiga Konflik. Hasil analisis menemukan bahwa kedua aktor yang berkonflik mengembangkan sikap negatif terhadap satu sama lain akibat adanya pertentangan terkait pengelolaan tanah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perilaku, baik koersif maupun non koersif. Konflik ini bereskalasi melalui lima tahapan, yaitu mobilisasi, perluasan, polarisasi, disosiasi, dan jebakan. Dari lima tahap tersebut, empat diantaranya melibatkan dua jenis kekerasan, yakni kekerasan struktural dan kekerasan langsung, seperti ancaman kekerasan, penembakan gas air mata, dan penembakan menggunakan senjata api.

Oil palm plantations are the sector with the highest number of agrarian conflicts in Indonesia. Conflicts in the oil palm sector often involve activities that include the use of violence. This Final Project aims to analyze the oil palm plantation conflict in Bangkal Village and identify the violence that emerged as part of the conflict escalation process. In this paper, data related to the palm oil plantation conflict between PT. HMBP 1 and The Bangkal Village Community were collected through literature review and analyzed using the Conflict Triangle Theory. The analysis found that both conflicting parties developed negative attitudes towards each other due to disagreements over land management, manifested in various forms of behavior, both coercive and non-coercive. This conflict escalated through five stages, namely mobilization, enlargement, polarization, dissociation and entrapment. Among this five stages, four of them involve two types of violence, structural violence and direct violence, such as threats of violence, tear gas and firearms shootings.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
"Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka.
Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya.
Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian.
Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini.
Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan.
Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batho, Jemmy Franky
"Kota Ternate sebagai Kota Kepulauan di Provinsi Maluku utara yang rentan terhadap konflik sosial dikarenakan pernah mengalami konflik horizontal pada tahun 1999-2000. Tingginya intensitas konflik / pertikaian antar warga / pemuda yang terjadi di Kelurahan Mangga Dua dan Toboko pada tahun 2012-2013 menjadikan situasi dan kondisi keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat yang tidak kondusif dan berdampak terhadap lambannya proses kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah yang mengakibatkan lemahnya ketahanan daerah. Pemerintah membentuk FKDM berdasarkan Permendagrii nomor 12 tahun 2006 tentang Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat dengan tujuan untuk membantu instrumen negara dalam menyelenggarakan urusan keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat, melalui upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap potensi dan kecenderungan ancaman serta gejala atau peristiwa bencana. Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial dijelaskan bahwa Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Sedangkan Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Peneliti melakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan mengumpulkan data, informasi serta mewawancarai delapan orang informen terdiri dari Keanggotaan FKDM Kota Ternate antara lain Agung Prasojo Anggota Pembinan, Halil Hi Ibrahim wakil perguruan tinggi selaku Ketua FKDM Kota Ternate, Pdt. Abram Uggu anggota FKDM dari tokoh agama, Johan wahyudi anggota FKDM unsur Kepolisian, Aswan Lampa anggota FKDM dari tokoh pemuda, Iksan Ahmad Camat Ternate Selatan, Mochtar Lurah Mangga Dua dan Mahmud Hi. Ibrahim Lurah Toboko. Penyelesaian konflik akan terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang mewujudkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusa-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan, maka Peran FKDM bukanlah bentuk pranata sosial yang dapat menjalankan tingkatan intervensi transformasi konflik seperti Peace making (menciptakan perdamaian), Peace keeping (menjaga perdamaian), Conflict management (pengelolaan konfli) dalam bentuk Negosiasi, Mediasi, Penyelesaian jalur hukum (judicial settlement), arbitrase, dan workshop pemecahan masalah dan Peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di mangga dua dan toboko kota ternate disebabkan oleh faktor pendorong struktural. Dimana pengaruh minuman keras, pengangguran, rendanya pendidikan dan mudahnya terpovokasi dengan isu serta solidaritas yang kuat diatara kelompokop membuat pemuda sering terlibat dalam konflik yang disertai dengan tindakan kekerasan. Pencegahan konflik yang dilakukan oleh FKDM dengan meminimalisir faktor determinan, malakukan untuk hidup damai dan mejauhi kekerasan menunjukkan bahwa konflik di Ternate mengalami penurunan namun masih saja terlihat banyak minuman keras yang masuk disebabkan tidak optimal pengawasan serta tindakan tegas kepada penjual. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh FKDM dengan melakukan konsiliasi, tindakan paksaan oleh aparat dan detente sangat baik dalam menyelesaikan konflik namun dibutuhkan peningkatan koordinasi dari FKDM dan aparat terkait sehingga penyelesaian konflik berjalan maksimal.

Ternate city as the city of island in North Maluku Province is vulnerable to social conflict because there had been horizontal conflict in 1999-2000. The high intensity of conflict/ inter-society/youth brawl in Mangga Dua and Toboko administrative village during 2012-1013 made the atmosphere, security, order and peace of society hardly conducive and affected to the slow government policy process in regional development which result in weak regional resilience. Government formed FKDM based on Regulation of the Minister of Home Affairs (Permendagri) Number 12 2006 on Early Public Vigilance Forum with the purpose to help government apparatus in serving security, peace and order of society through early prevention and detection of potential threat and disaster. In constitution Number 7 2012 on handling of social conflict explained that conflict handling is a series of systematic and organized activity. Conflict prevention is a series of activities conducted to prevent the conflict by improving the capacity of institution and early warning system. This study was conducted by using qualitative with descriptive approach and data collection, information and also interviewing eight informants from the members of FKDM, Ternate City. They are Agung Prasojo as member of training, Halil Hi Ibrahim the representative from University as the leader of FKDM Ternate City, Pdt. Abram Uggu member of FKDM from religious leader, Johan wahyudi member of FKDM from police, Aswan Lampa member of FKDM from youth leader, Iksan Ahmad district chief (Camat) of South Ternate, Mochtar head of administrative village (Lurah) of Mangga Dua dan Mahmud Hi. Ibrahim head of administrative village (Lurah) Toboko. The conflict resolution will be met through certain institutions which grow the pattern of discussion and decision making among the opposite sides so the role of FKDM is not as social institution to intervene conflict transformation such as Peacemaking (creating peace), Peace keeping (keeping peace), Conflict management (conflict management) in the form of negotiation, mediation, judicial settlement, arbitration and workshop of conflict resolving and Peace building which are processes to increase welfare, development, infrastructural development, and reconciliation among the actors. The result of the study showed that the conflict which happened in Mangga Dua and Toboko, Ternate City was caused by structural supporting factors. They are the effect of alcohol, unemployment, low education rate, easily provoked group and the strong community solidarity made the youth often involved in violent conflict. The conflict prevention which implemented by FKDM through minimizing the determinant factors, living the peaceful life and avoiding violent act showed the conflict in Ternate declining, in reality, there are still number of alcoholic beverages distribution which caused by lack of supervision and decisive action to the seller. The conflict resolution which implemented by FKDM through conciliation, coercive action by law enforcement officers and ... in resolving conflict but it is also needed to improve the coordination from FKDM and law enforcement officers so that the conflict resolution can run optimally.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>