Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135871 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramly Nurhapy
"Perikanan laut yang diusahakan oleh nelayan kecil adalah kenyataan yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu sampai saat ini. Kelompok nelayan kecil ini menggunakan alat produksi berukuran kecil yang didasarkan pada ukuran motor yang digunakan yakni 10 PK. Ukuran motor ini akan disesuaikan dengan ukuran perahu dan jenis alat tangkap yang digunakan. Besarnya ukuran motor yang digunakan menunjukkan kemampuan produksi. Di wilayah Muara Angke Jakarta Utara terdapat 211 orang nelayan yang dikategorikan sebagai nelayan kecil. Mereka melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta.
Kapasitas alat produksi yang dimiliki oleh nelayan kecil terkait dengan jurnlah ikan yang dapat dihasilkan. Kegiatan perikanan laut memiliki ciri khusus yang penuh ketidakpastian oleh karena ikan tangkapan yang selalu bergerak. Penguasaan teknologi penginderaan dan penangkapan merupakan faktor utama dalam usaha ini. Untuk mengoperasikan alat produksi dengan teknologi canggih diperlukan modal usaha yang besar. Faktor modal ini merupakan hambatan utama bagi peningkatan kemampuan produksi nelayan kecil. Keterbatasan modal untuk memperbaiki alat produksi menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan nelayan kecil.
Dari sudut pandang ketahanan nasional, kegiatan perikanan skala kecil ternyata marnpu memberikan kontribusi positif, antara lain dapat memberikan penghasilan bagi nelayan dan keluarganya, rnembuka lapangan kerja khususnya untuk angkatan kerja tidak terampil. Dari penelitian terhadap 58 responden nelayan kecil dan keluarganya di Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan Rp. 233.480,30- Rp. 265.682,90. Tingkat pendapatan ini hanya dari kegiatan perikanan a tau belum termasuk pendapatan dari kegiatan di luar perikanan.
Gambaran tingkat pendapatan ini sesungguhnya sangat bervariasi. Kendati tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan di Muara Angke Jakarta Utara relatif cukup tinggi, akan tetapi secara faktual angka pendapatan ini tidak berlaku bagi kelompok nelayan yang tidak memiliki alat produksi sendiri (nelayan penyewa atau nelayan pekerja). Pendapatan kelompok nelayan penyewa masih harus dikurangi biaya sewa perahu- rnotor, dan pendapatan nelayan pekerja masih harus dikurangi separuh bag ian untuk juragan pemilik perahu-motor.
Dengan rnenggunakan indikator kesejahteraan keluarga dari BKKBN Pusat, terlihat bahwa keluarga nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara tidak ada lagi yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera. Ada indi.kasi kuat yang menunjukkan bahwa kegagalan keluarga nelayan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya terkait dengan faktor ekonomi. Peningkatan dari keluarga sejahtera tahap I menjadi keluarga sejahtera tahap II memerlukan prasyarat seperti menu sehat, membeli pakaian, menyekolahkan anak-anak yang tentu saja memerlukan biaya yang semakin besar. Pada keluarga sejahtera tahap ill plus misalnya, keluarga harus mampu memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal ini mengandaikan bahwa untuk mampu mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi, maka diperlukan tingkat pendapatan yang semakin tinggi pula. Dengan alasan ini upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan pendapatan atau penghasilan nelayan.
Masalah kesejahteraan nelayan terkait pula dengan jumlah keluarga yang harus ditanggung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah tanggungan keluarga, maka semakin besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disisi lain ada sebagian nelayan yang tidak mau menabung. Penggunaan istilah tidak mau menabung ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya nelayan yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menabung, akan tetapi terjadi penggunaan uang yang tidak tepat sasaran. Beberapa nelayan melakukan kebiasaan negatif Gudi, nunum minuman keras, praktek a-susila). Kebiasaan negatif ini menunjukkan bahwa ketahanan pribadi sebagian nelayan ini lemah.
Peningkatan ketahanan pribadi nelayan akan mendorong peningkatan ketahanan keluarga. Hal ini terbukti dari adanya kelompok besar nelayan yang mampu memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan). Sebagian besar keluarga mampu memiliki fasilitas yang cukup baik seperti video, televisi, tape recorder atau radio. Bahkan terdapat juga nelayan yang mampu menyekolahkan anak-analcnya sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan terhalang oleh sulitnya memperoleh modal untuk mengaplikasikan teknologi maju. Hal ini sangat terkait dengan sifat usaha perikanan laut yang penuh resiko. Ketidakpastian dan resiko ini menjadi alasan lembaga keuangan untuk tidak memberikan kredit pacta usaha perikanan kecil ini. Nelayan kecil yang beroperasi dengan alat produksi sederhana pacta saat ini memang masih mampu memperoleh keuntungan, akan tetapi pada waktu mendatang alat produksi sederhana ini akan tersingkir dengan beroperasinya alat produksi yang lebih modern. Pada akhirnya relatif sulit untuk meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan kecil jika tetap mempertahankan pola dan alat produksi yang dirniliki seperti saat ini.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana nelayan kecil mampu untuk memodernisasi alat produksi karena terbentur dengan pen_yediaan modal. Salah satu model yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan suatu mekanisme kerja sama antar nelayan kecil untuk mengumpulkan modal bersama (capital sharing). Sistem ini memungkinkan terjadinya kerja sama di antara nelayan dalam pengadaan modal, juga memungkinkan terjadinya ('pemerataan resiko ". Kerugian yang setiap saat dapat terjadi seperti kerusakan perahu atau hilangnya alat tangkap akan dapat ditanggung bersama-sama. Sistem ini memungkinkan kelompok nelayan dapat menikmati keuntungan ataupun kerugian secara bersama-sama. Pacta masyarakat nelayan yang mengembangkan pola pemilikan individu, sistem bagi hasil kenyataannya dapat mendorong terjadinya akumulasi modal hanya pada sekelompok kecil tertentu. Sebaliknya masyarakat nelayan yang mengembangkan pemilikan kolektif, memungkinkan lebih besar terjadinya pemerataan pendapatan.
Akan tetapi penelitian di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan nelayan untuk beroperasi secara individu. Hal ini diakibatkan oleh karena keuntungan yang diperoleh secara individu memang relatif kecil, tetapi pasti. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sifat koperatif cenderung tidak nyata lagi bahkan dalam perekonomian skala kecil. Sifat individualisme ini sadar atau tidak telah tersosialisasi bahkan telah terinternalisasi pada kelompok nelayan kecil ini. Penelitian ini menu~ukkan bahwa responden umurrmya hanya memiliki satu perahu ukuran kecil dan melakukan kegiatan penangkapan sendiri-sendiri. Sistem produksi individualistik ini cenderung masih kuat dalam kegiatan nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara.
Kemampuan melakukan usaha kecil secara mandiri dan menanggung resiko sendiri muncul oleh karena sampai saat ini sistem sedemikian masih cukup menguntungkan. Akan tetapi di masa yang akan datang diperkirakan bahwa usaha nelayan kecil tidak lagi menguntungkan. Hal ini terjadi oleh karena cadangan ikan di pantai Utara Jawa akan semakin berkurang akibat penangkapan yang terns menerus dan kerusakan eksosistem laut oleh karena polusi. Hal ini berarti bahwa nelayan kecil tidak mungkin lagi mempertahankan penangkapan pada perairan dangkal, tetapi hams meluas ke perairan dalam. Agar mampu beroperasi di perairan dalam, tentu saja diperlukan sarana produksi yang lebih modern, seperti perahu berukUran besar dan alat tangkap yang lebih modern.
Untuk rnengantisipasi pengembangan di rnasa rnendatang, sejak dini nelayannelayan kecil ini harus mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan faktor produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai mengorganisasikan pemupukan modal berupa tabungan. Nelayan-nelayan kecil ini harus mulai menggalang kerja sama di antara mereka dalam bentuk kelompok nelayan. Apabila modal mereka sudah cukup, maka mereka dapat meningkatkan kapasitas sarana produksi mereka, dan dapat meningkatkan hasil tangkapan dengan wilayah tangkapan yang lebih luas lagi.
Sementara nelayan kecil belum mampu memodernisasi alat produksinya, pemerintah perlu menjamin pengawasan daerah penangkapan dan penggunaan alat tangkap di wilayah penangkapan nelayan kecil, seperti tertuang pada Keppres 39/1980 tentang larangan penggunaan trawl di wilayah perairan Jawa. Peraturan ini perlu untuk mencegah konflik terbuka antara nelayan kecil aengan kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar. Larangan ini merupakan upaya perlindungan bagi kesejahteraan nelayan. Apabila tidak ada proteksi terhadap wilayah penangkapan nelayan kecil, maka dapat dipastikan nelayan kecil ini akan tersingkir. Dari perspektif ketahanan nasional, kelangsungan hidup dan kesejahteraan nelayan kecil perlu dijaga karena rnerupakan bagian integral dari kehidupan nasional.

The sea fishery undertaken by small fishermen is a fact which has take place from time to time until now. These small fishermen groups use small size production tools which based on the size of their motor boat used which is - 10 HP. The size of the motor will be adjusted with the size of boat and types of catching devices used. The size of motorboat used will indicate their production ability. In Muara Angke area of North Jakarta there are 211 fishermen which are categorized as small fishermen. They catch fish in the Gulf of Jakarta.
The capacity of their production tools related to the amount of fish that can be caught. Sea fishery activities have special characteristics that is full of uncertainty because of the moving fish to be caught. Knowledge of sensing and catching technology is a major factor in this undertaking. Lack of capital is a major hindrance for increasing small fishermen production. The lack of capital to improve their production tool caused the difficulty in increasing the income of the small fishermen.
In the national resilience perspective, it turns out that the small scale fishermen undertaking is able to provide a positive contribution, among others it can provide income to the fishermen and their families. It opens work employment especially for unskilled labor force. From the research on 58 respondents of small fishermen and their family in Muara Angke, North of Jakarta, the monthly income level of the fishermen community is Rp 233.480,30 to Rp 265.682,90. The income level is only from fishery activities or excluded income from activities beside the fishery.
This income level is actually highly varied. Even though the monthly per capita income of the fishermen in Muara Angke of Nortl;l of Jakarta is relatively high, however, factually this income level is not valid for fishermen group that have not their own production tools (fishermen that hire their production tools or workers in fishery). The income of the fishermen that hire their production tools must be deducted with lease of motorboat, and incm;ne of workers in fishery must be deducted by one half part for owner of the motorboat.
By using the family welfare of Central BKKBN, it is seen that the small fishermen family in Muara Angke of North Jakarta is no longer belong to the prewelfare family category. There is strong indication which indicates that the failure of the fishermen family to increase welfare is related to economic factor. The increase from stage I to stage II welfare family need requirements such as healthy menu, clothes, ability to send their children to school which certainly need ever increasing expense. In stage III welfare family plus for example, the family should be able to provide material contribution for social activities. This assuming that to achieve higher welfare stage, an increasing welfare need an increasing income. Therefore, efforts to increase the welfare of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta can be done by increasing the income or revenue of the fishermen.
The fishermen welfare problems are also related to the number of their dependent. The results of research indicates that the smaller the number of their dependent, the higher the opportunity to increase their welfare. On the other hand, some of fishermen do not want to save. The use of expression "do not want to save" is due to the fact that actually the fishermen have the ability to save, however, the use of money is not effective. Some fishermen have negative habits (gambling, drinking, immoral acts). These negative acts indicate that the personal resilience of some of the fishermen is weak.
The increase of the personal resilience of the fishermen will increase the family resilience. This is evidenced with the existence of large fishermen group that afford to meet physical needs (food, cloth, housing, education and health). Most of the family can afford to have fairly good electronic goods such as video, television, tape recorder or radio. Even there are several fishermen that are able to send their children to higher education.
Efforts to increase the income and welfare of the fishermen community are constrained by the difficulty in obtaining capital to apply more advanced technology. This is highly related to nature of the sea fishery that is full of risk. These uncertainty and risk become the major reason why financial institutions do not extend credit to the small fishery business. The small fishermen that operate with simple production tools currently still earn profit, however, in the future the simple production tools will be ousted with the operation of more sophisticated production tool. Finally, it is relatively difficult to increase the production and income of small fishermen if the existing production tools and ways are still remained.
The problem is how the small fishermen are able to modernize the production tools because of the unavailable capital. One of the model that can be considered is development of work mechanism between small fishermen to accumulate collective capital (capital sharing). This system will enable the cooperation between the fishermen in accumulating capital, beside it also will "distribute risk". The loss thannay occur at any time can be collectively shared. This system will enable the fishermen group earn or sustain the profit and loss collectively. In the fishermen community that develop a individualistic ownership pattern, the profit sharing can only promote capital accumulation in particular, small group. However, the fishermen community that develops a collective ownership, it will enable to the occurrence of income distribution.
However, the field research indicates that there is tendency that fishermen to operate individualistically. This is because the profit earned individually is relatively small, but it is fixed. There are several indication that cooperative nature is not longer exist even in small scale economy. This individualistic nature is consciously or unconsciously has been socialized and even internalized to the small freslunen groups. This research indicates that the respondents are generally has one small size boat and perform their catch individually. The individualistic production system tends to be strong in the activity of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta.
The ability of small fishermen to work independently and bear the risk by itself is arisen due to up till now such system is still considered as profitable. However, in the future it is estimated that small fishery is no longer profitable. This is due to the fact that fish reserve in the coast of Java Sea will be decreasing because of continuous fish catching and sea ecosystem deterioration caused by pollution. This means that small fishermen will be no longer possible to maintain fish catching in shallow waters, however they should extend to deep waters. In order to be able to operate in deep waters, certainly they need more sophisticated production tools, such as large size boats and more sophisticated catching tools.
To anticipate the future development, the fishermen should consider earlier to increase their production tools. This is can be done by organizing capital formation in the form of saving. The small fishermen should join hands among themselves to form fishermen groups. If their capital have sufficient, they can increase their production facility capacity, and can increase the result of their catch because of larger catching area.
While small fishermen have not been able to modernize their production tools, the government needs to ensure that controlling of the catching area and use of catching tools in the catching areas such as stipulated in Presidential Decree number 39/1980 concerning prohibition of use of trawl in the Java Sea waters. This regulation is necessary to prevent open conflict ·between small fishennen with large scale fishermen. This prohibition is a protection effort for the welfare of fishermen. If there is no protection towards the catching area of the small fishermen, surely these small fishermen will be ousted. In perspective of national resilience, the survival of and welfare of small fishermen needs to be maintained because it is integral part of national livelihood."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustaf Hilmi
"Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai pantai yang sangat panjang dengan segala potensi yang melingkupinya. Dalam perspektif ketahanan nasional pantai merupakan garis pertahanan darat yang terdepan dalam menghadapi segala macam invasi dari luar.
Penduduk pesisir yang mendiami pantai-pantai yang ada mempunyai potensi, baik potensi pendukung maupun penghambat dalam membina keamanan lingkungan yang akhirnya mewujudkan ketahanan nasional.
Potensi pendukung yang ada pada masyarakat pesisir adalah potensi kelembagaan masyarakat yang ada baik formal maupun informal, baik kelembagaan profesi maupun kelembagaan sosial biasa dan lain-lain yang mendukung upaya pembinaan keamanan lingkungan. Potensi penghambat adalah berbagai persaingan dan konflik baik di tingkat keluarga maupun masyarakat yang dapat memicu goyahnya keamanan lingkungan.
Ketrampilan dan keahlian nelayan di Muara Angke, dilihat secara perorangan dan kelompok. Secara perorangan, profil seorang nelayan masih berkutat pada rendahnya tingkat pendidikan formal yang ditempuh. Akibatnya, eksplorasi sumber daya kelautan masih dilakukan secara subsisten, dan menjadikan keluarga sebagai basis produksi. Secara kelompok, organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada tidak mampu mewadahi aspirasi nelayan, dan memperbaiki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memperoleh akses ke berbagai sumber, baik permodalan, maupun kekuasaan.
Masyarakat nelayan di Muara Angke mengembangkan berbagai lembaga sosial berdasarkan kepentingan yang dimiliki dengan mendasarkan pada profesi, kesukuan dan keagamaan. Kelembagaan sosial yang berdasarkan atas profesi berfungsi mewadahi para nelayan yang mempunyai kesamaan komoditi yang dieksplorasi dan alat-alat yang digunakan. Kelembagaan sosial berdasarkan. kesukuan berfungsi mewadahi para nelayan yang mempunyai kesamaan asal muasal dan melestarikan berbagai tradisi yang berasal dari daerahnya, seperti nadran atau pesta laut.
Menghadapi berbagai tantangan, sebagian besar nelayan di Muara Angke memiliki posisi yang kurang menguntungkan. Posisi tawar ini mengakibatkan mereka melakukan berbagai adaptasi, dengan menghindari permasalahan atau dengan mencari berbagai alternatif dan melakukan berbagai kompromi. Contohnya, nelayan yang belum mampu atau bisa mendapatkan perumahan, berusaha mendekatkan domisilinya kelokasi produksi dengan membuat rumah/gubuk liar."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabalok, Jojor Marina
"Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan konsep pemberdayaan atau penguatan potensi (empowerment) masyarakat yang meletakkan individu sebagai subjek dan memberi ruang partisipasi penuh mereka ke dalam sebuah program pemberdayaan itu sendiri. Inisiatif kreatif dari masyarakat merupakan sumber daya paling utama. Partisipasi mereka mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi program.
Pemberdayaan nelayan melalui bantuan paket bergulir sarana penangkapan ikan di Muara Angke merupakan salah satu program dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat nelayan pra sejahtera di Muara Angke.
Evaluasi program bertujuan untuk mempelajari apakah program mencapai tujuan dan bagaimana program mencapai tujuan dan untuk mendapatkan informasi dan menarik pelajaran dari pengalaman mengenai pengelolaan program, keluaran. manfaat dan dampak dari program pemberdayaan yang baru selesai dilaksanakan, maupun yang sudah berfungsi, sebagai umpan balik bagi pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian program selanjutnya.
Metode analisa berpikir logis (logical framework analysis) dengan melihat input, output, outcome dan impact bertujuan untuk melakukan penyesuaian/sinergi antara berbagai elemen tersebut agar terjadi suatu keselarasan antara aktifitas yang dilakukan dengan tujuan program, sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan prosedur dan kesalahan sasaran.
Hasil evaluasi program pemberdayaan melalui analisa input hingga impact menunjukkan kekuatan program pemberdayaan adalah nelayan mempunyai kesempatan untuk memiliki sarana penangkapan yang berimplikasi kepada peningkatan kepercayaan diri (self confidients) nelayan. Hal ini penting karena mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan bukan saja terkait dengan masalah penopang hidup (life sustenance), melainkan juga dengan masalah harga diri (self esteem) dan kebebasan (freedom). Semua itu dimaksudkan agar orang miskin itu bisa menjadi lebih manusiawi (in order to be more human).
Adapun kelemahan program pemberdayaan ini adalah 1) perencanaan program tidak partisipatif, hal ini ditunjukkan dengan minimnya partisipasi masyarakat nelayan dalam setiap penentuan tahap proyek, mulai dan perencanaan hingga implementasi, 2) Input dan aktivitas program yang berkenaan dengan peningkatan kapasitas tidak mendapat prioritas, dan 3) Implementasi program kurang komprehensif, baik dengan program lainnya dalam kaitannya dengan pengembangan nelayan di Jakarta, maupun program pasca proyek. Salah satunya ditunjukkan dengan tidak adanya fasilitator lokal yang seharusnya memfasilitasi pengembangan komunitas nelayan setelah program berjalan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Sulistiyono
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan lokasi penelitian di kawasan Muara Angke Kelurahan Pluit Kncamatan Penjaringan Jakarta Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengelolaan dan pengolahan jenis-jenis sumber daya lokal dalam kerangka strategi pemberdayaan komunitas nelayan. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya efektifitas pemberdayaan terhadap komunitas nelayan.
Seiring dengan kemajuan kota Jakarta, berbagai program pembangunan infrastruktur di kawasan Muara Angke terus mengalami peningkatan. Pada segi sosial, berbagai pemberdayaan komunitas nelayan telah dilakukan di Muara Angke seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Pemberdayaan Wanita Nelayan (PWN), bantuan bergulir kapal perikanan, Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Sekala Kecil (PUPTSK} dan lain sebagainya. Program pemberdayaan yang telah banyak dilakukan selama ini sebagai upaya mensejahterakan nelayan baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah, nampak masih belum optimal pengaruhnya terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan seperti yang diharapkan. Komunitas nelayan di Muara Angke masih tinggal di lingkungan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, bahkan masih banyak dari mereka yang tinggal di bantaran sungai dengan kondisi rumah yang sangat sederhana. Sebenarnya di kawasan Muara Angke telah disediakan pemukiman yang memadai bagi nelayan dengan sistem sewa yang ringan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, akibat desakan ekonomi banyak nelayan yang kemudian menjual atau menyewakan kembali fasilitas pemukiman tersebut kepada pihak lain yang tidak berhak (berprofesi bukan nelayan). Kesulitan yang masih mendera komunitas nelayan menunjukan bahwa dari berbagai program pembangunan yang ada, ternyata kurang efektif memberdayakan komunitas nelayan di Muara Angke.
Kekurangmampuan komunitas nelayan dalam merubah nilai, norma dan berbagai sumber daya lokal yang tersedia seharusnya dipahami oleh pembuat kebijakan, sebelum menentukan program pemberdayaan komunitas nelayan, karena kornunitas nelayan membutuhkan berbagai persiapan dan penyesuaian dalam menghadapi perubahan. Untuk memahami fenomena tersebut seyogyanya dilakukan dengan mempelajari strategi pemberdayaan komunitas nelayan berbasis lokalitas agar dapat mengendalikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam pengembangan suatu komunitas (community development), khususnya nelayan miskin pada skala lokal.
Kegagalan dalam penyelenggaraan program pemberdayaan dapat berupa `kemacetan' dana bergulir, penyelewengan penggunaan dana untuk kepentingan lain di luar program, bubarnya institusi-institusi sosial ekonomi yang dibangun setelah pelaksanaan program berakhir, dan sustanibilitas keberlanjutan kegiatan pemberdayaan terhenti di tengah jalan sehingga tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh pelaksanaan program pemberdayaan yang kerap tidak didasarkan pada struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan, akibatnya program-program pemberdayaan tersebut menjadi asing bagi masyarakat nelayan setempat, dan ironisnya, institusi bentukan program pemberdayaan yang barn sexing diperhadapkan dengan institusi-institusi lokal secara antagonistis. Sehingga, apatisme masyarakat terhadap program pemberdayaan semakin berkembang dan menimbulkan resistensi sosial yang berdampak pada penciptaan hambatan strategi terhadap keberhasilan program pemberdayaan.
Membangun kemandirian sosial ekonomi lokal dapat ditempuh melalui pembangunan lokal yang bertumpu pada pemberdayaan penduduk setempat berbasis komunitas. Pembangunan lokal, diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik sumber daya manusia, sistem sosial, sumber daya alam dan infrastruktur. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas), dengan mengorganisasi serta mentransformasi sumber-sumber dan potensi menjadi penggerak bagi pembangunan lokal.
Pemberdayaan-komunitas-nelayan-tersebut-bertujuan pada perubahan perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan di kalangan komunitas nelayan agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam pengelolaan wilayah pesisir demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan dan perbaikan kesejahteraan komunitas nelayan.
Mengacu pada upaya tersebut, alternatif pemberdayaan berbasis lokalitas yang dapat ditempuh memiliki karateristik antara lain; (1) prakarsa 1 ide berasal dari komunitas setempat, (2) dimulai dengan pemecahan masalah ril komunitas, (3) sumber utama adalah rakyat dan sumber daya lokal, (4) kesalahan dapat diterima, (5) kelembagaan pendukung dibina dari bawah, (6) evaluasi dilakukan sendiri, (7) berkesinambungan dan berorientasi pada proses, (8) kepemimpinan bersifat kuat, (9) fokus manajemen adalah kelangsungan dan berfungsinya sistem kelembagaan. Strategi pembnerdayaan alternatif yang diusulkan mengacu pada pemberdayaan dengan berbasis pada ko-manajamen."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniasari
"Permukiman Nelayan Muara Angke merupakan permukiman yang dibangun atas dasar perencanaan sebelumnya oleh pemerintah DKI Jakarta. Tujuan pembangunannya adalah untuk memukimkan kembali nelayan-nelayan yang sebelumnya menempati kawasan yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan bermukim seperti muara sungai atau tepi laut dari beberapa tempat di DKI Jakarta dan mewujudkan perumahan yang yang sehat, aman, nyaman sesuai dengan pola penghidupan mereka. Tipe rumah tinggal yang telah dibangun adalah rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung dan rumah susun. Dalam perkembangannya, perumahan nelayan turut memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan Permukiman Nelayan Muara Angke. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari pengaruh rumah tinggal terhadap peningkatan kualitas sosial budaya nelayan dan lingkungannya. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal nelayan terhadap kualitas sosial budaya penghuninya, mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal terhadap kualitas lingkungan dan mengidentifikasi keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari kontribusi yang diberikan oleh rumah tinggal di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kondisi rumah tinggal nelayan berupa rumah, rumah panggung dan rumah susun. Perubahan kondisi rumah disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama, kondisi hidrologi berupa banjir dan pasang surut; kedua, peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang. Banjir dan pasang surut yang semakin sering melanda tempat tinggal mereka telah mengubah persepsi terhadap banjir dari semula sebagai hal yang biasa menjadi hal yang tidak menyenangkan (buruk). Persepsi ini telah menimbulkan motivasi penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun untuk melakukan perlawanan terhadap lingkungan. Motivasi perlawanan terhadap lingkungan memacu tindakan-tindakan mengubah rumah tinggal berupa pengurugan tanah dan melapisi permukaannya dengan perkerasan.
Peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang disebabkan oleh penurunan kualitas penangkapan ikan karena penggunaan teknologi yang sederhana. Penurunan kualitas penangkapan ikan berpengaruh langsung terhadap penurunan penghasilan nelayan. Kondisi ini menyebabkan perubahan persepsi mereka tehadap kegiatan penangkapan ikan dari semula sebagai profesi yang dapat menghidupkan menjadi kegiatan yang tidak menguntungkan dan membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Persepsi ini menimbulkan motivasi nelayan untuk mengubah mata pencaharian kepada kegiatan yang dianggap lebih dapat memberikan kehidupan. Berdasarkan pengamatan keberhasilan orang lain dan pengalaman yang dialaminya, nelayan memilih menjadi pedagang ikan. Perubahan kegiatan ekonomi telah memotivasi mereka untuk menyesuaikan komposisi rumah tinggal yang semula terdiri dari bangunan rumah tinggal dan ruang terbuka sebagai tempat penyimpanan alat-alat perikanan menjadi seluruhnya digunakan untuk bangunan rumah tinggal. Motivasi penyesuaian bentuk rumah tinggal menimbulkan tindakan mengubah penataan ruang rumah untuk menampung kegiatan menetap sekaligus tempat berusaha.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah dan rumah panggung memberikan empat pengaruh positif terhadap kecenderungan potensi peningkatan kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap pemenuhan kegiatan ekonomi, mengakomodasi perkembangan keluarga, mendukung peranan perempuan dalam pengasuhan anak dan memenuhi kebutuhan pencapaian privacy penghuninya. Sedangkan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap kegiatan ekonomi penghuninya. Rumah, rumah panggung dan rumah memberikan satu pengaruh negatif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya berupa kecenderungan penurunan interaksi sosial diantara sesama anggota masyarakat lainnya karena penataan ruang rumah tinggal berorientasi ke dalam dan lebih mementingkan pencapaian privacy. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap penghuninya maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi meningkatkan kualitas sosial budaya penghuninya.
Hasil temuan penelitian menunjukkan kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun memberikan lima pengaruh negatif terhadap kecenderungan penurunan kualitas lingkungan yaitu pertama, kontruksi bangunan yang tidak tepat dengan kondisi tanah rawa sehingga mengakibatkan penurunan permukaan tanah; kedua, penggunaan lahan yang secara maksimal untuk rumah tinggal dan melapisi seluruh permukaan tanah dengan perkerasan sehingga menghalangi peresapan air ke dalam tanah; ketiga peningkatan konsumsi listrik sebagai akibat penyaluran air bersih dan penerangan alami yang tidak optimal serta peningkatan penggunaan peralatan listrik sebagai sarana untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ataupun pencarian informasi/hiburan; ketiga pengelolaan sampah yang kurang tepat dimana tempat sampah dibiarkan terbuka sehingga mencemari udara di dalam rumah; keempat, kepemilikan septic tank pribadi justru menyebabkan pengelolaan limbah kotoran manusia menjadi tidak efisien dan manambah kecenderungan pencemaran air tanah; kelima, penyaluran air hujan secara langsung ke saluran lingkungan berpotensi meningkatkan jumlah air di dalamnya sehingga mempercepat terjadinya banjir terutama pada musim penghujan. Kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif bagi peningkatan kualitas lingkungan yaitu dalam hal pengelolaan air kotor. Penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun menyalurkan air kotor ke saluran lingkungan dan melakukan kegiatan kerja bakti secara rutin membersihkan saluran-saluran di sekitar rumah mereka sehingga mengurangi genangan air dan timbunan sampah yang terbawa saat air pasang. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap kualitas lingkungan maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan.
Hasil penelitian dan perhitungan menunjukkan bahwa kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun lebih besar memberikan pengaruh negatif dibandingkan pengaruh positifnya terhadap kualitas Permukiman Nelayan Muara Angke. Keberadaan perumahan nelayan di dalamnya cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan sehingga dapat dikatakan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke tidak berkelanjutan. Kondisi ketidakberlanjutan terjadi karena upaya peningkatan kualitas sosial budaya penghuni diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan. Jika kondisi penurunan kualitas lingkungan terus terjadi pada akhirnya dapat membahayakan penghuni yang tinggal dan berkegiatan di dalamnya terutama mereka dari generasi yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke menunjukkan kecenderungan potensi tidak berlanjut karena menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut maka saran-saran yang disampaikan agar Permukiman Nelayan Muara Angke dapat terus berlanjut sebagai berikut pertama, keberadaan nelayan penangkap ikan di DKl Jakarta perlu diiringi dengan peningkatan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju sehingga kegiatan penangkapan ikan menjadi profesi yang menguntungkan dan menjanjikan penghidupan; kedua, upaya masyarakat mengatasi banjir yang terns menerus perlu diimbangi dengan intervensi pemerintah berupa penanggulan kawasan; ketiga perencanaan pembangunan perumahan nelayan di masa mendatang sebaiknya disesuaikan dengan karakter masyarakat nelayan yang terdiri atas sub-sub kelompok sesuai mata pencaharian mereka yaitu nelayan penangkap ikan, nelayan pembuat sarana, nelayan pengolah ikan dan nelayan pedagang/pemodal; ketiga, pengadaan rumah tinggal nelayan di perkotaan harus berhadapan dengan masalah keterbatasan lahan, sehingga kecenderungan tipe huniannya diarahkan ke rumah susun, dalam perlu diperhatikan adalah luas bangunan dan penataan ruang rumah agar dapat mengakomodasi perkembangan kondisi sosial budaya keluarga nelayan.

The Fisherman Settlement of Muara Angke is in fact a settlement constructed upon previous planning designed by the government of DKI Jakarta. The purpose of the construction itself is to resettle fishermen who previously inhabited areas not destined for settlement activity such as estuary or sea shores in several locations in DKI Jakarta and also in realize healthy, sale, and eolulnrtable housing suitable to their living pattern, The types of residence built are rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung, and rumah susun. Within the development, fisherman housing has given influences in the diminution of environmental qualities of the Muara Angke Fisherman Settlement. This, of course, questions the probability of the continuation of Muara Angke Fisherman Settlement observed from the influences of residences to the socio-cultural quality augmentation of the fishermen and their environment. The purpose of the research which is about to be achieved is to identify the influences of the fishermen's residences towards the socio-cultural qualities of the inhabitants, to classify the influences of the residences towards the environmental qualities, and to identify the continuance of the Muara Angke Fisherman Settlement regarded from the contributions donated the residences within.
Research reveals that there have been changes in the fishermen's housing conditions in terms of rumah, rumah panggung, and rumah susun. The alteration of housing conditions is caused by two main factors; the hydrological conditions in terms of floods and tide, and the shift of economical activities from becoming fishing fishermen to merchant fishermen. Floods and tide striking their residences have amended the perception towards floods from what was enjoyable to now unpleasant. This perception has generated motivations to the residents of rumah, rumah panggung, and rumah susun to commit a fight against the environment. This battling motivation against the environment triggers acts of transforming residences in terms of levering the soil and coating the surface solidly.
The transformation of economical activities from being fishing fishermen to merchant fisherman is caused by the diminution of fishing quality due to the simple technological usage. The downgrade of fishing quality affects immediately in decreasing the fishermen's income. This condition triggers the change of their perception towards fishing activity from what was life-supporting profession to non-profit action that needs high operational costs. This perception sets off fishermen's motivation to change their living to activities considered to be able to give more income.
Based on the observations of other people's success and the undergone experiences, fishermen tend to choose to become merchant fishermen. The alteration of economical activities has motivated them to adjust the housing composition that was based upon residential structure and open spaces for storing fishing equipment to become residential structure completely. This motivation of adjusting the residence makes them to alter the house space arrangement so that it would be possible to accommodate settling activities and workplace at the same time.
Research findings reveal that conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun has given six negative influences to the environmental quality diminution, which are first of all, building construction inappropriate for the swamp condition so that it causes the decline of land surface; second, maximum land usage for residence thus having solid covering that prevent water absorption by the soil; third, the increase of electricity as a consequence of clean water distribution and non-optimal natural illumination and the increase of electrical appliances either as a mean to help finishing household chores or as a source of information and entertainment; fourth, the mismanagement of garbage where trash containers are left open thus contaminating the air within the house; fifth, the possession of personal septic tanks which in fact makes human waste management inefficient and add up water pollution; sixth, the distribution of precipitation directly onto the waterway creates the potential to increase water volume thus accelerating floods, especially during rainy season. The condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun seems to only contribute one positive impact to the augmentation of environmental quality, which is in terms of filthy water management. The inhabitants of rumah, rumah panggung, and rumah susun distribute filthy water to the waterways and perform routine joint environmental cleaning by cleaning surrounding waterways in order to decrease puddle and garbage pile carried away by tide. Observed from the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun in contributing positive as well as negative impacts to the environmental qualities, it can be generally said that fishermen's housing conditions tend to downgrade environmental qualities.
Research indicates that the conditions of rumah and rumah panggung give four positive effects to the augmentation of socio-cultural qualities of the inhabitants, which are the ability of the house to provide support to the fulfillment of economical activities, to accommodate family development, to support the role of women in child care, and to fulfill the need of privacy achievement of the inhabitants. On the other hand, rumah susun only gives one positive impact to the socio-cultural qualities of the inhabitants, which is the ability of the house to provide support to the economical activities of the inhabitants. rumah, rumah panggung, and rumah susun donates one negative outcome towards the socio-cultural quality of the inhabitants, which is in terms of a tendency to decrease social interaction among society members because the space management of the housing is oriented inward and aimed more to the privacy achievement. Observing the condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun in presenting positive and negative impacts for the inhabitants, therefore it can be concluded in general that the condition of Fishermen's housing tends to augment the socio-cultural qualities of the inhabitants.
Research and calculations indicate that the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun give more negative influences rather than positive ones to the quality of the Muara Angke Fisherman Settlement. The existence of fishermen's housing there tends to downgrade the environmental qualities so that it can be said that the Muara Angke Fisherman Settlement is not in continuation. This condition of non-continuance happens due to the efforts to increase socio-cultural qualities of the inhabitants followed by the diminution of environmental qualities. If this condition of quality diminution keep on occurring, in the end, it can jeopardize the inhabitants living and doing activities inside, specially those of future generation.
Based on the above explanation. it can be interred that the Muara Angke Fisherman Settlement doesn't show the continuance tendency as it causes environmental quality diminution. Concerning the matter, the suggestions so that the Muara Angke Fisherman Settlement can stay exist are; first, the existence of fishing fishermen in MI Jakarta needs to be followed by the augmentation of fishing technology far more advance so that fishing can be lucrative and promising; second, the ceaseless efforts of the society in dealing with floods needs to be balanced with government intervention in terms of barricading the area; third, the construction design of fisherman housing in the future should be adjusted with the characters of the fisherman society which is based on sub groups according to their methods of living, which are fishing fishermen, facility producers fishermen, fish processing fishermen, and mercantile fishermen; fourth, the establishment of fisherman housing in urban areas has to be able to deal with the problem of land inadequacy, so that the tendency of the settlement type is aimed to rumah susun, and what needs to be noted is the width of the building and the spatial arrangement in order to accommodate the development of socio-cultural conditions of fisherman families.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius Suroso
"Tujuan penelitian ini ialah mempelajari kegiatan masyarakat nelayan Marunda Besar di laut dan di darat dalam mempertahankan kelangsungan hidup diri dan keluarganya, dan kaitannya dengan ketahanan nasional. Kegiatan masyarakat nelayan Marunda Besar banyak dipengaruhi oleh kearifan lingkungan teknologi yang diterapkan nelayan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Rusaknya sistem lingkungan pantai Marunda mengakibatkan populasi ikan di dekat pantai Marunda semakin berkurang dan ikan menjauh dari pantai. Hal ini menuntut upaya yang lebih keras untuk memperoleh hasil tangkapan ikan.
Adanya pembangunan kota Jakarta dan Proyek Perkayuan Marunda menambah rusaknya lingkungan pantai. Di samping itu akibat pembebasan tanah yang dibangun Proyek Perkayuan Marunda, banyak fasilitas yang hilang, seperti gedung sekolah SLTP, sumur bor, pasar dan sarana transpoitasi. Hal ini merupakan kerugian bagi masyarakat Marunda, karena air minum harus beli. Juga anak-anak tidak dapat bersekolah lagi karena sekolah SLTP makin jauh di Cilincing. Di Marunda kini tinggal ada satu gedung sekolah SD yang ada di dekat Mesjid Alam, dan kondisinya sudah tidak memenuhi syarat lagi. Akibatnya tidak banyak anak-anak yang sekolah lanjutan, tidak mampu membiayai. Dengan bekal pendidikan rendah dan ketrampilan yang didapat dari orangtuanya, maka pekerjaan sebagai nelayan tetap menjadi andalan utama.
Dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan itu masyarakat nelayan Marunda Besar menghadapi berbagai kendala internal (budaya) maupun kendala eksternal (lingkungan hidup) tempat mereka bermukim. Akibatnya kehidupan mereka semakin terpuruk, kalau tidak terperangkap dalam kemiskinan structural.
Mereka harus bekerja lebih keras, menggunakan waktu untuk mencari nafkah dengan penghasilan yang tidak menentu dan semakin menyusut. Akibatnya waktu yang digunakan untuk bermasyarakat, membina keluarga dan mendidik anak-anak semakin berkurang dalam jumlah maupun intensitasnya.
Kenyataan ini menyebabkan kerentanan dalam pergaulan sosial masyarakat nelayan, ketahanan keluarga dan komunitas dalam gangguan keamanan. Mereka dengan mudah dipengaruhi oleh pihak luar yang memberikan ataupun menjanjikan berbagai kemudahan ataupun uang tanpa banyak pertimbangan. Akibatnya menjadi lahan subur bagi pencetus masalah sosial yang dapat mengancam ketahanan nasional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T14624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Susiyeti
"ABSTRAK
Kampung Nelayan Muara Angke berada di tepi perairan Teluk Jakarta yang telah
tercemar logam kadmium. Masyarakatnya biasa mengkonsumi ikan dari Teluk Jakarta
sehingga dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat risiko pajanan kadmium pada masyarakat Muara Angke melalui
pendekatan analisis risiko kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intake
kadmium melalui ikan pada masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke sebesar
0,000012 mg/kg/hari, dengan durasi pajanan masyarakat Muara Angke sebesar 24 tahun,
berat badan masyarakat Muara Angke sebesar 59 kg. Laju asupan ikan sebesar 197,4
gr/hari dan frekuensi pajanan sebesar 294,3 hari/tahun. Hasil analisis menunjukkan
bahwa Masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke baik secara populasi dan individu
belum memiliki risiko dan masih aman dari gangguan kesehatan nonkarsinogenik akibat
pajanan kadmium dalam ikan untuk saat ini sampai dengan 30 tahun mendatang dengan
asumsi bahwa sumber pajanan hanya berasal dari ikan saja dan tidak memperhitungkan
pajanan kadmium dari sumber lain.

Abstract
Muara Angke located on the shores of Teluk Jakarta which have been polluted by heavy
metals cadmium. The Community always eat fish from Teluk Jakarta, this would pose a
risk of health problems. This study aimed to determine the level of risk exposure to
cadmium at Muara Angke community through health risk analysis approach. The results
showed that the intake of cadmium on fish for people in Kampung Nelayan Muara Angke
at 0,000012 mg/kg/day, with duration of exposure to the community Muara Angke for 24
years, Muara Angke community weight of 59 kg. Fish intake rate of 197,4 g/day and
frequency of exposure of 294,3 days/year. The results showed that Muara Angke
community, population and individual do not have risks and still safe from health
disorders noncarsinogenic because of cadmium exposure in fish at this time to 30 years
ahead on the assumption that cadmium exposure comes from fish only and do not take
into account exposure to cadmium from other sources."
2010
T31412
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sugandhy
"Penelitian ini meneliti masalah yang terjadi pada Nelayan Kali Adem Muara Angke Jakarta. Terdapat beberapa masalah yang terjadi, yaitu : 1 ketersediaan modal, 2 rendahnya harga jual ikan dari Nelayan ke Tengkulak, 3 tidak memadainya peralatan tangkap dan kualitas kapal sehingga tidak mampu bersaing dengan Perusahaan Penangkap Ikan yang memakai peralatan tangkap dan kapal lebih modern, 4 sumberdaya manusia yang belum memiliki kemampuan pemanfaatan iptek dan pemahaman tentang inovasi yang rendah. Oleh karena itu penulis menawarkan gagasan sebuah inovasi yang bisa menjawab seluruh masalah diatas, yaitu Hi-U. Hi-U merupakan sebuah Platform berupa Aplikasi smartphone untuk Nelayan yang memiliki fitur antara lain : 1 menemukan pemilik Modal dan Nelayan 2 memberikan fasilitas jual beli ikan online 3 memberikan edukasi dan informasi teknologi serta pengembangan cara bagaimana menangkap ikan yang baik dan benar. Dengan fitur diatas penulis percaya Hi-U akan memberikan kesejahteraan bagi Nelayan. Sebagai syarat untuk bisa menggunakan Hi-U, Nelayan harus bersedia diedukasi mengenai perkembangan Teknologi Penangkapan ikan sehingga secara langsung memaksa perubahan Nelayan Indonesia kearah yang lebih baik dan modern.
This research examines the problem that happened to Fisherman in Kali Adem Muara Angke Jakarta. There are some problems that authors get on Kali Adem Muara Angke i.e. 1 availability of capital, 2 low prices of fish from Fishermen to Collectors, 3 insufficient equipment and ship quality, so it can not compete with fishing companies that using more modern fishing equipment and vessels, 4 human resources that do not have the ability to use science and technology and understanding of innovation is still low. Therefore, the author offers the idea of an innovation that can answer all the above problems, namely Hi U. Hi U is a Platform in the form of smart phone application for fishermen which has features such as 1 finding the owner of Capital and Fisherman 2 providing online fish selling facilities 3 providing education and information technology and developing ways how to catch fish. With the all features, authors believe Hi U will provide prosperity for Fishermen. As a condition to be able to use Hi U, Fishermen must be willing to be educated about the development of Fishing Technology so that directly force the change of Indonesian Fisherman towards a better and modern life."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S67245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rudiatin
"ABSTRAK
Tesis ini membahas bentuk-bentuk dan fungsi jaringan sosial yang terwujud sebagai akibat kompetisi dalam mendapatkan sumber daya, yang berada dalam rangkaian kegiatan usaha nasional, berdasarkan suatu penelitian pada masyarakat nelayan di kampung nelayan Muara Angke, Pantai Utara Jakarta. Penelitian terhadap bentuk dan jaringan sosial nelayan ini menggunakan pendekatan jaringan sosial, yang merupakan pengembangan dari pendekatan struktur. Pendekatan struktur dalam menjelaskan proses perubahan sosial, memandang perubahan masyarakat dengan mengamati perubahan struktur di dalamnya. Pendekatan jaringan sosial memandang struktur dalam masyarakat adalah jaringan social itu sendiri, sehingga dengan menguraikan hubungan-hubungan yang berlangsung di dalamnya, seorang peneliti dapat menganalisa dan menggambarkan suatu proses sosial. Oleh karena itu model jaringan mengarah pada penjelasan proses tidak hanya bentuk.
Pembentukan berbagai jaringan sosial nelayan, merupakan upaya mendapatkan akses ke sumber daya dalam kerangka strategi untuk dapat bertahan hidup di kota. Jaringan sosial yang sudah terbentuk tersebut pun perlu dipertahankan, dengan maksud agar tetap berada dalam suatu jaringan usaha perikanan, karena sekali keluar belum tentu bisa lebih baik lagi atau bahkan dapat masuk lagi dalam usaha perikanan yang berkompetisi tinggi tersebut. Selain itu jaringan sosial juga difungsikan atau digunakan sebagai alat memfleksibelkan kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan.
Jaringan sosial yang dibentuk oleh nelayan, merupakan perilaku ekonomi mereka berdasarkan seleksi terhadap kebudayaan mereka, yaitu mempertahankan hubungan koperatif dengan nilainilai kesetiaan dan kepercayaan di dalamnya. Nilai inilah kelak melanggengkan hubungan-hubungan mereka, sehingga jaringan sosial. nelayan bersifat relatif stabil dan menetap. Dengan demikian kestabilan jaringan sosial nelayan tersebut merupakan refleksi dari kelanggengan hubungan nelayan dan pedagang yang umum ditemukan pada masyarakat nelayan manapun di dunia. Hubungan tersebut langgeng, disebabkan pinjaman--pinjaman jangka panjang. Walaupun relatif stabil, eksistensi suatu jaringan masih bergantung pada seorang patron atau perantara yang dapat mendekatkan jaringan kepada sumber daya. Seorang patron di sini harus memiliki akses besar terhadap sumber daya tersebut. Pada umumnya yang bertindak sebagai patron atau perantara adalah pedagang atau pengusaha besar.
Pembentukan jaringan sosial nelayan banyak dilandaskan pada hubungan kekerabatan,. dimana dasar kekerabatan dalam hubungan nelayan merupakan suatu proses enkulturasi. Hubungan kekerabatan tersebut dijadikan sumber manfaat atau mata pencaharian, sehingga untuk menjamin hari depan mereka dilakukan melalui jaringan kekerabatan.
Dari penelitian terhadap jaringan sosial nelayan ini ditemukan pula bahwa, nelayan di Muara Angke tidak terpaku dalam lingkungan kemiskinan yang identik dengan dirinya, karena bertahan dalam suatu jaringan merupakan usaha nelayan untuk memperoleh peluang atau kesempatan, agar dapat keluar dari kemiskinan atau bertahan hidup. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, begitu banyaknya faktor-faktor sosial-ekonomi bahkan budaya yang saling berkaitan dalam hubungan-hubungan nelayan, terutama hubungannya dengan pedagang, sehingga untuk mematahkan hubungan ketergantungan tersebut kehadiran pranata formal belumlah merupakan pemecahannya."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumadi
"Tesis ini menguraikan tentang kegiatan organisasi-organisasi preman di Muara Angke, Jakarta Utara. Fokus dalam tesis ini adalah pola-pola hubungan preman dalam membangun, memantapkan, dan menggunakan kekuatannya, yaitu melalui hubungan kekerabatan, hubungan patron-klien, hubungan kekuatan, dan hubungan kerja sama sehingga preman tetap ada dan dapat beroperasi di tengah-tengah kehidupan serta aktivitas para nelayan, pedagang ikan, pengusaha ikan, dan aparat pemerintah (polisi, tentara, dinas perikanan, kelurahan, kecamatan, dan walikota).
Pola-pola hubungan sesama anggota preman dalam satu kelompok adalah hubungan kekerabatan karena mereka memiliki kesamaan dalam hal suku bangsa dan daerah asalnya. Di samping itu, dalam perekrutan dan penempatan para pelaksana di lapangan, pimpinan preman mengutamakan kepada orang-orang yang masih ada hubungan kerabat, kawan dekat, keluarga kawan dekat, orang-orang sekampung atau tetangga kampung dan dikenal baik oleh pimpinan preman tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencari dukungan atas kepemimpinannya, menjaga kekompakan dan keutuhan kelompok preman serta sebagai upaya untuk mempermudah mekanisme kontrol terhadap kegiatan-kegiatan, uang masuk dan uang keluar sehingga tidak timbul konflik di antara mereka.
Hubungan antarkelompok preman dipengaruhi oleh hubungan antar sukubangsa, di mana masing-masing sukubangsa sering menonjolkan identitas kesukubangsaannya yang muncul sebagai kekuatan sosial. Kelompok preman Bugis-Makassar menonjolkan identitas suku bangsa dan daerah asalnya yang dikenal dengan istilah siri'.
Kelompok preman Kulon menonjolkan identitas suku bangsanya sebagai pendekar atau jawara, sedangkan kelompok preman Madura memperlihatkan budayanya tersendiri yang dikenal dengan istilah carok. Penonjolan identitas kesukubangsaannya ini terlihat dalam memperebutkan dan mempertahankan sumber-sumber daya yang ada di dalam pelabuhan Muara Angke.
Hubungan patron-klien berlangsung dalam kelompok preman, yaitu antara pimpinan (sebagai patron) dengan para pelaksana (sebagai kliennya). Hubungan patron-klien juga berlangsung antara preman yang memberikan perlindungan dan rasa aman kepada kliennya, yaitu, para nelayan, pedagang ikan, dan pengusaha ikan, yang membutuhkan perlindungan dan jaminan rasa aman dari preman.
Sementara itu, hubungan patron-klien terjadi juga antara preman dengan aparat pemerintah (polisi, tentara, dinas perikanan, aparat kelurahan, kecamatan, dan aparat dari kantor walikota Jakarta Utara). Preman (klien) membutuhkan perlindungan dari aparat pemerintah (patron) dengan konsekuensinya preman memberikan sejumlah "uang setoran" kepada aparat pemerintah.
Di samping itu, terdapat juga oknum-oknum aparat pemerintah yang sengaja bekerja sama, melindungi, memelihara, dan memanfaatkan kelompok preman untuk kepentingan dinas dan kepentingan pribadi dari oknum-oknum aparat pemerintah tersebut.
Akibatnya, preman dapat dengan leluasa melakukan aksinya tanpa ada yang berani mencegahnya. Dengan demikian, preman tetap ada dan dapat melakukan kegiatannya di tengah-tengah kehidupan dan aktivitas para nelayan, pedagang ikan, pengusaha ikan, dan aparat pemerintah di Muara Angke."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>