Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138284 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Husein Barnedh
"ABSTRAK
Latar belakang: Gangguan keseimbangan merupakan salah satu masalah neurologis yang penting pada lansia, sedangkan penelitian tentang hal tersebut belum banyak dilakukan di Indonesia.Beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan gangguan keseimbangan adalah aktivitas fisik, tingkat independensi,umurjenis kelamin, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi gangguan keseimbangan dan jatuh, rerata skala keseimbangan Berg serta faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan pada lansia.
Metodologi. Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subyek yang mengikuti penelitian berjumiah 300 orang, terdiri dari 244 wanita dan 56 pria, usia berkisar antara 60-88 tahun. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan neurologis umum, proprioseptif, dan visus, pemeriksaan MMSE serta pemeriksaan keseimbangan menggunakan skala keseimbangan Berg. Kriteria gangguan keseimbangan adalah bila nilai skala keseimbangan Berg < 46. Variabel-variabel yang diduga berperan dalam gangguan keseimbangan diuji statistik menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Hash Penelitian. Proporsi gangguan keseimbangan adalah 28,7%. Proporsi jatuh 10,3%.Subyek dengan gangguan keseimbangan mempunyai OR 2,2 (95% CI 1,06-4,80) untuk mengalami jatuh (p<0,05) Rerata skala keseimbangan Berg 50.Pada analisis bivariat didapatkan 6 variabel yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan, yaitu: aktivitas fisik, tingkat independensi, usia, demensia, gangguan visus dan gangguan proprioseptif. Pada analisis multivariat 4 variabel, yaitu aktivitas fisik (OR 2,61; 95%CI 1,75-3,87), tingkat independensi (OR 13,15;95%Cl 3,77-45,82), usia (OR 1,86; 95%CI I,01-3,45) dan gangguan proprioseptif (OR 3,88; 95% CI 1,63-9,21) didapatkan berhubungan dengan gangguan keseimbangan (p<0,05). Jenis kelamin ditemukan tidak berhubungan bermakna dengan gangguan keseimbangan.
Kesimpulan: Aktivitas fisik, tingkat independensi, usia dan gangguan proprioseptif merupakan faktor risiko untuk gangguan keseimbangan pada lansia.

Background. Disequilibrium is one of the major neurological problems in elderly people, unfortunately there are only few studies about postural balance in elderly , especially in Indonesia. Physical activity, functional disability, age, gender, demensia, visual acuity decline and proprioceptive decline might be related to disequilibrium in elderly and need further explorations.

ABSTRACT
Objective. To determine proportion of disequilibrium dan falls, mean of Berg Balance Scale and risk factors related to disequilibrium in elderly.
Methods. This study was a cross sectional study. Three hundreds subjects , 244 women and 56 men, age 60-88 years old, participated in this study. History taking, general neurological examination, proprioceptive and visual acuity examination, MMSE and Berg Balance scale (BBS) was performed on every subject. Criteria for disequilibrium was BBS < 46. All variables was analyzed statistically by bivariate and multivariate analysis.
Results. Disequilibrium proportion was 28.7 %. Falls proportion was 10.3 %. Subjects with disequilibrium had OR 2.2 (95% CI: 1.06-4.80) for falls (p'(0.05). Mean value of BBS was 50. Variables which had correlation with disequilibrium on bivariate analysis was physical activity, functional disability, age, demensia, visual acuity decline, and proprioceptive decline. Multivariate analysis showed 4 variables related to disequilibrium: physical activity (OR 2.61; 95% CI: 1.75-3.87), functional disability (OR 13.15; 95% Cl: 3.77-45.82), age (OR 1.86; 95%CI: 1.01-3.45) and proprioceptive decline (OR 3.88; 95% Cl: 1.63-9.21) with p<0.05. Gender was not significantly related to disequilibrium.
Conclusion. Physical activity, functional disability, age and proprioceptive decline are the risk factors for disequilibrium in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Faulina Sjarifuddin
"Latar Belakang :
Event-related potensial (ERP), terutama P300, merupakan perubahan potensial otak yang menggambarkan proses pengolahan stimulus yang diterima. Pemeriksaan ERP merupakan salah satu tekhnik neurofisiologis yang non-invasive, tetapi objektif, yang sexing digunakan untuk mengevaluasi aktivitas kognitif seseorang, terutama yang berkaitan dengan atensi, persepsi memori, fungsi eksekutif, dan kontrol perilaku.
Metode :
Pemeriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dilakukan pada 81 anak asimptomatik yang memenuhi kriteria inklusi dari 3 sekolah dasar swasta di Jakarta. Rerata performa motorik (kecepatan reaksi, hits, dan commission error) serta iatensi dan amplitude komponen-komponen ERP (N I00, N200, dan P300) yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisa berdasarkan faktor usia dan jenis kelamin.
Basil :
Kecepatan reaksi, hits, dan latensi P300 secara statistik berbeda bermakna berdasarkan faktor usia. Terdapat korelasi negatif dengan kekuatan sedang antara faktor umur dan kecepatan reaksi dan latensi P300 (p<0.0l). Sedangkan faktor usia dan hits berkorelasi secara positif dengan kekuatan sedang. Tidal( didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara performa motorik maupun latensi dan amplitudo P300 terhadap faktor jenis kelamin.
Kesimpulan :
Perkembangan fungsi kognitif anak tampaknya berkaitan dengan maturasi otak sejalan dengan pertambahan usia, dan tidak berkaitan dengan faktor jenis kelamin. Perneriksaan ERP auditorik diskriminasi 2 nada dapat digunakan untuk menilai perkembangan fungsi kognitif anak.

Background :
Event Related Potentials (ERPs), especially P300, are electrical changes generated in the brain in association with stimuli processing. They can provide a non-invasive but objective means to evaluate the activity of human brain associated with attention, perception, memory, decision making, and control of behavior.
Methods:
Auditory ERP two-tone discrimination (`oddball ) paradigm was presented to 81 healthy asymtomatic school aged children of three private elementary schools in Jakarta. Motor performances (reaction time, hits, and commission error) and latency and amptlitude of ERP components (N100, N200, and P300) elicited to target stimuli were recorded and analyzed for between group difference (age and sex).
Results:
Reaction times, hits, and P300 latency were significantly different between age groups (pcO.01). There were also moderately negative correlation between age groups and reaction limes and P300 latencies (p<0.01). Moderately positive correlation were noted between hits and age (p <0 01). None of motor performances nor latencies and amplitudes of P300 were different between sex groups (p>0.05).
Conclusions:
Maturation of cognitive brain functions in children are related to age development despite of sex gender. Auditory ERP two-tone discrimination ERPs are excellent tools for the study of cognitive brain functions in humans and the developmental time course of these functions in childhood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarsunan Setyahadi
"Latar Belakang. Gangguan memori merupakan konsekuensi epilepsi lobus temporal (ELT) dan salah satu acuan penentuan zona epileptogenik, disesuaikan semiologi kejang, EEG iktal serta neuroimaging. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan tatalaksana komprehensif termasuk terapi pembedahan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan. Mengetahui gambaran gangguan memori penyandang ELT di RSCM. Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek adalah penyandang ELT kiri atau kanan, diperoleh secara konsekutif, kemudian dilakukan pemeriksaan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) dan Rey Osterrieth Complex Figure Test (ROCFT) .Hasil. Diperoleh 85 subyek, 63.5% menderita gangguan memori. Dari 24 subyek gangguan memori visual, 29.6% dengan fokus kanan, dan 14.8% dari kiri. Dari 16 subyek gangguan memori auditorik, 25.9% dari fokus kiri dan 3.7% dari kanan. Gangguan memori visual dan auditorik pada 14 orang, dengan fokus kiri 11.1% dan kanan 14.8%. Fokus cetusan kanan berhubungan signifikan dengan gangguan memori visual dan kiri berhubungan signifikan dengan memori auditorik (p=0.001). Penggunaan OAE (p<0.10, OR 2.300,IK 95% 0.874,6.050) mempengaruhi gangguan memori secara umum. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR2.953;IK 95%0.863,10.110), penggunaan OAE (p<0.10;OR9.253;IK 95%1.355,63.168) dan fokus cetusan (p<0.10;OR 19.620; IK 95% 2.012,191,312) mempengaruhi gangguan memori auditorik. Onset bangkitan awal (p<0.10;OR 3.043,IK95%,0.110, 1.136) mempengaruhi gangguan memori visual. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR 2.383; IK95% 0.899,6.318) mempengaruhi gangguan memori visual dan auditorik.
Kesimpulan. Sebagian besar penyandang ELT menderita gangguan memori. Gangguan memori visual atau auditorik menunjukkan efek lateralisasi yang signifikan. Penggunaan OAE, lama menderita epilepsi, usia saat bangkitan awal dan fokus cetusan dapat mempengaruhi gangguan memori.

Background. Memory impairment was a consequence of temporal lobe epilepsy (TLE). Memory impairment with semiology, ictal EEG and neuroimaging were used in determining the epileptogenic zone of TLE, so we could improve the comprehensive management of TLE, and improve patient?s quality of life. Objectives.To determine the proportion of memory impairment in people with TLE in RSCM. Methods A cross-sectional study, subjects were those with left or right TLE. The memory function were assessed using Rey Osterrieth Complex Fugure Test (ROCFT) and Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT). Results. There were 85 eligible subjects. Memory impairment was found in 63.5% subjects. Visual memory impairment were found in 24 subjects, 29.6% with right focus and 14.8% left focus. Auditory memory impairment were found in 16 subjects, 25.9% with left focus and 3.7% right focus. Visual and auditory memory impairment were 14 people, 11.1% with left focus and 14.8% were right. The right sided focus was associated with visual memory impairment and auditory memory impairment was associated with leftfocus (p = 0.001). The use of Anti Epileptic Drugs (AED) (p <0,10; OR 2.300; 95% CI 0.874; 6.050) affected memory impairment in general. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2.953;95% CI 0.863;10.110) , the use of AED (p <0.10; OR 9.253; 95% CI 1.355;63.168) and focal discharges (p <0.10; OR 19,620; 95% CI 2.012;191,312) affected the auditory memory impairment. Early seizure onset (p <0.10; OR 3.043; 95% CI 0.110; 1136) affected visual memory impairment. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2,383; 95%CI 0.899;6.318) affected visual and auditory memory impairment. Conclusion. Most of subjects were suffering from memory impairment. Subjects with visual or auditory memory impairment showed significantly effects of lateralization. The use of AEDs, duration of epilepsy, early onset of seizure affected memory impairment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maula N. Gaharu
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk menilai pemanjangan Iatensi Event-Related Potential P300 auditorik pada
penderita lupus eritematosus sistemik (LES) berdasarkan beberapa variabel seperti umur, durasi penggunaan steroid, aktifitas penyakit dan depresi.
Metode: Penelitian potong lintang pada populasi penderita LES yang terdaftar di Yayasan Lupus Indonesia dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) serta memenuhi kriteria inlusi.
Hasil: Didapatkan 55 penderita LES dan terutama perempuan kelompok usia 30-40 tahun (rerata 33,54 SD 8.41). Abnormalitas latensi P300 didapatkan pada 32 orang (58.2%) dan terdapat kemaknaan berdasarkan umur (p=0.000), aktifitas penyakit (p=0.015) dan fungsi kognitif (p=0.020). Kelompok usia muda dan derajat aktifitas penyakit pada analisa multivariat merupakan penentu abnormlitas latensi P300. Komponen gelombang lain seperti P200, N200 and P200 daiam batas normal baik latensi dan amplitudo.
Kesimpulan: P300 dapat digunakan untuk evaluasi aspek kognitif sebagai manifestasi sistim saraf pusat pada penderita LES."
2007
T21340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dw Pt Gde Purwa Samatra
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhari Ganesha
"Latar belakang. Skala Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment (INCAT) motorik dan sensorik merupakan skala penilaian keterbatasan aktivitas sehari-hari dan keluhan sensorik pada pasien CIDP. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas skala INCAT motorik dan sensorik ke dalam bahasa Indonesia.
Metode. Dilakukan adaptasi dan translasi kultural sesuai kaidah WHO, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas skala INCAT versi bahasa Indonesia. Populasi penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan diagnosis CIDP yang dirawat maupun berobat rawat jalan di RSCM yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil. Tiga puluh satu subjek memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar laki-laki (56,60%). Usia berkisar antara 21 tahun sampai 77 tahun, dengan prevalensi tertinggi usia < 60 tahun. Pada uji validitas INCAT motorik pertama memiliki nilai antara 0,850-0,875, pada pemeriksa kedua didapatkan nilai 0,844 sampai 0,913. Pada uji validitas INCAT sensorik pertama didapatkan nilai antara 0,769-0,866. Pemeriksaan kedua didapatkan nilai 0,759 sampai 0,866. Hasil uji reliabilitas internal INCAT motorik pertama mendapatkan nilai 0,639 dan kedua mendapatkan nilai 0,717. Reliabilitas eksternal INCAT motorik didapatkan nilai 0,652 . Uji reliabilitas internal INCAT sensorik pertama mendapatkan hasil 0,837-0,875, kedua mendapatkan hasil 0,833-0,890 . Reliabilitas eksternal mendapatkan hasil 0,631. Waktu yang diperlukan untuk melakukan pengisian kurang dari 10 menit.
Kesimpulan. Skala INCAT motorik dan sensorik versi bahasa Indonesia valid dan reliabel dalam mengevaluasi keterbatasan aktivitas dan keluhan sensorik pada pasien CIDP.

Introduction. The motor and sensory Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment (INCAT) scale is a scale for assessing the limitations of daily activities and sensory complaints in CIDP patients. This study aims to test the validation and reliability of the motor and sensory INCAT scale into Indonesian languange.
Methods. Cultural adaptation and translation were carried out according to WHO rules, then the Indonesian version of the INCAT scale was tested for validity and reliability. The population of this study were all adult patients with a diagnosis of CIDP who were treated as well as outpatients at the RSCM who met the inclusion criteria.
Results. Thirty-one subjects met the inclusion criteria. Most of the men (56.60%). Age ranged from 21 years to 77 years, with the highest prevalence aged <60 years. In the first motor INCAT validity test, it has a value between 0.850-0.875, the second examiner gets a value of 0.844 to 0.913. In the first sensory INCAT validity test, values were obtained between 0.769-0.866. The second examination obtained a value of 0.759 to 0.866. The results of the first motor INCAT internal reliability test got a value of 0.639 and the second got a value of 0.717. External reliability of motor INCAT obtained a value of 0.652 . The first sensory INCAT internal reliability test got 0.837-0.875 results, the second got 0.833-0.890 results. External reliability results in 0.631. It takes less than 10 minutes to do the examination.
Conclussion. The Indonesian version of the motor and sensory INCAT scale is valid and reliable in evaluating activity limitations and sensory complaints in CIDP patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Damhudi
"Faktor yang sangat penting pada tahap awal perawatan pada pasien stroke berat fase akut adalah mengetahui kondisi pasien sedini mungkin untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengkajian fokus sistem syaraf yang lengkap dan akurat seperti metode NIHSS dan ESS. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan keakuratan kedua metode ini hampir sama untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen "Postest only design" sering juga disebut "The one shot case study". Besarnya sampel menggunakan teknik "Non Random jenis Purposive Sampling" sehingga didapat 18 responden yang merupakan total sampel yaitu pasien yang dipilih sesuai kriteria inklusi. Kemudian dilakukan analisis dengan α = 0,05 menunjukkan hubungan sangat kuat (r = 0,904 ) berpola positif pada nilai NIHSS dan berpola negatif ( r = -0,912 ) dan p value =1.000.
Penelitian ini menyimpulkan tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini terjadi karena komponen pemeriksaan pada NIHSS juga terdapat pada ESS. Oleh sebab itu sebagai seorang perawat di ruang unit stroke sangatlah penting untuk menguasai pengkajian metode ini dalam rangka meningkatkan mutu asuhan keperawatan sehingga mempercepat proses penyembuhan pasien.

The most important factor on early stage of caring patient with severe stroke is identifying patient condition as early as possible to prevent serious complication and death. Therefore, it is important to have assessment method that is focused on neurology system, comprehensive and accurate like NIHSS and ESS assessment method. The previous study shows that both NIHSS and ESS methods are effective to distinguish acute phase severe stroke`s patient.
The goal of this study is to identify the effect of NIHSS and ESS assessment method on the developing actual nursing diagnosis on the acute phase severe stroke`s patient in Fatmawati Hospital Jakarta. This study uses experiment with post-test only design which is commonly called as the one shot case study. Non-random purposive sampling is the sampling method that is used in this study. Based on the inclusive criteria eighteen respondents were identified as samples in this study. The data analysis using α = 0,05 shows the strong positive relationship (r = 0,904) for NIHSS assessment value and negative pattern (r = -0,912) for ESS assessment value with the p value = 1.000.
There is no significant different the effect of using NIHSS and ESS methods on developing actual nursing diagnosis on the acute phse severe stroke`s patient. This possibly happens since some of assessment components of NIHSS are the same with ESS assessment method. Therefore, it is important for the nurses to be able to use both assessment methods in order to improve the quality of nursing care and shorten the recovery process of the patient."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ermono Superaya
"Stroke adalah suatu penyakit serebrovaskular yang disebabkan oleh berhentinya aliran darah arteri ke otak. Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik yang disebabkan oleh obstruksi pada arteri di sirkulasi serebelum. Hipoksia serebral yang terjadi akibat iskemik pada otak tersebut menimbulkan perubahan pada morfologi sel dan kemudian kematian sel dimana sel neuron menjadi piknotik bermanifestasi berupa kecacatan neurologis pada penderitanya, sehingga penderita stroke harus mengonsumsi obat jangka panjang untuk kesembuhannya. Citicoline merupakan obat yang efektif untuk stroke dari penelitiannya namun memiliki kelemahan dari segi pemakaian dan harga yang mahal menyebabkan obat ini kurang efisien di masyarakat. Tanaman herbal akar kucing dan pegagan merupakan obat alternatif pada terapi stroke karena efek neuroprotektifnya. Dosis kombinasi kedua herbal ini diharapkan mampu memberikan perubahan jumlah pada sel piknotik di otak.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan melakukan percobaan pemberian ekstrak akar kucing dan pegagan terhadap tikus terhadap 5 kelompok tikus yang dibuat hipoksia dengan berbagai jenis perlakuan yaitu pemberian akuades, citicolin, dosis akar kucing 150,200,250mg dikombinasikan dengan pegagan 150mg. Serebelum tikus kemudian diambil dan dibuat sediaan preparat histopatologi untuk dilihat perubahan terhadap sel piknotik di girus dentatus internus.
Dari hasil uji One away Anova didapatkan bahwa tidak terdapat perubahan jumlah sel piknotik yang bermakna terhadap perlakuan yang diberikan terhadap tikus (p> 0,05). Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi kombinasi kedua herbal tersebut tidak memberikan perubahan jumlah sel piknotik pada girus dentatus internus tikus.

Stroke is cerebrovascular disease caused by cessation of arterial blood flow to the brain. Approximately 80-85% of strokes are ischemic strokes caused by arterial obstruction in the circulation of cerebellum. Cerebral hypoxia caused by ischemia of the brain gives result in alteration of cells morphology and cell death in which neuron cells become picnotics. This will later manifests in the form of neurological disability shown in the affected individuals resulting in the need to take long term medication. Citicoline is an effective drug for stroke based on research but has drawbacks in term of usage and high price which cause it to be less efficient in the community. The herbs cat root and Indian pennywort are alternative drugs for stroke therapy because of its neuroprotective effects. Combination dose of these two herbs are expected to provide a change in number of picnotic cells in rat?s brain.
This research experiments on giving the extract of cat root and indian pennywort to 5 groups of hypoxic rats in various dose (150, 200, 250 mg of cat root combined with 150 mg of Indian pennyworts), negative control is given aquades and positive control is given citicoline. The cerebellum of the rats is then taken and is made to histopathologic preparation to see the changes of picnotic cells in gyrus dentatus internus.
From the One Way Anova test results, it can be seen that there is no meaningful changes in the number of picnotic cells after the treatments are given to the rats (p>0,05). In conclusion, therapy with combination of cat root and Indian pennywort does not provide changes in number of picnotic cells in gyrus dentatus internus of the rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Sulistyanto
"Pendahuluan: APCD yaitu Acquired Prothrombin Complex Deficiency merupakan gangguan hemostasis yang sering terjadi pada bayi baru lahir. Manifestasi paling berat adalah terjadinya perdarahan intrakranial. Tatalaksana penderita perdarahan intracranial pada APCD membutuhkan kerjasama antara disipln hematologi anak dan bedah saraf untuk mengusuhakan prognosis yang optimal.
Tujuan: Mengetahui profil klinis dan luaran terutama terkait intervensi pembedahan pada penderita perdarahan intracranial terkait Acquired Prothromin Complex Deficiency di Rumah Sakit CiptoMangunkusumo pada kurun waktu 2009 hingga 2013.
Metode: Studi potong lintang deskriptif analitik pada rekam medis pasien-pasien yang mengalami perdarahan intracranial terkait APCD di RSCM pada kurun waktu 2009-2013. Karakteristik dasar, intervensi pembedahan dan faktor luaran dievaluasi dan dianalisis.
Hasil: Terdapat 21 pasien dengan perdarahan intracranial terkait APCD di RSCM selama kurun waktu 2009-2013. Terdapat 4 pasien yang meninggal (22.2%) dan 6 pasien (33.3%) yang mengalami morbiditas neurologis saat pulang rawat. Rasio jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan adalah 2 : 1. Mayoritas pasien berusia kurang dari 2 bulan (57.1%) dengan puncak kejadian pada usia 1 bulan. Semua kecuali dua pasien terindikasi operasi namun hanya 18 pasien yang dilakukan tindakan. Jenis tindakan mayoritas berupa burrhole (72.8%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik dasar maupun intervensi pembedahan dengan luaran.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis tindakan bedah saraf dibandingkan luaran pada pasien perdarahan intracranial terkait APCD berdasarkan penelitian ini. Dibutuhkan penelitian dengan desain lebih baik dan sampel yang lebih banyak di masa mendatang.

Introduction: Acquired Prothrombin Complex Deficiency is an acquired hemostatic disorder which manifests in the newborn period. The most devastating sign is Intracranial Hemrrhage. Treatment for this disorder requires swift cooperation between pediatric hematologist and neurosurgery to ensure optimal outcome.
Objectives: To obtain the clinical profile and outcome especially related to neurosurgical intervention in patients with intracranial hemorrhage related to Acquired Prothrombin Complex Deficiency in CiptoMangunkusumo Hospital during 2009-2013.
Methods: Cross sectional descriptive analytic study using medical records of patients with intracranial hemorrhage related to APCD in RSCM during 2009-2013. Baseline characteristic, surgical intervention and outcomes are evaluated.
Results: There are 21 patients with intracranial hemorrhage related to APCD in RSCM during 2009-2013. There are 4 mortality (22.2%) and 6 patients with immediate neurologic morbidity (33.3%) during hospital discharge. Ratio of male to female are 2 :1. Majority of patients are under 2 months of age (57.1%) with peak incidence at 1 month. All but two patients are indication for neurosurgical intervention but ultimately only 18 patients are operated. Majority of surgery was burrhole (72.8%) There are no significant relationship statistically between all baseline characteristic or intervention with outcome.
Conclusions: There are no significant different in the type of neurosurgical intervention related to outcome in patients with intracranial hemorrhage related to APCD. Study with better design and larger samples is needed in the future to confirm this finding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>