Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riswandi
"Sejak Soeharto "1engser" pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh
BJ. I-Iabibie sebagai Prcsiden RI Ketiga, surat kabar Indonesia lampak lebih sering
dan berani menampilkan isu-isu demokratisasi seperti terlihat dari judul-judul berita
surat kabar Ko/npcs. Merdelm, dan Republika, dan surat kabar Iainnya_
Bcrritik tolak dari pengamatan inilah peneliti ingin mengetahui jawaban
permasalahan ?apakah terdapar kccenderungan perbedaan di antara media celak di
Jakarta, khususnya harian Kompas, Me/-dcka, dan Repizb/ikca dalam memuai isu-isu
demokratisasi pada era Orde Baru dan Orde Reformasi" dan ?apakah terdapat pula
kecenderungan perbedaan di antara K0/npn.s°, A/Ie/z/eka, dan Republika dalam
menampilkan apa yang discbul dengan politisi, profesional, dan aklivis pada era Orde
Baru dan Orde Reformasi".
Pisau analisis (tools Q/ analysis) yang dipakai adalah teori Dan Nimmo
sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya Korfmnilrcm-i Polilik : Komuni/fcuor, l?e.mn_ dan Media, yang mengatakan bahwa komunikanor politik mencakup poli1isi_
profesional, dan aktivis_
Penelitian ini bersifat deskriptit] dan menggunakan metode analisis isi
(Content Analysis ).
Sctciah dilakukan penclilian tcrnyata tidak rerdapat perbedaan yang tajam di
antara sura: kabar Indonesia, khususnya harian Kompas, Merdeka, dan Republika
dalam memuat isu-isu demokratisasi pada era Orde Baru dan era Orde Reformasl
Di samping tidak terdapat pula pcrbedaan antara isu-isu demokralisasi yang dimual
harian Kompas, Merdeka, dan Republika pada era Orde Baru dan Orde Reformasi.
Temuan lain adalah bahwa tidak terdapat perbedaan yang rajam di antara surar
kabar Kompas, Merdeka, dan Republika dalam menampilkan komunikator poiitik
yang mencakup politisi, profesional, dan aktivis pada era Orde Bam dan Orde
Refommasi.
Dengan demikian perubahan Sistem Politik Indonesia yang ditandai oleh
pergantian rejim dari rejim Soeharto yang otoriter kepada rejim Habibie yang lebih
demokratis tidak mengakibatkan terjadinya perubahan pola pemberitaan media cetak
nasional, khususnya harian Konrpcrs, Mcnleku, dan Repul>liku_ Hal ini disebabkan
karena ide-ide dcmokratisasi yang, berkembang di dalam masyarakat belnm
terdistribusi secara merata pada media cezak nasional, khususnya harian Kompcrs,
Merdelm, dan Republika.
Beranjak dari lemuan ini, maka pimpinan harian Kompas. Murdeka, dan
Republika harus menetapkan sualu kcbijakan yang mampu mengakomodasikan"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T6111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdur Rizky Akbar
"Penelitian ini mendeskripsikan model komunikasi politik yang dilakukan oleh humas politik pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dalam pertarungan politik Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Model komunikasi politik sebagai satu panduan utama dalam setiap langkah komunikasi politik pasangan calon, melahirkan turunan bagan sebagai strategi komunikasi politik maupun penyusunan komunikasi strategis. Penelitian dengan pendekatan kualitatif serta desain deskriptif ini, memberikan sebuah hasil penelitian yang menunjukan proses perumusan sebuah model komunikasi politik yang melahirkan strategi komunikasi politik yang dilakukan oleh tim pemenangan Anies-Sandi dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Meski terjadi simplifikasi dalam kajian strategi komunikasi politik yang hanya berfokus pada optimalisasi dan evaluasi penggunaan media sebagai pintu informasi dengan muatan komunikasi politik, dalam pelaksanaannya tim pemenangan melalui Media Center Anies-Sandi memberikan pandangan bahwa landasan strategi komunikasi politik berangkat dari sebuah rancangan dalam merumuskan sebuah Grand Design atau paradigma sebagai penentu alur komunikasi politik yang efektif, efisien dan tepat sasaran serta melahirkan tujuan komunikasi yang sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Penelitian hanya berfokus pada pemaparan mengenai perumusan model komunikasi politik dan strategi komunikasi politik pada masa pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

This study describes the political communication model wich conducted by the political public relations of  Anies Baswedan-Sandiaga Uno in the 2017 DKI Jakarta Regional Election. Political communication model as a main guide in each step of political communication of the candidate, defining the strategy of politics and strategic communication. This research with a qualitative approach and descriptive design give the result that shows the process of formulating a political communication model  bring forth political communication strategy conducted by Anies-Sandis political PR in the 2017 DKI Jakarta regional election and contestation. Despite has a simplification in the study of political communication strategies which only focuses on optimizing and evaluating the use of media as an information with political communication content, in the implementing the winning team through Media Center Anies-Sandi gives the view that the foundation of political communication strategy departs from a design in formulating a Grand Design or paradigm as a determinant of political communication effective, efficient and right on target made up the goals that are in accordance with what has been previously designed. The research only focuses on the presentation of the formulation of the political communication model and political communication strategy in the 2017 DKI Jakarta regional election.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gun Gun Heryanto
Bogor: Ghalia Indonesia, 2012
659.2 GUN p (1);659.2 GUN p (2);659.2 GUN p (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Kajian Strategis Kepentingan Nasional, 2002
Paskal 1(2
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Yahya Mahmud
"Maraknya pemberitaan pers tentang keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis politik, berlangsung di masa transisi dari pemerintahan Orde Baru yang menerapkan pengawasan ketat terhadap pers ke era reformasi yang diwarnai oleh euforia kebebasan pers. Pers bebas menulis, melaporkan dan memberitakan apa saja, tanpa perlu takut terhadap intimidasi pemerintah, berupa pencabutan dan pembatalan Surat 1zin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Selain itu, keterlibatan Prabowo daiam kasus penculikan aktivis politik dinilai kalangan pers laku di jual karena memenuhi kriteria layak berita, yakni mencakup unsur Conflict (menunjukkan sesuatu yang antagonis), Magnitude (peristiwa besar dan melibatkan banyak orang), Proximity (dekat dengan khalayak), Prominience (menyangkut individu atau institusi terkenal), dan Significance (peristiwa yang memiliki dampak pada manusia).
Berdasarkan penilitian yang dilakukan, ditemukan persamaan dan perbedaan persepsi diantara tiga surat kabar yang diteliti, yakni Kompas, Media Indonesia, Republika. Perbedaan dan persamaan persepsi ditemukan pada lima fokus pemberitaan, yakni pernyataan Prabowo Subianto bahwa dirinya siap bertanggung jawab, pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), hasil temuan DKP bahwa Prabowo Subianto salah menganalisa Bawah Komando Operasi (BKO), sanksi administratif bagi Prabowo Subianto, dan kelanjutan pengusutan.
Penelitian tesis ini menggunakan kerangka berfikir kebebasan pers untuk mengamati cara pemberitaan oleh tiga surat kabar yang diteliti. Hasil temuan menunjukkan, tiga surat kabar yang diteliti tampil cukup santun dalam bahasa, independen dalam bersikap, dan cukup ketat menerapkan prinsip jurnalistik yang berlaku universal.
Ketiga surat kabar yang diteliti dinilai mampu menghindar dari jebakan euforia kebebasan pers, seperti menafikkan fakta atas hal-hal yang signifikan, mengelabui pembaca serta menyembunyikan bias dan emosi wartawan dibalik kalimat yang sifatnya merendahkan objek berita."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasrullah
"Ada sekurangnya dua konteks perubahan pada masa iransisi di Indonesia yang paling berpengamh; perubahan sistem media, dan refomiasi fungsi iegislatif. Sistem media pasca Orde Baru yang berubah kearah paradigma pers bebas berimplikasi pada struktur kebijakan media, struktur industri media, struktur isi media dan struktur khalayak media. Reformasi fungsi Iegislatif ditandai dengan semakin leluasanya parlemen memerankan diri sebagai fungsi keseimbangan bagi eksekutif. Namun perubahan itu tidak disertai dengan kualitas media yang baik dan mental para anggota Iegislatif (DPR-Rl) yang seharusnya lebih sensilif pada kepentingan masyarakat daripada urusan elit politik. Atas dasar konteks tersebul, perlu dikaji sejauhmana iklim kebebasan pers mernbuat anggota legislatif lebih sensitif pada permasalahan-permasalahan kebangsaan. Penelitian ini ingin mengetahui agenda media dan karekteristik isu yang menoniol serta hubungannya dengan perhatian anggota DPR-Ri pada isu-isu nasional.
Teori yang dikaii untuk peneiitian ini melipuli teori-ori tentang efek media massa pada publik. Dari tiga katagori teori efek media; efek kuat, efek moderat dan efek iemah, teori efek moderat lebih banyak digunakan dalam menielaskan efek media massa dalam memindahkan perhatian publik tentang isu-isu yang diliput. Model dependensi Ball-Rokeach dan DeF|our (1976 dan 1989) menjelaskan hubungan sistem ketergantungan sistem media dengan efek kognitif, afektif dan behavioral publik yang dipengaruhi oleh ketergantungan dan keterlibatan individu dalam sebuah isu. Selanjutnya dikaji beberapa model agenda setting antara lain berdasarkan penelitian Bemard C. Cohen (1969), McComb dan Shaw (19?2 dan 1987), Upton, Haney, dan Baseheart (19975), Zucker (1978), Serta David Hill (1991). lnti dari model agenda setting adaiah media memiliki kemampuan menyeleksi isu-isu untuk ditoniolkan yang pada gilirannya berpengaruh pada perhatian pubiik terhadap isu tersebut. Perhatian publik terhadap agenda media akan semakin besar jika publik tidak terlibat iangsung dengan isu yang diiiput oleh media.
Model fungsi agenda seiiing pada penelitian ini diteliti menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mnguji hipotesis ada tidaknya hubungan antara agenda media massa, dalam hal ini surat kabar, maiaiah dan teievisi, dengan agenda para anggota Iegislatif (DPR-Rl). Uji statistik pada analisis kuantilif menggunakan Koeiisien Koreiasi Rank Spearman. Untuk menganalisis karakteristik isu dan karakteristik publik dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan tematik mempakan teknik analisis wacana pada tingkat makro untuk merangkai kesatuan tema dari beberapa isu dan karakteristik yang terkandung didaiamnya. Populasi media adalah surat kabar Kompas, majaiah Tempo dan tayangan Liputan 6 Petang SCTV pada periode 1 sampai 31 Oktober 2002 dengan unit analisis isu. Sedangkan populasi pubiik adaiah 500 anggota DPR Ri kemudian diambil sampel sejumiah 80 responden yang tersebar ke daiam 6 Fraksi terbesar di DPR.
Hasii uji statistik menunjukkan, pemenngkatan isu-isu nasional oieh Kompas maupun Tempo tidak mempengaruhi pemeringkalan agenda pubiik anggota DPR. Pemeringkatan isu nasional oleh Liputan 6 SCTV mempengaruhi pemeringkatan agenda pubiik anggola DPR. Ketika di uji dalam kelompok komunitas berdasarkan atiiiasi politik publik, tingkat hubungan tersebut diketahui berbeda-beda. Agenda Kompas hanya berkorelasi dengan agenda publik beraiiliasi politik Parlai Golkar, Tempo berkorelasi dengan publik berailiasi poiitik Partai Golkar, PPP dan PKB. Sedangkan Lipuian 6 SCTV berkorelasi dengan pubiik beraliliasi Partai Golkar, PPP, PKB, kelompok Refomasi dan TNI Polri.
Dari analisis terhadap karakteristik isu ditemukan bahwa diantara 10 isu yang diteliti, isu-isu politik yang berhubungan dengan citra iembaga iegislatif kurang mendapatkan perhatian publik. Hal ini dimungkinkan karena media juga teiah menggeser isu-isu tersebut oleh karena isu bam yang karakteristiknya Iebih kuat, yakni kasus bom Bali; peristiwanya besar, melibatkan iebih banyak manusia dan iingkupnya lebih luas. Isu ini mendapai perhatian publik anggota DPR paling besar karena peristiwanya tidak dialami langsung oleh pubiik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T4912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"ABSTRACT
Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana ideologi neoliberalisme mempengaruhi struktur dan perilaku industri penyiaran, dalam hal ini televisi, baik pada masa orde baru maupun pada pasca revolusi Mei 1998. Dengan pendekatan ekonomi politik penelitian menyimpulkan bahwa pendirian industri penyiaran didorong semangat neoliberalisme alih-alih demokratisasi yang mengutamakan keberagaman isi dan kemajemukan kepemilikan"
Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, 2005
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhenyamin Hoessein
Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI, 2009
352 BHE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Afrizal Candra
"Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik.
Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.

The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic.
Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>