Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28064 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neila Rahmi
"ABSTRAK
Perkawinan menyangkut hubungan antar manusia. Namun masalah perkawinan bukan hanya sekedar masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan, tapi juga merupakan masalah dan perbuatan keagamaan dan hukum. Masyarakat lewat penguasa negaranya masing-masing mengatur norma-norma hukum bagi perkawinan di antara warganya. Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tabun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Negara Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi penduduknya (Pasal 29 Undang-Undang Dasar). Prinsip kebebasan beragama tersebut ditafsirkan juga oleh sebagian orang sebagai kebebasan untuk pindah agama. Perkawinan yang dilangsungkan di antara seorang laki-laki dan perempuan yang memeluk agama yang sama dan tetap terus seagama sampai perkawinannya berakhir, tidak menimbulkan persoalan hukum. Persoalan hukum baru timbul manakala setelah dilangsungkannya perkawinan, pihak suami atau isteri melakukan perpindahan agama, dalam hal ini dari agama Islam ke agama non Islam atau murtad. Permasalahannya adalah bagaimana akibat hukumnya terhadap status perkawinan, apakah murtad tersebut dapat dijadikan alasan untuk membubarkan perkawinan Berta lembaga peradilan mana yang berwenang mengadili kasus perceraian yang diakibatkan murtadnya suami atau isteri. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Tape penelitian yang digunakan, dilihat dari sudut bentuknya adalah penelitian evaluatif.
Dari sudut penerapannya, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian berfokus masalah. Dalam pandangan Islam, murtadnya suami atau isteri menyebabkan perkawinan menjadi fasakh (batal) dengan sendirinya. Perpindahan agama atau murtad yang dilakukan suami atau isteri menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam dapat dijadikan alasan untuk membubarkan perkawinan. Mengenai lembaga peradilan yang berwenang mengadili kasus perceraian karena murtadnya suami atau isteri, berdasarkan asas personalitas keislaman, adalah Pengadilan Agama. Untuk menentukan asas personalitas keislaman, bukan didasarkan atas agama yang dianut pada saat sengketa terjadi, tetapi oleh faktor dasar hukum yang menjadi landasan ikatan pada saat hubungan atau ikatan hukum berlangsung."
2007
T 18219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasaniah
"Skripsi ini membahas tentang perpindahan agama atau murtad yang dilakukan oleh suami atau isteri yang menjadi sebab putusya perkawinan. Perpindahan agama yang dilakukan oleh suami atau isteri akan menimbulkan permasalahan hukum yaitu mengenai status perkawinan suami isteri serta apakah perpindahan agama tersebut dapat dijadikan sebagai alasan perceraian dan apabila diperbolehkan apa dasar hukum yang digunakan untuk mengajukan perceraian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan dilakukan wawancara untuk menunjang data, serta menggunakan dua buah contoh kasus dari perpindahan agama yang menjadi sebab putusnya perkawinan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perpindahan agama sebagai penyebab putusnya perkawinan tidak diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam perpindahan agama atau murtad merupakan salah satu alasan perceraian. Akan tetapi perpindahan agama atau murtad yang dilakukan oleh suami atau isteri baru dapat dijadikan sebagai alasan perceraian apabila mengakibatkan ketidakrukunan di dalam rumah tangga. Ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang mensyaratkan harus terjadi ketidakrukunan dalam rumah tangga tersebut bertentangan dengan Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam dimana Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44 telah mengatur secara tegas mengenai larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita Islam dengan laki-laki dan wanita bukan Islam.

The focus of this study is about divorcement caused of change of religion or apostate by husband or wife. Change of religion by husband or wife will make a legal problem which is about marital statues and also whether change of religion can be made as the reason of divorce and if that allowed, what is the legal basis used to propose the divorce. This study uses normative juridical and conducted interviews to support the data and using two examples cases for change religion as the reason to end a marriage.
The result of this study concluded that change religion as the reason to end a marriage is not regulated in UU No. 1 Tahun 1974 about marriage, while in Compilation of Islamic Law change religion or apostate is one reason for divorce, these provisions in Article 116 letter (h). However, to be used as a reason for divorce there is a requirement in Article 116 letter (h) the change religion or apostate is committed by a husband or wife should lead to disharmony in the household. The provisions of Article 116 letter (h) Compilation of Islamic Law which requires should happen disharmony in household is contrary with Article 40 (c) and Article 44 of the Compilation of Islamic Law which Article 40 (c) and Article 44 has been set that between men and women of Islam are forbidden to married with men and women is not Islam."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60771
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detty Istikara
"Perkawinan merupakan suatu lembaga untuk dapat mewujudkan suatu rumah tangga. Allah SWT mensyariatkan perkawinan kepada umat-Nya, bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Namun, harapan tersebut belum tentu tercapai dalam suatu perkawinan, dalam beberapa masalah sering terjadi kemelut yang menyebabkan perceraian antara pasangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin meneliti faktor-faktor apa yang menyebabkan putusnya perkawinan dan bagaimana akibat dari cerai gugat terhadap masalah anak (hadhanah), serta bagaimana putusan pengadilan Nomor 1091/Pdt.G/2004/PAJS sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,untuk menjawab permasalahan ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat hukum normatif serta menggunakan data sekunder dalam memperoleh data penulisan yang meliputi bahan hukum primer seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku hukum yang berkaitan dengan perkawinan serta bahan hukum tersier seperti kamus. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa putusnya perkawinan antara lain karena para pihak tanpa mempertimbangkan memutuskan menikah. Akibat dari perceraian yang paling merasakan adalah anak yaitu kehilangan kasih sayang orang tua secara utuh dalam putusan Pengadilan Agama Nomor 1091/Pdt.G/2004/PAJS hadhanah dipegang oleh ayahnya walaupun menurut Kompilasi Hukum Islam, hadhanah ada di tangan ibu namun dalam keadaan tertentu dan ibunya tidak menyatakan keberatan maka hadhanah dipegang oleh ayahnya. Putusan perceraian sudah sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Apabila terjadi perceraian maka kedua orang tua harus bertanggung jawab terhadap anak tersebut sampai dapat mandiri. Dengan demikian apabila hendak bercerai harus terlebih dahulu mempertimbangkan baik dan buruknya dalam perkembangan anaknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalita Chandra
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S22046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suhartinah
"Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional menjadi marak ya arus llu lintas manusia · antar negara, hal ini membawa dampak pada hubungan manusia dibidang ke keluarga khususnya perkawinan campuran internasional. Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974, membatasi perkawinan antara dua orang yang berlainan kewarganegaraannya dan salah satu pihak warganegara Indonesia. Penelitian Perkawinan Campuran menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat, WNI yang menikah di luar negeri. syarat, materilnya menurut hukum Indonesia dan s yarat formilnya menurut ketentuan hukum setempat. WNA yang menikah di Indonesia syarat materilnya selain ditentukan Pasal 6 sampai Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 juga harus ada surat keterangan berupa certificate of Non Impedients to Marriege atau Certificate of Ability to Marry dan syarat. formilnya menurut ketentuan PP No. 9 Tahun 1975 (Pasal 3, 8, 10, 11). Perkawinan campuran mempunyai akibat hukum selain terhadap suami isteri harta benda dan anak, juga terhadap status warganegara suami isteri dan status warganegara anak. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Perceraian yang diajukan kepengadilan harus cukup alasan. Akibat hukum putusnya perkawinan adalah, hubungan biologis antara suami isteri tidak boleh lagi suami atau isteri dapat memperoleh kembali kewarganegaraan asalnya. Akibat hukum terhadap harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum agama; hukum adat dan hukum lainnya. Akibat hukum terhadap anak hak penguasaan orang tua berakhir Bak pengasuhan anak-anak diputus oleh. Pengadilan dan hanya semata-mata demi kepentingan anak pemeliharaan anak menurut ketentuan Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21084
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Deasy Setiasari
"Dari suatu perkawinan akan lahir anak yang merupakan keturunan yang sah dari mereka yang mengikatkan diri dalam suatu perkawinan tersebut, sehingga perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi hubungan suami-istri dengan anak yang dilahirkan dimana orang tua bertanggung jawab memelihara, mendidik, dan memberi nafkah pada anak sampai anak tersebut dewasa, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan tersebut terputus. Hal ini ditegaskan dalam Hukum Islam dan juga dalam Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Pada umumnya hak pemeliharaan anak jatuh pada pihak istri dan kewajiban pemberian nafkah anak jatuh pada suami. Dalam praktek, walaupun sudah ada putusan Pengadilan yang memerintahkan suami untuk memberi biaya pemeliharaan anak, suami tidak melaksanakan kewajibannya tersebut sehingga putusan pengadilan itu hanyalah hitam di atas putih saja, dan merugikan pihak istri.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan alat pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari bahanbahan kepustakaan, seperti Undang-Undang, yurisprudensi, buku-buku, majalah, serta tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu hakim, ulama, dan pihak yang mengalami, karena masih sering terjadi kasus ayah tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, seperti yang telah diputuskan oleh Pengadilan, yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya kurangnya kesadaran hukum suami mengenai tanggung jawabnya terhadap anak, faktor budaya, kurang sempurnanya Undang- Undang, dan lain-lain. Akibatnya anak menghadapi masa depan yang suram dan tidak menentu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak istri dapat mengajukan permohonan untuk meminta kepada Pengadilan Agama yang memutuskan proses perceraiannya untuk mengeluarkan surat perintah sita eksekusi. Dan seharusnya ketentuan dalam KHI dan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, pelaksanaannya dikaitkan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menentukan sanksi pidana penjara dan/atau denda bagi mereka yang menelantarkan anak.

A red line between parents and their child remain eternally. A beloved child that emerges from this matrimony brings husband and wife responsibility to raise their child for his or her future to come. It is the parents obligation to take care of their child, to give fine education, fulfill his or her needs financially so he or she will be set for life. Such consequences linger even the marriage has been broken. The parents are obligated until the child has grown up. This is clearly stated in Islamic Mandate and Commandment and also in Paragraphs 105 and 156 of Islamic Sharia Compilation. In general, the mother has the right to stay with the child, while the father provides the life support for the child. However, many times this is just words written on papers; the father does not provide any life support for the child even though there’s a court’s order.
In this thesis, the methodologies that the writer uses are collecting data and reference study such as constitution and jurisprudence, books, magazine and scientific articles which related to the object. Other than that, the writer also conducts some interviews with related parties which are judges, a spiritual leader, and the people who go through this household case like above. The writer comes to many case of misdemeanor from father side due to several factor; lack of responsibility from father side, family custom and cultural stereotype, flawed regulation, etc. Hence, many children are facing perplex and uncertain future. To overcome these issues, the wife could insinuate the court to issue an execution letter. However the KHI and PP No.10 Year 1983 that is regarding to marriage and divorce policy for government officer should be related to UU No. 23 year 2002 in regards to child’s protection which conclude the jail sentence and/or fine for those who abandon their children.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22229
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Andiana Astari
"Perkembangan masyarakat dewasa ini memudahkan terjadinya hubungan antar-manusia di mana interaksi dan komunikasi lebih terasa luas, tanpa mengenal batas-batas wilayah daerah maupun negara. Fenomena tersebut menciptakan suatu dampak baru bagi kehidupan antara sesama anggota masyarakat, antara lain, terbukanya jenjang hubungan menuju rumah tangga yang terjadi diantara pria dan wanita yang berbeda latar belakang kewarganegaraan. Kecenderungan ini sebenarnya sudah lama dikenal sebagai perkawinan internasional, yang melibatkan dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Di sebutnya perkawinan tersebut sebagai perkawinan internasional disebabkan Pasal 57 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membatasinya sebagai perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan di mana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Adanya fenomena hukum tersebut menimbulkan konsekuensi hukum terhadap kedudukan anaknya jika perkawinan tersebut putus akibat perceraian, khususnya dalam situasi isteri tidak mengikuti kewarganegaraan suami adalah jiKa kedudukan anak tidak dipersengketakan dalam kasus perceraian tersebut, kedudukan hukum anak akan ditentukan secara mufakat oleh kedua belah pihak, yaitu mengikuti kedudukan hukum bapak atau ibunya. Akan tetapi, jika terjadi sengketa, hakim lebih mempertimbangkan aspek kualifikasi dan karakter pribadi yang subtantif di antara bapak atau ibunya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20475
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S22148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2001
S22045
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Frully
"Penelitian mengenai putusnya perkawinan karena perceraian dan Perjanjian Penyerahan Rumah ini adalah merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan tipe penelitian yang bersifat deskriptif dan evaluatif terhadap pelaksanaan Undang-undang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Buku Ketiga tentang Perikatan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Putusnya perkawinan karena perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan dan dihadapan Hakim yang berwenang. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan-alasan yang diatur secara limitatip dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebelum proses perceraian berlangsung Hakim wajib lebih dahulu mendamaikan kedua belah pihak. Apabila alasan untuk bercerai tidak termasuk dalam salah satu alasan yang diatur maka Hakim dapat menolak untuk menjatuhkan putusan cerai. Dalam putusnya perkawinan karena perceraian tidak ada peraturan yang melarang suami isteri yang akan bercerai mengadakan perjanjian yang berkaitan dengan harta benda yang dimiliki suami atau isteri sebelum terjadi proses perceraian. Perjanjian Penyerahan Rumah yang dibuat para pihak merupakan perikatan bersyarat karena pelaksanaannya ditangguhkan terhadap sesuatu hal yang akan terjadi. Perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer yaitu kata sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Dalam Surat Tanda Penyerahan Rumah dinyatakan bahwa Misno akan menyerahkan rumahnya setelah putusan cerai mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Misno menolak menyerahkan rumahnya dengan alasan bahwa perjanjian telah ia batalkan sebelum jatuh putusan cerai. Perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian. Karena Surat Tanda Penyerahan Rumah sah secara hukum maka sikap penolakan Misno merupakan tindakan wanprestasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16329
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>