Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108859 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Mochamad Ackman
"Melempar jumrah di hari tasyriq merupakan salah satu praktek dalam ibadah haji yang dilaksanakan pada tangal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Bagi yang mengambil nafar awwal maka cukup hanya melempar dua hari saja, sedangkan yang mengambil nafar tsani mengenapkan hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan waktu yang ditetapkan untuk melempar jumrah di hari tasyriq, menurut pandangan ulama-ulama klasik adalah antara zawal hingga terbenam matahari, dan boleh hingga fajar menurut pandangan ulama Hanafiyyah, dengan limit waktu untuk melempar ± 18 jam. Sedangkan penetapan hukum melempar jumrah sebelum zawal merupakan kasus khilafiah yang masih diperdebatkan ulama.
Beberapa fukaha kontemporer mengharuskan adanya rukhshah dalam praktek lemparan ini, mengingat bahwa aplikasi ini dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Namun dalam menerapkan model-model rukhshah ini terjadi banyak argumentasi kritis diantara beberapa pandangan menginggat bahwa rukhshah yang dijelaskan Nabi dalam manasik hanya memuat beberapa kasus saja. Dan berbeda dengan rukhshah dalam ibadah lainnya, seperti shalat ataupun shaum yang dijelaskan balk oleh AI-Qur'an maupun hadist Nabi. Sedangkan pilihan rukhshah lainnya hares segera diperoleh untuk menjaga keselamatan jiwa. Dari kejadian ini tampak bahwa adanya keseriusan dari fukaha kontemporer untuk merumuskan rukhshah dari kaidah-kaidah fikih yang ada yang tidak hanya dalam wacana saja, namun mengharuskan dalam bentuk aplikasi (tathbiq).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dengan pendekatan pada aspek yuridis-sosiologis. Penelitian dengan metode analisis wacana ini digunakan untuk memperoleh gambaran utuh dari keragaman aneka pemikiran fikih dalam hukum melempar jumrah. Selain akan mengambarkan pula tantangan fikih untuk menjawab realitas sosial yang digambarkan oleh pandangan-pandangan cendekiawan kontemporer. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif. Kualitatif dipandang sebagai care penelitian yang bisa menghasilkan data deskriptif. Sedangkan penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Dari uraian singkat diatas bahwa mencari makna yang lebih tepat dalam ramyu jumrah di era kekinian merupakan langkah yang harus segera diambil selain untuk mencari alternatif rukhshah yang dapat diaplikasikan saat ini. Dan demi menjaga keselamatan nyawa bagi orang yang hendak melempar jumrah.

On the 11st, 12nd and 13th day of Dzulhijjah (Bid ul-Adha) or the day of tasyriq, pilgrims throw seven pebbles at the large jamarat (rainy jamarat), at each of the three walls, going in order from east to west. Thus a minimum of 49 pebbles are needed for the ritual. However, pilgrims may miss a wall with some of their throws; in order to hit each wall seven times successfully, they may need more than seven pebbles for each wall. Furthermore, some pilgrims stay at Mina for an additional day and must again stone each wall seven times, requiring at least 21 additional pebbles.
There are different opinions among classical ulama about stoning before noon. But now days, many modem scholars feel that throwing stone can be done any time before zawal and sunset on this day. The argument in favor of this ruling is that there is no clear-cut evidence prohibiting the stoning of the Jamarat before the Sun reaches its zenith. There is nothing in the Qur'an and Sunnah that explicitly says so. Such a restriction is not a matter of juristic consensus, and it is not supported by juristic analogy.
Written used research method is discourse analysis method approaching in normative and juridical aspect. This discourse analysis method research used to get detail information about opinions of the stoning of the devil at tasyriq days according traditional schools of juristic thought and contemporary modem scholars. Viewed qualitative as research method that producing descriptive data. While descriptive method has purpose making description, it has interpretations, contextualization, systematic, factual and accurate understanding actors' perspectives or phenomena
The conclusion this information that benefit of seeking the Islamic juridical fatwa's are very important in the case of stoning devil. Seeking concessions from different opinion from scholars and ulama it might solving the problem to safe pilgrims live in the future.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2007
T17727
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lloyd, John
Jakarta: Rahat Books, 2007
001.96 LLO bt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
992.06 P 31 j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Natsir
Pontianak: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata, 2006
572.972 NAT b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Atho Mudzhar
Jakarta: INIS, 1993
340.59 MOH f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iding Rosyidin
"Fokus penelitian ini adalah pembahasan tentang hubungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah pasca Orde Baru. Dan waktu penelitiannya dipusatkan pada masa dimulainya era reformasi atau pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 1998. Namun demikian, sebagai bahan perbandingan, dibahas pula pola-pola hubungan yang diperlihatkan MUI dan pemerintah pada masa Orde Baru untuk mendukung penelitian ini. Sebab, pada periode ini hubungan MUI dan pemerintah mengalami beragam dinamika dari oposisional kritis pada masa Hamka sampai akomodatif pada masa KH Hasan Basri.
Dinamika hubungan MUI dan pemerintah baik pada masa pra dan pasca Orde Baru tentu saja tidak lahir begitu saja, melainkan karena dipengaruhi perkembangan sosial-politik yang terjadi di Indonesia, terutama relasi antara negara dan masyarakat, dalam hal ini, Islam. Oleh karena itu, sangatlah relevan jika peneliti melihat latar belakang munculnya pola hubungan semacam itu atau faktor yang mempengaruhinya, terutama dalam konteks hubungan MUI dan pemerintah pasta Orde Baru yang menjadi fokus penelitian ini.
Penelitian ini bersifat kualitatif Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik: Document analysis: dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada yang , berupa wawasan dan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT) MUI yang barn atau pernyataan-pernyataan sikap dan taushiyah atau rekomendasi MUI yang dikeluarkan selama masa pasca Orde Baru ini, jugs makalah, jurnal, buku-buku hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Depth Interview : wawancara dengan beberapa orang pengurus MUI pusat. Unstructured observation: dipergunakan untuk melakukan oberservasi secara langsung tetapi tidak terstruktur dengan mengamati perkembangan-perkembangan yang terjadi di MUI.
Teori yang digunakan untuk menganalisis data-data tersebut adalah teori civil society yang berguna untuk melihat posisi MUI sebagai bagian dan civil society vis-a-vis pemerintah, dan teori analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dari model Teun A. van Dijk untuk menganalisis sejumlah pernyataan sikap dan taushiyah atau rekomendasi yang dikeluarkan MUI pasca Orde Baru.
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa pola hubungan MUI dan pemerintah pasca Orde Baru yang kritis dengan sejumlah indikatomya tampaknya banyak dipengaruhi oleh perubahan sistem politik yang tengah berlangsung di Indonesia pasta tumbangnya pemerintah Orde Baru. Yaitu, munculnya enomena liberalisasi politik yang membuka pintu lebar-lebar bagi digunakannya hak-hak warga negara: hak berbicara, hak mengkritik, hak berserikat dan berkumpul dan seterusnya. Lahirnya partai-partai politik yang berjumlah lebih dari 150 buah merupakan pengejawantahan dari liberalisasi politik tersebut. Dan di antara partai-partai tersebut terdapat partai-partai politik Islam atau berkonstituen islam dalam jumlah yang cukup siginifikan. sehingga bagi sebagian kalangan, fenomena ini disebutnya sebagai kebangkitan kembali politik Islam.
Dalam konteks sosial-politik inilah di mana sistem politik Indonesia pasca Orde Baru dentildan longgar dengan adanya liberalisasi itu-MUI menampilkan pola hubungaanya dengan pemerintah. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap performance MCA yang mulai menampakkan kebeianian dan kekritisan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Di sini MUI bahkan merumuskan "paradigma baru" guna merespons perkembangan situasi tersebut, seperti dengan melakukan perubahan-perubahan substantif atas hal-hal fundamental dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PDIPRT)nya, semisal asas organisasi, kaitan struktural dengan pemerintah dan sebagainya Dan perubahan-pensbahan itu kemudian direfleksikan dalam berbagai pemyataan sikap MUI dan taushiyah alau rekomendasi yang sangat kritis. Namun begitu, kekritisan MUI itu tetap dalam kerangka menjalankan fungsi civil society yang tidak menegasikan pemerintah atau negara karena posisinya sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat, yang mengharuskannya tetap menjalin hubungan dengan pemerintah seraya memelihara kekritisan. Karenanya pola hubungan semacam ini lebih tepat untuk disebut resiprokal kritis.
Memang muncul juga masalah, di tengah fenomena liberalisasi politik pasca Orde Baru yang acap tak terkendali, MCA juga tarapak terhanyut oleh eforia kebebasan, sehingga pada tingkatan tertentu, ia cenderung ke arah kanan atau membawa semangat aliran. Dalam hal ini, keberpihakannya kepada idelogi Islam sangat kuat, yang terkadang membuatnya tampil kurang bijak dalam melihat suatu persoalan atau malah menyederhanakan persoalan. MUI, misalnya, sering menggunakan istilah-istilah yang berkonotasi ideologic, semacam "kafir harbi, "jihad fi sabilillah" dan sebagainya dalam sejumlah pernyataan sikap dan taushiyah atau rekomendasi yadg dikeluarkannya selama masa pasca Orde Baru ini.
Dengan demikian, sistem politik pasta Orde Baru yang sangat longgar itu telah membawa pengaruh yang signifikan pada pola hubungan MUI dan pemerintah pasca Orde Baru. Dt satu sisi, ia sudah mulai tampil berani dan kritis terhadap kebijakan pemerintah tetapi di sisi lain, terdapat pula kecenderungan bahwa ia agak teihanyut pada semangat aliran. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan ada variable-variabel lain yang turut berperan dalam pola hubungan semacam itu sehingga memungkinkan untuk dijadikan penelitian lebih lanjut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Abdussalam
"Hakim merupakan benteng terakhir dalam penegakan supremasi hukum melalui putusan hakim, karena hakim sangat berperan dalam memelihara dan menjaga kesemimbangan dan keselarasan antara berbagai kepentingan semua pihak serta hakim sebagai penentu pencapaian tujuan pemidanaan. Penelitian ini terbatas pada Putusan Hakim Dalam Kasus Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum (Analisis Terhadap Ketentuan Hukum dan Putusan Hakim Sebalum dan Setelah berlaku Undang-undang No. 9 Tahun 1998}.Dalam kasus kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu pihak pemerintah yang berkuasa atau warga negara yang terlibat langsung dengan kekuasaan dan mendapat kepercayaan warga negara dan masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahan atau negara, dan pihak warga negara dan masyarakat yang tldak terfibat dalam kekuasaan yang harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum dari warga negara yang terlibat dalam kekuasaan pemerintahan atau negara.
Dalam menghadapl kasus kemerdekaan menyampaikn pendapat di muka umum, hakim harus menggunakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab dengan menjadi penengah dari dua pihak yang berkepentingan tersebut untuk memellhara menjaga keseimbangan dan keselarasan serta mencagah terjadi konflik dua kepentingan tersebut. Hal tersebut menlmbulkan permasalahan sebagai berikut : (1) ciri menonjol apakah yang tampak dalam putusan hakim yang menyangkut kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, sebelum berlaku Undang-undang No. 9 tahun 1998; (2) Ciri menonjol apakah yang tampak dalam putusan hakim yang menyangkut kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, setelah berlaku Undang-ur.dang No. 9 tahun 1998? (3) Faktor-faktor apakah yang diduga melatarbelakangi terjadinya perbedaan nuansa putusan hakmi sebelum dan setelah berlakunya Undang-undang No.9 tahun 1998? (4) Nilai-nllaifilsafati apakah yang dapat digali dari gejala putusan hakim dalam era sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-undang No.9 tahun 1998?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
D1098
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zimmerman, L.J.
Bandung: Vorkink-Van Hoeve, 1955
330.9 ZIM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Wari
"Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan Islam tradisional dan senantiasa terlibat dalam wacana keagamaan dan kenegaraan, menyikapi persoalan kepemimpinan pcrempuan dengan mengeluarkan keputusan-keputusan organisasi. Ada beberapa keputusan besar yang dikeluarkan NU terkait kepemimpinan perempuan, yaitu: (a) Keputusan Konbes Syuriah NU tahun 1957 di Surabaya yang membolehkan perempuan menjadi anggota DPR/DPRD; (b) Keputusan Rapat Dewan Partai NU tahun 1961 di Salatiga yang tidak membolehkan perempuan menjadi kepala desa, kecuali karena darurat; (c) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, membolehkan peran publik perempuan, hingga menjadi presiden dan wakil presiden.
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan menganalisis keputusan-keputusan NU terkait kcpcmimpinan perempuan, khususnya dalam mereileksikan komitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan Serta implementasi keputusan-keputusan organisasi tersebut di lingkungan NU. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, Kcputusan-keputusan NU tentang kepemimpinan perempuan secara umum belum sepenuhnya merefleksikan kornitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan yang tercantum dalam Konvensi Penghapusan Segala Bcntuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1987 dan Konvensi Hak Politik Perempuan tahun 1953, khususnya keputusan NU tahun 1961 tentang tidak bolehnya pcrcmpuan menjadi kepala desa kecuali dalam kcadaan darurat. Kedua, Keputusamkeputusan NU tentang kepemimpinan perempuan temyata tidak terimplementasi dengan baik di kalangan NU khususnya perempuan karena kurangnya sosialisasi secara struktural lewat organisasi maupun kultural melalui kyai dan jaringan pesantren.
Pada hakikatnya keputusan-keputusan itu diperlukan untuk melegitimasi kiprah kepemimpinan perempuan NU. Akan tetapi latar belakang keluamya keputusan-keputusan tersebut yang disebabkan oleh faktor sosial politik berakibat pada kurang optimalnya keputusan untuk jangka panjang. Ambivalensi NU dalam kcputusannya tentang kepemimpinan perempuan nampaknya discbabkan oleh oleh konteks sosial politik pada waktu keputusan tcrscbut dikeluarkan. Keriga, mnmculnya keputusan yang progresif di tahun 1997 tentang peran publik percmpuan dan Qarar tahun 2004 yang menekankan aspek kompctensi capres/cawapres menunjukkan semakin terbukanya paradigma para ulama menuju sikap yang lebih obyektif dan kritis dalam persoalan aktual kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan.

Nahdlatul Ulama as a traditional religious organization being continuously involved in religious and national discourses has responded to women?s leadership issues by issuing organizational decisions. Major decisions related to women?s leadership that have been passed are: (a) Decision of the Major Conference of Syuriah NU in 1957 allowing women to become parliament members; (b) Decision of Board Meeting of the NU Party in 1961 prohibiting women to become village heads except in emergency; (c) Decision of the Alim Ularna National Delibcration in 1997 allowing women?s public roles till the posts of president and vice president.
This study aims to document and analyze NU decisions relating to women?s leadership, particularly as reflection of NU?s commitment to gender equality and women?s rights and their implementation in the NU circle. The study has identified several findings: First, that the decisions under study are not fully reflective of NU?s commitment to gender equality and women's rights as contained in the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1987 and the Convention on Women?s Political Rights 1953, particularly NU decision of 1961 which bans women from becoming village heads except in emergency. Second the NU decisions on women?s leadership are not well implemented because of lack of socialization both structurally through the organization and culturally through kyais and the pesantren network. The decisions are basically needed to legitimize NU women's public roles.
However, because of the socio-political reason underlying their passing, the decisions do not have long-term impacts. NU ambivalence in its decisions regarding women's leadership appears to have been influenced by the socio-political contexts. Third, the emergence of a progressive decision in 1997 on women?s public role and Qarar in 2004 emphasizing competences of presidential and vice presidential candidates have indicated NU ulama?s more open paradigms towards more objective and critical attitudes in responding to actual problems ofthe society and nation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T32083
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>