Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27422 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syahardiantono
"Unjuk rasa yang dilakukan oleh warga masyarakat ada yang berakhir dengan damai tetapi ada juga yang berakhir dengan anarkis. Anarkis adalah orang yang melakukan tindakan anarki. Unjuk rasa yang berakhir dengan damai adalah Unjuk rasa yang dilakukan dengan jalan tertib, mengorganisir dirinya sendiri untuk berangkat ke sasaran, menyampaikan aspirasi, kembali kerumah dengan tertib dan tidak mengganggu ketertiban umum. Sedangkan unjuk rasa yang berakhir dengan anarkis adalah unjuk rasa yang mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sejak era reformasi bergulir di Indonesia, kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat semakin terbuka. Penyampaian pendapat bukan saja terbuka melalui media massa, tetapi juga dilakukan melalui aksi unjuk rasa dengan pengerahan massa, baik dalam jumlah besar maupun kecil. Berbagai peristiwa dan kebijakankebijakan pemerintah, balk yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri selalu disikapi dengan aksi turun ke jalan dari kelompokkelompok yang pro dan kontra terhadap peristiwa/kebijakan yang ada.
Dari hasil penefitian ditemukan bahwa setiap unjuk rasa memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lainnya. ada unjuk rasa yang bertujuan untuk kepentingan umum, seperti yang dilakukan oleh para mahasiswa; ada unjuk rasa yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingannya seperti yang dilakukan oleh para buruh pengunjuk rasa; dan ada juga pengunjuk rasa yang dibayar oleh seseorang yang bertujuan untuk kepentingan tersebut.
Dalam pengamanan unjuk rasa yang berada diwilayah hukum Polres Metro Jakarta Pusat, dilakukan oleh seluruh satuan fungsi kepolisian yang ada di Polres Metro .lakarta Pusat dan jugs Polsek. Disamping fungsi-fungsi tersebut diatas, pimpinan Polri telah membuat suatu kebijakan tentang pembentukan negosiator disetiap satuan kewilayahan (satwil) yang sering terjadi unjuk rasa dari warga masyarakat.
Setelah Kapoires mendapatkan informasi tentang pengunjuk rasa, maka Kapoires akan memerintahkan satuan Intelpam, untuk melaksanakan pengamanan tertutup. Sedangkan pengamanan terbuka akan dilakukan oleh polisi berseragam dinas yang terdiri dari pengendali massa (dalmas), personil Polsek, dan lain-lain. Semua fungsi-fungsi tersebut mempunyai peran masing-masing.
Dalam pengamanan terhadap pengunjuk rasa sangat tergantung kepada kebijakan dari Kapoires Metro Jakarta Pusat. Kebijakan tersebut berpatokan dari jenis unjuk rasa serta saran-saran dari Kasat Intelkam Polres Metro Jakarta Pusat. Jika dalam penilaian Kapoires, bahwa penanganan unjuk rasa, cukup ditangani oleh Kapolsek, maka Kapoires akan menyerahkan sepenuhnya penanganan terhadap unjuk rasa tersebut. tetapi jika menurut penilaian Kapoires unjuk rasa harus ditangani Polres, maka Kapoires akan langsung mengambil aiih pengamanan.
Pengamanan yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Pusat sangat dipengaruhi oieh pengunjuk rasa. Jika pengunjuk rasa menyatakan bahwa unjuk rasa mereka damai, maka polisi akan mengamankan dengan santai. Tetapi jika pengunjuk rasa adalah dari kalangan yang sering berbuat anarkis, maka polisi akan melakukan pengamanan dengan ketat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lapalonga, Jackson A.
"Tesis ini tentang penanganan demonstrasi oleh pasukan pengendali massa (Dalmas) Polres Metro Jakarta Pusat. Dengan perhatian utama strategi tindakan penertiban demonstrasi oleh Pasukan Dalmas dan kecenderungan penggunaan kekerasan dalam menangani demonstrasi mahasiswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi dengan tehnik pengumpulan data secara pengamatan terlibat, pengamatan dan wawancara dengan pedoman untuk mengungkapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pasukan Dalmas dalam menertibkan dan mengendalikan demonstrasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pengamanan demonstrasi oleh pasukan Dalmas adalah hasil dari strategi kepemimpinan yang dilakukan Kapolres berdasarkan situasi yang dihadapi dan informasi mengenai ciri dan karakter demonstran. Tindakan massa demonstran yang sudah mengarah pada sikap agresif dan destruktif serta tidak terkendali membuat pasukan Dalmas mengambil sikap dan tindakan keras untuk menertibkannya. Tindakan penertiban ini cenderung menimbulkan bentrokan antara polisi dan demonstran. Tindakan pemaksaan kehendak dengan dorong mendorong, melakukan pelanggaran hukum dan tindakan yang memancing emosi pasukan Dalmas merupakan upaya untuk memancing polisi bertindak. Faktor internal kepolisian adalah kurangnya latihan dan pengendalian diri pasukan Dalmas dan faktor eksternal dari demonstran adalah tindakan atau aksi yang melanggar hukum. Demonstrasi yang berlangsung tidak murni karena merupakan suatu bentuk ekspresi dari pemaksaan kehendak oleh massa hanya untuk menarik perhatian publik dan mendapatkan pengakuan terhadap gerakannya.
Daftar Kepustakaan : 26 buku"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdo Nefisco
"Penelitian mengenai Polisi dan Unjuk Rasa Anarkis di Jakarta bertujuan untuk menunjukkan penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Selatan yang dilakukan oleh satuan dalmas dalam rangka meredam aksi anarkis yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa saat menyampaikan aspirasinya di muka umum dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran hak asasi man usia.
Unjuk rasa yang terjadi di Jakarta Selatan dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari masyarakat Jakarta Selatan sendiri dan masyarakat yang berasal dari Iuar wilayah Jakarta Selatan seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan dan luar pulau Jawa. Aspirasi yang disampaikan meliputi masalah tenaga kerja, korupsi, hak asasi manusia dan lain - lain.
Unjuk unjuk rasa anarkis yang dilakukan oleo Front Persatuan Rakyat Papua Barat ( Front Pepera - PB ) yang dipimpin oleh Arkilus di kantor Freeport Gedung Plaza 89 JI. Rasuna Said Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan dengan tuntutan agar dilakukan penutupan secara total kegiatan produksi PT. Freeport Indonesia di Papua Barat dan Laskar Pembela Islam ( LPT ) yang dipimpin oleh Ustadz Mustiin dengan tuntutan agar majalah Playboy ditarik peredarannya di masyarakat dalam waktu 3 x 24 jam merupakan suatu bentuk tindakan melanggar hukum dan tidak sejalan dengan semangat reformasi.
Dalam menangani unjuk rasa damai dan anarkis yang terjadi di wilayah hukum Jakarta Selatan, satuan dalmas mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku. Penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh satuan dalmas Pokes Metro Jakarta Selatan masih bersifat sesaat, reaktif dan melakukan tindakan represif saat kegiatan unjuk rasa mengarah pada tindakan anarkis. Tindakan represif dilakukan oleh satuan dalmas sebagai reaksi spontan dan balasan terhadap aksi anarkis yang dilakukan pengunjuk rasa.
Penanganan unjuk rasa anarkis oleh satuan dalmas Polres Metro Jakarta Selatan dengan menggunakan personal yang terbatas sehingga hal ini sangat mempengaruhi efektifitas penanganan di lapangan. Anggota dalmas yang terlibat dalam penanganan unjuk rasa anarkis tidak semuanya memiliki pendidikan khusus mengenai dalmas tetapi hanya melalui pelatihan secara rutin di Mako Pokes yang dilaksanakan secara internal sehingga pemahaman terhadap kegiatan. unjuk rasa masih dilihat sebagai gangguan kamtibmas bukan sebagai proses demokrasi yang sedang berjalan.
Walaupun masih terdapat keterbasan yang dimiliki oleh satuan dalmas Polres Metro Jakarta Selatan dalam menangani unjuk rasa anarkis, namun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya keluhan dari pengunjuk rasa tentang perlakuan anggota dalmas yang dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.

This research is about police and brutal demonstration in south Jakarta which show the implementation of riot police to redeem the brutal demonstration in order to the protect the interest of the other people in the community life and avoid the violation of the human right. Demonstration in south Jakarta is done by people who live in and outside of south Jakarta area such as Depok, Tangerang, Bekasi and other area. Their aspiration is about manpower, corruption, human right and etc.
Brutal demonstration which done by Front of Unity Pepole West Papua who lead by Arkilus at Freeport office. They want that the company totally stop in west Papua because it's doesn't give the benefit for local people even though that company has operated for years. And the other brutality riot is done by Islam Defender Front They want that Playboy magazines do not distribute in the community and give 72 hours for implementing. Those actions are not same as reformation spirit and break the law.
For preventing the brutal demonstration in south Jakarta jurisdiction, the not police always point to the law in order to do right thing. Police riot do their job still in the moment, reactive and take the repressive action when the riot become worst (brutal action). They do the repressive action as the impact of spontaneous reaction from brutal demonstration. Preventing the brutal riot is done by limited personnel; it's very hard because this condition can influence the effective when they do their job in the field.
Only some of riot police personnel have the education and training about riot lesson. Some of them are given special training once in a week in the office of South Jakarta Metropolitan Police. They still face the riot as a disturbance in the community and not as democracy process. Even though the riot police of south Jakarta have debility in preventing the brutal riot but they can do their job properly without complaining from the community and avoid the violation of the human right."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Burhan Wijaya
"Penelitian ini mengungkap bahwa prajurit marinir yang di-BKO-kan (diperbantukan) ke Polri dalam menangani aksi mahasiswa (yang berubah menjadi aksi massa) sebetulnya mendapat tugas baru yang bertentangan dengan tugas pokoknya, sehingga mereka mengalami konflik peran. Deutsch (1973) menyatakan bahwa suatu konflik dapat terjadi kapanpun bila aktivitas yang saling bertentangan terjadi. Prajurit marinir besar kemungkinan pada awalnya merasa stres dengan tugas baru tersebut, seperti yang dikatakan oleh Kahn (1964) bahwa stres kerja dapat disebabkan karena terdapat hambatan dalam menjalankan peran pada pekerjaannya. Agar prajurit marinir tetap dapat melaksanakan tugasnya maka mereka melakukan perilaku coping. Lazarus (1991) mendefinisikan coping yang merupakan upaya kognisi dan perilaku yang khusus mengatur tuntutan-tuntutan internal atau eksternal yang dinilai individu sebagai situasi yang membebani. Kenyataan yang ada menggambarkan bahwa pada saat prajurit marinir menjalankan tugas tersebut mampu melaksanakan dengan baik dan mendapat simpati dari masyarakat.
Peneliti menduga bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan prajurit marinir berhasil menjalankan tugasnya. Diduga terdapat 3 faktor yang berperan dalam keberhasilan tersebut, yaitu faktor identitas kelompok atau semangat korsa atribusi atau cara penanganan dan aktualisasi diri. Pada identitas kelompok, bahwa kelompok merupakan bagian dari individu dan adanya proses psikologis juga akan membentuk perilaku kelompok (Hogg & Abrams, 1990). Untuk atribusi, menurut Jones & Davis (1965) selalu terdapat prekondisi. Ada 2 kondisi yang spesifik, yang pertama aktor (dalam bertindak) harus memiliki pengetahuan perilaku yang diobservasi dan yang kedua memiliki kemampuan untuk menampilkannya. Sedangkan aktualisasi diri menurut Erich Fromm (1993) bahwa orang yang mampu mengaktualiasikan diri dengan baik salah satunya adalah mampu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan mampu bersikap lebih menghargai pada orang lain, bukannya mengambil sikap yang bertentangan.
Pembuatan alat ukur diperoleh dari hasil elisitasi terhadap beberapa anggota marinir yang memenuhi persyaratan. Setelah dilakukan uji coba maka alat ukur yang digunakan adalah dalam bentuk kuesioner yang mengukur faktor identitas kelompok, atribusi dan aktualisasi diri. Sedangkan faktor standar keberhasilan diperoleh dari kuesioner yang dibuat oleh Tracy (1981).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, subyek adalah Brigade infanteri BS Marinir jakarta dan Brigade infanteri-1 Marinir Surabaya. Pemilihan sampel ini atas dasar asumsi bahwa pasukan infanteri seringkali diperbantukan menangani aksi unjuk rasa dan pasukan tersebut tergolong pasukan yang paling siap untuk diterjunkan di lapangan karena keberadaan mereka di garis paling depan. Jumlah sampel adalah 211 responden. Untuk mendapatkan faktor-faktor berdasarkan dugaan peneliti maka dilakukan analisis faktor. Sedangkan untuk menguji validitas dan reliabilitas item-item dalam kuesioner digunakan perhitungan internal consistency dan tehnik reliabilitas Cranbach Alpha, sedangkan untuk melihat masing-masing sumbangan variabel digunakan analisis regresi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya 4 faktor yang berperan memberikan pengaruh pada standar keberhasilan yaitu: faktor atribusi, identitas kelompok, eksistensi (aktualisasi diri) dan persepsi terhadap tugas. Adapun faktor yang memberikan sumbangan terbesar adalah atribusi dan identitas kelompok. Untuk penelitian berikutnya, disarankan membandingkan dengan aparat lain selain marinir agar dapat ditemukan dan ditegaskan faktor-faktor temuan lain yang lebih berperan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T9719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Ariyanto,author
"ABSTRAK
Sebagai seorang polisi yang bertugas melindungi, mengayomi dan
menegakkan hukum dalam masyarakat maka polisi haruslah dapat menunjukkan
perilaku yang baik dalam masyarakat. Seperti halnya dalam menangani unjuk rasa,
polisi harus mampu menerapkan aturan yang sesuai di dalamnya. Jumlah unjuk rasa
yang tinggi dan juga belum tercapainya pemahaman akan demokrasi yang benar
menyebabkan sering terjadi bentrokan antara polisi dengan mahasiswa yang
berunjuk rasa. Polri sebenarnya telah memiliki suatu prosedur tetap dalam
penanganan unjuk rasa. Penelitian ini lebih difokuskan kepada sikap polisi terhadap
perilaku agresif dalam unjuk rasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan sikap polisi
sabhara perintis terhadap perilaku agresif mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta.
Dimana sikap yang timbul bisa berupa sikap unfavourable, favourable maupun
netral. Penelitian ini juga ingin melihat pengaruh perbedaan usia dan tempat tinggal
terhadap sikap polisi terhadap perilaku agresif mahasiswa yang berunjuk rasa di
Jakarta.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat
kecenderungan sikap yang unfavourable dari polisi sabhara perintis terhadap
perilaku agresif mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari
nilai rata-rata kelompok yang diperoleh berada di atas 2,5. Juga ditemukan bahwa
tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan usia terhadap sikap polisi
sabhara perintis terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta. Demikian pula
ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan tempat
tinggal terhadap sikap polisi sabhara perintis terhadap mahasiswa yang berunjuk
rasa di Jakarta."
2002
S3075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Putra Firdaus
"Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang. Salah satu elemen dari hak tersebut adalah hak atas partisipasi. Namun, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik kerap terancam oleh adanya Eco-Strategic Lawsuit against Public Participation (Eco-SLAPP), di mana pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh adanya partisipasi tersebut mengajukan gugatan perdata atau melakukan pelaporan tindak pidana sebagai upaya untuk membungkam masyarakat. Sebagai antitesis dari Eco-SLAPP, timbul konsep Anti Eco-SLAPP, yakni ketentuan hukum yang hadir dengan tujuan untuk melindungi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Indonesia telah memiliki ketentuan Anti Eco-SLAPP yang diejawantahkan melalui Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, penjelasan Pasal 66 UU PPLH menyebutkan bahwa ketentuan tersebut ditujukan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Frasa “cara hukum” mengindikasikan seolah-olah hanya masyarakat yang menempuh mekanisme litigasi yang dilindungi oleh Pasal 66 UU PPLH. Padahal, terdapat beberapa kasus di mana masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup melalui cara non-litigasi khususnya demonstrasi menjadi korban Eco-SLAPP. Skripsi ini meneliti mengenai apakah demonstrasi dapat atau telah dilindungi oleh Pasal 66 UU PPLH. Dalam menyusun skripsi ini, penulis melakukan studi kepustakaan, melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber dan melakukan analisis terhadap beberapa putusan perkara Eco-SLAPP yang melibatkan demonstrasi. Penelitian ini menemukan bahwa yang dimaksud dengan “cara hukum” dalam penjelasan Pasal 66 UU PPLH adalah cara-cara yang sesuai dengan koridor hukum dan tidak terbatas pada mekanisme litigasi saja. Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam praktiknya belum terdapat keseragaman interpretasi dan implementasi dari Pasal 66 UU PPLH. Namun, dalam praktiknya, Pasal 66 UU PPLH telah digunakan untuk melindungi korban Eco-SLAPP yang melakukan demonstrasi. Beberapa putusan bahkan mengakui bahwa perbuatan korban Eco-SLAPP memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana.

The right to a good and healthy environment is every person’s right. One of the elements of this right is the right to participation. However, public participation in realizing environmental rights is often threatened by the existence of Eco-Strategic Lawsuit against Public Participation (Eco-SLAPP), in which parties who feel disadvantaged by such participation file civil lawsuits or report criminal acts as an effort to silence the public. As the antithesis of Eco-SLAPP, the concept of Anti Eco-SLAPP arises, namely legal provisions that exist with the aim of protecting people that are fighting for the right to a good and healthy environment. Indonesia already has an Anti Eco-SLAPP provision which is embodied through Article 66 of Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management (UU PPLH). However, the elucidation of Article 66 of UU PPLH states that this provision is intended to protect victims and/or reporters who took legal action due to environmental pollution and/or damage. The phrase “legal action” indicates as if only the public that fights for the environment through litigation mechanism that are protected by Article 66 of UU PPLH. That is an issue because there are several cases where people who fights for the environment through non-litigation mechanism such as demonstration that become victims of Eco-SLAPP. This thesis examines whether demonstrations can be or have been protected by Article 66 of UU PPLH. In writing this thesis, the author have conducted a literature study, conducted interviews with several informants, and conducted an analysis of decisions on several Eco-SLAPP cases involving demonstrations. This study found that “legal means” in the elucidation of Article 66 of UU PPLH refers to methods that are in accordance with the law and are not limited to litigation mechanisms. This study also found that in practice, there are several interpretation and implementation to Article 66 of UU PPLH. However, in practice, Article 66 of UU PPLH has been used to protect Eco-SLAPP victims that held demonstrations to fight for the environment. Several decisions even acknowledged that the Eco-SLAPP victim’s actions fulfilled the elements of the crime charged, but were not criminal acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizh Manarul Hidayat
"Tulisan ini membahas wacana argumentatif dalam ceramah para ulama Indonesia tentang hukum demonstrasi. Argumen tersebut dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu argumen prodemonstrasi dan argumen kontrademonstrasi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur argumentasi yang dibangun oleh para ulama dalam pendapatnya tentang hukum demonstrasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data yang digunakan berasal dari video-video ceramah dalam laman YouTube dengan tiga kriteria: 1) video berdurasi tidak lebih dari 10 menit, 2) video bermuatan argumentasi pro atau kontra demonstrasi, dan 3) ceramah itu disampaikan oleh ustaz asal Indonesia. Atas dasar itu, dipilih enam video yang dibagi menjadi tiga ceramah prodemonstrasi dan tiga ceramah kontrademonstrasi. Setelah itu, video-video tersebut ditranskripsi dengan teknik ortografis untuk dijadikan sebagai data analisis. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah teori Toulmin (2013). Hasil penelitian ini adalah ditemukan perbedaan penyampaian klaim serta sumber data dan pembenaran yang dijadikan sebagai landasan penetapan hukum Islam. Klaim dalam pendapat prodemonstrasi cenderung bersifat tersirat secara logis. Data dan pembenaran yang digunakannya berasal dari sumber sekunder hukum Islam, yaitu urf dan mashlahah mursalah. Sementara itu, klaim dalam pendapat kontrademonstrasi bersifat lugas dengan data dan pembenaran yang berasal dari Al-Qur’an dan sunah/hadis Nabi.

This paper discusses the argumentative discourse in the lectures of the Indonesian ulemas about the law of demonstration. The argument is divided into two points of view, that is the pro-demonstration argument and the counter-demonstration argument. The purpose of this study is to describe the differences in the elements of argumentation developed by the ulemas in their opinion about the law of demonstration. The method used in this research is qualitative method. The source of the data used comes from video lectures on the YouTube page with the following criteria: 1) videos are about 10 minutes long, 2) videos containing pro-demonstration or counter-demonstration arguments, and 3) the lectures are delivered by Indonesian ulemas. On that basis, six videos were selected which were divided into three pro-demonstrations and three counter-demonstrations. After that, the videos were transcribed using orthographic techniques to be used as data analysis. The theory used to analyze the data is the theory of Toulmin (2013). The results of this study are found differences in the submission of claims as well as sources of data and warrant that are used as the basis for determining Islamic law. Claims in pro-demonstration opinions tend to be logically implied. The data and the warrant it uses come from the second source of Islamic law, namely urf and marshalah mursalah. Meanwhile, the claims in the counter-demonstration opinion are straightforward with data and warrant derived from the Qur'an and hadith."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Tanuredjo
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999
322.4 BUD p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Yogas Bima Bhaskara
"Demonstrasi dan respon pemerintah terhadap demokrasi merupakan bagian utama dalam sehatnya demokrasi. Kelompok mahasiswa telah menjadi salah satu kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial dan politik dalam banyak negara. Melalui demonstrasi atau unjuk rasa, mereka mengekspresikan aspirasi mereka, menentang ketidakadilan, dan memperjuangkan hak-hak yang dianggap mereka perlu dalam masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa terhadap penanganan aksi demo yang dilakukan oleh kepolisian dalam konteks kriminologi visual. Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana menggunakan wawancara terhadap narasumber. Dalam proses wawancara, digunakan teknik photo elicitation, sejumlah foto dipilih secara acak dan ditunjukkan kepada narasumber dalam proses wawancara. Hasil analisis menunjukkan bahwa mahasiswa menunjukkan variasi pandangan mereka terhadap peran kepolisian dalam konteks tiga paradigma protest policing. Mahasiswa juga memberikan pandangan yang berbeda terhadap foto yang ditunjukkan dalam proses pengumpulan data. Pandangan ini merupakan visualitas yang memiliki keunikannnya sendiri yang dibentuk atas dasar kepercayaan terhadap kepolisian serta pengalamannya dalam terlibat dan berinteraksi dengan kepolisian. Sehingga, tidak jarang juga ditemukan adanya perbedaan pendapat terhadap foto-foto yang diberikan oleh penulis. Perbedaan ini dapat memberikan pandangan baru berupa kontravisualitas.

Demonstrations and government responses to democracy are key components of a healthy democracy. Student groups have been one of the driving forces behind social and political change in many countries. Through demonstrations or protests, they express their aspirations, oppose injustices, and fight for the rights they deem necessary in society. The purpose of this research is to understand how students view the handling of demonstrations by the police within the context of visual criminology. This writing employs a qualitative research method, utilizing interviews with informants. In the interview process, photo elicitation techniques are used, where a number of randomly selected photos are shown to the informants during the interview. The analysis results show that students have varied views on the role of the police within the context of three paradigms of protest policing. Students also provided different perspectives on the photos shown during the data collection process. These views represent visualities that have their own uniqueness, formed based on trust in the police and their experiences in engaging and interacting with the police. Therefore, it is not uncommon to find differing opinions on the photos presented by the researcher. These differences can offer new insights in the form of counter-visualities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fujita Wataru
"The “Red Shirt” pro-Thaksin movement, which organized mass demonstrations in Bangkok in 2009 and 2010, reportedly consisted mainly of farmers from the North and Northeast (Isan) regions. However, within the Isan region, (1) in some areas, few people supported the Red Shirts; (2) within areas that had strong Red Shirt support, some villages were indifferent or negative toward the Red Shirts; and (3) within villages that strongly supported the Red Shirts, there were some villagers who did not support them. In this article I examine these diversities in Red Shirt support in relation to the transformation of local people’s livelihood and surrounding ecological conditions. I do this by means of case studies in two contrastive areas that support the Red Shirts but share similar characteristics in livelihood and other sociocultural aspects, including high dependence on a market economy: TM village and the surrounding area in Nam Khun District, and NK village and the surrounding area in Si Muang Mai District, Ubon Ratchathani Province. Core supporters of the Red Shirt movement were motivated not by personal benefits but by the collective benefits for “poor Isan peasants” thanks to various policies of the Thaksin and pro-Thaksin administrations. They expressed a need for a democratic government so that their requests for government support could be fairly considered. On the other hand, in areas where natural resources were still abundant, and in case necessary a self-sufficient mode of life was possible, local people tended to keep their distance from factional politics, including the Red Shirts. They did not depend on government support for leading their lives. Instead, they held the idea of living with what they had."
Japan: Southeast Asian Studies, Kyoto University, 2023
330 JJSAS 60:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>