Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36852 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joni P. Soebandono
"Program intervensi sosial ini bertujuan untuk memberdayakan komunitas desa Tegalgede dan dimaksudkan sebagai pemicu suatu perubahan sosial yang terencanakan (planned social change) dengan fokus untuk menghilangkan persepsi tidak berdaya (helplessness) warga desa tersebut. Tujuan utama dari intervensi ini adalah untuk memulai suatu proses perubahan sosial agar warga komunitas desa Tegalgede mampu keluar dari perasaan tidak berdayanya. Pemberdayaan komunitas ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Ortigas (2000) yang difokuskan melakukan intervensi untuk menghilangkan helplessness. Desa tersebut memerlukan suatu program intervensi karena desa "Tegalgede" termasuk kategori desa terisolir dan tertinggal (Inpres 1993) dan lebih dari 50% dari 1124 kepala keluarga termasuk pada kategori pra-sejahtera. Diantaranya 600 kepala keluarga dalah penerima Bantuan Langsung Tunai. Sampai saat ini desa tersebut belum pernah mempunyai suatu perencanaan pengembangan perekonomian desa, dengan fasilitas pendidikan, fasilitas umum, dan fasilitas aparat pemerintahan yang kurang memadai.
Metode pendekatan dalam mengembangkan program intervensi ini dilakukan melelui metode kualitatif, dan sebagai tahap awal dengan pengembangan agen perubahan yang terdiri dari tokoh muda desa di komunitas desa Tegalgede untuk berperan sebagai fasilitator bagi warga desa lainnya, dan menggunakan koperasi sebagai sarana pengembangan sarana perekonomian desa tersebut. Pelaksanaannya dilakukan dengan kunjungan, pertemuan tatap-muka langsung dan komunikasi secara teratur dan konsisten yang terencanakan, dan difokuskan pada pengembangan kapasitas dari warga desa sebagai upaya menumbuhkan kemampuan untuk memecahkan masalah secara koiektif. Tahap awal dari perubahan sosial yang dilaksanakan selama 4 bulan (November 2005-Maret 2006) ini berhasil dengan terbentuknya kelompok agen perubahan yang telah berfungsi dengan balk, dan juga didirikannya dua koperasi di Tegalgede. Agen perubahan ini telah berhasil menumbuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari warga, tetapi masih diperlukan tahap lanjutan dari program intervensi untuk memelihara hasil yang sudah dicapai dan mengembangkannya dengan alat dan manual 1 panduan yang jauh lebih lengkap."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luluk Dwi Kumalasari
"ABSTRAK
Fokus tesis ini adalah untuk mencoba menelaah dan menguji teori Erving Goffman tentang dramaturgi yang berasal dari buku The Presentation of Self in Everyday Life, yang diterbitkan tahun 1959. Goffman melihat banyak kesamaan antara pementasan teater dengan berbagai jenis peran yang kita mainkan dalam interaksi dan tindakan seharian. Kehidupan sebenamya adalah laksana panggung sandiwara, dan di sana kita pamerkan serta kita sajikan kehidupan kita, dan memang itulah waktu yang kita miliki. Jadi seperti aktor panggung, aktor sosial membawakan peran, mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.
Penelitian ini dilakukan atas kegelisahan peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia, selama ini melihat kondisi bangsa yang carut-marut, Pancasila yang menjadi Dasar Negara ini seolah menjadi lumpuh karena rakyatnya semakin lama justru semakin mengkhianati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Selain itu sosialisasi di dalam P4 hanya merupakan proses satu arah dan P4 hanya produk asal-asalan saja yang hanya untuk menghabiskan anggaran. Ternyata di Indonesia masih ada komunitas dimana orang-orang yang tergabung di dalamnya ingin menegakkan cinta menuju Indonesia mulia._ Komunitas ini berada di Jakarta dan bahasan-bahasan yang dibahas adalah jujur atau verbal. DaIam pelaksanaan acaranya diisi dengan dialog interaktif dan kesenian, jadi ada setting panggung, setting aktor dan setting audiens. Penelitian ini ingin mengungkapkan bagaimana proses sosialisasi nilai yang terdapat di Pancasila dilakukan secara efektif melalui panggung, di komunitas Kenduri Cinta.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu sebuah pendekatan yang dirasa relevan untuk meneliti fenomena yang terjadi di masyarakat, yang menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif dan selalu berusaha memahami pemaknaan individu (subjective meaning) dare subyek yang ditelitinya. Untuk itu dalam pengumpulan datanya digunakan tiga cara yaitu wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan (observasi), dan penelusuran data tertulis (dokumenter) dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi yang mendorong orang tertarik dengan Komunitas Kenduri Cinta adalah sangat beraneka ragam, tetapi intinya mereka ingin mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang berguna, baik, bermanfaat, dan punya fungsi sosial yang positif. Pandangan mereka terhadap Komunitas Kenduri Cinta selama ini tidak ada yang jelek (negatif), semuanya diterima dengan sangat baik. "Tanpa ada batas feodalisme tanpa ada batas golongan". "Bahasan-bahasan yang dibahas adalah bahasan-bahasan yang jujur atau verbal". Dan ini sangat sulit ditemukan ditempat dan acara lain. Acara Kenduri Cinta yang dilaksanakan tiap Jumat malam, minggu kedua dalam setiap bulannya berupa dialog interaktif dua arah (ada penceramah atau aktor dan audiens) dan disertai dengan pementasan kesenian (nyanyian, pembacaan puisi, pembacaan cerita, dan lain sebagainya). Dialog interaktif dan kesenian merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah. Konsep atau setingnya berupa panggung yang tidak terlalu tinggi agar lebih humanis, dan audiens berhadapan dengan penceramah (aktor). Kenduri Cinta tidak pernah membuat orang yang datang merasa jenuh. Ini terbukti pada setiap pelaksanaan acara yang dilakukan dari tahun 2000 sampai 2006 ini bisa berlangsung selama 6 (enam) jam. Dan pukul 20.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB.
Proses Transformasi nilai yang tejadi di Komunitas Kenduri Cinta adalah dari media yang mencakup orang-orang (aktor) yang berperan memberikan materi dan alat-alat, memberikan nilai-nilai kepada audiens, dan audiens menerima nilai dan melakukan definisi situasi, kemudian ada hasil dari transmisi nilai itu, jadi dua arah dan tidak ada unsur intervensi kepada audiens untuk menerima nilai yang disosialisasikan. Penghargaan terhadap pluralitas dengan media panggung dan aktor sebagai sarana transmisi nilai, dengan menggunakan konsep setting panggung, setting aktor dan setting audiens. Nilai-nilai yang disosialisasikan pada komunitas Kenduri Cinta semuanya tidak ada yang baru, semuanya adalah yang sudah pernah diomong-omongkan di ilmu pengetahuan atau dipidato-pidato kebudayaan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya yaitu bagaimana semua manusia dengan golongan, agama, maupun setingnya yang berbeda itu mampu menemukan titik temu yang baik untuk kemanusiaan, kesejahteraan, dan cinta yaitu nilai-nilai; data kasih, kemanusiaan, kemuliaan, kepemimpinan, kejujuran, demokrasi, egaliterianisme, pluralisme, toleransi, nurani, dan lain- lain.
Analogi dramaturgi Goffman yang berasal dari The Presentation of Self in Everyday Life, relevan untuk menganalisa sosialisasi nilai "cinta"yang terjadi di komunitas Kenduri Cinta, teutama dalam hal transmisi nilai dari aktor kepada audiens, dengan media panggung melalui rincian setting panggung, setting aktor dan setting audiens. Karena apa yang ditampilkan (performance) dapat dilihat secara langsung di panggung depan (front stage) dan mempengaruhi individu untuk menyimpulkan (melakukan definisi situasi) dan mengelola kesan (impression management), sehingga nilai-nilai itu dapat diambil untuk diaplikasikan dalam dunia sosial yang lebih luas. Namun demikian, Di sisi lain teori Goffman ternyata kurang fleksibel, karena lebih memperlakukan social establishment sebagai sistem tertutup. Jadi tidak semua konsep Goffman bisa diterapkan di komunitas Kenduri Cinta, karena apabila digunakan maka akan menjebak aktor untuk melakukan penampilan palsu (munafik).
Rekomendasi tesis ini untuk Komunitas Kenduri Cinta, penelitian ini dapat memperbaiki proses transformasi makna untuk menjaga militansi (semangat atau ruh) audiens dan masyarakat secara umum dalam melakukan proses nilai. Bagi audiens, penelitian ini dapat memberikan masukan bagaimana sebenarnya proses definisi situasi yang harus dihadapi dan pengelolaan kesan yang harus dilakukan ketika terjadi transfer nilai, diharapkan audiens juga tahu bahwa media panggung juga efektif untuk terjadinya proses transmisi nilai, bahwa nilai-nilai yang didapatkan di Komunitas Kenduri Cinta dapat bermanfaat bagi kelangsungan interaksi di masyarakat yang lebih luas. Jadi acara seperti Komunitas Kenduri Cinta ini harus bisa menjadi ikon untuk munculnya komunitas-komunitas bermartabat lain, agar bisa terjadi perubahan di Indonesia. Terutama dalam penerapan nilai-nilai Pancasila secara baik dan benar."
2006
T21872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Kurniawan
"Penelitian ini menggambarkan penerapan program intervensi terhadap kelompok pemuda di Desa Sumurugul untuk meningkatkan partisipasinya dalam berorganisasi. Program Intervensi ini dilakukan di Desa Sumurugul Kecamatan Wanayasa Kabupaten Punvakarta Jawa Barat yang merupakan satu desa yang pernah melaksanakan program pemerintah yaitu Gerakan Sayang Ibu (GSI) namun belum berhasil walaupun sudah pernah mendapat bantuan acing (minigrant). Pelaksanaan program intervensi sosial dilaksanakan oleh satu tim intervensi yang berjumlah sebelas orang yang semuanya adalah mahasiswa Program Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial dengan target intervensi yang berbeda-beda. Untuk program individu intervensi yang dilakukan adalah untuk meningkatkan partisipasi pemuda dalam berorganisasi. Adapun bentuk pelaksanaan program intervensi sosial adalah berupa pelatihan, diskusi dan pemilihan ketua karang taruna. Berdasarkan Teori Belajar Untuk Orang Dewasa (Andragogi) yang dikutip dari buku T&D (Dugan Laird) dimana dalam pembelajaran orang dewasa penekanannya adalah pada belajar dad pengalaman (Experiential Learning) Maksud dan tujuan belajar melalui pengalaman adalah untuk memberikan tiga dampak pokok pada si pelaku pertama struktur kognitif si pelaku dapat dirubah, kedua sikap dapat diperbaiki dan ketiga perilaku berkait dengan perbendaharaan keahlian si pelaku dapat berkembang luas. Ketiga unsur ini saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dari hasil post test yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi menunjukkan adanya perubahan. Kelompok pemuda dapat menunjukkan partisipasi mereka terutama dalam berorganisasi, dimulai dengan bertambahnya wawasan dan pengetahuan mereka tentang organisasi, kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan organisasi sampai dengan terpilihnya satu orang untuk menjadi ketua karang taruna desa.
Hasil evaluasi yang dilakukan setelah pelaksanaan program intervensi memberikan hasil aktifnya kembali organisasi karang taruna untuk melakukan kegiatan kepemudaan yang sekaligus sebagai wadah bagi remaja untuk berorganisasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anto Yamashita Saputra
"Perubahan organisasi merupakan bagian dari siklus kehidupan bisnis yang normal dan tak terhindarkan. Jika dikelola dengan baik, perubahan organisasi berpeluang meningkatkan kinerja bisnis serta keselamatan dan kesehatan kerja suatu organisasi. Namun demikian, perubahan organisasi dapat pula memperburuk keadaan yang disebabkan oleh distress akibat perubahan pada elemen intrinsik di tempat kerja. Faktor lingkungan rumah, lingkungan sosial dan karakteristik individu juga merupakan faktor risiko distress yang harus dikelola organisasi pada saat melakukan perubahan. PT X melakukan perubahan organisasi di tahun 2022. Pasca perubahan, pekerja sering mengeluh munculnya gejala-gejala distress dengan berbagai tingkatan. Oleh karena itu, perubahan organisasi perlu dilakukan kajian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat gejala distress pekerja pasca perubahan organisasi, mengetahui hubungan faktor risiko distress dengan tingkat gejala distress dan mengetahui faktor risiko distress yang paling berhubungan secara simultan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada pekerja Fungsi K3 dan Fungsi Operasi dengan jumlah 193 responden pada bulan Mei – Juni 2023. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat gejala distress yang dialami pekerja pasca perubahan organisasi adalah 153 pekerja (79,3%) dengan tingkat rendah, 30 pekerja (15,5%) sedang dan 10 pekerja (5,2%) tinggi. Faktor risiko distress yang berhubungan signfikan dengan tingkat gejala distress adalah umur, bagian kerja, ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja kuantitatif, beban kerja kualitatif, tanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan rumah dan lingkungan sosial. Sementara faktor risiko distress yang paling berhubungan secara simultan dengan tingkat gejala distress adalah umur dan lingkungan rumah.

Organizational change is a normal and unavoidable part of the business life cycle. If managed properly, organizational change has the opportunity to improve business performance and occupational safety and health of an organization. However, organizational change can also exacerbate the situation caused by distress due to changes in intrinsic elements in the workplace. Factors of the home environment, social environment and individual characteristics are also risk factors for distress that must be managed by the organization when implementing change. PT X implements organizational change in 2022. After the change, workers often complain of symptoms of distress with various levels. Therefore, organizational change needs to be studied. This study aims to determine the level of symptoms of workers' distress after organizational change, to determine the relationship between risk factors for distress and the level of symptoms of distress and to determine the risk factors for distress that are most closely related simultaneously. This research is a quantitative study using a cross-sectional approach using questionnaires distributed to workers in the K3 Function and Operations Function with a total of 193 respondents in May - June 2023. The results showed that the level of distress symptoms experienced by workers after organizational change was 153 workers (79 .3%) with a low level, 30 workers (15.5%) medium and 10 workers (5.2%) high. Distress risk factors that are significantly related to the level of distress symptoms are age, work assignment, role ambiguity, role conflict, quantitative workload, qualitative workload, responsibility to others, home environment and social environment. While the risk factors for distress that are most related simultaneously to the level of distress symptoms are age and home environment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Ratnawulan
"Dalam situasi pandemi yang penuh dengan kecemasan akan penularan COVID-19 dan belum ditemukannya obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini, penyintas COVID-19 sangat rentan untuk mengalami stigma sosial. Dengan mengacu pada gagasan Contact Hypothesisdari Allport (1954) yang menyatakan bahwa kontak antarkelompok dapat mengurangi prasangka, peneliti memandang bahwa dalam situasi pandemi COVID-19 sulit untuk menciptakan suatu kondisi yang ideal untuk melaksanakan proses kontak antarkelompok. Oleh karenanya, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian terkait stigma sosial terhadap penyintas COVID-19 dengan menggunakan metode kontak antarkelompok secara tidak langsung melalui metode kontak bayangan sebagaimana dikembangkan oleh Pettigrew (1998). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas metode kontak bayangan dalam mengurangi stigma sosial terhadap penyintas COVID-19. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode kontak bayangan dapat mengurangi stigma sosial secara signifikan dan hal ini didukung oleh adanya perilaku positif untuk mendukung kampanye anti stigma oleh 80% partisipan program intervensi.

In a pandemic situation that is full of anxiety about the transmission of COVID-19 and with the fact that there was no medicine that has been proven to cure the disease effectively, COVID-19 survivors are very vulnerable to experiencing social stigma. Referring to the idea of Contact Hypothesis from Allport (1954) which states that intergroup contact can reduce prejudice, the researcher views that in a COVID-19 pandemic situation it is difficult to create an ideal condition for carrying out the inter-group contact process. Therefore, researchers took the initiative to conduct research related to social stigma towards COVID-19 survivors by using the indirect inter-group contact method through the imagined contact method as developed by Pettigrew (1998). This study aims to test the effectiveness of imagined contact methods in reducing social stigma against COVID-19 survivors. The results showed that the imagined contact method could significantly reduce social stigma and this was supported by positive behavior to support the anti-stigma campaign by 80% of the participants of the intervention program.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Aviana Pranata
"Di media, tokoh pria Asia-Amerika sering digambarkan dengan berbagai macam stereotipe. Mereka biasanya digambarkan sebagai orang yang pendek, tidak menarik, dan penurut. Namun, di era ini, terdapat beberapa perubahan dalam penggambaran tokoh pria Asia-Amerika. Melalui pembahasan terhadap dua serial televisi, Two Broke Girls 2011 dan Young Hungry 2014 , makalah ini menyoroti perbedaan-perbedaan dalam penggambaran tokoh pria Asia-Amerika. Dengan menggunakan teori representasi oleh Stuart Hall 2013 dan juga teori maskulinitas oleh Raewyn Connell 1995 , makalah ini berfokus pada analisa perbedaan masing-masing karakter melalui penampilan fisik mereka, pengetahuan mereka tentang budaya Amerika, interaksi mereka dengan karakter-karakter lainnya, serta bagaimana nilai-nilai maskulinitas tradisional dikebiri dalam karakter mereka. Dengan menganalisis semua aspek ini, penelitian ini akan menyoroti bagaimana karakter-karakter pria Asia-Amerika dari masing-masing serial televisi menggambarkan stereotipe tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua karakter, Han Lee dan Elliot Park, sama-sama tidak dilukiskan sebagai karakter yang memiliki sifat maskulin tradisional, tetapi dengan cara yang berbeda. Elliot Park, dari Young Hungry, dilukiskan sebagai seorang gay. Sedangkan, Han Lee, dari Two Broke Girls dilukiskan sebagai seorang yang sangat berusaha untuk membaur dan diterima oleh karakter-karakter lainnya.

In the media, Asian American men have been portrayed with many different stereotypes. They are usually depicted as short, not attractive, and submissive. However, in this era, there are some changes in the portrayal of Asian Americans. Examining two television series, titled Two Broke Girls 2011 and Young Hungry 2014 , this paper spotlights the differences in the depiction of Asian American men. Using Stuart Hall rsquo;s 2013 theory of representation and also Raewyn Connell rsquo;s 1995 theory of masculinities, this paper will focus on analysing the differences of each character through their physical appearances, their knowledge about American culture, their interaction with other characters, and how they are being emasculated. By analysing all these aspects, this writing highlight how Asian American male characters from each television series portray the stereotype. The result shows that the two characters, Han Lee and Elliot Park, are being emasculated, but in a different way. Elliot Park, from Young Hungry, is being emasculated by being a gay. Whereas, Han Lee, from Two Broke Girls is being emasculated because he tries so hard to blend in and to be accepted by the other characters. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Trihadmini
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis komparasi krisis Asia dengan krisis keuangan global dalam aspek pola penularan (contagion, interdependence) dan spillover, baik secara intra dan inter asset price serta analisis respons kebijakan moneter. Pola penularan diestimasi dengan menggunakan model DCC-GARCH dari data harian, sedangkan analisis spillover dan respons kebijakan dimodelkan dengan menggunakan Global VAR (GVAR) dengan data bulanan. Periode analisis dari Januari 1995 sampai dengan Maret 2018. Hasil penelitian menunjukkan terdapat persamaan dan perbedaan pola penularan antara krisis Asia dengan krisis keuangan global.
Beberapa persamaannya adalah; (i) perambatan shock intra asset price lebih besar dibandingkan inter asset price, (ii) terjadi common cycle yaitu penularan krisis cenderung terjadi dalam periode yang pendek dan berulang, (iii) terjadi interdependence pada nilai tukar, serta (iv) dari dua periode krisis, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi paling tajam diantara mata uang negara ASEAN. Adapun perbedaan dari kedua krisis adalah; (i) pada krisis Asia, terjadi interdependence intra asset price pada suku bunga O/N, nilai tukar, serta interdependence terbatas pada indeks saham, kemudian terjadi juga interdependence semua asset price intra ASEAN. Pada nilai tukar, terjadi common trend intra ASEAN yaitu mengalami pergerakan searah dalam jangka panjang, kecuali dengan SGD tidak terjadi. (ii) Pada krisis keuangan global terjadi asimetri interdependence pada nilai tukar, dimana Interdependence negative yang terjadi sebelum GFC (mata uang ASEAN menguat dalam tahun 2005-2007) lebih kecil dibandingkan dengan interdependence positif yang terjadi saat krisis keuangan global, (mata uang ASEAN mengalami depresiasi). (iii) Pada krisis Asia, suku bunga O/N memiliki degree of co-movement paling besar baik intra dan inter asset price, juga intra ASEAN. Sementara pada krisis keuangan global nilai tukar menunjukan co-movement paling besar. Terdapat pertalian yang kuat antara nilai tukar dengan indeks saham, namun shock nilai tukar mempunyai efek yang lebih besar dan bertahan dalam jangka panjang. (iv) Diantara variabel riel, inflasi menerima efek limpahan paling besar pada kedua krisis, namun pada krisis Asia efeknya lebih eksplosif. Penurunan GDP saat krisis Asia lebih banyak disebabkan efek limpahan dari public debt, sementara pada krisis keuangan global oleh nilai tukar. (v) Respons kebijakan moneter Tight Money Policy pada krisis Asia lebih efektif dalam jangka panjang (1-2 tahun), sementara itu respons kebijakan stabilisasi pada krisis keuangan global lebih efektif dalam jangka pendek.

A financial crisis that occurs in one country can easily spread to other countries and become a global financial disaster in a short time. This study aims to conduct a comparative analysis of the Asian crisis with the global financial crisis in terms of contagion, interdependence and spillover effect, both intra and inter asset prices, as well as an analysis of monetary policy responses. The pattern of contagion was estimated using the DCC-GARCH model from daily data, while the spillover analysis and policy response were modeled using Global VAR (GVAR) with monthly data. The analysis period is from January 1995 to March 2018. The results show that there are similarities and differences in transmission patterns between the Asian crisis and the global financial crisis.
Some of the similarities are; (i) intra-asset price shock propagation is greater than inter-asset price, (ii) common cycle occurrence, i.e. crisis transmission tends to occur in short and repeated periods, (iii) exchange rate interdependence, and (iv) from two crisis periods , the Rupiah experienced the sharpest depreciation among ASEAN currencies. The differences between the two crises are; (i) in the Asian crisis, there was interdependence of intra asset prices on O/N interest rates, exchange rates, and limited interdependence on stock indices, then there was also interdependence of all intra ASEAN asset prices. In the exchange rate, there is a common intra-ASEAN trend that is experiencing the same direction of movement in the long term, except that SGD does not occur. (ii) In the global financial crisis, interdependence asymmetry occurred in exchange rates, where the negative interdependence that occurred before the GFC (the ASEAN currency strengthened in 2005-2007) was smaller than the positive interdependence that occurred during the global financial crisis, (the ASEAN currency experienced a depreciation. ii) During the Asian crisis, the O/N interest rate had the highest degree of co-movement, both intra and inter asset prices, as well as intra ASEAN. Meanwhile, during the global financial crisis, the exchange rate showed the largest co-movement. There is a strong relationship between the exchange rate and stock indices, but exchange rate shocks have a larger effect and persist in the long term. (iv) Among real variables, inflation received the largest spillover effect in the two crises, but in the Asian crisis the effect was more explosive. The decline in GDP during the Asian crisis was mostly due to spillover effects from public debt, while in the global financial crisis it was caused by the exchange rate. (v) The monetary policy response of the Tight Money Policy to the Asian crisis was more effective in the long term (1-2 years), while the stabilization policy response to the global financial crisis was more effective in the short term.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isbandi Rukminto Adi
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013
361 ISB i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jusuf Sutanto
Jakarta: Kompas, 2009
658.4 JUS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meilani Purwaningsih
"Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Bappenas menginisiasi program MBKM Desa Cemara melalui berbagai bentuk intervensi kegiatan. Dalam hal ini, saya terlibat secara aktif dalam program MBKM Desa Cemara yang berfokus pada pemberdayaan lapisan kelompok masyarakat pengrajin anyaman daun pandan di Desa Tanjungpura. Lapisan kelompok masyarakat inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal komunitas anyaman yang berhasil dibentuk dan dibina dalam meningkatkan produktivitas serta mengoptimalkan sumber daya atau potensi lokal sebagai basis pertumbuhan ekonomi pedesaan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah autoetnografi. Tulisan ini menjabarkan hasil pengamatan dan refleksi pengalaman magang saya untuk menjelaskan proses pemberdayaan masyarakat melalui kerangka perspektif antropologi, khususnya antropologi terapan.
Hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui beberapa tahapan yang melibatkan masyarakat, mulai dari needs assessment, perumusan solusi permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Program berjalan dengan lancar sampai evaluasi dilakukan. Meskipun demikian, program ini masih minim dari unsur kemandirian dan keberlanjutan. Hal tersebut disebabkan karena minimnya kolaborasi antar pihak dalam menjaga keberlangsungan program. Oleh karena itu, program pemberdayaan sangat perlu mengoptimalkan keterlibatan berbagai pihak terkait, mulai dari unsur masyarakat, pemerintah desa, pemerintah kabupaten, maupun dinas setempat agar program yang telah dilaksanakan sebelumnya dapat terus berjalan dan berkelanjutan.

In an effort to poverty reduction, Bappenas initiated the Desa Cemara MBKM program through various forms of intervention activities. In this regard, I actively participated in the Desa Cemara MBKM program which focuses on empowering the community group of pandan leaf-woven craftsmen in Tanjungpura Village. This layer of a community group is the forerunner of the worn community that has been successfully formed and fostered in increasing productivity and optimizing local resources or potential as a basis for rural economic growth. The method used in this paper is autoethnography. This paper describes the result of observation and reflection on my internship experience to explain the process of community development through the framework of anthropological perspectives, especially applied anthropology.
The results show that implementation of the community development programs is carried out through several stages involving communities, starting from need assessment, formulation of problem solutions, planning, implementation, to evaluation program. However, this program is still lacking in self-reliance and sustainability elements. This is to the lack of collaboration between parties in maintaining the sustainability of the program. Therefore, the community development program needs to involve various related parties, starting from elements of the community, village government, district government, and local agencies so that the programs that have been implemented before could be sustainable.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>