Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9118 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Syafriuni
"Tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses transformasi politik militer Indonesia khususnya pada pasca Orde Baru (1998-2002) dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan respon TNI dalam menentukan posisi politik yang diambil pasca Orde Baru (1998-2002). Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka dengan analisis data menggunakan metode deskripsi kualitatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viva Yoga Mauladi
"Model pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program trilogi pembangunan: mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi pendapatan, serta menjaga stabilitas politik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi- dalam tahun-tahun pertama menunjukkan prestasi yang baik. Tetapi sayang, prestasi ekonomi itu ternyata dibangun di atas landasan yang rapuh.
Model kekuasaan politik dan ekonomi yang sentralistik itu memunculkan praktek model ekonomi kapitalisme perkocoan (crony capitalism) sehingga tumbuh KKN, moral hazzard, dan rent seeker sebagai virus dalam kehidupan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak menciptakan distribusi pendapatan, atau usaha masyarakat golongan kecil dan menengah. Pertumbuhan ekonomi menciptakan peningkatan segolongan kecil pelaku bisnis yang konglomeratif dan menjad parasit negara.
Dengan kondisi itu, harapan untuk mempercepat terwujudnya civil society sangatlah berat. Hal itu diperparah oleh "ketidakseriusan" beberapa stakeholder, di antaranya partai palitik, pemerintah, dan beberapa LSM, untuk dapat konsisten memperjuangkan mewujudkan civil society di Indonesia. Usaha mewujudkan civil society adalah menjadi idaman bagi hampir negara-negara yang sedang membangun demokrasi. Gerakan reformasi tahun 1998 lalu sehingga pemerintah Orde Baru jatuh bisa dianggap merupakan gerakan civil society. Model gerakannya hampir mirip dengan gerakan-gerakan reformasi di Eropa Timur- termasuk di Polandia, Cekoslavia, Yugoslavia, eks Uni Soviet- di mana gerakan civil society adalah merupakan antitesa/perhadap-hadapan/vis a vis dengan kekuatan penguasa (state).
Pemilihan prioritas strategi kebijakan stakeholder dilakukan dengan metode Teori Permainan (Game Theory) untuk mendapatkan Win-win Solution yang dilakukan dengan melibatkan 15 orang ekspert dibidangnya masing-masing. Penulis menganggap mereka dapat mewakili 3 stakeholder, yaitu partai politik, pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka terdiri dari 5 orang aktivis/fungsionaris partai politik pemenang pemilu sebagai 5 partai politik terbesar yang memperoleh kursi di tingkat DPR RI (PDI-P, Golkar, PPP, PKB, dan PAN); 5 orang ekspert dari pemerintah yang mewakili 5 departemen pemerintahan (Depdagri, Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Departemen Sosial, Bappenas, Kementerian Negara Koperasi dan UKM); dan 5 orang ekspert dari LSM (YLBHI, Humanika, Intrans, PB PMKRI, PB HMI).
Hasil analisis kebijakan mewujudkan civil society di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru dengan strategi keseimbangan (Game Theory) dan metode TOWS menunjukkan bahwa peran aktif dari setiap stakeholder sangat diharapkan guna menghasilkan prioritas strategi kebijakan yang paling optimal. Dari tabel Win win Solution dapat dinilai bahwa bobot nilai terbesar dari prioritas strategi masing-masing stakeholder bila diurutkan adalah: (1) antara partai politik - pemerintah (0,275; 0,436); (2) LSM - pemerintah (0,292; 0,411); dan (3) partai politik - LSM (0,266; 0,282).
Win-win Solution antara partai politik dan pemerintah didasarkan pemikiran pelaksanaan Trias Politika di Indonesia yang tidak murni telah menempatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif untuk mengadakan komunikasi dan kerjasama dengan partai-partai politik yang kepentingannya terjelma dalam sikap fraksi-fraksi di DPR. Model komunikasi pemerintah-DPR yang telah terlembaga menyebabkan peluang untuk mengadakan kerjasama relatif besar.
Win-win Solution yang mempunyai bobot nilai terbesar kedua adalah pemerintah-LSM. Pemerintah telah mengadopsi beberapa program LSM. Hal itu tidak terlepas dari adanya perubahan paradigma pembangunan pemerintah dari "ideologi developmentalisme" menjadi paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (human centered development), Hal ini menempatkan beberapa LSM menjadi mitra pemerintah dalam suatu proyek pembangunan karena persamaan tujuan dan target. Maka kemudian muncul LSM-LSM "pelat merah" yang bersifat kooperatif dan dalam beberapa hal dapat dianggap menjadi agen pemerintah.
Win-win Solution yang paling rendah adalah antara partai politik-LSM. Usaha partai politik memperlebar basis dikungan masyarakat sebagai legitimasi politik sehingga tujuan partai politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan (ekonomi dan politik) semakin besar, Hal inilah yang sering dlkritik oleh LSM karena partai politik hanya bertujuan untuk orientasi kekuasaan. Partai politikpun juga menilai usaha LSM meningkatkan kesadaran politik masyarakat bersifat karitatif . Sikap saling curiga ini akan terus terjadi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T4268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Saeful Muhtadi
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
297.6 ASE k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhuroruddin Mashad
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
345. 958 DHU k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kacung Marijan
Jakarta: Kencana Prenada Media , 2011
320.959 8 KAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kacung Marijan
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
320.959 8 KAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
jakarta: Pustaka Utama Grafika, 1998
320 SYA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syahirul Alim
"NU sebagai salah satu kekuatan sosial-politik di Indonesia memiliki serangkaian pengalaman yang panjang, baik ketika menjadi organisasi sosial keagamaan maupun ketika berubah menjadi organisasi politik. Organisasi yang pernah dicap sebagai "tradisionalis" oleh sementara kalangan ini ternyata mendapat tempat cukup penting dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Paling tidak, berbagai karya ilmiah yang dilakukan untuk mengamati perkembangan sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini menempatkan NU sebagai fenomena menarik ketika dihadapkan dengan proses perubahan sosial di Indonesia. NU tidak lagi menjadi kekuatan sosial-politik yang marjinal terutama setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Bahkan, salah seorang pemimpin utamanya, K.H. Abdurrahman Wahid diakui sebagai salah satu tokoh popular yang disegani semua pihak, sehingga kepiawaiannya dalam membangun NU, berhasil membawanya ke kursi kepresidenan dalam suatu pemilihan umum yang demokratis pada 1999.
Perubahan sosial-politik yang terjadi pasca Orde Baru diakui telah berhasil membuka peluang yang cukup besar bagi proses liberalisasi politik, sehingga semua elemen masyarakat yang tersebar dalam berbagai kelompok kepentingan, organisasi politik maupun organisasi sosial mulai melibatkan diri secara aktif kedalam kegiatan politik. Reformasi jelas telah mendorong secara luas peran politik masyarakat yang didentifikasikan melalui fenomena bermunculannya partai politik. (Huntington: 2003). NU sebagai salah satu elemen dari bangsa ini ternyata terdorong untuk kemudian terjun kembali secara aktif kedalam dunia politik, hal ini jelas .dari munculnya beragam partai yang juga berafiliasi kepada NU. Kemunculan beberapa partai politik yang berafiliasi NU juga telah merubah pola perjuangannya selama ini dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural. Perubahan strategi perjuangan yang dilakukan NU dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana perubahan sistem politik terjadi pasca Orde Baru semakin membuka peluang kebebasan masyarakat untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Keadaan ini biasanya ditandai oleh peningkatan partisipasi politik dalam masyarakat serta kesediaan individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sistem politik yang ada (Welch: 1995).
NU memang telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat penting, terutama dimulai sejak dekade 80-an, ketika NU dibawah pengaruh kuat KH. Abdurrahman Wahid menjalankan manuver Khittah. Strategi ini diambil NU untuk mengurangi tekanan politik pemerintah Orde Baru yang semakin membesar. Oleh karena itu, Khittah tidak pernah menyurutkan semangat berpolitik NU. Politik NU dilaksanakan melalui strategi kultural yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran politik warganya. Upaya cerdik NU jelas merupakan bagian dari survival NU dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Terbukti, NU tetap bertahan sebagai organisasi massa yang sangat besar dan berpengaruh dalam wacana perkembangan sosial politik di Indonesia. Namun, ketika tatanan sosial politik mulai direkonstruksi dan diperbaharui pasca Orde Baru, NU nampaknya mengambil bagian dari proses pembaruan tersebut. Strategi kultural yang selama ini dijalankan mulai mengalami pergeseran ke arah strategi struktural dengan ditandai oleh pembentukan partai politik yang berafiliasi NU sebagai aktualisasi dari peran politik NU selama ini.
Kajian mengenai perubahan orientasi NU pasca Orde Baru akan dibahas dengan serangkaian penelitian yang mengungkap fenomena yang menyebabkan mengapa NU melakukan perubahan orientasinya dari gerakan kultural manjadi gerakan politik. Pengungkapan fenomena ini terkait dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan pengalaman pribadi, pengamatan teks sejarah serta melibatkan serangkaian wawancara dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam objek kajian yang sedang diteliti. Dari serangkaian penelitian ini, dapat diungkap sebab-sebab mengapa NU melakukan perubahan terhadap strategi perjuangan politiknya:
1. Terpinggirkannya NU oleh sistem politik Orde Baru yang selama hampir 15 tahun NU benar-benar berada dalam kondisi politik yang terjepit. NU misalnya dipaksa untuk berfusi dengan PPP sehingga mengakibatkan aspirasi politik NU yang dititipkan kedalam PPP tidak sepenuhnya terakomodasi
2. Keputusan Khittah yang kontroversial mengakibatkan ketidakjelasan arah politik NU, antara menerima Khittah dan meninggalkan politik praktis, atau menolak dan terus terlibat secara aktif dalam politik. Khittah mengakibatkan kepolitikan NU tidak memiliki pijakan yang pasti karena munculnya tekanan, baik dari kalangan internal maupun eksternal NU
3. Pasca Orde Baru yang ditandai oleh liberalisasi politik, sehingga memungkinkan lahirnya partai politik berjumlah banyak. NU, dalam hal ini tidak rela jika harus kehilangan lebih dari tiga juta suara warganya yang akan menjadi ajang rebutan beragam partai politik. Akibatnya, NU mendirikan partai politik sendiri yang sedianya dapat menampung seluruh aspirasi politik warga NU, yaitu PKB. Bahkan, akibat pluralitas po1itik warga NU, muncul juga beberapa partai yang juga mengidentifikasikan dirinya partai warga NU.
(Rincian Isi Tesis: ix, 158 halaman, Bibliografi: 65 buku, 4 jurnal, 9 artikel)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winters, Jeffrey A.
Jakarta: Djambatan, 1999
959.8 WIN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhurorudin
"Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi.
Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi.
Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka.
Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam.
Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit.
Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri.
Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan.
Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>