Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sumardi
"Sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945 wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ada empat, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD), menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden, wakil Presiden, dan mengubah UUD. Setelah perubahan, wewenang MPR tinggal dua yaitu menetapkan dan mengubah UUD. Merupakan kekuasaan menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar yang dijalankan oleh MPR, selain itu MPR bertugas melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 UUD 1945). Sebelum perubahan, MPR memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden namun saat ini peran MPR hanya melantik. Oleh karena itu MPR bukan lagi sebagai majelis pemilih namun hanya majelis pelantik presiden dan wakil presiden.
Menurut M, Solly Lubis, kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR (Die Gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des VW/ens des Staatvolkes), Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN), Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil kepala Negara (Wakil presiden), Majelis inilah yang memegang kekuasaan tertinggi sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis, ia adalah "mandataris" dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet? kepada Majelis.
Di sinilah terjelmanya pokok pikiran kedaulatan rakyat yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai memegang kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalannya Negara dan bangsa, yaitu berupa ;
1. menetapkan Undang-undang Dasar
2. menetapkan garis-garis besar dari haluan Negara
3. mengangkat Presiden dan Wakil Presiden
Dengan kewenangan yang demikian itu, menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara maka kekuasaan MPR luas sekali. Ini adalah logis karena MPR adalah pemegang kedaulatan Negara. Sebagai badan yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat maka segala keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi seluruh rakyat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2010
342.009 598 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Zebua, Sadarieli
"Salah satu tuntutan masyarakat pada awal gerakan reformasi adalah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan mewujudkan demokratisasi melalui penerapan 3(tiga) pilar "good governance" yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal I ayat (2) perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945, telah mendorong MPR mengeluarkan kebijakan tentang penugasan Badan Pekerja melaksanakan pemasyarakatan atau sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai ketentuan pasal 31 huruf e, TAP MPR No. III MPR/l2003, dengan tujuan memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Berdasarkan kerangka teori dari Sabatier dan Mazmanian yang mengatakan bahwa implementasi merupakan tahap-tahap proses yang terdiri atas lima variabel yaitu keluaran kebijakan, kepatuhan kelompok sasaran, dampak nyata, dampak yang dikehendaki dan revisi/penyempurnaan kebijakan, serta Edwards III yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel komunikasi, sumber-sumber, sikap pelaksana dan struktur birokrasi, serta metode penelitian deskriptif kuantitatif, diketahui bahwa implementasi kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2002-2003 oleh Badan Pekerja MPR, belum sepenuhnya berhasil memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Belum tercapainya tujuan kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Badan Pekerja MPR, diduga disebabkan variabel sumber daya, variabel komunikasi, variabel kelembagaan dan variabel lingkungan.
Kelemahan sumber daya pelaksanaan kebijakan terutama disebabkan oleh kurang memadainya jumlah dan kemampuan pelaksana kebijakan yang tercermin dari rendahnya jangkauan sosialisasi, kurangnya disiplin, rendahnya kesepahaman di antara pelaksana kebijakan, lemahnya persiapan dan intensitas hubungan dengan kelompok sasaran, serta lemahnya sosialisasi internal diantara para pelaksana kebijakan. Terbatasnya sumber daya tersebut di atas jugs berpengaruh terhadap kurang efektifnya komunikasi, yang tercermin dari kurangnya kesepahaman, kurang jelasnya pembagian tugas, kurangnya kesamaan bahasa diantara para pelaksana kebijakan, serta rendahnya intensitas komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Frekuensi pemberitaan yang rendah, serta rendahnya citra dan penguasaan opini publik telah mengakibatkan rendahnya daya tanggap masyarakat terhadap pelaksanaan sosialisasi.
Kelemahan organisasi pelaksanaan/kelembagaan, terutama disebabkan oleh rendahnya akses kelembagaan Badan Pekerja MPR sebagai pelaksana kebijakan kepada kelompok sasaran, serta tidak adanya kelembagaan khusus yang menangani kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi demikian mengakibatkan pola hubungan dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran bersifat insidental.
Pencapaian tujuan kebijakan sosialisasi juga dipengaruhi oleh kelemahan kondisi lingkungan, terutama lemahnya layanan informasi, kurang sesuainya metode sosialisasi, kurangnya kesepahaman dan rendahnya tindak lanjut aspirasi masyarakat telah menimbulkan kejenuhan diantara kelompok sasaran.
Untuk memperbaiki implementasi kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, perlu dilakukan beberapa hal antara lain :
1. Meningkatkan disiplin, pemahaman dan penguasaan substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, serta meningkatkan sosialisasi internal di antara Anggota Badan Pekerja MPR, untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Meningkatkan intensitas dialog untuk mencapai kesepahaman, kejelasan pembagian tugas, kesamaan bahasa diantara pelaksana kebijakan sosialisasi dan intensitas pemberitaan atau komunikasi antara Badan Pekerja MPR dengan kelompok sasaran (public relations), untuk menjaga citra dan opini publik terhadap Badan Pekerja MPR.
3. Membentuk sebuah kelembagaan khusus yang dapat melakukan evaluasi dan pengkajian menyeluruh terhadap metode sosialisasi, serta menjalin kerjasama atau hubungan kelembagaan dengan kelompok sasaran dan seluruh pihak terkait (stakeholders).
4. Mengoptimalisasikan sistem informasi yang ada (website dan Internet) secara profesional dengan memanfaatkan teknologi informasi yang tepat dan sesuai, sehingga perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat atau kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Hidayat
"Penelitian ini membahas mengenai analisa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tujuannya adalah untuk mengetahui yang didasarkan pada suatu analisa mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, terutama yang terkait dengan kewenangan MK dan MPR. Metode penelitian menggunakan metode penelitian kepustakaan, deskriptif, komparatif, dan dengan metode pengolahan data secara kualitatif. Diadopsinya MK dan perubahan dalam kedudukan dan kewenangan MPR dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada akhirnya merubah konsep pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesudah perubahan, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya semata merupakan proses politik, yaitu proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR. Akan tetapi, juga harus melalui proses hukum di MK. Kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan kewenangan MPR adalah memutus diberhentikan atau tidaknya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul pemberhentian oleh DPR dimana sebelumnya MK telah memutus untuk membenarkan pendapat DPR.

This research examines about analysis of the Constitutional Court’s and the National Assembly’s authorities in impeachment of President and/or Vice President. The research intends to know, based on analysis, impeachment President and/or Vice President, especially about the Constitutional Court’s and National Assembly’s authorities. The methods of research used are of literature research, descriptive, comparative, and qualitative data processing. The Constitutional Court existence and change of the National Assembly’s position and authority in the amandement of the Constitution of The Republic of Indonesia 1945 finally become different concept of impeachment of Presiden and/or Vice President. Based on the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 after amandement, impeachment of Presiden and/of Vice President is not only a political process, that is mechanism in the House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat) and the National Assembly. But also a proceeding process in the Constitutional Court. The Constitutional Court’s authority in impeachment of President and/or Vice President decides motion of the House of Representative that President and/or Vice President have done violation of treason, corruption, bribery, other high crime, or misdemeanor; and/or have not qualification any more as a Presiden and/or Vice President. While the National Assembly’s authority decides remove from office or not President and/or Vice President for motion of the House of Representative, after the Constitutional Court decided for verify motion of the House of Representative."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, [date of publication not identified]
342.02 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat KUKMI, 2002
R 342.05 Ind p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>