Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainal Abidin
"Pelaksanaan administrasi pemungutan pajak bahan bakar kendaraan bermotor di propinsi DKI Jakarta dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Perlakuan khusus ini, dikarenakan adanya peraturan pemerintah nomor 21 tahun 1997 tentang pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Sehingga peraturan pemerintah DKI Jakarta nomor 6 tahun 1998 tentang pajak bahan bakar kendaraan bermotor tidak dapat dilaksanakan di propinsi DKI Jakarta.
Meskuipun potensi pajak bahan bakar kendaraan di propinsi DKI Jakarta cukup besar, namun penerimaan yang dicairkan oleh pemerintah pusat mengalami keterlambatan dari tahun ke tahun anggaran terjadi tunggakan. Kondisi realisasi penerimaan seperti ini mengganggu dalam penyusunan cash budget atau cash flow anggaran pendapatan dan belanja daerah propinsi DKI Jakarta.
Tesis ini bertujuan untuk membahas dan mendeskripsikan pelaksanaan administrasi pemungutannya, mengkaji dan menganalis penyelenggaraan pemungutannya dilihat dari aspek administrasi perpajakan dan prinsip-prinsip perpajakan secara universal, serta mencari sebab dan mengetahui alternatif pemecahan masalah atas keterlambatan realisasi penerimaannya.
Penulisan tesis ini bersifat deskriptif analisis dengan studi kasus yang pendekatannya kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan, wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi partisi terhadap pihak-pihak terkait yang terlibat di dalam penyelenggaraan pemungutan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa untuk keberhasilan pemungutan pajak bahan bakar bermotor, maka administrasi pemungutannya harus dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dan bertanggung jawab, yaitu propinsi DKI Jakarta c/q dinas pendapatan daerah. Prosedur dan mekanisme pemungutan yang dilaksanakan oleh Pertamina sudah baik karena sesuai dengan prinsip convenience of payment and economy in collection. Keterlambatan realisasi penerimaan yang dialami oleh propinsi DKI Jakarta disebabkan pada data aktual hasil penjualan bahan bakar kendaraan bermotor dan hasil pemungutan pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang dijadikan dasar dalam penghitungan pembagian oleh departemen keuangan c/q direktorat jenderal lembaga keuangan."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saleh
"ABSTRAK
Tax-related disputes with the Directorate General of Tax can be settled through the institution of objection, correction of tax assessment and administrative sanction reduction. The institution of objection, for the tax payer has been used within the scope of creating the agreement between the duties and rights of a taxpayer in looking for justice as the motivation of the performance of his/her tax obligation. The role of the institution of objection for the Directorate General of Tax sometimes creates dualism between the realization of tax collection by observing the rights of the tax payer. While tax disputes are inevitable in the interaction between
the Taxpayers and the Directorate General of Tax, in the task of securing the state revenue in tax sector. In a line with the increased trends of appealing with the Tax court, this can be an indicator that the institution of objection has not satisfied the taxpayers who bring
their tax disputes for settlement. The settlement by the institution of objection at the Directorate General of Tax instance has not given the desired results, therefore must be appealed. So has not The Southern Jakarta Regional Office of Directorate General of Taxes, the increase has been quantitatively and qualitatively filed in the
institution of objection as the effort of settling the tax dispute. From the trend of the dossier of objection cases filed within the last two (2) years, the objection with respect to Value Added Tax have dominated the dossiers of objection filed with The Southern Jakarta Regional Office of Directorate General of Taxes. From the entered 636 dossiers of objection, 468 of them have been objection related to Value Added
Tax while 96.3% have been rejected by various reasons and major parts of them are being appealed. This research depicts anything that may be the causes of the rejection after the formal and material examination of the dossier of objection by the examiner. In addition to the problems that may arise to the rejection of the objection.
This research applies descriptively qualitative method as the approach
expected to give comprehensive understanding regarding the institution of objection and the consequences of the implementation of the institution in the settlement of the tax disputes. By case studies in The Southern Jakarta Regional Office of Directorate General of Taxes , one can comprehensively find the roles of the taxpayers in
empowering the institution of objection to satisfy the rights of the taxpayer. From this research, depiction may be taken that formal and material examinations have been conducted, however the rejection has still dominated total dossier of objection filed The Southern of Jakarta Regional Office of Directorate General of Taxes. The reasons for the rejection have been based on the examiner is not in agreement with the Taxpayer due to the lack of supporting proper evidences grounding the arguments of the objection. In addition, there have been also examiners who had no nerve to make any decisions since the disputed matters are not regulated in the tax regulation or due to many interpretation of the implementation of the laws. Here, the Directorate General of Tax sometimes prioritizes its interest as an institution authorized to collect or withhold taxes. Not all implementation of the tax regulations in the field can be easily exercises by the taxpayers, can?t it. When such matter arises from the assessment that exceeds the ability of the taxpayer to pay, the taxpayer will take advantages of the institution of objection.
Should the Directorate General of Tax reject the objection, the Taxpayer will surely appeal. Appeal requirements and procedures require the taxpayers to be more patient pending the decision of the Tax Court that burdening their financial condition, by the advance payment of the assessed amount of the disputed tax. After the
taxpayers win the case at the Tax Court instance, the interest, as the laws may grant, will not immediately be enjoyable by the Taxpayers. Even the Tax Service Office will wait for the demand from the taxpayer regarding the interest. This indicates that not all decision of Tax Court is performed by the Directorate General of
Tax. Weak supervision and control of the management may reflect the nonresponsiveness of the Directorate General of Tax toward the rights of taxpayers. Therefore, the Author recommends, that the institution of objection should be managed beyond the Directorate General of Tax to empower this institution proportionally and objectively to distance it from the influence of the duties of the
Directorate General of Tax, raising public funds through tax. In addition to the more standardized operational procedures to provide legal certainty, in preceding the objection at the Directorate General of Tax, another recommendation is that the examiners should be filled with more competent human resources on the basis of knowledge on the tax regulations and the more complex development of business
sector. So should the interest, better coordination between the Tax Court and the Directorate General of Tax is required, in the form of decision, of payment, of interest incorporated in the appellate decision granting the appeal of the taxpayers, therefore
can be enforced entirely without ignoring a standard mechanism in a standard operational procedure. "
2007
T 22759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tomy Taufik Arif
"Peranan pajak dalam pembangunan nasional menjadi semakin penting akhirakhir ini. Terutama dalam kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, maka faktor penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang bersumber dari pajak menjadi sumber penerimaan utama. Untuk itu perlu didorong penerimaan pajak yang lebih besar. Tidak kalah pentingnya adalah mengurangi jumlah tunggakan pajak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi besarnya tunggakan pajak. Dalam penelitian ini dicoba 3 (tiga) faktor yang diperkirakan mempengaruhi besarnya tunggakan pajak, yaitu : pemeriksaan pajak, penagihan pajak dan perilaku wajib pajak. Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuisioner secara langsung kepada pihak yang terkait yaitu Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan jurusita pajak. Jumlah populasi untuk pemeriksa pajak sebanyak 205 orang, untuk jurusita pajak sebanyak 12 orang dan untuk Wajib Pajak adalah sebanyak 400 Wajib Pajak. Sedangkan jumlah sample untuk pemeriksa pajak sebanyak 36 orang, untuk jurusita pajak sebanyak 9 orang dan jumlah untuk Wajib Pajak adalah sebanyak 31 Wajib Pajak. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah sampling sederhana (simple random sampling) karena untuk responden Wajib Pajak dilakukan secara acak mengingat banyaknya Wajib Pajak/Penunggak Pajak yang sudah tidak dapat ditemukan alamatnya lagi. Dari data primer yang diperoleh dari responden dan data intern Kantor Pelayanan Pajak wilayah Medan dan sekitarnya, maka keseluruhan data yang diperoleh tersebut diolah dan dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis penilaian ketiga macam responden terhadap beberapa variabel yang terkait dengan masing-masing responden yang didukung dengan analisis tabel. Sedangkan analisis kuantitatif yang dilakukan dengan model korelasi (hubungan) dan regresi linier berganda (pengaruh) serta pengujian signifikansi korelasi dan regresi tersebut. Pengolahan data dengan menggunakan program komputer Excel dan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi secara signifikan pada tingkat a = 5% adalah fator perilaku Wajib Pajak dan penagihan pajak, sedangkan pemeriksaan pajak berpengaruh secara signifikan pada tingkat a = 10%. Sehingga dengan demikian hipotesis terbukti. Dilihat dari hubungan antara faktor perilaku Wajib Pajak, pemeriksaan pajak, dan penagihan pajak dengan besarnya tunggakan pajak, dapat diperoleh hasil bahwa terjadi hubungan yang erat dan negatif antara ketiga faktor tersebut dengan besarnya tunggakan pajak. Dengan demikian hipotesis terbukti. Jika dilihat pengaruh dari keseluruhan faktor perilaku Wajib Pajak, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak secara bersama-sama menentukan 81% dari jumlah tunggakan pajak.
Karena adanya hubungan yang erat dengan arah yang berlawanan antara perilaku Wajib Pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak dengan besamya tunggakan pajak, maka perlu kiranya diperhatikan ketiga faktor tersebut. Penilaian para Wajib Pajak terhadap pemeriksaan pajak dan penagihan pajak berhubungan erat dengan besarnya tunggakan pajak, oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki pemeriksaan pajak dan penagihan pajak agar penilaian Wajib Pajak menjadi Iebih baik sehingga dapat menurunkan jumlah tunggakan Wajib Pajak."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochmat Soemitro
Bandung: Refika Aditama, 2004
336.2 ROC a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Nugrahawaty
"ABSTRAK
Perbandingan antara data wajib pajak pelaku usaha terdaftar di Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) dengan jumlah pelaku usaha kriteria UMKM terdapat
ketidaksesuaian. Hal ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketaatan UMKM
dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah. Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ( PP 46 Th 2013 )
dengan tujuan memberikan kemudahan kepada wajib pajak dengan peredaran
bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dimana UMKM termasuk ke dalam kriteria
wajib pajak pajak ini. Sejak diterbitkan tanggal 1 Juli 2013 terdapat pro dan
kontra dalam masyarakat atas peraturan pemerintah ini. Tujuan penelitian untuk
meninjau kebijakan presumptive tax dalam PP 46 th 2013 dari konsepsi
presumptive taxation, mengevaluasi dari prinsip kebijakan dan menggambarkan
implikasinya dari sisi peningkatan jumlah wajib pajak terdaftar, jumlah
penerimaan pajak dan administrative cost serta enforcement cost dari sisi
fiscus. Metode yang digunakan adalah metode campuran (mixed methods
research) dengan pendekatan deskriptif. Pengumpulan data dengan studi
dokumentasi, wawancara dan penyebaran kuesioner kepada 121 Account
Representative di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Pusat. Hasil penelitian
adalah kebijakan presumptive tax dalam PP 46 th 2013 terdapat
ketidaksesuaian dari konsepsi presumptive taxation demikian pula dari prinsip
kebijakan pajak. Terdapat peningkatan jumlah wajib pajak terdaftar dan
jumlah penerimaan pajak jenis PPh Final atas penghasilan dari wajib pajak
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.8 Miliar. Administrative Cost
pada masa transisi tinggi namun nantinya administrative cost dan enforcement
cost akan rendah. Penetapan ambang batas (threshold) sangat penting,
penetapan dasar pengenaan pajak seharusnya adalah penghasilan dan perlu
adanya penurunan tarif karena tarif 1% memberatkan wajib pajak.

ABSTRAK
Fact/finding shows that there is a discrepancy in the comparison between t
he number of businessmen registered as taxpayers in the Directorate General of T
axation (DGT) data with that of businessmen who belong in SME?s criteria. This i
ndicates that the compliance level of the SMEs in fulfilling the tax obligations is s
till very low. Therefore the government has published Government Regulation No
. 46 year 2013 (PP 46, Year 2013) in order to facilitate the taxpayer, with maximu
m gross turnover of IDR 4.8 million, to be categorized in SMEs criteria. Since its i
ssuance date on July 1, 2013, there have been pros and contras among people rega
rding this government regulation. The purpose of the study is to analyze the presu
mptive tax policy in PP 46 th 2013 based on the presumptive taxation concept, to
evaluate it in terms of policy principles, and to illustrate the implications from the
side of the increasing numbers of registered taxpayers, the amount of tax revenue,
and administrative costs, as well as the enforcement costs from the fiscus side. Th
e applied method is mixed-method research with a descriptive approach. The data
is collected by documentation studies, interviews, and questionnaires given to 121
(one hundred twenty one) Account Representatives at Kanwil DJP, Central Jakart
a. The result of the study suggests that the presumptive tax policy in PP 46 Th 201
3 is incompatible with the presumptive taxation concept as well as tax policy princ
iples. There is an increasing number of registered taxpayers and an improving am
ount of tax revenue of final income tax from the taxpayers whose gross turnover d
oes not exceed IDR 4.8 Billion. The initial Administrative Cost during the transiti
on time is high but afterwards these administrative and enforcement costs will be l
ow. The stipulation on the threshold is very important; the tax should be determin
ed based on income level and a reduction should be applied on 1% fare, as it has
burdened the taxpayers."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbari Masnun
"Berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, salah satunya adalah Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor. Administrasi perpajakan khususnya administrasi pajak Bea Batik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor sebagai bagian dan sistem perpajakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam penerimaan dan pengelolaan pajak daerah umumnya dan pajak Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor khususnya. Permasalahan pokok pada penulisan tesis ini adalah bagaimana administrasi Bea
Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor pada unit SAMSAT DKI Jakarta, hambatan-hambatan yang dihadapi wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannyanya serta apakah pelaksanaan pemungutan Bea Balik Nama (BBN-II) Kendaraan Bermotor telah sesuai dengan azas-azas pemungutan pajak.
Tujuan penulisan tesis ini adalah menguraikan dan menganalisis administrasi Bea Batik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor, faktor-faktor yang menimbulkan hambatan-hambatan pelaksanaan pemungutan serta penerapan azas-azas pemungutan pajak.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adaah metode deskriptif analisis dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan pihak pihak terkait (baik terhadap wajib pajak dan aparat perpajakan). Analisis yang
dilakukan bersifat analisis kuantitatif.
Dari pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan dari
Kebijakan, Undang-undang dan Administrasi Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor menghadapi beberapa hambatan. Hambatan tersebut baik yang berasal dan dalam maupun dan luar (wajib Pajak). Hal ini menyebabkan peningkatan penerimaan Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor dapat terganggu atau mengalami penurunan. Penerapan azas-azas perpajakan dalam administrasi Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor khususnya azas kepastian hukum belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari minimnya pengetahuan masyarakat terhadap undang-undang Bea Balik Nama II (BBN-Il) Kendaraan Bermotor karena kurangnya sosialisasi.
Pelaksanaan pemungutan Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan
Bermotor seharusnya memenuhi azas-azas perpajakan. Dengan dilksanakannya azas kepastian hukum dan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya dapat meningkatkan penenimaan Bea Balik Nama II (BBN-II) Kendaraan Bermotor khususnya serta Pajak Daerah pada umumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyana
"Keinginan pemerintah untuk keluar dari kemelut utang luar negeri dan mandiri dalam pembiayaan negara, membuat pemerintah harus berupaya untuk memanfaatkan potensi yang ada dalam masyakarat, yaitu dengan mengandalkan sektor perpajakan sebagai tulang punggung dalam mencari dana dalam rangka pembangunan. Sebagai sumber utama penerimaan dalam negeri, sektor perpajakan yang dari tahun ke tahun peranannya menunjukkan kenaikan.
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, serta mendorong peningkatan investasi, pemerintah memberikan fasilitas perpajakan yang merupakan keringanan atau insentif perpajakan dalam bentuk tidak diterapkannya undang-undang yang beriaku umum.
Sistem self-assessment yang telah diterapkan sejak tahun 1984 sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Keadaan lain adalah keadilan yang tidak dirasakan oleh para Wajib Pajak, baik yang disebabkan oleh aturan maupun yang disebabkan oleh sikap arogansi petugas pajak dengan penafsirannya ataupun sikapnya yang dianggap merugikan.
Dalam rangka melaksanakan sistem perpajakan dengan baik diperlukan adanya pangkal tolak yang bersih berlandaskan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat dan itikad baik pemerintah. Hal ini menjadi landasan bagi pemberian fasilitas pengampunan pajak. Dari pengampunan pajak ini diharapkan akan memberikan pengaruh positif terhadap kejujuran dan keterbukaan wajib pajak, sehingga dengan pengampunan pajak tersebut diharapkan akan dapat memperluas jumlah wajib pajak dan dapat menjadi pendongkrak penerimaan negara yang sedang terus dikumpulkan oleh pemerintah, atau dengan kata lain pemerintah dapat mengumpulkan dana tanpa harus melakukan ekstensifikasi objek pajak.
Dari uraian yang terdapat di dalam tesis ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa pengampunan pajak masih diperlukan meskipun perundangundangan pajak telah memberikan berbagai fasilitas perpajakan dan pengampunan pajak ini masih dapat dianggap memberikan keadilan dan kepastian hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riadany Tyas Hapsari S.
"Tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak sebagai salah satu tulang punggung pendapatan negara menerapkan self assesment system dalam memungut pajak dari masyarakat. Namun dalam penerapannya, sistem ini seringkali disalah gunakan oleh Wajib Pajak sehingga menimbulkan kerugian bagi negara. Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya penegakan hukum dalam mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan oleh Wajib Pajak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, dalam menentukan kerugian negara haruslah ditentukan jumlah yang nyata dan pasti. Kedua, berkaitan penerapan pertanggung jawaban korporasi di bidang perpajakan sudah semestinya diterapkan. Hal ini dikarenakan perusahaan yang dapat disamakan dengan manusia yang memiliki pikiran dan dapat melakukan perbuatan ikut menikmati keuntungan dari penyimpangan penerapan self assesment system dibidang perpajakan.

Indonesia has aimed to achieve social welfare purpose as stated in The Preamble of Constitution 1945. Tax is one of the basic income for state enforcing selfassessment system in collecting taxes from citizen. Unfortunately, enforcing this system has caused state`s loss from tax payer misapplication. Directorate General of Taxation for law enforcement efforts in recovering losses that have been incurred by the taxpayer.
The results showed that, first, in determining the amount of damages which the state is determined to be a real and definite. Second, concerning with the implementation of corporate social responsibility in the field of taxation whether has been properly applied or otherwise. This is because the company that can be likened to a subject of law who has a mind and can do anything to enjoy the benefits of the deviation in the matter of application toward self-assessment system of taxation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Dhaifan Attallah Anda
"Laporan magang ini berisi evaluasi mengenai persiapan PT ABC dalam pengisian SPT PPh badan untuk PT IPI sesuai dengan kepatuhan terhadap Pedoman Direktorat Jenderal Pajak. Evaluasi yang dilakukan dalam laporan ini bertujuan untuk menilai Alur Pelaporan SPT PPh Badan di PT ABC, input awal ke Formulir 1771, equalisasi pajak, dan klarifikasi data yang diajukan oleh klien. Selain itu, aspek penting dari laporan magang ini adalah identifikasi perbedaan antara ringkasan penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan jumlah biaya bunga. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, praktek-praktek ini sesuai dengan peraturan yang ada serta memfasilitasi layanan yang menyeluruh. Lebih dari sekadar evaluasi, laporan magang ini juga mencakup penilaian diri yang kritis yang dilakukan oleh magang selama masa kerja mereka di PT ABC. Latihan introspeksi ini adalah bagian integral dari proses pembelajaran yang berkelanjutan, membentuk dasar yang kuat untuk kemajuan profesional mereka di masa depan.

This internship report contains a review of PT ABC’s preparation of corporate tax returns for PT IPI according to the compliance towards Directorate General of Taxes Guidelines. The evaluation carried out in this report is aimed at assessing the Corporate Tax Return Reporting Flow at PT ABC, initial input to Form 1771, tax equalization, and clarification of client’s submitted data. Additionally, a significant aspect of this report is the identification of the difference in Income Tax Article 23 receipt summary and the amount of interest expense. Based on the evaluation carried out, these practices are in accordance with the existing regulations as well as facilitating a thorough service. Beyond mere evaluation, this internship report constitutes a critical self-assessment carried out by the intern during their tenure at PT ABC. This introspective exercise is an integral part of their continuous learning process, forming a robust foundation for their future professional progression."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suroso
"Penerimaan negara dan sektor pajak dalam Anggaran Penenerimaan dan Belanja Negara, terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak tersebut, sistem pemungutan pajak, administrasi pajak maupun penyempurnaan dan penegakan hukum pajak terus dilakukan. Komitmen untuk meningkatkan penerimaan pajak tersebut diawali dengan reformasi hukum pajak pada tahun 1983 yang merubah sistem pemungutan pajak di Indonesia dari Official Assessment menjadi Self Assessment.
Sistem pemungutan pajak Self Assessment memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Di lain pihak sistem ini juga membutuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas. Salah satu bentuk penegakan hukum tersebut adalah dalam bentuk pemeriksaan yaitu untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak, dan apabila diketahui bahwa wajib pajak masih kurang dalam membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan surat ketetapan pajak. Praduk surat ketetapan pajak tersebut antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang menimbulkan kewajiban kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan. Apabila sampai dengan jatuh tempo wajib pajak tidak membayar kewajibannya tersebut akan menimbulkan hutang pajak yang harus dilakukan proses penagihan oleh aparat pajak.
Landasan hukum penagihan pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentag Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000. Proses penagihan pada dasarnya merupakan upaya hukum untuk memaksa wajib pajak agar membayar utang pajaknya. Lembaga penyanderaan (gijzeling) merupakan bagian dari upaya penagihan pajak dengan surat paksa.
Lembaga penyanderaan pada dasarnya sudah dikenal dalam lapangan hukum perdata sebagai upaya paksa agar debitur (pihak yang berutang) melaksanakan kewajibannya kepada kreditur (pihak yang berpiutang) Sedangkan dalam hukum pajak lembaga sandera dikenakan terhadap wajib pajak yang memliki utang pajak dalam jumlah tertentu yang tidak atau tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi utang pajaknya. Dalam hukum pajak ketentuan mengenai penyanderaan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 2000. Penerapan lembaga sandera pada awalnya tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan hak asasi manusia, yaitu dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975. Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 yang menghidupkan kembali lembaga penyanderaan (gyseling), Direktorat Jenderal Pajak menerapakan penyanderaan sebagai upaya dalam melaksanakan penagihan pajak. Lembaga penyanderaan merupakan bentuk penegakan hukum (law enforcement) dibidang perpajakan yang diharapkan dapat berjalan efektif dan berdampak pada pencairan tunggakan pajak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>