Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165909 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manullang, Jus Marsondang
"Era globalisasi melanda dunia, termasuk Indonesia, menyebabkan tidak dapat lagi membendung masuknya perusahaan konstruksi asing yang secara langsung menangani proyek-proyek konstruksi di Indonesia. Pengerjaan proyek konstruksi yang ditangani secara langsung oleh perusahaan kontruksi asing ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi cukup besar jumlahnya dan masih dapat ditingkatkan penerimaannya. Peningkatan penerimaan pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi secara optimal meliputi juga peraturan perpajakan yang memenuhi azas-azas perpajakan. Peraturan perpajakan yang balk adalah peraturan yang memenuhi azas-azas perpajakan. Menurut Adam Smith terdapat 4 azas-azas perpajakan, yaitu equity (keadilan), certainty (kepastian hukum), convenience of payment, dan economy in collection. Pokok permasalahan yang akan ditulis dalam tesis adalah berkenaan dengan pemenuhan azas-azas perpajakan keadilan dan kepastian hukum dalam peraturan perpajakan yang berlaku terhadap pengenaan pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah deskriftif analitis, dan jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif. Penulis akan menguraikan mengenai pengertian-pengertian pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi serta perlakuan pengenaan pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi, dan akan diuraikan pendapat para ahli berkenaan dengan pengenaan pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi. Sesudah mendeskripsikan berbagai hal yang relevan, selanjutnya penulis akan melakukan analisis atas data-data guna memecahkan pokok permasalahan yang diperoleh dalam penelitian. Pengumpulan data utama dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang merumuskan kebijakan perpajakan, Konsultan Pajak, dan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi. Penulis juga menggunakan questionnaire sebagai pecengkap data utama. Ketentuan perpajakan yang mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi yang berlaku mulai 01 Januari 1984 s.d. sekarang dapat dibagi dalam 3 periode; yaitu periode pertama mulai 01 Januari 1984 s.d. 31 Desember 1996 dikenakan ketentuan PPh Non-Final, periode kedua mulai 01 Januari 1997 s.d. 31 Desember 2000 dikenakan PPh Final, dan periode ketiga mulai 01 Januari 2001 s.d. sekarang dikenakan PPh Non-Final dengan tidak mengakui kompensasi kerugian terhadap penghasilan kena pajak 2001 dan seterusnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peraturan perpajakan yang berlaku dalam menghitung pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi dalam periode 01 Januari 1984 s.d. 31 Desember 1996 memenuhi azas keadilan dan kepastian hukum; periode 01 Januari 1997 s.d. 31 Desember 2000 memenuhi sebagian azas keadilan dan tidak memenuhi azas kepastian hukum; dan periode 01 Januari 2001 s.d. sekarang memenuhi sebagian azas keadilan dan tidak memenuhi azas kepastian hukum. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan sebagai berikut :
1. mempertahankan definisi penghasilan yang terdapat dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh Nomor 7 tahun 1983, Nomor 7 tahun 1991, Nomor 10 tahun 1994, dan Nomor 17 tahun 2000;
2. membatalkan diberlakukannya ketentuan perpajakan PPh Final, yaitu Pasal 4 ayat (2) UU PPh Nomor 7 tahun 1983, Nomor 7 tahun 1991, Nomor 10 tahun 1994, dan Nomor 17 tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1996 tanggal 20 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan; dan peraturan pelaksanaannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 7041KMKIKMK.0411996 tanggal 26 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-421PJ.0411996 tanggai 31 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan; dan digantikan dengan ketentuan perpajakan PPh Final ;
3. meninjau kembali (inencabut) pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
5591KMK.0412000 yang menyatakan kerugian fiskal tidak boleh
dikompensasikan dengan penghasilan kena pajak mulai masa 01 Januari
2001 dan seterusnya; dan
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-961PJ.12001 tanggal 07 Pebruari 2001 yang berlaku mulai 07 Pebruari 2001, dalam rangka memenuhi kepastian hukum, agar diberlakukan mulai 01 Januari 2001.

Globalization knock over world, including Indonesia, causing cannot against barricade entry of the foreign construction company which is directly handle project of construction in Indonesia. Workmanship of project of construction handled directly by company of this foreign construction can generate Permanent Establishment. Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income is big enough and it still can be raised. The raises of acceptance of income tax on Permanent Establishment Construction Services Company?s income cover also regulation of taxation fulfilling taxation principality. According to Adam Smith of there are 4 taxation principality, that is equity, certainty, convenience of payment, and economy in collection. Fundamental Problems to be written in this thesis is the accomplishment of principality of taxation of equity and certainty of law in regulation of taxation for calculating income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income.
Type of research used in this thesis Is analytical descriptive, and type of research used in this thesis is qualitative research. Writer will elaborate to hit congeniality of income lax on Permanent Establishment Construction Services Company's income and also treatment of imposition of income tax Permanent Establishment Construction Services Company's income, and will be described the opinion of all expert with reference to imposition of income tax Permanent Establishment Construction Services Company's income. Hereafter describe of relevant matters, hereinafter the writer will do analysis data that utilized to solve fundamental of problems obtained in research. Primary data is collected through circumstantial interview with functionary on Tax General Directorate that foal mutating taxation policy, Tax Consultant, and Permanent Establishment Construction Services Company. Writer also use questionnaire as supplementary of primary data. Taxation rule arranging about imposition of income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income start 01 Januari 1984 s.d. now can divided into 3 period : the first period start 01 January 1984 s.d. 31 December 1996 imposed by Non-Final Income Tax, second period start 01 January 1997 s.d. 31 December 2000 is imposed by Final Income Tax, and third period start 01 January 2001 s.d. is now imposed by Non-Final Income Tax with exception cannot loss compensate the loss to taxable income at 2001 and so on.
Result of research conclude that taxation regulation for calculating income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income in period 01 January 1984 until 31 December 1996 is fulfilling equity and certainty principality; period 01 Januari 1997 until 31 December 2000 menu of some of justice principality and do not fulfill rule of certainty principality; and period 01 Januari 2001 until now menu of some of equity principality and do not fulfill certainty principality. Pursuant to the conclusion, writer suggests the following:
1. maintaining definition of Income which is there are in Article 4 (1) UU Income Tax Number 7 year 1983, Number 7 Year 1991, Number 10 year 1994, and Number 17 year 2000;
2. canceling the rule of taxation Final Income Tax, that is Governmental Regulation ()i number 73 year 1996 date of 20 December 1996 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services, and number : 7041KMKIKMK.0411996 date of 26 December 1996 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income, and Handbill of Tax General Director number : SE-421PJ.0411996 date 31 December 1995 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income; and replaced with ruie of taxation of Non Final Income Tax ;
3. revising ( abstracting ) aril clie 5 Finance Ministr ial Decree number : 559/KMK.04120G0 expressing fiscal loss may not compensated with taxable income in periode 01 Januari 2001 and so on ; and
4. Tax General Director Decision number : KEF-961PJ.12001 date 07 Pthruari 2001 going into effect to start 07 :'ebruari 2001, in order to fulfilling rule of law, is in order to gone into effect to by start 01 Januari 2001.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senny Tussytha
"Dalam perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai diupayakan perbaikan dan pembaharuan dalam beberapa sisi peraturan perpajakan yang pada dasarnya mengarah kepada tercapainya target pengamanan penerimaan Negara dari sektor pajak guna pembiayaan pembangunan. Dalam prakteknya, ternyata masih terdapat beberapa hambatan yang salah satunya adalah hambatan tercapainya pengamanan penerimaan Negara dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemungut.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN? Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil penelitian yang diperoleh adalah mengingat bahwa status penunjukan Pemungut tersebut hanya didasarkan pada Keputusan Presiden, maka dalam perubahan UU PPN di tahun 1994 diatur kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut tersebut. Penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari prinsip dasar PPN.
Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau JKP.
Kewajiban Pemungut PPN adalah yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada mereka. Status Pemungut tersebut semula didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya Pemungut diharapkan agar pemungut tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan negara. Setelah beberapa tahun diberlakukan, belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terealisasinya penerimaan Negara. Berdasarkan hal tersebut pula, maka sejak Januari 2004 yang termasuk dalam kategori pemungut tersebut dibatasi dan diberlakukan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dalam penghapusan status Pemungut PPN tersebut, didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa dengan adanya status Pemungut menimbulkan inefisiensi dan distorsi dalam kinerja petugas DJP. Hal itu terlihat dari kenyataan di lapangan saat itu bahwa dengan adanya pemungutan PPN oleh Pemungut mengakibatkan terjadinya pajak lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN yang tentunya mendorong Wajib Pajak tersebut untuk meminta restitusi atau pengembalian kepada Negara.
Timbulnya Pajak yang lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut Pajak adalah sebagai akibat perhitungan secara matematis dalam pelaporan Surat Pemberitahuan PPN. Dalam ketentuan Pasal 16 A UUU PPN 1984 diatur bahwa Pajak yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut. Hal itu mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran yang hams dipungut sendiri oleh PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN menjadi berkurang dan bila diperhitungkan dengan Pajak yang dapat diperhitungkan maka hal tersebut akan menimbulkan Pajak lebih dibayar. Atas kelebihan bayar tersebut, PKP dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerimaan Negara.
Setelah satu tahun diberlakukan pembatasan terhadap status pemungut sebagaimana dikemukakan di atas, sejak bulan Februari tahun 2005, status pemungut diberlakukan lagi dengan kriteria tertentu. Proses pelaporan dan penyetoran pajak atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan dari penunjukan Pemungut sebagai perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan Negara dengan cepat dapat mencapai sasaran. Namun demikian, dalam praktek dilapangan banyak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditunjuk Pemerintah tidak memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terrealisasinya penerimaan negara.

The second change of the value-added tax law rules improvement and renewal of taxation regulations in order to secure the state's income from tax to finance the development. In reality it's still found many obstacles.
The research question is how the mechanism of collecting value-added tax (VAT) by the collector is? What consideration is used to carry out the tax collecting by the collector and the background of the revocation of the tax collecting board's status? The tax service office's obstacles in watching the report and tax deposit. And finally to know the influence of the revocation of the tax collector's status toward the tax service office's income.
The research method is analytical description at the office of the second foreign capital investment tax service. The result of the research is the obligation of VAT collecting by the board that is arranged in the change of value-added tax law in 1994 reminding the status of the appointing collecting board based on the president's decision. The determination to oblige value-added tax collecting by the board deviates the basic principals of VAT.
As the value-added tax's indirect character, the tax burden lies in the buyers or the consumers of service. And the taxpayers are the entrepreneurs who sell goods and services. The obligation of the tax collector is collecting, deposing, and reporting owed tax. The early status of the tax collector board is the government's representation to quicken the state's income. Some years go by this board hasn't done much. For that reason its authority has been limited since January 2004 and the general mechanism on collecting the value-added tax has been carried out.
The government's revocation of the collector board's status was caused by the collector's inefficiency and distortion. It can be seen that the taxpayers pay more. This encourages them to ask for restitution from the state.
They have to pay tax more because of the mathematical counting. In the law of value-added tax 1984 article 16 says the collecting, deposing, reporting the owed tax by the collector's board. This results the lessening of tax paid and if it is counted it caused some surplus.
Such condition causes many problems, 1. Taxpayers ask restitution. 2. The tax official have to work hard in investigating the report of the asking for restitution, 3. Influence the state's income.
As it's stated before about the limitation of the collectors' status, the new one has been carried out since February 2005. The process of reporting and deposing tax of goods and services from taxpayers to the collector should be done according to the rules in order to increase and quicken the state's income. In fact it hasn't been done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wika Maharisa
"Khusus untuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dikenakan pajak atas sisa laba setelah pajak yang diatur dalam UU PPh Pasal 26 ayat (4) atau biasa disebut dengan Branch Profit Tax (BPT). Menjadi pertanyaan bagaimana penghitungan BPT untuk BUT yang atas penghasilannya dikenakan final, salah satunya adalah yang menjalankan usaha konstruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan BPT atas BUT yang menjalankan usaha jasa konstruksi. Dari studi kasus terhadap beberapa Putusan Pengadilan Pajak terkait sengketa penghitungan BPT sehubungan dengan penghitungan dasar pengenaan pajaknya, terdapat perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di satu sisi dengan Wajib Pajak dan Majelis Hakim di sisi lain. DJP berpendapat bahwa penghitungan BPT untuk BUT yang menjalankan usaha jasa konstruksi adalah berdasarkan Penghasilan Kena Pajak menurut pembukuan setelah dikoreksi fiskal dikurangi PPh Final, sedangkan Wajib Pajak dan Majelis Hakim beranggapan bahwa penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah menggunakan Norma Penghasilan Neto dikurangi PPh Final. Analisis perlakuan perpajakan atas penghitungan BPT tersebut dilakukan dengan menganalisis pendapat yang dikemukakan masing-masing pihak pada tiga contoh kasus yang diambil dalam penulisan ini. Dari hasil analisis menunjukkan atas PPh Badan dari BUT yang menjalankan usaha jasa konstruksi adalah dikenakan final menurut PPh Pasal 4 ayat (2) dan untuk penghitungan BPT adalah dengan menggunakan Norma Penghasilan Neto sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) UU PPh dikurangi PPh Final.

Permanent Establishment (PE) in Indonesia is imposed tax for the income after tax that regulated in the Income Tax Act Article 26 Paragraph (4) or commonly called the Branch Profit Tax (BPT). The question is how the BPT calculations for PE on income subjected to the final tax, one of which is running business of the construction services. The purpose of this study was to determine how the calculations of the Corporate Income Tax and the BPT of PE which runs business of construction services are. From the case studies of several Tax Court Decisions related dispute of BPT calculation with respect to the calculation of its taxable base, there are differences of opinions between the Directorate General of Taxation (DGT) on one side with the Taxpayers and the Judges on the other side. DGT found that the taxable income for BPT calculation for PE which running business of construction services is based on the bookkeeping after fiscal correction and deducted by Final Income Tax, while the Taxpayers and the Judges argued that the calculation of taxable income is using deemed profit deducted by Final Income Tax. Analysis of the tax treatment on BPT calculation is done by analyzing the opinions expressed on each side of three case examples taken in this research. The results from the analysis indicate that the Corporate Income Tax of PE which runs business of construction services is subjected to Final Income Tax under Income Tax Act Article 4 paragraph (2) and for the calculation of BPT is using deemed profit deducted by Final Income Tax in accordance with Article 26, paragraph (4) of Income Tax Act."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T54346
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Dhanthes
"Penelitian ini membahas objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa konstruksi ditinjau dari asas kepastian hukum. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan, yakni perbedaan pemajakan atas penghasilan dari jasa konstruksi yang bersifat final dan tidak final dan dampak perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pemajakan ganda atas penghasilan dari jasa konstruksi yang memiliki sifat pemajakan yang berbeda. Perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan menimbulkan keraguan dalam pelaksanaannya.

This study discusses the object of withholding income tax (PPh) on construction service seen from certainty principle. This research raised two issues, namely the differences of global taxation and schedular taxation on construction service fee and the impact of the different from withholding income tax on construction service. This research using qualitative approach with desciriptive design.
This research states that there is double taxation on construction service fee wich have different characteristic in withholding income tax. The different characteristic in withholding income tax on construction service in Indonesia Income Tax Law appear the ambiguous tax in its implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S61275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Efraint Pangondian
"Penelitian ini membahas permasalahan mengenai pengenaan pajak penghasilan terhadap badan asing pada bentuk usaha tetap (BUT) melalui penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) di Indonesia. Undang-undang pajak penghasilan memberlakukan pembedaan tarif antara badan usaha asing berbentuk BUT dan badan usaha asing yang tidak berbentuk BUT. Pada umumnya kegiatan atau usaha yang dijalankan oleh subjek pajak luar negeri di Indonesia sering memicu terjadinya pengenaan pajak berganda oleh negara sumber maupun negara domisili subjek pajak luar negeri. Oleh karena itu penulis hendak menganalisis mengenai keberadaan BUT dalam peraturan perpajakan di Indonesia serta penerapan P3B di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yakni penelitian kepustakaan yang dilakukan terhadap aturan-aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis dengan tipe penelitian deskriptif. Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pemajakan terhadap BUT menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif tertentu sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan dan tarif umum Pasal 17 dan 23 UU PPh. Namun terhadap kegiatan usaha yang belum memenuhi syarat BUT maka pemajakannya mengacu kepada Pasal 26 UU PPh serta kewajiban perpajakannya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam negeri yang membayarkan penghasilan kepada subjek pajak luar negeri. Selanjutnya melalui keberadaan P3B bertujuan untuk memitigasi pajak berganda dengan menyelaraskan definisi pajak, menetapkan basis pajak, menetapkan hak pemajakan, dan mengatur mekanisme yang akan digunakan untuk menghilangkan pajak berganda dengan melalui metode unilateral dan multilateral. P3B yang disepakati mengacu pada aturan perjanjian yang berkembang didunia saat ini yakni UN Model dan OECD Model.

This research discusses issues regarding to the imposition of income tax on foreign entities in the permanent establishment (PE) through the application of the double taxation avoidance agreement (tax treaty). The law of tax income applies a tariff distinction between foreign business entities in the form of PE and foreign business entities that are not in the form of PE. In general, activities or businesses carried out by foreign tax subjects in Indonesia often trigger the occurrence of double taxation by the source country or the domicile country of the foreign tax subject. Therefore, the author wants to analyze the existence of PE in tax regulations in Indonesia and the application of tax treaty in Indonesia. This research uses a juridical-normative research method, named library research conducted on written and unwritten legal rules with descriptive research type. The conclusions obtained from this research are taxation of permanent establishment according to the Income Tax Law in Indonesia can be based on certain tariffs as stipulated in the Decree of the Minister of Finance and general tariffs Article 17 and 23 of the Income Tax Law. However, for business activities that do not meet the PE requirements, the taxation refers to Article 26 of the Income Tax Law and the tax obligations are the responsibility of domestic tax subjects who pay income to foreign tax subjects. Furthermore, the existence of the tax treaty aims to mitigate double taxation by harmonizing the tax definition, establishing a tax base, determining taxation rights, and regulating the mechanism that will be used to eliminate double taxation through unilateral and multilateral methods. The agreement of tax treaty refers to the agreement rules that are developing in the world today, namely the UN Model and OECD Model.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jaja Zakaria
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007
336.2 JAJ p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Eldy Andiana Wiantara
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali fenomena rendahnya kepatuhan pajak sektor jasa konstruksi dan tidak efektifnya skema PPh Final meningkatkan kepatuhan pajak sektor jasa konstruksi. PPh Final Skema PPh Final umumnya diterapkan pada penghasilan usaha sektor hard-to-tax dan penghasilan pasif. Landasan teori yang digunakan adalah Theory of Planned Behavior and The "Slippery Slope" Framework. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan instrumen penelitian wawancara yang bersifat semi terstruktur dan open-ended. Partisipan wawancara adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Dari 11 (sebelas) partisipan, 9 (sembilan) merupakan Pemeriksa Pajak dan 2 (dua) merupakan pejabat di bagian regulasi. Hasil penelitian menunjukkan akar permasalahan kepatuhan pajak berasal dari Wajib Pajak, otoritas pajak, lingkungan ekternal Wajib Pajak, maupun dari sisi regulasi. Berdasarkan Theory of Planned Behavior, skema PPh Final berdampak buruk terhadap norma subjektif dan kontrol perilaku persepsian, kemudian mempengaruhi niat untuk patuh dan perilaku kepatuhan Wajib Pajak sektor jasa konstruksi. Berdasarkan The "Slippery Slope" Framework, skema PPh Final mengurangi persepsi Wajib Pajak akan kewenangan otoritas pajak, dan kemudian berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak yang dipaksakan. Untuk meningkatkan kepatuhan pajak sektor jasa konstruksi perlu dilakukan edukasi kepada Wajib Pajak sektor jasa konstruksi, peningkatan pengawasan dan pemeriksaan pajak, serta perubahan skema PPh Final jasa konstruksi.

This study aims to explore the phenomenon of low tax compliance in the construction sector and the ineffectiveness of the Final Income Tax to increase tax compliance in the construction sector. Final Income Tax schemes are usually applied to business income from the hard-to-tax sector and passive income. This study uses the Theory of Planned Behavior and The "Slippery Slope" Framework. This study uses a qualitative research method with semi-structured and open-ended interviews with tax officials. Of the eleven interviewees, nine are tax auditors, and two are policy makers. The results show that the root of the tax compliance problem comes from the taxpayer, tax authorities, the taxpayer's external environment, and the regulation. Based on the Theory of Planned Behavior, the Final Income Tax scheme harms subjective norms and perceived behavioral control so that it affects the intention to comply and the tax compliance behavior of contractor taxpayers. Based on The "Slippery Slope" Framework, the Final Income Tax reduces the Taxpayers' perception of the Tax Authority's power and impacts enforced tax compliance. To improve the construction sector's tax compliance, it is necessary to educate contractor taxpayers, increase supervision and tax audit probabilities, and change the Final Income Tax scheme for construction sector.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Rhesa Saputra
"Salah satu bentuk globalisasi adalah globalisasi ekonomi yang menyebabkan arus perdagangan barang antar negara semakin sering terjadi. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki perairan yang sangat luas, kegiatan pelayaran memegang peranan yang sangat penting dalam proses distribusi barang antar negara. Jalur laut adalah jalur utama dalam kegiatan eskpor impor. Di Indonesia sendiri lebih dari 90% muatan pada jalur internasional tersebut diangkut oleh perusahaan pelayaran asing. Penghasilan yang didapatkan perusahaan pelayaran asing dari Indonesia merupakan potensi Pajak Penghasilan yang sangat besar. Penelitian ini bertujuan uintuk menggambarkan kriteria pembentukan Bentuk Usaha Tetap perusahaan pelayaran asing. Tujuan kedua adalah menggambarkan mekanisme pemajakan untuk transaksi sewa kapal asing tersebut dan untuk menggambarkan penyebab timbulnya tax gap PPh 15 dari perusahaan pelayaran asing tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan metode kuantitaif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria utama timbulnya BUT adalah karena adanya agen tidak bebas. Sementara PPh yang umumnya dikenakan untuk transaksi sewa kapal ini adalah PPh Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26. Masalah utama yang menyebabkan timbulnya tax gapdalah kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh KPP Badora karena kesulitan mendapatkan data WP.

Economic globalization resulted in the increasing of free trade across nation. The riches of natural resources and large sea territory give an advantage for Indonesia in terms of shipping industry. More than 90% of Indonesia's export import containers are dominated by foreign shipping enterprises. The income generated from such activity is a huge potential of income tax. The purpose of this research are, first to describe the criteria for a Permanent Establishment to be established in Indonesia. Second, this research describes the taxing mechanism of the income, and third to describe the causes of tax gap of Income Tax Article 15 from foreign shipping enterprises. The result shows that (1) the main criteria for a PE to be established in Indonesia is the existence of a dependent agent. (2) The income tax applied for a ship charter from foreign shipping enterprises are among income tax article 15, article 23, or article 26. (3)The major problem that caused the tax gap is the lack of control from KPP Badora due to difficulties in accessing tax payer data."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>