Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102397 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martoyo
"Pembangunan kilang minyak PT HPM yang berada di Cepu telah selesai pada tanggal 22 April 1998 dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 10.000 bbl/hari minyak mentah dengan menelan biaya kurang lebih sebesar Rp400 milyar. Namun sampai saat ini kilang tersebut belum bisa dioperasilkan. Penyebab belum dioperasikannya kilang tersebut ada dua.
Penyebab pertama, tidak tersedianya bahan baku minyak mentah karena PT Humpuss Patragas (relaled company) gagal melakukan explorasi di Lapangan Banyu Urip dan Jambaran, Cepu. Hak TAC atas ladang tersebut telah dijual ke Exxon Mobil, namun sampai sekarang Exxon Mobil juga belum menghasilkan minyak mentah, diperkirakan masih Iiga tahun ke depan. Sehingga jika ingin mengoperasikan kilang tersebut dibutuhkan dana yang besar untuk mendatangkan minyak mentah dari tempat lain atau memasang pipa yang panjang. Penyebab kedua, PT HPM sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) sejak krisis moneter pada tahun 1998 menimpa Indonesia. Hal ini disebabkan karena hutang modal PT HPM sebagian besar berupa valuta asing (USS) dan Induk perusahaan (Humpuss Group) juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa melakukan penambahan modal kerja.
Permasalahan di atas harus segera dicarikan solusi unluk mengatasi financial distress yang berkepanjangan. Saat ini manajemen PT HPM mempunyai tiga pilihan strategi yaitu tetap membiarkan kilang seperti kondisi selama ini (do nothing), menjual kilang tersebut kepada pihak ketiga (likuidasi) atau mencari investor baru unluk melakukan operasi kilang tersebut. Selaku manager keuangan, Dwi diminta untuk membuat analisa terhadap ketiga strategi tersebut dan strategi mana yang menghasilkan net present value (NPV) terbesar bagi perusahaan. Hasil dan rekomendasi dari analisa tersebut harus segera dilaporkan kepada direksi paling lama lima bulan ke depan.
Usaha untuk mencari investor sudah banyak dilakukan, namun saat ini hanya konsorsium TJU-Pilona yang menyatakan serius untuk menjalin kerjasama. Kesepakatan kerjasama saal ini masih dinegosiasikan oleh kedua belah pihak. Bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh TJU-Pilona adalah kerjasama penggunaan kilang untuk pengolahan minyak. PT HPM akan mendapatkan fire per barrel sebesar US$1.5 atau US$1,9 (besarnya masih dinegosiasikan sampai sekarang). Bentuk kerjasama yang ditawarkan seperti sewa menyewa dengan fee seliap barrel minyak yang diproduksi, Konsorsiurn TJU-Pilona bertanggung jawab atas pcndanaan dan operasional, sedangkan PT HPM menyediakan kilang di Cepu. Dwiyono juga dirninta oleh direksi untuk membuat proyeksi ke depan atas tawaran Konsorsium ini. Sekedar sebagai bahan pertimbangan pemilihan strategi, Dwiyono mengatakan bahwa pemah ada investor yang mengajukan penawaran untuk membeli kilang di Cepu tersebut, namun hanya sekitar USS 2 juta. Penawaran ini sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya pembangunan kilang kurang lebih sebesar Rp400 miliar. Saat ini perusahaan juga mempunyai total bank loan kepada US Exim Bank sebesar US$53,128,748 yang terdiri dari pokok dan bunga pinjaman masing-masing sebesar US$34,930,440 dan US$18,198,308 yang sudah jatuh tempo.
Jika Anda sebagai manajer keuangan, apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah financial disiress di alas dan alternatif strategi mana yang akan dipilih dari ketiga strategi tersebut? Sarannya adalah manajemen perusahaan harus segera melakukan langkah-langkah negosiasi untuk melakukan restrukturisasi hutang yang pemah ditawarkan oleh pihak US Exim melalui hair cut. Seiring dengan proses negosiasi dengan US Exim Bank perusahaan juga melakukan perhitungan untuk memilih altematif bagi perusahaan. Berdasarkan analisa forecasting maka altemtif strategi ketiga yang menghasilkan NPV terbesar, dimana perusahaan tetap menjalankan kilang dengan bekerjasama dengan konsorsium TJU-Pilona.

The construction of the refinery was substantially completed on April 22, 1998. A refining facility of 10,000 barrels per day capacity has been constructed at Cepu, Central Java. The carrying value of the refinery and related facilities not used in operations amounting to more than Rp400 billion as of December 31, 2004. The Company has not yet commenced commercial operations. The Company has delayed commencement of its commercial operation due to two factors, continuing postponement of the plan for crude oil supply and lack of financing.
First, the postponement of the plan for crude oil supply because of PT Humpuss Patragas, a related company, had failed exploration in Banyu Urip and Jambaran tield, Cepu Block. Finally, on June 29, 2001, PT Humpuss Patragas, a related Company, sold its entire interest and rights in a Technical Assistance Contract (TAC) involving the Cepu Block to Mobil (Cepu) Ltd. In accordance with the sales and purchase agreements among those companies, Mobil (Cepu) Ltd. agreed to sell 10,000 barrels per day of crude oil produced hom the Cepu Block to PT Humpuss Patragas or its related parties. But until now Mobil (Cepu) Ltd. has not yet commenced commercial operation, it?s predicted three years again. So, if the Company (PT HPM) wants to operate this refinery, they should purchase of crude oil supply from another company which longer distance. It needs much more financing for pipe construction. Second, commercial operations have not yet commenced due to lack of required financing, including working capital. The company has on the financial distress situation since Indonesia?s monetary crisis in 1998 caused by the increase of bank loans due to foreign exchange rate. Most of Company?s loan denominated in U.S Dollar Currency, monetary crisis caused the decreasing of the exchange rate rupiah to U.S Dollar. On the other hand Humpuss holding, as parent company, had not enough money to support additional working capital to PT HPM.
The Company has to looking for the solution to solve those problems of financial distress. Now, management has three available strategies: first, do nothing strategy or running business as usual, second, sells the refinery to third party and the third is operates the refinery with looking for the new investor to support working capital. As finance manager, Mr. Dwiyono was asked to make analyzing and calculation of those three available strategies for the next five months. Mr. Dwiyono will choose the alternative that yield the highest net present value (NPV).
The company has tried to negotiate with many investors to operate the refinery, but only TJU-Pilona that make a good deal. The company will received fee USS] .5 or US$1.9 of processing crude oil per barrel. The final agreement between TJU-Pilona and the company still is negotiated. Based on the early negotiation, TJU-Pilona agreed to provide all required fund, include working capital and responsible for all refinery operation. Mr. Dwiyono was asked for preparing the cash flow projection and NPV calculation of this offering.
Mr. Dwiyono also said that this refinery had been offered by investor amounting of US$2 million which less than the carrying value of the refinery and related facilities Rp400 billion. Because of the continuous financial distress the company has not yet paid US Exim Bank loan US$53,128,748, which consist of principal loan US$34,930,440 and interest USS] 8,198,308 that has been due date. If you are as finance manager like Mr. Dwiyono, what will we do to solve those problems and what the alternative should be chosen? I recommend to management to negotiate immediately to US Exim Bank for loan restructuring. Based on the projected cash flow analysis, we conclude that the company has to choose the third alternative because the highest NPV will be earned. So, the Company should continue to operate their refinery with consortium TJU-Pilona.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Syafitri
"ABSTRAK
Sejak Repelita I sampai dengan Repelita IV pembangunan sektor peternakan sapi yang diarahkan pada u.saha intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas petrnakan rakyat, telah dilaksanakan dalam Repelita V. Selanjutnya program mi masih akan terus dilanjutkan dan dikembangkan dengan mengikutsertakan investor swasta dalam penyediaan kredit jangka panjang.
Sampai saat mi penyediaan bibit sapi unggul masih. sangat diperlukan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan bibit sapi yang terus meningkat, baik sapi perah maupun sapi potong yang belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga upaya impor tidak dapat dihindarkan.
Impor bibit sapi Indonesia dalam tahun-tahun terakhir mi masih cukup besar, bahkan secara umum cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 impor bibit sapi Indonesia mencapai 4.431 ribu ekor dengan nilai US$2,739 ribu meningkat menjadi 5.2 11 ribu ekor dengan nilai US$4,444 ribu pada tahun 1986 dan terus meningkat hingga path tahun 1988 telah mencapai 17.469 ribu ekor (US$16,148 ribu). Tetapi pada tahun 1989 impor bibit sapi mi mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu hanya mencapai 8,965 ribu ekor dengan nilai US$8,299 ribu dan pada tahun-tahun berikutrya impor bibit sapi mi masih diperlukan.
Meskipun produksi hasil ternak dalam negeri dari tahun ke tahun nampak meningkat terus, Indonesia temyata terus mengimpor daging berkualitas tinggi yang tiap tahunnya mencapai sekitar. 3.000 ton per tahun. Impor tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan daging pada restoran dan hotel-hotel bertaraf internasional. Upaya-upaya kearah produksi daging berkualitas tinggi di dalam negeri sebenarnya telah lama diusahakan oleh Pemerintah melalui pola Peru sahaan Inti Rakyat (PIR) sapi potong. Namun tanpa ada peran serta dari pihak swasta yang lebih besar lagi, untuk menghilangkan impor daging mi memerlukan waktu yang lama. Dirjen Peternakan, Drh, Soehadji menjelaskan, sekarang mi saja jumlah perusahaan yang melaksanakan usaha penggemukan sapi makin banyak, tetapi barn mencapai kapasitas produksi 20.000 ekor per tahun. Padahal untuk menutupi impor daging yang sebesar 3.000 ton per tahun, paling tidak kapasitasnya 150.000 ekor per tahun.
Impor bibit sapi Indonesia selama mi didatangkan dari beberapa negara yaitu Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1985 impor bibit sapi Indonesia hanya didatangkan dari Australia sebanyak 4.431 ribu ekor dengan nilai US$ 2,739 ribu, kemudian path tahun 1986 selain dari Australia bibit sapi juga diimpor dan Selandia Barn yang sampai saat mi masih mengekspor bibit sapi Ice Indonesia. Pada tahun 1987 impor bibit sapi dari Amerika Serikat mulai memasuki Indonesia dan sampai sekarang impor bibit sapi dari negara mi masih terus dibutuhkan, karena menurut para ahli bibit sapi, khususnya sapi perah dari Amenka Serikat mi memiliki sifat genetic yang lebih unggul.
PT. "X", merupakan perusahaan daging sapi potong yang relatif baru dalam industri daging sapi potong. Produknya adalah daging sapi potong segar dan beku. Daging potong ini sifatnya cepat rusak sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Bila ingin disimpan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan, misalnya dengan membekukan daging sapi potong tersebut.
Dalam kegiatannya perusahaan mi hanya melayani konsumen yang benada pada segmen pasar tertentu, dimana permintaan terhadap produk yang dihasilkan perusahaan belum dapat dipenuhi oleh perusahaan secara keseluruhan.
Dilihat dari kondisi di atas, maka perusahaan mi mempunyai peluang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Namun kenyataannya perusahaan ini mengalami kesulitan dalam operasionalnya, sehingga gambaran hasil operasi perusahaan terus menerus mengalami kerugian. Kerugian mi dapat disebabkan oleh laba bruto yang terlalu rendah atau biaya operasi yang terlalu tinggi.
Setelah dianalisis, perusahaan mi harus menerapkan strategi manajemen yaitu strategi turnaround. Untuk menerapkan strategi mi ada beberapa tindakan yang terdiri dan beberapa tahap yang harus dilalui perusahaan untuk menyelamatkan perusahaan kepada kondisi yang menguntungkan. Adapun tahap-tahap yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah tahap penghematan yaitu berupa mengurangi biaya, dan mengurangi harta yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan perusahaan dalam jangka pendek dan tahap penyehatan kembali antara lain melalui penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan piutang, dan pengelolaan persediaan dan terus meningkatkan kulaitas pelayanan kepada konsumen.
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam strategi turnaround, terlihat bahwa perusahaan dapat melewati masa kritis dan sekarang sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan, dimana dari hasil perbandingan rugi-laba semester akhir 1992 dan Semester pertama 1993, perushaan terlihat telah mulai menikmati keuntungan walaupun belum begitu memuaskan bagi perusahaan, namun untuk jangka pendek PT X telah dapat mengatasi kesulitannya. Dan untuk jangka panjang hal mi diharapkan akan memperbaiki keadaan kesehatan perusahaan seperti yang diharapkan."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martoyo
"Pembangunan kilang minyak PT HPM yang berada di Cepu telah selesai pada tanggal 22 April 1998 dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 10.000 bbl/hari minyak mentah dengan menelan biaya kurang lebih sebesar Rp400 milyar. Namun sampai saat ini kilang tersebut belum bisa dioperasikan. Penyebab belum dioperasikannya kilang tersebut ada dua. Penyebab pertama, tidak tersedianya bahan baku minyak mentah karena PT Humpuss Patragas (related company) gagal melakukan explorasi di Lapangan Banyu Urip dan Jambaran, Cepu. Hak TAC atas ladang tersebut telah dijual ke Exxon Mobil, namun sampai sekarang Exxon Mobil juga belum menghasilkan minyak mentah, diperkirakan masih tiga tahun ke depan. Sehingga jika ingin mengoperasikan kilang tersebut dibutuhkan dana yang besar untuk mendatangkan minyak mentah dari tempat lain atau memasang pipa yang panjang. Penyebab kedua, PT HPM sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) sejak krisis moneter pada tahun 1998 menimpa Indonesia. Hal ini disebabkan karena hutang modal PT HPM sebagian besar berupa valuta acing (US$) dan Induk perusahaan (Humpuss Group) juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa melakukan penambahan modal kerja.
Permasalahan di atas harus segera dicarikan solusi untuk mengatasi financial distress yang berkepanjangan. Saat ini manajemen PT HPM mempunyai tiga pilihan strategi yaitu tetap membiarkan kilang seperti kondisi selama ini (do nothing), menjual kilang tersebut kepada pihak ketiga (likuidasi) atau mencari investor baru untuk melakukan operasi kilang tersebut atau. Selaku manager keuangan, Dwi diminta untuk membuat analisa terhadap ketiga strategi tersebut dan strategi mana yang menghasilkan net present value (NPV) terbesar bagi perusahaan. Hasil dan rekomendasi dari analisa tersebut harus segera dilaporkan kepada direksi paling lama lima bulan ke depan.
Usaha untuk mencari investor sudah banyak dilakukan, namun saat ini hanya konsorsium TJU-Pilona yang menyatakan serius untuk menjalin kerjasama. Kesepakatan kerjasama saat ini masih dinegosiasikan oleh kedua belah pihak. Bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh TJU-Pilona adalah kerjasama penggunaan kilang untuk pengolahan minyak. PT HPM akan mendapatkan fee per barrel sebesar US$I.5 atau US$1.9 (besarnya masih dinegosiasikan sampai sekarang). Bentuk kerjasama yang ditawarkan seperti sewa menyewa dengan fee setiap barrel minyak yang diproduksi, Konsorsium TJU-Pilona bertanggung jawab atas pendanaan dan operasional, sedangkan PT HPM menyediakan kilang di Cepu. Dwiyono juga diminta oleh direksi untuk membuat proyeksi ke depan atas tawaran Konsorsium ini.
Sekedar sebagai bahan pertimbangan pemilihan strategi, Dwiyono menyatakan bahwa pernah ada investor yang mengajukan penawaran untuk membeli kilang di Cepu tersebut, namun hanya sekitar US$ 2 juta. Penawaran ini sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya pembangunan kilang kurang lebih sebesar Rp400 miliar. Saat ini perusahaan juga mempunyai total bank loan kepada US Exim Bank sebesar US$53,128,748 yang terdiri dari pokok dan bunga pinjaman masing-masing sebesar US$34,930,440 dan US$18,198,308 yang sudah jatuh tempo.
Jika Anda sebagai manajer keuangan, apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah financial distress di alas dan alternatif strategi mana yang akan dipilih dari ketiga strategi tersebut?. Sarannya adalah manajemen perusahaan harus segera melakukan langkah-langkah negosiasi untuk melakukan restrukturisasi hutang yang pernah ditawarkan oleh pihak US Exim melalui hair cut. Seiring dengan proses negosiasi dengan US Exim Bank perusahaan juga melakukan perhitungan untuk memilih alternatif bagi perusahaan. Berdasarkan analisa forecasting maka alternatif strategi ketiga yang menghasilkan NPV terbesar, di mana perusahaan tetap menjalankan kilang dengan bekerjasama dengan konsorsium TJU-Pilona.

The construction of the refinery was substantially completed on April 22, 1998. A refining facility of 10,000 barrels per day capacity has been constructed at Cepu, Central Java. The carrying value of the refinery and related facilities not used in operations amounting to more than Rp400 billion as of December 31, 2004. The Company has not yet commenced commercial operations. The Company has delayed commencement of its commercial operations due to two factors, continuing postponement of the plan for crude oil supply and lack of financing.
First, the postponement of the plan for crude oil supply because of PT Humpuss Patragas, a related company, had failed exploration in Banyu Urip and Jambaran field, Cepu Block. Finally, on June 29, 2001, PT Humpuss Patragas, a related Company, sold its entire interest and rights in a Technical Assistance Contract (TAC) involving the Cepu Block to Mobil (Cepu) Ltd. In accordance with the sales and purchase agreements among those companies, Mobil (Cepu) Ltd. agreed to sell 10,000 barrels per day of crude oil produced from the Cepu Block to PT Humpuss Patragas or its related parties. But until now Mobil (Cepu) Ltd. has not yet commenced commercial operation, it's predicted three years again. So, if the Company (PT RPM) wants to operate this refinery, they should purchase of crude oil supply from another company which longer distance. It needs much more financing for pipe construction.
Second, commercial operations have not yet commenced due to lack of required financing, including working capital. The company has on the financial distress situation since Indonesia's monetary crisis in 1998 caused by the increase of bank loans due to foreign exchange rate. Most of Company's loan denominated in U.S Dollar Currency, monetary crisis caused the decreasing of the exchange rate rupiah to U.S Dollar. On the other hand Humpuss holding, as parent company, had not enough money to support additional working capital to PT HPM.
The Company has to looking for the solution to solve those problems of financial distress. Now, management has three available strategies: first, do nothing strategy or running business as usual, second, sells the refinery to third party and the third is operates the refinery with looking for the new investor to support working capital. As finance manager, Mr. Dwiyono was asked to make analyzing and calculation of those three available strategies for the next five months. Mr. Dwiyono will choose the alternative that yield the highest net present value (NPV).
The company has tried to negotiate with many investors to operate the refinery, but only TJU-Pilona that make a good deal. The company will received fee US$1.5 or US$1.9 of processing crude oil per barrel. The final agreement between TJU-Pilona and the company still is negotiated. Based on the early negotiation, TJU-Pilona agreed to provide all required fund, include working capital and responsible for all refinery operation. Mr. Dwiyono was asked for preparing the cash flow projection and NPV calculation of this offering.
Mr. Dwiyono also said that this refinery had been offered by investor amounting of US$2 million which less than the carrying value of the refinery and related facilities Rp400 billion. Because of the continuous financial distress the company has not yet paid US Exim Bank loan US$53,128,748, which consist of principal loan US$34,930,440 and interest US$18,198,308 that has been due date. If you are as finance manager like Mr. Dwiyono, what will we do to solve those problems and what the alternative should be chosen? I recommend to management to negotiate immediately to US Exim Bank for loan restructuring. Based on the projected cash flow analysis, we conclude that the company has to choose the third alternative because the highest NPV will be earned. So, the Company should continue to operate their refinery with consortium TJU-Pilona.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Harumsari
"Untuk mensukseskan pelaksanaan program diversifikasi energi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas diperlukan perumusan strategi yang tepat oleh Pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan strategi implementasi program tersebut di empat kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat dengan pendekatan analisis SWOT Kuantitatif (Chang, H.H., Huang, W.C.,2006) yang dapat menghasilkan analisis SWOT pada beberapa wilayah secara bersamaan. Setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, diperoleh hasil analisis bahwa Depok dan Bekasi berada di Kuadran I, strategi yang disarankankan SO (Strength-Opportunity); Cibinong berada di Kuadran III, strategi yang disarankan WT (Weakness-Threatment) dan Kota Bogor berada di Kuadran IV, strategi yang disarankan ST (Strength-Threatment).

To make a success implementation of the Energy Diversification Program From Fuel Oil to Gas Fuel, it is necessary to formulate an appropriate strategies by the Government. The purpose of this research is to formulate strategy implementation of the mentioned programme in four city/regency at West Java Province with the SWOT Analysis Quantitative approach (Chang, H.H., Huang, W.C.,2006) which can produce a SWOT analysis in some regions simultaneously. The analysis result that obtained after identifying the internal and external factors shows that Depok and Bekasi located in the quadrant I, strategies suggested is SO (Strength-Opportunity); Cibinong located in the quadrant III, strategies suggested is WT (Weakness-Threatment) Strategy; and Bogor city is located in the quadrant IV, strategies suggested ST (Strength-Threatment) Strategy."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T31040
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dumanauw, Peter A.L.
"Dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai pemegang hak milik atas kekayaan alam, minyak dan gas bumi yang terkandung dalam bumi dan air wilayah Indonesia, yang merupakan wilayah hukum pertambangan Indonesia memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengatur dan memanfaatkan kekayaan nasional tersebut sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian negara mempunyai hak penguasaan atas kekayaan nasional tersebut dengan menyerahkan penyelenggaraan dan pelaksanaannya kepada perusahaan milik negara, yaitu Pertamina (Perusahaan Tambang Minyak Negara) berupa kuasa pertambangan minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, pemurnian, pengelolahan, pengangkutan dan penjualan. Tetapi pada kenyataannya didalam pelaksanaan pekerjaan penambangan minyak di Indonesia, ada pekerjaan yang dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina dan ada pula yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak dapatnya Pertamina melakukan penambangan sendiri adalah disebabkan semakin tingginya teknologi yang diperlukan untuk melakukan penambangan di Indonesia dikarenakan sulitnya medan penambangan dan untuk memperoleh kualitas dan kuantitas yang semaksimal mungkin. Faktor biaya yang sangat besar dengan resiko yang tinggi juga merupakan faktor diadakannya kerjasama dengan pihak swasta. Pekerjaan penambangan minyak yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pertamina dilakukan melalui kerjasama antara Pertamina dan kontraktor asing, yaitu dalam bentuk Kontrak Production Sharing (Production Sharing Contract). Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut diatas, maka penulis bermaksud membahas Kontrak Production Sharing yang dilakukan oleh Pertamina dan Atlantic Riechfield Indonesia Inc., yang mana penulis mendapatkan hal-hal yang menarik untuk dibahas dalam kontrak ini, seperti diantaranya mengenai 'Apakah kontrak Production Sharing itu, dan apa saja yang diatur didalamnya?' Bagaimana menyelesaikan masalah dalam hal terjadi perselisihan diantara mereka dan juga apakah teori-teori perjanjian yang ada sesuai dengan prakteknya atau terdapat perbedaan-perbedaannya. Atas dasar inilah penulis memberanikan diri untuk menyusunnya dalam sebuah skripsi dengan judul 'Kontrak Production Sharing Antara Pertamina dan Atlantic Richfield Indonesia Inc . Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Widiyanto
"Turnaround adalah suatu proyek unik dengan probabilitas perubahan lingkup kerja tinggi, kemungkinan bertambahnya biaya proyek, dan kompleksitas penjadwalan waktu, penelitian ini menyajikan pengelolaan proyek turnaround pada kilang LNG, menyoroti pengembangan kompetensi pelaksana proyek dalam mencapai hasil optimal dalam lingkungan multi-disiplin dan kompleks. Kompetensi merupakan variabel yang penting dalam penelitian ini, penulisan ini membantu mengembangkan standar kompetensi pengelolaan proyek Turnaround untuk meningkatkan kinerja proyek dengan didasarkan pada pendekatan Capital value process yang terbukti handal dalam meningkatkan efisiensi proyek, hasil penelitian didapat variabel dominan dan pendukung yang mempengaruhi kinerja waktu, termasuk tindakan preventif dan korektif kompetensi pelaksana dalam meningkatkan kinerja waktu proyek.

Turnaround is a unique project with high probability of changes in scope of work, possibility of increasing project cost, and complexity of time scheduling, this research presents a project management turnaround at LNG plant, highlighting the competency development of project executors in achieving optimal results in multi-disciplinary complex. Competence is an important variabel in this research, this paper helps develop standards competency of project management Turnaround to improve the performance of the project with the Capital value process approach, which proved reliable in improving the project efficiency, the final research results obtained dominant variabels and support will impact on time performance, including preventive and corrective action to be implemented to improve project time performance."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
T46634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrea Ariefanno
"Skripsi ini membahas mengenai empat permasalahan. Pertama, mengenai konsep cost recovery pelaksanaan bioremediasi di dalam industri hulu minyak dan gas bumi dalam keuangan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, mengenai penerapan konsep cost recovery pelaksanaan bioremediasi di dalam industri hulu minyak dan gas bumi dalam keuangan negara pada Putusan Kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013. Ketiga, mengenai konsep kerugian negara atas cost recovery bioremediasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keempat, mengenai penerapan konsep kerugian negara atas cost recovery bioremediasi pada Putusan kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013. Berdasarkan hal tersebut, kasus yang tertuang di dalam Putusan Kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013 menjadi objek dalam penelitian skripsi ini. Aparat penegak hukum memutuskan bahwa kasus ini telah merugikan keuangan negara. Namun, ketidak cermatan aparat penegak hukum membuat kasus ini dalam mengidentifikasikan kerugian negara penting untuk diteliti dan dianalisis dengan cermat.

This Thesis is discussing about four problems. First, it discuss about cost recovery in bioremediation concept in the oil and gas industry based on the positive law. Secondly, it discuss about the concept in bioremediation cost recovery in the oil and gas industry in public finance based on Putusan Kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013. Thirdly, it discuss about the concept of state loss in the bioremediation cost recovery based on the positive law. The last one, it discuss about the concept of state loss in the bioremediation cost recovery based on Putusan Kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013. Based on those things, the case inside Putusan Kasasi Nomor 2330 K/Pid.SUS/2013 will be the object of this thesis. The law enforcer decide that this case has been made some loss for the state. However, the incautious act of law enforcer made this case important to be researched an analyzed further."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S57335
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnomo Rusdiono
"Pengembangan lapangan migas marjinal wilayah lepas pantai pada skema Production Sharing Contract (PSC) gross split memiliki tantangan teknis dan ekonomis. Pada penelitian ini berfokus pada analisis secara ekonomis terhadap pengembangan lapangan migas lepas pantai marjinal. Metode pengembangan lapangan menggunakan tiga skenario yaitu skenario I dengan Konvensional Platform; skenario II dengan Floating Production Storage and Offloading (FPSO); skenario III dengan Sea Moveable Platform (SMP). Analisis ekonomis menggunakan indikator penganggaran modal, seperti NPV, IRR, dan Payback Period. Evaluasi keekonomian dilakukan untuk mencari metode terbaik pengembangan lapangan migas marjinal dengan menerapkan skema PSC Gross Split. Diharapkan dari skenario pengembangan tersebut, mampu meningkatkan keekonomian perusahaan. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui sensitivitas perubahan parameter berikut: biaya kapital (CAPEX), biaya operasi produksi (OPEX), dan harga minyak dan gas berpengaruh terhadap nilai NPV, IRR, dan bagian pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario terbaik adalah Skenario I untuk produksi 7 tahun maupun produksi 10 tahun. Analisis keekonomian menunjukkan bahwa Skenario I dengan waktu produksi 7 tahun memberikan NPV sebesar USD 37,6 juta, IRR sebesar 30,1% dengan Payback Period 3 tahun. Sedangkan untuk waktu produksi 10 tahun diperoleh NPV sebesar USD 35,9 juta, IRR sebesar 25,2% dengan Payback Period 3 tahun.

The development of marginal oil and gas fields in the offshore area in the gross split Production Sharing Contract (PSC) scheme has technical and economic challenges. This research focuses on economic analysis of the development of marginal offshore oil and gas fields. The field development method uses three scenarios, scenario I with Conventional Platforms; scenario II with Floating Production Storage and Offloading (FPSO); scenario III with Sea Moveable Platform (SMP). The duration of production time uses 7 years and 10 years. Economic analysis uses capital budgeting indicators, such as NPV, IRR, and Payback Period. An economic evaluation was carried out to find the best method for developing marginal oil and gas fields by applying the Gross Split PSC scheme. It is expected from the development scenario, it can improve the companys economy. The sensitivity analysis is then performed to determine the sensitivity of the following parameter changes: capital costs (CAPEX), production operating costs (OPEX), and oil and gas prices affect the value of NPV, IRR and the Government take. The results show that the best scenario is Scenario I both of production time 7 years and 10 years. The economic analysis show that Scenario I with production time 7 years is attributed to NPV of USD 37.6 million, IRR of 30.1% with Payback Period of 3 years. While for production time 10 years, NPV of USD 35.9 million, IRR of 25.2% with Payback Period of 3 years.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Genio Ladyan Finasisca
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaruh tax treaty terhadap production sharing contract pertambangan minyak bumi di Indonesia, yang juga akan ditinjau dari sudut pandang hukum investasi di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tax treaty dapat mempengaruhi suatu production sharing contract yang ditandatangani sebelum lahirnya UU nomor 22 tahun 2001. Tax treaty dalam hal ini dapat mempengaruhi production sharing contract dengan memberikan kemungkinan pengurangan pajak atas dividen yang harus dibayar, yang nantinya akan mempengaruhi nilai bagi hasil yang seharusnya didapatkan oleh negara dengan mengacu terhadap ketentuan bagi hasil didalam production sharing contract itu sendiri. Dalam hal ini pengaruh tax treaty terhadap production sharing contract menunjukkan ketidak efektifan tax treaty sebagai suatu insentif investasi yang mengakibatkan kerugian bagi negara.

This research aims to find out about the influence of a tax treaty to the production sharing contract of mining petroleum in Indonesia, which will also be reviewed from the standpoint if Investment Law in Indonesia. The methode of this research is normative juridical law by using secondary data, such as legislation, and books. From this research, it is concluded, that tax treaty can affect a production sharing contract signed prior to the inception of the oil and gas law number 22/2001. Tax treaty in this case could affect production sharing contract by giving the possibility of a reduction in taxes on dividends to be paid, which would affect the value of the results should be obtained by the State with reference to the provisions for the results in the production sharing contract itself. In this case the influence of tax treaty against the production sharing contract shows the ineffectiveness of tax treaty as investment incentive in Indonesian mining petroleum sector."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45192
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanya Edria Rahmani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang bentuk-bentuk pengusahaan minyak dan gas bumi
yang pernah berlaku di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga pada saat
ini yang kemudian dicarilah bentuk pengusahaan yang paling ideal dan sesuai
dengan konsep Hak Menguasai Negara sebagaimana terdapat di Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Resolusi
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penelitian ini menggunakan bentuk
penelitian normatif atau dikenal juga dengan sebutan penelitian hukum
kepustakaan dengan tipologi deskriptif serta dengan menggunakan metode
kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa konsesi merupakan bentuk
pengusahaan minyak dan gas bumi yang paling ideal untuk diterapkan di
Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the forms of exploitation of oil and gas that ever applies in
Indonesia since the days of the Dutch East Indies colonization until today. Later,
this thesis is looking for the most ideal form of contract in accordance with the
concept of Permanent Sovereignity over Natural Resources as contained in Article
33 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution of the Republic of
Indonesia in 1945 and the United Nations General Assembly resolutions. This
study uses a form of normative research or also known as legal research with a
descriptive typology and using qualitative methods. The results of the study
suggest that the concession is the most ideal form of contract for oil and gas
operation to be applied in Indonesia."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>