Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suroso Mukti Leksono
"During the past thirty years Sumatra has undergone the highest deforestation rate in all of Indonesia. This is the result of the Indonesian forest management that mainly focuses on wood exploitation. In addition, the high rate of human settlements and unplanned development has accelerated the conversion of forests into palm plantations, rubber, coffee, tea and other crops. These conversions will ultimately decrease the biodiversity of Sumatra, therefore it is very important than effective conservation areas be placed to conserve the biodiversity of Sumatra.
This thesis is a compilation of two scientific papers entitled 1) The Decrease of Ecosystem Types and Its Representation in Conservation Areas of Sumatra and 2) Development, Distribution. and Management of Conservation Areas in Sumatra. The first paper discusses the causes of the area decrease of each ecosystem types and its representation in conservation areas and also to give recommendations if whether an ecosystem type is not represented. The second paper discuses area development and distribution of conservation areas in Sumatra from 1967-2000; analyses the level of management in conservation areas from the point of view of regional autonomy in governance, funding and human resources. Gap analysis and descriptive methods were use to asses ecosystem types that are currently represented in conservation area. Data is compiled from a variety of resources, mostly from competent institution, such as Dept. of Forestry, Dept. of Agriculture, Dept. of Transmigration, State Office of The Ministry of Environment, and Central Biro of Statistics and non-government organizations (CIFOR, CI-IP, WWF, Wetland International, Birdlife, Walhi, and other local NGO's).
The main causes of degradation and shrinkage of ecosystems in Sumatra are illegal logging, extensive transmigration, illegal mining, plantations, and forest fires, The Sumatran ecosystems can be divided into 15 types, One of them-the heath forests has not been represented in any conservation areas. Seven types of ecosystem have less than 10% representation in conservation areas. They are: semi-evergreen rainforest (1 %), ironwood forests (2%), peat swamp forest (2%), mangrove forests (4%), lowland evergreen rainforest (5%), freshwater swamp forests (6%), and tropical pine forest (7%). Six other ecosystems that are represented adequately (more than 10%) are: mountain moist forest (14%), lowland limestone forests (15%); sandy-beach forests (15%) sub alpine forest (21%), limestone mountain forests (29 %), and coral reefs (30%). There is one ecosystem not discussed (rivers and lakes) because of the lack of data and information.
Ecosystems that aren't adequately represented in conservation areas are mostly in low land forest; these regions have in fact undergone deforestation and conversions. Adding conservation areas for these ecosystems can be done by legislating already existing conservation area proposals.
The development of conservation area management in Sumatra is towards the making of National Parks, which encompasses 75% (3.430.390 ha) of the total conservation areas (4.567.750 ha). Besides of being large, in area wise, national parks have more funding and human resources. Parks also accommodate the various functions of conservation areas. Judging from its size, more than 81% (3.699.878 ha) of the total conservation areas in Sumatra are small (less than 50.000 ha) which spreads over low land areas, The distribution of conservation areas in Sumatra is 60% (2.653.000 ha) on high land areas.
Sumatra's national parks are funded averagely below parks in Java. Parks in Sumatra are run at an average of Rp 2.500 per hectare, where else in Java, it is Rp 37.000 per hectare. The same situation applies to ratio of land to human resources. In Sumatra one forest service employee must cover 3.500 hectares of park area, meanwhile in Gunung Gede Pangranggo National Park (Java) one employee has to cover 158 hectares. Noting the various problems in Sumatra such as illegal settlements, illegal logging, illegal cattle herding, poaching, forest fires and etc. the current condition is far from adequate. Even with limited funding, by utilizing management systems like ICDP (Integrated Community Development Project), IPAS (Integrated Protected Areas System) or Ecosystem Management, the goals of conservation will hopefully be reached.
"
Universitas Indonesia, 2000
T4049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Widiastuti
"Ekosistem lamun menyediakan produk dan jasa lingkungan bagi manusia. Produk dan jasa lingkungan dari ekosistem ini memiliki nilai ekonomi yang berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu ingin mengetahui nilai ekonomi produk dan jasa ekosistem lamun sebagai pertimbangan untuk mendorong kegiatan lanjutan pasca program pengelolaan ekosistem lamun di Desa Teluk Bakau dan Malang Rapat. Hasil Kajian nilai ekonomi produk dan jasa ekosistem lamun di desa Teluk bakau dan Malang Rapat untuk tahun 2010 didapatkan sebesar Rp 324.615.714.497.
Capaian program Trismades menunjukkan bahwa program tersebut berhasil untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem lamun dan meningkatkan kesadaran masyarakat pada pengelolaan ekosistem lamun, namun kurang berhasil meningkatkan kegiatan ekonomi lokal yang ramah lingkungan. Rencana kegiatan untuk keberlanjutan program pengelolaan pasca program Trismades adalah mempertahankan capaian program, diantaranya: pengelolaan dan perawatan DPPL, pengelolaan Pondok Informasi, lanjutan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta lanjutan pelatihan mata pencaharian alternatif.;Seagrass ecosystems to provide environmental products and services for humans.

Environmental products and services from these ecosystems have economic value that contribute to the economic well-being of coastal communities. Therefore theresearch aim to study the economic value of seagrass ecosystem of products and services as a consideration to encourage post-program follow-up activities ecosystem management of seagrasses in the Teluk Bakau and Malang Rapat Village. Results Assessment of economic value of ecosystem products and services seagrasses and mangroves in the Gulf of Malang village meeting for the year 2010 amounting to IDR 324.615.714.497 obtained.
Trismades program achievements. indicates that the program successfully to improve the management of seagrass ecosystems and raise public awareness on the management of seagrass ecosystems, but less successful in increasing local economic activity is environmentally friendly. Action plans for the sustainability of post-program Trismades management program is to maintain the achievements of the program, including: management and maintenance of seagrass sanctuary and Community Information and Training Center, advanced training to increase public awareness as well as the advanced training of alternative income generation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T30243
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noni Amini
"Luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan permukaan bumi, akan tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat tinggi, meliputi 1I% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung.
Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan Indomalaya dan Australia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama dengan tingginya tingkat keanekaragaman tipe-tipe habitat yang ada. Banyak pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi (FWI/GFW, 2001).
Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, diperlukan upaya konservasi yang merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati, dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi ini dirasakan tidak efektif mengingat belum ada kawasan konservasi yang berhasil menggabungkan prinsip konservasi dan ekonomi yang bukan saja menjaga keanekaragaman hayati tapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan memberikan pemasukan bagi negara. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya SDM, minimnya dana dan teknologi.
Pada tahun 1995, Pemerintah RI memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995. Pelimpahan pengelolaan meliputi kawasan seluas 1.790.000 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (905.000 ha), Hutan Lindung (505.000 ha) dan Hutan Produksi (380.000 ha), yang keseluruhannya di DI. Aceh (80%), (sekarang Nanggroe Aceh Darusalam) dan 20% di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keppres No. 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pengelolaan KEL ini, pemerintah menjalin kerjasama pengelolaan dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI) selama 30 tahun. Pemerintah juga bekerjasama dengan Uni Eropa dalam pendanaan dan pengelolaan dengan membentuk Unit Managemen Leuser (UML) sebagai lembaga operasional pengelolaan kawasan untuk mernpersiapkan saran dan prasarana menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Keberadaan UML sebagaimana diatur dalam financial Memorandum (FM) antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu sebagai penerima mandat operasional pengelolaan KEL. Tim operasional pengelolaan tersebut terdiri dari ahli-ahli konservasi dan kehutanan Uni Eropa dan Indonesia yang mempunyai masa kerja selama tujuh tahun pada tahap I, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta menjalankan Program Pengelolaan Leuser (PPL) yang teiah ditetapkan oleh Leuser Steering Committe (LSC). Kerjasama ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan konservasi di wilayah ekosistem Leuser dan merupakan transfer ilmu dan teknologi bagi pengelola kawasan tersebut di masa yang akan datang.
Penetapan KEL ini merupakan paradigma baru dalam pemberian ataupun menjalin kerjasama pengelolaan pada sebuah yayasan. Selama ini hak konsesi hanya diberikan berupa HPH yang mengekploitasi hasil hutan bukan untuk keperluan konservasi. Manajemen pengelolaan kawasan yang tercantum dalam FM antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tersebut menggabungkan antara kepentingan konservasi sumberdaya alam hayati dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan yang berpegang pada prinsip penyerapan aspirasi masyarakat (bottom up) (Masterplan, I995). Melalui prinsip pengelolaan dirnaksud diharapkan konservasi dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan pemerintah baik dari segi ekonomi maupun kelestarian kawasan.
Kawasan ekosistem Leuser juga terdiri dari beberapa kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebelumnya seperti Taman Nasional Gunung Leaser (TNGL), Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Hutan Produksi dan sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan gabungan dari sistem alami satu sama lain yang merupakan keterkaitan erat yang membentuk bentang alam yang sangat luas serta sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kawasan ini mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian 3.500 m dari permukaan laut.
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kebijakan dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan dan bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta pengaruh pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan KEL tersebut.
Penelitian ini diharapkan akan sangat membantu dalam upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di masa akan datang, khususnya dalam upaya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Di samping itu, melalui penelitian ini nantinya diharapkan menjadi masukan bagi pengelolaan kawasan konservasi lainnya sehingga dapat menjamin pelestarian sumberdaya alam yang ada dengan tanpa mengenyampingkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang dengan sendirinya akan dapat memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan KEL masih belum mendukung ke arah pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebab Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser belum mengakomodir kepentingan para pihak yang terkait dalam pengelolaan kawasan terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan dan peraturan ini masih bemuansa sentralistik dalam menetapkan kerja sama pengelolaan. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengkaji fait-or-War internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja UML dalam menjaiankan PPL maka ditetapkan beberapa skala prioritas yaitu mengupayakan perbaikan sikap mental masyarakat yang tidak mendukung pengelolaan dan mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan menjamin kepastian hukum serta mewujudkan struktur organisasi yang kuat dengan peningkatan kerja sama para pihak terkait dan meningkatkan kemampuan SDM untuk merebut pasar global di bidang ekowisata. Sehingga bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di KEL yang mendukung ke arah tujuan peruntukan kawasan adalah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.
Konsep pengelolaan ini menerapkan mekanisme yang transparansi, partispasi dan akuntabilitas publik sebagai langkah membangun "good governance" dan pelaksanan "rule of law", yang memperkuat dan mengakui hak kelola masyarakat adat, pendanaan jangka panjang, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah dalam pengelolaan Leuser. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan peluang bagi penyerapan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya, sesuai dengan kebutuhannya dengan penetapan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Walaupun dalam UUPD ini pengelolaan kawasan konservasi masih berada di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam haI ini Dirjen PHKA-Depatemen Kehutanan, tetapi diharapkan dengan manajemen pengelolaan bersama KEL ini kepentingan pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Daerah, serta pihak swasta, LSM dan masyarakat adat disekitar kawasan akan terwakili.
Daftar Kepustakaan : 37 buku (tahun 1986-2001)

Indonesia's land surface is only 1.3% of the total earth's Land surface, but it has a vast diversity of nature. In this land surface alone, there are 11% of the world's total plants species, 10% of the total mammal's species and 16% of the total bird's species. There are around 17,000 islands in the Indonesian archipelago stretching from the Indomalayan to the Austrasia. The archipelago has seven main biogeography areas; with each one of them has a highly varied types of habitat. Many of these islands have been isolated for thousands of years; thus they have a high endemic level. Three main locations that have always been known to have a vast variety of species are the Papua, with its high level of species variety and they are highly endemic. There's also Kalimantan, which also has a high level of species variety but they are moderately endemic, and Sulawesi, that has moderate Ievel of species variety but highly endemic (FWI/GFW, 2001).
To sustain the variety of species, a conservation act has to be done. This act is also an important part of the sustainable development. According to the UU No.5, which is issued in the year 1990, about nature's conservation and diversity of nature, it is stated that the government should manage the conservation areas. So far, the management of these conservation areas is considered ineffective, considering that there's still no conservation area, which is successfully combined the principal of conservation and economics. The idea is not only keeping the species variety alive but also enhancing the welfare of the people that live in the surrounding area and also contributing to the country's income. This flaw is due to the lack of human resources, funding and technology.
In the year 1995, the Indonesian government gave the right to manage the Leuser Ecosystem Area (KEL) to The Leuser International Foundation (YLI) by issuing a mandatory letter by the minister of forestry, No.227/Kpts-II/1995. The right covering the area of 1,790,000 hectares, which consists of The Leuser National Park (905,000 hectares), conservatory forest (505,000 hectares) and productive forest (380,000 hectares). Most of the area, 80%, is located in The Province of Nangroe Aceh Darusalam and 20 % of it, is located in The Province of North Sumatra. This mandatory letter is then withdrawn and replaced by Keppres No.33 tahun 1999, about The Leuser Ecosystem Area (KEL) management. Through this management system the government is working together with The Leuser International Foundation in managing the area for 30 years. The government is also cooperating with The European Union in the matter of funding and forming The Leuser Management Unit (UML). This unit will act as the operating area manager and has to prepare all that is needed towards a sustainable and people-based management.
The unit as stated in The Financial Memorandum (FM) between Indonesia and The European Union, will receive the mandate to manage The KEL. This operational management team consists of experts in conservation and forestry from Indonesia and The European Union. They will have a seven-year working period for the first phase, and can be extended to cater to the need of keeping The Leuser Management Program running. This program is made by The Leuser Steering Committee (LSC). This cooperation is hoped to be able to solve problems found in conserving The Leuser ecosystem and also provides the transfer of knowledge and technology to the next management team.
The management of KEL is a new paradigm in giving the right or cooperating to manage a conservation area to/with a foundation. In the past, the concession right has always been given in the form of HPH, which in the end is only giving them the right to exploit and not conserving the forest. The area management as stated in The FM, which is mentioned earlier, is combining the need to conserve the natural resources with the need to raise the economic value of the area, which is based on the bottom up principal. This way of managing the area is expected to be useful to the people who live in the surrounding area and also the government in both the economic aspect as well as in the conservation aspects. The Leuser Ecosystem Area is consists of several natural reservation area that has already been setup. These areas are The Mountain Leuser National Park (TNGL), zoological reservation area, botanical reservation area and productive forest. The areas are naturally intertwined, where each component is closely connected to form a vast natural community, which is very important for the life of human beings and other living creatures. This area has various types of ecosystem, varying from shore, swamp, lake, lower plain, highland and also mountain that can reach up to 3,500 m from the sea surface.
This research is done to review decisions and Laws that the government has made in managing and cooperating in the act of conserving the KEL, also to see the impact in implementing the UU No.22 Tahun 1999, about the role of the Local government in managing the KEL. This research is expected to be helpful in the act of conserving the Leuser Ecosystem Area, especially in trying to implement a sustainable and people-based conservation. This research is also expected to be able to provide inputs for other conservation areas. In the end, the conservation of natural resources can be done without setting aside the usage of those natural resources that can be useful for the people that live in the surrounding area and the people of Indonesia as a whole.
Decisions and laws that have been made in managing KEL so far have not been supporting the sustainable and people-based conservation, which is the ultimate goal of the conservation act. This is due to the fact that Keppres No.33 Tahun 1998, about The Lauser Ecosystem Area, has not been able to accommodate the interest of related parties, especially the right of the local people, which are very dependent to the forest. The Laws is also very centralistic in making decisions in making the cooperation agreement. Using the SWOT analysis enable us to evaluate both internal and external factors that are affecting the work of UML in implementing the PPL. Priorities then can be set, first of all is to change the mental attitude that is shown by the people that is against the management of the reservation area. Next is to ensure the implementation of a stern law. Setting a strong organizational structure is also important; this can be done by making necessary cooperation with related parties, enhancing the quality of the human resources in order to dwell in the global market of Eco-tourism. Thus the kind of management cooperation necessary in order to reach that goal is through the sustainable and people-based Management of the Leuser Ecosystem Area.
This concept is using the mechanism that is transparent, involving the public to participate and to be accountable for the implementation of good governance. Implementing the rule of law is also needed to strengthen and to admit the right of the local people to participate in the managing activities, long-range funding and also empower the decentralization of the state fiscal in managing the Leuser. The UU No.22 Tahun 1999 about the local government has given the chance to absorb the people aspiration in the matter of managing their own environment in a way that suited their need best, by using the sustainable development. Although in this UUPD the management of the reservation area is still done by the central government, in this case by The Ditjend PHKA, Department of forestry, but through IKEL the interests of the central government, local government, private sector, NGOs and the local people can be catered.
References : 37 books (1986-2001)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najmi Firdaus
"Ekosistem alami sebagai entitas yang terkait dengan keanekaragaman hayati, memiliki peran sangat penting dalam memberikan layanan ekosistem, yaitu beragam manfaat langsung dan tidak langsung yang dibutuhkan untuk keberlanjutan kehidupan di bumi dan untuk mendukung kesejahteraan manusia, sebagai bagian integral dari ekosistem. Pertumbuhan populasi manusia yang meningkat pada skala global menyebabkan meningkatnya tekanan antropogenik pada alam dengan mengubah penggunaan lahan melalui fragmentasi, degradasi, dan deforestasi dengan laju yang cepat. Dilaporkan bahwa lebih dari dua pertiga layanan ekosistem global yang dimanfaatkan tidak terkendali telah terdegradasi lebih cepat dibandingkan waktu pemulihannya. Keadaan ini dapat mengancam aliran produk dan layanan ekosistem di masa depan di berbagai wilayah terutama di daerah tropis, khususnya Indonesia, sebagai salah satu di antara negara-negara dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar di dunia (megabiodiversitas). Kebutuhan untuk menjaga kelestarian ekosistem beserta layanan yang dihasilkan sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini mendorong perlunya dilakukan upaya-upaya untuk mengidentifikasi, melindungi, dan mengelola area yang penting untuk penyediaan layanan ekosistem, agar keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem tetap terpelihara. Layanan ekosistem bertumpu pada keanekaragaman hayati, tetapi hubungan fungsional antara keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem tidak diketahui dengan baik. Berbagai strategi dilakukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, tidak ada strategi khusus yang dilakukan untuk layanan ekosistem. Salah satu strategi penting dalam konservasi keanekaragaman hayati adalah perencanaan konservasi sistematis. Strategi ini bertujuan untuk mengidentifikasi area prioritas di mana upaya konservasi harus difokuskan. Gagasan layanan ekosistem sejak lama digunakan sebagai argumen dasar untuk menjustifikasi konservasi keanekaragaman hayati dan diasumsikan bahwa melestarikan keanekaragaman hayati juga berarti pada saat yang sama melestarikan layanan ekosistem. Karena itu, pada beberapa dekade terakhir berkembang gagasan untuk memasukkan konsep layanan ekosistem ke dalam konservasi, terutama yang berkaitan dengan perencanaan konservasi keanekaragaman hayati. Disertasi ini mendiskusikan masalah yang berkaitan dengan integrasi layanan ekosistem dalam perencanaan konservasi di DAS Cidanau. Pertama-tama dilakukan kajian tentang dampak perubahan tutupan lahan terhadap layanan ekosistem, khususnya hasil air, yang merupakan layanan utama dari DAS Cidanau. Hasil menunjukkan adanya perubahan tutupan lahan di DAS Cidanau dari tahun 1996 ke 2019, karena konversi lahan untuk persawahan dan lahan pertanian. Perubahan tutupan ini diproyeksikan masih akan berlanjut hingga 2030 dan turut memengaruhi dinamika layanan hasil air dari DAS Cidanau. Area potensial untuk layanan hasil air ditemukan terutama di bagian tenggara dan selatan yang merupakan area hulu DAS Cidanau. Area ini perlu diprioritaskan dalam upaya konservasi perairan dan kehutanan untuk memelihara pasokan air dari DAS Cidanau secara berkelanjutan. Kajian kedua membahas tentang identifikasi area prioritas konservasi berbasis layanan ekosistem yang diterapkan untuk mengembangkan kerangka konservasi spasial di DAS Cidanau pada tingkat sub-DAS. Empat layanan ekosistem penting terdiri dari hasil air, kualitas habitat, penyimpanan karbon, dan retensi sedimen, dipetakan untuk mengetahui distribusi spasial dari masing-masing layanan dan hubungan antara layanan ekosistem, jenis tutupan lahan, dan nilai indeks Total Ecosystem Services (TES). Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan spasial yang besar dalam pasokan berbagai layanan ekosistem, di mana indeks TES bervariasi hingga mencapai tujuh kali lipat di antara satu sub-DAS dengan sub-DAS yang lain. Sejumlah sub-DAS di area hulu DAS Cidanau menunjukkan potensi lebih tinggi untuk menghasilkan beberapa layanan secara simultan. Area potensial yang teridentifikasi ini dapat dijadikan rujukan sebagai area prioritas di mana upaya konservasi harus difokuskan. Terakhir, kajian ketiga, mendiskusikan tentang state of the art penelitian layanan ekosistem di Indonesia antara tahun 1998 dan 2020, berdasarkan artikel yang dipublikasikan yang dihimpun pada basis data bibliografik Scopus. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana layanan ekosistem diteliti di Indonesia dan untuk mengetahui kesinambungan atau keselarasan topik-topik yang dikaji dalam disertasi ini dengan kajian lainnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa masalah keanekaragaman hayati, deforestasi, dan kelapa sawit mencirikan kecenderungan terkini penelitian layanan ekosistem di Indonesia. Selain itu, keberlanjutan, perubahan iklim, dan perubahan penggunaan dan tutupan lahan merupakan fokus utama penelitian yang menjanjikan di masa depan. Perubahan penggunaan dan tutupan lahan, adalah salah satu topik yang berkaitan erat dengan perencanaan konservasi dan layanan ekosistem. Perubahan tutupan lahan juga merupakan salah satu faktor pengungkit utama krisis layanan ekosistem global. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan keselarasannya dengan perkembangan riset layanan ekosistem, khususnya di Indonesia. Layanan ekosistem harus dielaborasi secara eksplisit dalam upaya konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Terlepas dari beberapa keterbatasannya, disertasi ini menawarkan perspektif baru tentang konservasi dan model yang dihasilkan dapat berguna untuk perencanaan konservasi di DAS Cidanau dan kawasan lain yang relevan.

Ecosystems, as entities of biological diversity, play a significant role in providing direct and indirect benefits in the form of ecosystem services, which are essential for the sustainability of life on earth and the support of human well-being. However, the increasing growth of the human population on a global level is leading to an uncontrollable increase in anthropogenic pressure on nature, resulting in land use changes through fragmentation, degradation, and deforestation at an unprecedented rate. It is estimated that more than two-thirds of the global ecosystem services have been degraded faster than they have been recovered, thus threatening the provision of future ecosystem products and services, particularly in the tropics and in Indonesia, a country known for its extraordinary biodiversity (mega-biodiversity). Consequently, preserving ecosystems and the services they provide has become an urgent requirement. This wealth encourages initiatives to identify, protect, and manage areas that are vital for the provision of ecosystem services so that biodiversity and ecosystem services can be maintained. Although ecosystem services are dependent on biodiversity, the functional relationship between biodiversity and ecosystem services is still not fully understood. Numerous strategies have been implemented to conserve biodiversity, yet no specific plan has been designed to sustain ecosystem services. One of the most effective strategies for biodiversity conservation is the implementation of systematic conservation planning, which aims to identify priority areas where conservation measures should be concentrated. It is assumed that conserving biodiversity also means preserving ecosystem services, which is why the idea of including ecosystem services in biodiversity conservation planning has been developed in recent years. This dissertation discusses issues related to the integration of ecosystem services in conservation planning in the Cidanau watershed. Firstly, a study was conducted to investigate the impact of land cover changes on ecosystem services, such as water yields, in the Cidanau watershed. Results showed a change in land cover between 1996 and 2019 due to land conversion for paddy fields and agricultural land, and this is projected to continue until 2030 and affect water yield services in the Cidanau watershed. The main areas with potential for water product services are located in the southeast and south, which are the upstream areas of the Cidanau watershed. Therefore, they should be prioritized when it comes to water conservation and forestry efforts in order to ensure a sustainable water supply from the Cidanau watershed. Secondly, a study was conducted to identify conservation priority areas based on ecosystem services in order to develop a spatial conservation framework in the Cidanau watershed at the sub-watershed level. Four essential ecosystem services, such as water yield, habitat quality, carbon storage, and sediment retention, were mapped to evaluate the spatial distribution and the link between ecosystem services, land cover types, and Total Ecosystem Services (TES) index values. Results demonstrated considerable spatial discrepancies in the supply of the different ecosystem services, with the TES index varying up to sevenfold from one sub-watershed to another. Several sub-watersheds in the upstream Cidanau watershed area were identified as having a higher potential for multiple services production. This data can be utilized as a reference for priority areas where conservation efforts should be focused. Finally, a study was conducted to examine the stateof the art of ecosystem services research in Indonesia between 1998 and 2020, based on published articles compiled in the Scopus bibliographic database. This study was conducted to determine the extent to which ecosystem services are studied in Indonesia and to determine the harmony of the topics studied in this dissertation with other studies. Results indicated that biodiversity, deforestation, and oil palm issues characterize the current trends in ecosystem services research in Indonesia. Additionally, sustainability, climate change, and land use and land cover changes are the main focus of promising future research. Land use and land cover change are topics closely related to conservation planning and ecosystem services and are key contributors to the global ecosystem services crisis. Therefore, this study shows its alignment with the development of ecosystem services research, particularly in Indonesia. Explicitly defining ecosystem services is essential for the sustainable conservation of natural resources and biodiversity. By emphasizing the importance of ecosystem services, this dissertation offers a new perspective on conservation. The resulting model can be beneficial for conservation planning in the Cidanau watershed and other related areas."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.R. [Abdoel Raoef] Soehoed
Jakarta: [publisher not identified], 2002
622 SOE l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahman
2007
T39454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hudiyanto
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2002
334 HUD k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Sudiana
"Ekosistem Hutan Mangrove Segara Anakan terdiri dari berbagai komponen sumber daya alam berupa bentang alam, flora, fauna, dan masyarakat setempat, komponen itu satu dengan lainnya berinteraksi membentuk satu kesatuan ekosistem. Saat ini, ekosistem hutan mangrove tersebut mengalami tekanan dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari berupa pengambilan sumber daya hutan mangrove seperti flora dan fauna.
Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan tersebut maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekoturisme merupakan salah satu alternatif program yang dapat diterapkan. Permasalahannya adalah apakah ekosistem hutan mangrove Segara Anakan memiliki sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan ekoturisme?
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi obyek dan daya tarik ekoturisme, persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat setempat, aksesibilitas dan sarana prasarana, lembaga pengelolaan, faktor internal dan eksternal, dan merumuskan strategi pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan.
Metode yang digunakan adalah adalah metode kualitatif dan desknptif dengan jenis studi kasus. Analisis pengembangan menggunakan analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT). Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi, dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Hasil-hasil dari penelitian adalah:
1. Pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan telah sesuai dengan arahan pembangunan nasional yang diimplementasikan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004. Pada kebijaksanaan tingkat daerah pengembangan kegiatan ekoturisme telah sesuai dengan kebijaksanaan daerah yang dijabarkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Segara Anakan Kabupaten Cilacap tahun 1999/2000-2009/2010.
2.Ekosistem hutan mangrove Segara Anakan memitiki potensi sumber daya alam berupa bentang alam, flora, fauna dan kegiatan sosial ekonomi sebagai obyek dan daya tarik ekoturisme.
3.Kegiatan ekoturisme yang dapat dilakukan di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan meliputi memancing, menikmati bentang alam, pengamatan burung, pengamatan vegetasi hutan mangrove.
4.Sebagian besar responden (97%) menyatakan setuju terhadap rencana pengembangan ekosistem hutan mangrove bagi kegiatan ekoturisme. Peran serta yang diinginkan secara berurutan adalah kegiatan usaha makanan dan minuman, menyewakan perahu, pemandu wisata, usaha penginapan dan menjadi pegawai kantor pengelola;
5.Sarana dan prasarana pengelolaan serta pelayanan pengunjung yang dibutuhkan untuk pengembangan ekoturisme saat ini belum memadai;
6.Segara Anakan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik melalui jalur penyeberangan yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
7.Lembaga pengelolaan untuk pengembangan ekoturisme di Ekosistem Hutan Mangrove Segara Anakan belum tersedia.
8. Faktor internal dan Eksternal pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan adalah:
?Kekuatan terdiri dari : keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan, keindahan bentang alam, keanekaragaman jenis dan perilaku fauna, struktur vegetasi dan keanekaragaman jenis flora, dan tanggapan positif masyarakat setempat.
?Kelemahan terdiri dari : lembaga pengelola belum ada, fasilitas pengelolaan dan pelayanan pengunjung belum ada, dan tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat setempat masih rendah.
?Peluang terdiri dari : arah kebijaksanaan di tingkat nasional dan daerah sudah ada, Segara Anakan sebagai koridor pariwisata di antara obyek wisata di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sarana transportasi ke lokasi memadai.
?Ancaman terdiri dari : tingginya tingkat sedimentasi di perairan Segara Anakan, tekanan masyarakat di luar terhadap hutan mangrove.
9. Strategi yang diusulkan untuk pengembangan ekoturisme meliputi penanganan sedimentasi, pengembangan peran serta masyarakat setempat, pengembangan obyek dan daya tank ekoturisme, pengembangan sarana dan prasarana ekoturisme, dan pengembangan lembaga pengelolaan.
Saran-saran dari penelitian ini adalah:
1.Keberhasilan pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan sangat ditentukan oleh keutuhan dan keaslian hutan mangrove di lokasi Segara Anakan. Oleh karena itu program perlindungan dan pelestarian ekosistem hutan mangrove harus dilakukan terus-menerus, yaitu program penanganan sedimentasi dan program pengembangan peran serta masyarakat;
2.Program penanganan sedimentasi disarankan melalui dua pendekatan yaitu menurunkan tingkat erosi di daerah hulu Sungai Citanduy dan mengurangi proses sedimentasi di perairan Segara Anakan. Untuk merealisasikannya perlu kerjasama yang kuat antara Pemda Jawa Banat dan Jawa Tengah;
3.Program peran serta masyarakat setempat dalam ekoturisme disarankan melalui dua pendekatan yaitu pengembangan peran serta secara aktif berupa pelibatan masyarakat setempat pada setiap tahapan kegiatan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan dan evaluasinya. Pengembangan peran serta secara pasif dilakukan melalui program pendidikan dan latihan, pembinaan, dan pendampingan pada aspek pelestarian hutan mangrove dan bidang-bidang usaha makanan dan minuman, penginapan, pemandu, dan jasa wisata lainnya.
4. Penelitian ini ditekankan pada masalah potensi kawasan sebagai obyek dan daya tarik ekoturisme. Untuk menyempurnakan kajian pengembangan dari aspek pemasaran dan promosinya maka perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi pasar terhadap upaya pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan.
Daftar Kepustakaan: 56 (1971.2000)

Study of Ecotourism Development in A Mangrove Forest Ecosystem (A Case Study of the Segara Anakan Mangrove Forest Ecosystem, Cilacap, Central Java).The Segara Anakan mangrove forest ecosystem consists of several natural resources components, i.e. flora, fauna, local people, land, terrestrial and water landscape, which interacted with one another as one ecosystem. Recently, it has been exploited by people surrounding the ecosystem to fulfill their basic needs.
Increasing local people's income is an alternative solution to prevent mangrove forest ecosystem degradation. This could be achieved by the application of ecotourism concepts. The problem faced is whether The Segara Anakan mangrove forest ecosystem has the resources and environment necessary for the development of ecotourism.
The purpose of this study was to identify tourism potential and natural resource attractions, perceptions and level of participation of the local people, accessibility and facilities, management institutions, internal and external factors, and the formulation of ecotourism development strategy for the Segara Anakan mangrove forest.
Qualitative and descriptive methods were used in the research which was a case study. Analysis used a SWOT approach.. Data were collected using three techniques: literature review, observation or fieldwork, and in depth interviews with local people.
The study showed that:
1.Segara Anakan ecotourism development is consistent with the State Development Policy that was included in the National Development Program (PROPENAS) for 2000-2004, At the local government policy level it is supported by The Segara Anakan Spatial Plan for 199912000-2009/2010.
2.The Segara Anakan mangrove forest ecosystem has environment and natural resources, including, landscape, flora, fauna and socio-economic activities as object potential attraction.
3.Ecotourism activities that would be carried out in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem include fishing, enjoyment of the landscape, bird watching, and mangrove forest vegetation observation.
4.Most of the people interviewed (97%) agreed with planning for Segara Anakan mangrove forest ecosystem development for tourism. Therefore they want to participate; by opening drink and food shops, restaurants, fishing and working as recreation guides, renting boats, cottage, and working as management staff.
5.Management and visitors facilities that are needed for ecotourism development have not yet been provided in the location.
6.Segara Anakan has a high level of accessibility due to its location on the route between West Java and Central Java.
7.Management Institutions that are needed for ecotourism development have not yet been provided in the location.
8.The internal and external factors of the ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem are :
? Strengths include: species diversity and abundance of fish, landscape beauty, species diversity and behavioral of fauna, vegetation structure and species diversity of flora, and positive response from the local people.
 Weaknesses include: lack of management institution, unavailability of management and visitors facilities, and the low education level of the local people.
 Opportunities include: the availability of policy direction at the National and regional level, the location of Segara Anakan on the route between tourism destinations in West Java and Central Java, and the availability of local transportation facilities.
 Threats include: The high level of sedimentation in the Segara Anakan waters, and external community pressure on the mangrove forest.
9. The strategies proposed for the development of ecotourism include sedimentation management, development of local people?s participation, development of natural resources and other attractions, development of ecotourism facilities, and development of management institutions.
Recommendations of the research include:
1. The success of ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem will strongly depend on the integrity, uniqueness and condition of mangrove forest ecosystem in Segara Anakan. Therefore, its protection and preservation has to be done continuously through sedimentation management program and development of indigenous people participation program.
2.The proposed approach for sedimentation management includes reduction of erosion levels in the upland area of The Citanduy River Basin and reduction of sedimentation process in the Segara Anakan waters. The implementation should be conducted through strong collaboration with local Governments of West Java and Central Java.
3.The proposed approach for the development of local peoples participation includes the development of active participation of local people in every step of the activity from planning, to implementation, management and evaluation step. Development of passive participation will take place education and training, coaching and assistance in mangrove forest conservation and also in the area of food and drinks, accommodation, guiding and other tourism services.
4.The study focuses on the identification of problems related to ecotourism attraction. A complete study of the whole area of ecotourism has to include marketing and promotion aspects; therefore a study of the potential of the market for ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem is also required.
References: 56 (1971-2000).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T8593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Pujaastawa
"Tema kajian ekologi budaya umumnya mencoba menyimak hubungan antara fenomena-fenomena budaya dengan masalah-masalah lingkungan. Tidak sedikit dari kajian tersebut mengungkap tentang peran positif kebudayaan-kebudayaan tradisional bagi kelestarian lingkungan. Dalam berbagai sistem kepercayaan tradisional misalnya, kerap terungkap bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berperan sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku pemanfaatan lingkungan. Namun demikian, kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar ada kalanya tidak sepenuhnya dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Munculnya tindakan konversi yang dilakukan oleh penduduk Dusun Taro Kaja terhadap Hutan Taro, merupakan kasus yang diharapkan cukup menarik untuk ditelaah di sini.
Kawasan Hutan Taro dan lembu putih sebagai satwa penghuninya merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang sangat terjaga kelestariannya. Penduduk setempat telah sejak lama memperlakukannya dengan sangat hormat dan pantang melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestariannya. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan dan lembu putih tersebut diyakini sebagai suatu sistem lingkungan yang suci dan keramat milik dewa-dewa yang melindungi kehidupan mereka. Meskipun demikian, keberadaan hutan yang sekaligus merupakan habitat lembu putih itu pada akhirnya tak terhindar dari tindakan konversi yang justru dilakukan oleh para pendukung kepercayaan tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan berubahnya ekosistem alami Hutan Taro menjadi lahan pertanian (agroekosistem). Sedangkan lembu putih yang sebelumnya hidup secara liar kemudian dipelihara dalam sebuah kandang kolektif dengan sistem kereman dan keberadaannya tetap diyakini sebagai binatang suci milik dewa. Namun, berbeda dengan pemeliharaan ternak sapi umunya, berbagai macam pantangan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap binatang suci itu mengakibatkan tidak nampak adanya manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung.
Masalah tersebut akan dicoba dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut : (1) Mengapa penduduk Dusun Taro Kaja berani melakukan tindakan konversi terhadap Hutan Taro, padahal sejak lama mereka telah menjaga keberadaannya sebagai suatu ekosistem alami yang dianggap suci dan keramat?; (2) Bagaimana proses dan mekanisme berlangsungnya konversi Hutan Taro?; (3) Mengapa penduduk masih mempertahankan keberadaan lembu putih sebagai binatang suci dan memeliharanya dengan sistem kereman, padahal tidak nampak manfaat-manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung sebagaimana dalam pemeliharaan ternak sapi pada umumnya?.
Masalah tersebut dijelaskan dengan berpijak pada pendekatan materialisme budaya yang cenderung melihat kondisi-kondisi material (infrastruktur) seperti teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi sebagai titik berangkat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial budaya. Strategi teorotis materialisme budaya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya merupakan respon adaptif terhadap kondisi-kondisi infrastruktur yang menopang keberadaan suatu sistem sosial-budaya. Hal tersebut sesuai dengan konsep desa - kala - patra dan desa mawacara yang menyatakan variasi dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia sangat terkait dengan kondisi zaman dan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan mengenai praktik kepercayaan yang terpelihara dalam masyarakat dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk respon adaptif terhadap kondisi-kondisi ekologi dan ekonomi. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut mengandung logika rasionalitas yang tersembunyi dan tidak disadari oleh sebagian besar pendukungnya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara langsung dalam kancah penelitian.
Kajian ini melahirkan temuan dengan simpulan sebagai berikut:
Meskipun keberadaan Hutan Taro dengan satwa lembu putihnya oleh penduduk setempat diyakini sebagai ekosistem yang suci dan keramat, namun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya mampu mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestariannya. Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan dan teknologi bercocok tanam yang masih bersifat tradisional, merupakan faktor-faktor relevan yang melatarbelakangi munculnya tindakan konversi hutan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat telah mengakibatkan terjadinya involusi dalam bidang pertanian dan fragmentasi tanah secara terselubung. Sementara itu, teknologi bercocok tanam yang diwarisi secara turun-temurun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana meningkatkan hasil produksi melalui bercocok tanam secara intensif. Hal tersebut mengakibatkan mereka terbelenggu dalam kondisi-kondisi kemiskinan. Kenyataan-kenyataan tersebut akhirnya mendorong mereka untuk memberanikan diri mengalihfungsikan Hutan Taro menjadi tanah tegalan, walaupun tindakan tersebut diyakini penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Di samping itu, mencuatnya isu land reform disertai agitasi-agitasi politik yang bertemakan "tanah untuk petani" merupakan faktor yang sangat mendukung bagi terwujudnya gagasan konversi.
Sementara di sisi lain, keberadaan lembu putih tetap diyakini sebagai binatang suci dan keramat, serta dijaga kelestariannya dengan pemeliharaan sistem kereman. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut sesungguhnya mengandung sejumlah manfaat, yaitu : (1) mengatur dan melegitimasi pemanfaatan faktor-faktor produksi, khususnya tanah pertanian; (2) melindungi tanaman budidaya dari kemungkinan serangan mamalia besar khususnya satwa lembu putih; (3) mencegah terjadinya kontak seksual antara lembu putih dengan sapi-sapi lokal peliharaan penduduk, sehingga kemurnian genetik masing-masing jenis tetap terjaga; dan (4) keberadaan lembu putih sebagai satwa endemik disertai dengan berbagai bentuk tradisi yang dilandasi kepercayaan terhadap lembu putih sebagai binatang suci, cukup potensial bagi pengembangan pariwisata setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>