Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149868 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Grace
"Tujuan: Mengetahui perubahan sensibilitas kornea akibat perbedaan ciri insisi pada prosedur bedah katarak insisi kecil manual dan fakoemulsifikasi serta pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas lapisan air mata (LAM).
Baban dan Cara: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional, dilakukan pada 30 penderita katarak senilis yang akan menjalani tindakan pembedahan insisi kecil manual atau fakoemulsifikasi dengan lensa tanam rigid polymethylmethacrylate secara konsekutif. Tindakan insisi kecil manual dilakukan di Kabupaten Buleleng Bali Utara, sedangkan tindakan fakoemulsfikasi di RSCM Jakarta. Kriteria inklusi adalah subyek yang tidak memiliki riwayal inflamasi pada segmen anterior, operasi atau trauma, bukan pemakai lensa kontak, bukan pemakai obat-obatan yang dapat mengganggu lapisan air mata Pemeriksaan dilakukan sebelum pembedahan, setelah hari pertama, ke-7 dan ke-15. Pemeriksaan meliputi sensibilitas kornea di lima lokasi menggunakan estesiometri Cachet-Bonnet, tear meniscus , Nonivasive break up time (NIBUT) dan pola corakan lipid menggunakan Tearscope plus' , serta uji Schirmer. Keluhan subyektifdicatat menggunakan kuesioner dari Ocular Surface Disease Index (OSDO.
Hasil: Sensibilitas menurun dimulai hari pertama setelah pembedahan sampai hari ke-15 pada kelompok fakoemulsifikasi, sedangkan pada kelompok insisi kecil manual ditemukan hanya di hari pertama setelah tindakan pembedahan. Sensibilitas kornea yang menurun ini tidak hanya pada lokasi insisi tetapi juga pada lokasi lainnya terutama pada kelompok fakoemulsifikasi, perbedaan antar kedua kelompok ini signifikan (p<0.05). Penurunan sensibilitas kornea pada kelompok fakoemulsifikasi ini mempengaruhi kuantitas LAM_ Kualitas LAM menurun pada kedua kelompok di hari pertama, dengan penurunan terbesar pada kelompok insisi kecil manual, kualilas LAM ini kembali meningkat mendekati normal sampai hari ke-I5. Keluhan subyektif kelompok fakoemulsifikasi ditemukan meningkat pada hari ke-7 dak ke-15 dan berhubungan dengan produksi air mata.
Kesimpulan: Insisi kornea di temporal pada pembedahan katarak fakoernulsifikasi menimbulkan penurunan sensibilitas kornea di lokasi insisi dan lokasi lainnya sampai hari ke-15. Penurunan sensibilitas kornea ini menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas LAM serta menimbulkan subyektif.

Purpose: To describe corneal sensitivity changes caused by different incision method in manual-small incision cataract surgery (manual-SICS) and phacoemulsification (phaco) and its influence to the tear film quantity and quality.
Material & Methods: A prospective observational study which examined thirthy subjects who planned to underwent cataract surgery with polymelhylmethacrylate intraocular lens concequitively. The manual-SICS group was held in North Bali and phacoemulsification in Jakarta. The inclusion criteria were subject without inflammation of anterior segment, contact lens wearer, history of eye surgery or eye trauma, nerve disorder and drugs which influence the tear film stability. The examination were prior to the surgery, first, seventh and the fifteenth day after surgery, including the five sites of the corneal sensitivity using Cochet-Bonner aesthesiometry, tear meniscus, nonivasive break up time (NIBUT) and lipid pattern using Tearseope plus-m and Schirmer test also were examined. The subjective complains were reviewed based on questionaire by Ocular Surface Disease Index (OSDI).
Results: Corneal sensitivity decreased in phaco group since the first day after surgery until the fifteenth day, while in the manual-SICS group the decreasing only at first day after surgery. Corneal sensitivity decreased not only at the incision site, but also on the other sites of the cornea in phaco group, the difference between two groups was significant (p<0.05). The aquous production decreased in phaco group on the seventh and fifteen days which correlated to the corneal sensitivity. The tear film quality decreased in both groups on the first day and much lower in manual-SICS group, the recovery was shown until the fifteenth day. The increasing subjective complains on phaco group correlated to the changes of the corneal sensitivity.
Conclusion: Temporal-side incision on phacoemulsification caused decreasing corneal sensitivity in the incision site and the other sites up till the 15 day. Decreasing corneal sensitivity caused changes of the tear film quantity and quality, also the complains.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya.
Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification.
Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah.
Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.

Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year.
Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery.
This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively.
The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study.
The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nashrul Ihsan
"ABSTRAK
Tujuan Untuk mengetahui perbadingan efektivitas dan keamanan antara fakoemulsifikasi torsional dan transversal menggunakan parameter phaco time dan perubahan sel endotel dan ketebalan kornea sentral Metode Penelitian prospektif menggunakan katarak senilis NO 3 4 LOCS III yang dilakukan randomisasi menjadi dua kelompok torsional Ozil IP dan transversal Ellips FX Keluaran primer berupa phaco time sel endotel kornea ketebalan kornea sentral tajam penglihatan terkoreksi pada hari pertama ketujuh dan ke 30 pasca operasi Hasil Penelitian ini menggunakan 61 pasient Karakteristik dasar setara dan dapat dibandingkan Phaco time torsional CDE memiliki nilai kecil hingga hanya 1 3 phaco time transversal EFX Penurunan ECD kelompok torsional 7 9 dan kelompok transversal 8 9 Tidak ada perbedaan bermakna pada perubahan ECD dan CCT antara fakoemulsifikasi torsional dan transversal Simpulan Efektivitas dan keamanan kedua mesin fakoemulsifikasi torsional dan transversal tidak berbeda signifikan.

ABSTRACT
Purpose To compare the effectivity and safety between torsional and transversal phacoemulsification using intraoperative parameter phaco time and postoperative parameter endothelial cells and central corneal thickness changesMethods This prospective study with senile cataract eyes NO 3 4 LOCS III which randomized to have phacoemulsification using torsional Ozil IP or transversal Ellips FX Primary outcomes were phaco time endothelial cell density ECD central corneal thickness CCT corrected distance visual acuity with 1 7 and 30 days after phacoemulsificationResults The study included 61 patients Baseline characteristic were comparable The phaco time torsional CDE only one third of phaco time transversal EFX The results of the percentage of ECD loss were 7 9 in torsional and 8 9 in transversal No difference in ECD and CCT changes between torsional and transversal statistically Conclusions The effectivity and safety of torsional and transversal phacoemulsification did not differ significantly.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, [2016;2016, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desrina
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah automated keratometry
dapat digunakan sebagai alternatif dari topografi kornea sebagai panduan Limbal
relaxing incision yang dinilai dengan analasisi vektor. Design penelitian adalah
uji klinis acak tersamar tunggal, noninferiority trial. Tiga puluh empat pasien
katarak dengan astigmatisma kornea 1.00-3.00 D dibagi menjadi dua kelompok,
LRI dengan panduan automated keratometry dan topografi kornea. LRI dilakukan
bersama dengan operasi katarak. Perbandingan efektifitas LRI dinilai dengan
parameter analisis vektor antara lain Surgical induced astigmatisma (SIA), Index
of Success (IoS), Magnitude of error (ME), Flattening Effect (FE), Correction
Index (CI) and Absolute angle of error (AE). Hasil menunjukan Surgical Induced
Astigmatism, ME, FE, CI and AE tidak berbeda bermakna antar dua kelompok (p
> 0.05) meskipun IoS LRI kelompok topgrafi kornea lebih baik. Tidak ada
komplikasi LRI langsung dari penelitian ini. Dapat disimpulkan bahwa
autokeratometri dapat digunakan sebagai alternatif dari topografi kornea sebagai
panduan LRI.

ABSTRACT
The purpose of this study is to determine effectiveness of automated keratometry
as LRI guidance compare with corneal topography as golden standart. The
effectiveness was evaluated using vector analysis. The study design was
randomized controlled clinical trials with a single blind, noninferiority trial.
Thirty-four patients with cataract and corneal astigmatism 1.00-3.00 D divided
into 2 groups, LRI based on automated keratometry and LRI based on corneal
topography. LRI was done on phacoemulsification. Comparison of LRI effectivity
determined with vector analysis parameters such as Surgical induced
astigmatisma (SIA), Index of Success (IoS), Magnitude of error (ME), Flattening
Effect (FE), Correction Index (CI) and Absolute angle of error (AE). Results
showed Surgical Induced Astigmatism, ME, FE, CI and AE were not significantly
different (p > 0.05) between two groups however IoS LRI corneal topography
group was better. There was no complication with LRI in this study.
As conclusion Autokeratometry can be used to guide LRI as an alternative of
corneal topography"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isfyanto
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan parameter bilik mata depan BMD dan penurunan tekanan intraokular TIO pasca fakoemulsifikasi lensa intraokular LIO pada pasien katarak senilis imatur dan katarak senilis imatur dengan glaukoma primer sudut terbuka GPSTa . Penelitian ini merupakan uji klinis intervensi non-random. Sebanyak 15 mata dengan katarak senilis imatur tanpa glaukoma dan 14 mata katarak dengan GPSTa dilakukan fakoemulsifikasi. Pemeriksaan TIO dan anterior segment optical coherence tomography AS-OCT dilakukan sebelum dan 1 bulan setelah fakoemulsifikasi. Parameter yang dinilai adalah central corneal thickness CCT , lens vault LV , angle opening distance AOD dan trabecular-iris space area TISA pada jarak 500 dan 750 ?m dari scleral spur kuadran nasal dan temporal. Pasca fakoemulsifikasi terjadi penurunan TIO sebesar 2.70 mmHg pada kelompok katarak tanpa glaukoma, dan sebesar 8.05 mmHg pada kelompok katarak dengan GPSTa. Penambahan nilai parameter sudut BMD signifikan terjadi pada kedua kelompok. Kesimpulan penelitian ini adalah fakoemulsifikasi dapat menurunkan TIO pada kedua kelompok, namun penurunan TIO lebih besar pada kelompok katarak dengan GPSTa dibandingkan dengan kelompok katarak tanpa glaukoma. Tidak terdapat korelasi penurunan TIO dengan penambahan parameter BMD. Kata Kunci: katarak senilis imatur, glaukoma sudut terbuka, tekanan intraokular, sudut bilik mata depan, fakoemulsifikasi.

ABSTRACT
This study evaluated the changes in the anterior chamber AC parameters and decrease in intraocular pressure IOP after phacoemulsification intraocular lens IOL in patients with senile immature cataract and senile immature cataract with primary open angle glaucoma POAG . A total of 15 eyes with senile cataract immature without glaucoma and 14 eyes with GPSTa performed phacoemulsification. Examination of IOP and anterior segment optical coherence tomography AS OCT performed before and 1 month after phacoemulsification. The parameters assessed were central corneal thickness CCT , lens vault LV , angle opening distance AOD and trabecular iris space area TISA at distances of 500 and 750 m from the scleral spur nasal and temporal quadrants. Post phacoemulsification occurs IOP reduction of 2.70 mmHg in the group cataract without glaucoma, and by 8.05 mmHg in the group with POAG. Increasing the value of the AC angle parameter significant in both groups. As conclusion phacoemulsification can lower IOP in both groups, the decrease in IOP greater in the group cataract with GPSTa than the group without glaucoma, however, there is no correlation IOP reduction with increased AC parameters.Keywords Senile immatur cataract, Primary open angle glaucoma, intraocular pressure, anterior chamber angle, phacoemulsification."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Junita
"Tujuan: Evaluasi pengaruh penggunaan cairan irigasi dingin pada fakoemulsifikasi terhadap ketebalan kornea dan jumlah suar bilik mata depan pasca bedah.
Tempat: Perjan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo dan Jakarta Eye Center, Jakarta. Bahan dan cara: Prospektif, tersamar ganda, randomisasi pada 33 mata katarak senilis gradasi 3-4. Dilakukan fakoemulsifikasi menggunakan BSS® 10°C (n=16) atau BSS® suhu karnar (n=17) dengan prosedur dan terapi pasca bedah yang sama. Pra bedah, pasca bedah hart pertama dan hari ke-7 dilakukan pengukuran ketebalan komea, jumlah suar dan tekanan intraokular, masing-masing dengan OrbscanTM, laser flare-meter Kowa FM-500, dan tonometer non-kontak. Parameter intrabedah; waktu fako efektif (EPT) dan besarnya tenaga ultrasonik(UIS) direkam dalam mesin fako. Subjek yang mengalami komplikasi intrabedah maupun pasca bedah dikeluarkan dari penelitian.
Hasil: Prabedah kedua kelompok memiliki karakteristik yang setara pada umur, gradasi katarak, ketebalan kornea, jumlah suar dan TIO. Tidal( terdapat perbedaan bermakna pada E. dan U/S. Fasca bedah hari pertama, ketebalan kornea pada kelompok BSSQ dingin 548,87±48,31}im, pada kelompok BSS® suhu kamar 582,47±35,48p.m (p0,022). Ketebalan kornea hari ke-7 tidak berbeda bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah soar sampai tindak lanjut hari ke-7, namun peningkatan jumlah suar pada kelompok BSS® dingin lebih sedikit dan telah mencapai nilai prabedah pada hari ke-7. Hasil pengukuran tekanan intraokular sesuai dengan pengukuran ketebalan kornea.
Simpulan: Cairan irigasi dingin dapat mempertahankan fungsi endotel komea dan stabilitas sawar darah akuos, sehingga menghambat penambahan ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan pasca fakoemulsifikasi.

Purpose: To evaluate the effect of cooled intraocular irrigating solution during phacoemulsification on postoperative central corneal thickness (CCT) and anterior chamber flare (AC flare).
Setting: Cipto Mangunkusumo Hospital and Jakarta Eye Center, Jakarta
Methods: In a prospective, double masked, randomized study, 33 eyes of third and fourth grade density cataract had phacoemulsification with irrigating solutions cooled to approximately 10°C (n=16) or at room temperature (n=17). Surgical procedure and postoperative therapy were otherwise identical in both groups. lntraoperative parameters; effective phaco time (EPT) and ultrasound energy (U/S) were recorded by phaco machine. Postoperative CCT, AC flare and intraocular pressure (IOP) were assessed respectively with Orbscan pachymetry, Kowa FM-500 laser flare-meter and non-contact tonometry on days 1 and 7. Complicated cases were excluded.
Results: Both groups were well matched characteristic in age, cataract density, preoperative CCT, AC flare and IOP. Intraoperative parameters were not different significantly. C.1the first postoperative day, CCT (cooled irrigation 548,87±48,31µm, control 582,47±35,48µm; p0,022) was significantly lower in the group with cooled irrigating solution. There was no significant difference in CCT on the 7th postoperative day. Despite no significant between-group difference in AC flare on any postoperative days, AC flare was lower in the group with cooled irrigating solution. Intraocular pressure measurement was well related to corneal thickness.
Conclusions: Cooled intraocular irrigating solution preserved corneal endothelial function and blood aquas barrier, showed with reducing immediate postoperative CCT and AC flare.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weni Puspitasari
"Tujuan: Menilai perubahan lapisan air mata dan parameter meniskus air mata
menggunakan Optical Coherence Tomography (OCT) sebelum dan sesudah
pemakaian lensa kontak hydrogel konvensional dan silikon hydrogel. Metode: 52
sukarelawan miopia ringan-sedang dilibatkan dalam penelitian ini dan dipilih
secara acak untuk menggunakan bahan hydrogel (Nelfilcon-A) pada satu mata dan
bahan silikon hydrogel (Lotrafilcon-B) pada mata sebelahnya selama 14 hari.
Pemeriksaan lapisan air mata dilakukan melalui pemeriksaan Non-invasive Tear
Breakup Time dan Schirmer-1, serta parameter meniskus air mata menggunakan
OCT sebelum dan 14 hari sesudah penggunaan lensa kontak. Hasil: Subjek terdiri
dari 80,8% perempuan dan 19,2% laki-laki, dengan usia rerata 22,8±1,79 tahun.
Median delta NIBUT (pre-post) adalah -3,4 detik (-11,3-1,4) pada kelompok
Nelfilcon-A dan -4,6 detik (-18,5-2,7) pada kelompok Lotrafilcon-B (p=0,008).
Median delta Schirmer 1 didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara
kedua kelompok LKL. Median delta tinggi meniskus air mata pada adalah -18,5 (-
57,0-96,0) μm pada kelompok Nelfilcon-A dan -11,5 (-53,0-87,0) μm pada
kelompok Lotrafilcon-B (p=0,556). Median dimensi delta area meniskus air mata
adalah -1795,0 (-7596-4372) μm2 pada kelompok Nelfilcon-A dan -1181,5 (-8188-
8770) μm2 pada kelompok Loftrafilcon-B (0=0.728) μm2. Median delta volume
meniskus air mata adalah -0.08 (-0.29-0.18) μL pada kelompok Nelfilcon-A dan -
0.08 (-0.32-0.34) pada kelompok Lotrafilcon-B. Tidak ditemukan adanya
perbedaan bermakna antara parameter meniskus air mata di kedua kelompok LKL.
Tidak terdapat korelasi antara NIBUT, tes Schirmer-1 dan parameter meniskus air
mata. Kesimpulan: Penggunaan lensa kontak Nelfilcon-A harian dan Lotrafilcon-
B mingguan selama 2 minggu dapat menyebabkan perubahan lapisan air mata
(NIBUT memendek dan penurunan parameter meniskus air mata)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica
"Pemberian rekomendasi fit to fly setelah dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi pada pilot yang mengalami katarak berdasarkan protocol Civil Aviation Safety Regulations CASR 67 KP 303 tahun 2012 diberikan setelah 2 bulan pascabedah. Saat ini dengan kemajuan teknologi dan modifikasi teknik, kestabilan tajam penglihatan pascabedah dapat lebih cepat dicapai. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukkan dalam hal perubahan kebijakan lama masa unfit penerbang dengan katarak yang dilakukan tindakan bedah refraktif fakoemulsifikasi. Agar penerbang yang tajam penglihatannya sudah stabil dan sudah memenuhi kriteria fit to fly dapat secepatnya kembali bertugas guna mengurangi loss of work. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kohort retrospektif. Data diambil dari rekam medis, dilakukan perbandingan best corrected visual acuity BCVA dalam satuan desimal praoperasi, hari pertama, serta minggu pertama, kedua, keempat, dan kedelapan. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling, didapatkan 16 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh sampel berjenis kelamin laki-laki 100 berusia 59 ndash; 61 tahun. BCVA didapatkan berbeda bermakna pada hari pertama pascabedah yang dibandingkan dengan prabedah p
According to Civil Aviation Safety Regulations CASR protocol 67 KP 303 in 2012, fit to fly recommendation after refractive phacoemulsification surgery performed on pilots with cataractswas given 2 months postoperatively. Nowadays with technological advances and technique modifications, the visual acuity stability postoperative can be more quickly achieved. This study aims to provide insight in terms to change the old policy of unfit period for pilots with cataracts performed phacoemulsification refractive surgery. It aims to reduce the loss of work so the aviators who visual acuity has been stable and already meet the criteria fit to fly can quickly return to serve. This study is a quantitative study with a retrospective cohort design. Data were taken from medical records, then we compared best corrected visual acuity BCVA in decimal preoperative, first day, and first, second, fourth and eighth week. Sampling was done by total sampling method, we got 16 medical records that match inclusion and exclusion criteria. All samples of male sex 100 aged 59 - 61 years. BCVA was found to differ significantly on the first postoperative day compared with preoperative p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Tofani
"PENDAHULUAN
Penderita yang datang ke poliklinik gigi atau rumah sakit dengan anomali kongenital pada daerah oromaksilofasial khususnya celah bibir, pada umumnya mempunyai keluhan pada fungsi, estetika serta bicara. Keluhan ini pada tiap individu berbeda, ada yang sangat merasakan kelainan tersebut namun adapula yang tidak terlalu memikirkannya. Untuk mengatasi celah bibir, bukan tanpa hambatan atau komplikasi. Ada bermacam-macam komplikasi, diantaranya adalah yang disebut 'whistling', yang secara garis besarnya dapat diartikan suatu keadaan seperti orang bersiul. Dengan tehnik operasi yang makin disempurnakan, komplikasi 'whistling' ini sedikit demi sedikit diusahakan untuk diatasi.
Banyak metoda yang dipakai untuk merapihkan celah bibir, salah satunya adalah metoda 'flap triangular'. Metoda 'flap triangular' ini pun macam-macam pula tehniknya. Sebuah diantaranya adalah tehnik yang diajukan oleh Tennison. Bertolak dari tehnik dasar Tennison, kemudian telah banyak dilakukan modifikasi. Misalnya mulai dari titik pertemuan mukokutan (mucocutaneous junction) kearah sisi mukosa bibir ada yang membuat insisi garis lurus, serta adapula yang menggunakan insisi z-plasti.
Dalam tulisan ini akan dibandingkan kedua cara merapihkan celah bibir tersebut, yaitu yang menggunakan insisi garis lurus dan yang menggunakan insisi z-plasti.
Latar Belakang Masalah, Penderita yang membutuhkan tindakan merapihkan celah bibir, selalu menginginkan hasil yang terbaik. Akan tetapi sebelum tindakan dilakukan, penjelasan dan keterangan yang panjang lebar haruslah di berikan oleh operator, agar supaya penderita betul-betul memahami. Tanpa maksud untuk mengendurkan hasrat penderita, komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul harus diutarakan, termasuk 'whistling' tersebut. Pada umumnya diterangkan pula, kalau perlu, operasi kedua/sekunder dilakukan pada kesempatan berikutnya. Untuk mengurangi komplikasi, harus diusahakan merapihkan celah bibir dengan tehnik yang dianggap paling minimal komplikasinya.
Masalah, Untuk mengurangi komplikasi yang terjadi pasca bedah serta merugikan bagi penderita, maka cara dan tehnik merapihkan celah bibir manakah yang sebaiknya dilakukan?"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>