Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183205 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atep Abdurofiq
"Timur Tengah merupakan salah satu kawasan yang menjadi perhatian utama politik luar negeri Amerika. Sejauh ini, Amerika memandang Arab Saudi sebagai salah satu sekutu strategisnya di Timur Tengah. Amerika telah menjalin kerjasama cukup lama dengan Arab Saudi, negara penghasil serta pemilik cadangan minyak terbesar di dunia. Sehingga keberadaannya ini menempati posisi sentral dalam kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah.
Hubungan kedua negara ini merupakan hubungan ketergantungan. Amerika sangat membutuhkan pasokan minyak Saudi untuk pertumbuhan industrinya, sedang pada sisi lain Arab Saudi sangat tergantung pada keterlibatan Amerika dalam bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan. Sebelumnya meskipun Arab Saudi negara monarki, Amerika tidak mempersoalkan sistem politik Arab Saudi yang tidak mempraktikkan nilai-nilai demokrasi. Bagi Amerika selain menjaga hubungan dengan keluarga kerajaan yang telah dibangun sejak tahun 1930-an, alasan minyak karena kapasitas produksi harian Arab Saudi mampu menggoyang atau mengamankan pasar minyak global juga karena pertaruhan politiknya terlalu besar jika rezirn Saudi runtuh. Bila hal ini terjadi maka pengganti alternatif di luar keluarga Al-Saud adalah para penantang hegemoni Amerika, terutama Al Qaeda. Disini, nampak bahwa kepentingan Amerika mempertahankan kerajaan, selain faktor ekonomi juga faktor politik.
Namun dasar hubungan Amerika dengan negara-negara Arab umumnya dan Arab Saudi pada khususnya berubah secara mendasar setelah tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan menara kembar World Trade Center di New York dan gedung Pentagon di washington, di mana 15 dari 19 tersangka pelaku tindak terorisme itu adalah berwarganegara Arab Saudi. Amerika berusaha mengubah infrastruktur tatanan sosial bangsa Arab yang dianggap sebagai sumber bagi lahirnya radikalisme dan terorisme. Sehingga prioritas utama kebijakan politik Amerika di kawasan Arab saat ini adalah upaya mensosialisasikan dan menerapkan demokrasi di kawasan tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang baru terjadi dalam sejarah hubungan Amerika-Arab Saudi.
Bahkan pada 6 November 2003, Presiden Amerika George Walker Bush secara terbuka mendesak Saudi dan Mesir menerapkan demokrasi. Di Timur Tengah sendiri, banyak pihak yang setuju dengan seruan Bush untuk lebih mengembangkan demokrasi. Bahkan di Arab Saudi tuntutan perubahan pun muncul tidak hanya dari oposisi moderat namun juga datang dari oposisi garis keras yang menentang sikap kerajaan dan anti Amerika sehingga melancarkan aksi terorisme yang menyerang berbagai kepentingan Amerika di Arab Saudi. Namun, seruan untuk mendukung gagasan Bush itu juga ditanggapi dengan dingin sebagai akibat sikap Amerika yang lebih berpihak pada Israel dan keputusan Amerika mengobarkan perang di Irak. Akibatnya gelombang oposisi kian meningkat sebagai prates terhadap kebijakan Amerika. Kedua Persoalan, kebijakan Amerika dan oposisi anti Amerika, ini merupakan rintangan utama bagi keinginan untuk menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang iebih demokratis.
Desakan reformasi Amerika juga temyata berpengaruh pada kebijakan dalam negeri Arab Saudi buktinya pihak kerajaan telah mengumumkan akan melakukan pemilu nasional dalam waktu dekat untuk memilih wakil rakyat setelah sebelumnya menyetujui pembentukan komite hak asasi manusia nonpemerintah. Persetujuan Arab Saudi atas pembentukan komite hak asasi manusia tersebut adalah suatu perubahan sikap dart persepsi atas isu hak asasi manusia itu sendiri. Sebelum ini, Arab Saudi memandang ada sejumlah prinsipprinsip hak asasi manusia yang diakui dunia saat ini tidak sinkron dengan ajaran Islam, sedangkan pemilu merupakan sebuah proses politik bersejarah bagi Saudi karena untuk pertamakalinya dilaksanakan sejak negara ini didirikan.
Namun belum jelas apakah pemilu ini akan independen dan akan menciptakan parlemen yang berfungsi mengontrol pemerintah sebagaimana lazimnya demokrasi Ataukah, sekadar bentuk lain dari Dewar' Syura yang tidak memiliki kekuasaan, kecuali hanya sekadar memberi masukan kepada pemerintah. Nampaknya walaupun berjalan dengan lamban namun perubahan sedikit demi sedikit sedang terjadi dan terus bergulir di kerajaan Saudi ini.

The Middle East is the main focus of The United States Foreign Policies. Yet, the US government saw Saudi Arabia as their strategic ally in the Middle East. They have been having good cooperation with Saudi Arabia, the biggest oil producer and the owner of the largest number of oil reserves, for years. This strategic condition has put Saudi Arabia in the center of the US foreign affairs policies in the Middle East.
The relationship between these two countries is considered as a dependent connection. The US needs Saudi Arabia to supply them oil for their industry, while Saudi is very dependent on the US involvement in its economy, defense and security. The US does not want to bother the Saudi Arabia's System of Monarchy, even though it is against the values of democracy. For the US, besides keeping a good relation since 1930's with Saudi which its daily oil production is very powerful to the global market they cannot take the great risk they might encounter if the Saudi regime is collapsed. If it happened, Saudi would possibly be ruled by those who are against the US hegemony, especially Al Qaeda. This shows that the US interests are not only economic but also politics.
But generally, the basic form of relationship between the US government and the Arabic countries -especially Saudi Arabia- has changed fundamentally after the 911 incident. The US government is trying to revolutionize the social structure of the Arabian that they consider to be the cause of all radicalism and terrorism. Thus, the most recent priority of the US policies in the Middle East is to socialize-and apply democracy there. This is a new thing in the US-Saudi Arabia mutual aid.
On the 6th of November 2003, George W. Bush, moreover, openly forces Saudi Arabia and Egypt to apply the democracy system in their countries. In fact, in the Middle East, many have agreed with Bush to develop democracy in the area. Even in Saudi Arabia, the demand of changes comes not only from the moderate opposition but also from the radical opponent that protests the Royal attitude and anti-US movements. But the call to approve Bush idea is responded negatively as well, due to the US taking sides Israel and their decision to trigger war in Iraq. This increases the opposition action to protest the US policies. The two problems, the US policies and anti-US movement, can be the real factor to obscure the Middle East becomes a more democratic area.
The US reformation pressure has also influenced the Saudis domestic policies. The Saudi Arabia Royal have announced their willing to run the national election immediately to select their representatives after agreeing the formation of a non government commission for human rights. The Saudi's agreeing the formation of the commission shows attitude and perception changes in viewing human right issues. Prior to that, Saudi perceives some human rights values are not synchronous to Islamic teachings, whereas the election is a very momentous political process to Saudi because it will be the first time ever in Saudi.
But it is still uncertain whether the election will be real independent and result in a parliament that controls government, or just a different form of "Diwan Syura" that has no authority but to give the government advices. It seems that even though it runs slowly but the changes will gradually occur in this Kingdom of Saudi Arabia.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasief Ardiasyah
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrizal Azhar
"Catatan sejarah tentang penyiaran internasional seringkali mencari jawaban mengenai cara penyiaran internasional mencapai atau membantu dalam pencapaian tujuan yang diembankan kepadanya. Posisi dari beberapa orang yang menyokong penyiaran internasional maupun sebaliknya disimpulkan sebagai sebuah perangkat dalam mengubah pandangan politik global.
Voice of America sepanjang Perang Dunia II merupakan lambang supremasi penyiaran internasional Amerika Serikat. Sudah menjadi hal yang resmi bahwa VOA mempertimbangkan baik obyektifitas maupun ketidakberpihakan sebagai. suatu aspek utuh atas kapasitasnya mencapai keberhasilan. Hal ini diperkuat pada salah satu bagian utama yang memungkinkan perundang-undangan menetapkan bahwa penyiaran internasional Amerika Serikat memasukkan (meskipun tidak ada peraturan perundangan yang diperlukan untuk membatasi hal itu) "pemberitaan yang dapat diandalkan dan memiliki sumber berwenang, akurat, obyektifdan komprehensif'.
Lembaga penyiaran wajib menyediakan "keberimbangan dan pandangan luas mengenai gagasan dan kelembagaan Amerika Serikat, yang mencerminkan keanekaragaman budaya dan masyarakat Amerika Serikat" berdasarkan pertimbangan yang sejalan dengan akurasi, obyektif dan komprehensif.
Selain itu. peraturan perundangan juga mewajibkan para awak penyiaran Amerika Serikat melaksanakan "suatu penyajian yang jelas dan efektif atas kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan diskusi serta opini yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut. termasuk dalam tajuk rencana yang disiarkan VOA yang mewakili pandangan Pemerintah Amerika Serikat".
Menyangkut pesatnya perkembangan dalam bidang komunikasi, aktivitas diplomasi secara umum dapat disalurkan melalui penggunaan radio, pers dan perangkat komunikasi lainnya. Saluran ini memungkinkan mengadakan hubungan langsung dengan rakyat negara asing tanpa melalui jalur-jalur resmi pemerintah negara yang bersangkutan. Cara seperti ini, khususnya yang menggunakan instrumen atau alat propaganda, telah dikembangkan dengan sempurna di negara-negara totaliter.
Tesis ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu meneliti atau menggambarkan masalah-masalah aktual untuk ditelaah lebih lanjut berdasarkan fakta-fakta yang satu dengan yang lain sesuai dengan teori-teori yang berlaku- untuk menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi.
Selanjutnya, melalui data yang terkumpul disusun suatu dasar analisis dalam meneliti informasi siaran radio internasional Voice of America dalam kaitannya terhadap artikulasi kebijakan Politik Luar negeri Amerika Serikat pasta Tragedi 11 September 2001, yang dilakukan melalui metode semi analisis isi.
Kesimpulan tesis ini berdasarkan hasil perhitungan 21 transkrip pemberitaan siaran VOA pada 11 September 2001 menilai bahwa aktifitas yang dilakukan VOA masih lebih menekankan pada unsur jurnalisme seperti layaknya yang dilakukan oleh sebuah organisasi media massa. Meskipun sepanjang perjalanan sejarah sangat terlihat memiliki kedekatan yang erat dengan berbagai artikulasi kepentingan pemerintah Amerika Serikat di luar negeri khususnya bagi kelangsungan diplomasi publiknya, namun terhadap pemberitaan seputar Serangan 11 September 2001 ini, belum terlihat adanya dukungan terhadap peran VOA yang lebih luas dalam mengartikulasikan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat sehingga diketahui oleh masyarakat (internasional)
VOA sebagai simbol penyiaran Amerika Serikat sejak perang Dunia II, dalam memberikan informasi seputar Serangan 11 September 2001 masih terbatas pada upaya membentuk opini publik yang dalam jangka panjang akan memberikan implikasi peristiwa tersebut terhadap perubahan arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Pemberitaan siaran VOA yang terus-menerus memberikan penekanan pada peristiwa 11 September 2001, dilihat dari analisis data, ditunjukkan dengan banyaknya memuat berita mengenai peristiwa tersebut melalui liputan yang ditujukan kepada masyarakat maupun pejabat resmi pemerintah Amerika Serikat, terutama yang berpengaruh pada tingkat pengambil keputusan. Fakta ini menunjukkan bahwa VOA sebagai lembaga penyiaran internasional yang operasionalisasinya diselenggarakan oleh pemerintah Amerika Serikat berupaya memberikan news value dalam pemberitaannya.
Berita-berita yang lebih banyak mengangkat ulasan maupun liputan mengenai peristiwa Serangan 11 September 2001 dianggap VOA memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal inilah yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung turut mempengaruhi pembentukan dan distribusi pesan VOA khususnya dalam menjangkau para pendengar mereka yang tersebar di seluruh penjuru dunia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Wirawan
"Perubahan situasi politik internasional setelah Perang Dingin menjadi bergeser, aktor negara yang sebelumnya mempunyai peran dominan disusul perannya oleh berbagai aktor kepentingan di percaturan dunia. Aktor individu, aktor golongan maupun kelompok semuanya berperan menampilkan kepentingannya masing-masing. Terorisme dalam perjuangan politiknya juga ikut memainkan peran kepentingannya.
Tindakan kekerasan terorisme selalu menimbulkan akibat kepada masyarakat. Kekerasan teorisme secara psikologis telah menimbulkan trauma rasa takut yang tertanam dan dapat mengancam keselamatan manusia. Trauma takut akan ancaman menyebabkan orang untuk tidak mau mengambil risiko tinggi dalam aktivitasnya. Risiko akan ancaman keselamatan yang tinggi dapat berpengaruh ke sektor-sektor lain, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Resiko tinggi yang berpengaruh pada sektor ekonomi khususnya lingkungan bisnis dapat dilihat pada tragedi WTC dan Pentagon di Amerika.
Bisnis penerbangan internasional mengalami kemunduran setelah serangan teroris pada tragedi World Trade Center dan Pentagon tanggal 11 September 2001 di Amerika Serikat. Bukan hanya korban nyawa dari penumpang pesawat yang menabrak gedung WTC dan Pentagon saja yang terjadi, melainkan paska peristiwa ini yang berimplikasi ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Bisnis Penerbangan intemasional pada khususnya menerima dampak tragedi ini. Produksi penerbangan menurun, penutupan rute penerbangan, peningkatan biaya asuransi, pemberhentian pegawai, bahkan sampai penutupan perusahaan terjadi karena tindakan kekerasan terorisme.
Sekali tindakan teroris dilakukan mempunyai efek ke berbagai sektor kehidupan, bukan hanya persoalan yang terlibat langsung saja terkena dampaknya, melainkan ke hal-hal lain yang ikut merasakan kehancuran. Bukan hanya pegawai penerbangan saja yang dipecat, melainkan anggota keluarga lain juga merasakan malapetaka tindak kekerasan.
Di balik masalah yang dihadapi bisnis penerbangan akan ada bisnis-bisnis lain yang mengalami situasi serupa, karena keterkaitan bisnisnya, seperti bisnis pariwisata, hotel, ekspor-import dan lain sebagainya. Bagaimanakah dengan sekor-sektor lain ?
Pada tulisan ini hanya memaparkan dampak serangan teroris paska tragedi WTC dan Pentagon tanggal 11 September 2001 di Amerika Serikat pada sektor bisnis penerbangan internasional.
Antisipasi dan kewaspadaan terhadap teroris perlu diperangi sejak dini. Salah satu langkah yang diperintahkan Perserikalan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi Dewan Keamanan No. 1373 untuk memblokir dana-dana teroris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Lukman Hakim
"Dalam tesis ini ingin menjelaskan mengapa hubungan Arab Saudi-AS yang dianggap 'hubungan khusus' belum dapat membawa Arab Saudi untuk berperan optimal dalam menyelesaikan masalah Palestina. Penyelesaian masalah Palestina merupakan ukuran keberhasilan pelaksanaan tuntutan tugas dan misi politik luar negeri Arab Saudi yang dirumuskannya tahun 1943. Tugas dan misi tersebut berisi bahwa penyelesaian masalah Palestina ditempuh dengan dua Cara : Arab Saudi bersatu dengan negara-negara Arab lainnya untuk menyelesaikan Palestina, dan Arab Saudi mempengaruhi Amerika untuk menjadi mediator yang adil dalam menyelesaikan masalah Palestina. Namun, pelaksanaan untuk menarik Amerika menjadi mediator yang adil masih mendapat hambatan eksternal dan internal.
Hambatan eksternal dan internal yang dimaksud, sebagai berikut :
1. Kuatnya lobi pro-Israel terhadap pengambil kebijakan (decision maker) di Amerika, sehingga Amerika dapat mengorbankan hubungan khususnya dengan Arab Saudi, terutama menyangkut penyelesaian masalah Palestina. Lemahnya dukungan negara-negara Arab lainnya atas kepemimpinan Arab Saudi (Arab leadership) membuat Arab Saudi tidak dapat berperan optimal, karena tidak mendapat wewenang penuh dari negara Arab lainnya.
2. Lemahnya pengaruh Arab Saudi terhadap Amerika akibat ketergantungannya di bidang politik, militer dan ekonomi, sehingga Arab Saudi tidak mempunyai posisi tawar menawar yang memadai terhadap Amerika Serikat, dan ketergantungan Arab Saudi tersebut menempatkan kedua negara tidak mempunyai hubungan khusus dalam arti yang sesungguhnya.
3. Perbedaan sosial budaya antara Arab Saudi-Amerika Serikat mengakibatkan kedua negara tidak mendapat dukungan yang penuh dari warga kedua negara masing-masing, dan bahkan perbedaan sosial budaya tersebut dapat menghambat usaha pemerintah kedua negara untuk menyelesaikan masalah Palestina.
4. Adanya konflik elit di Arab Saudi mengenai hubungan yang ideal antara Arab Saudi-Amerika, sehingga para elit di lingkungan kerajaan tidak mempunyai pandangan yang sama mengenai keterlibatan Amerika dalam proses perdamaian, dan dari pihak Arab Saudi tidak mempunyai strategi yang baku untuk membawa Amerika dalam menyelesaikan masalah Palestina.
5. Lemahnya pengaruh pro-Palestina di Arab Saudi merupakan akibat sistem politik Arab Saudi yang membatasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga Arab Saudi kelihatan passif dalam mencari terobosan baru dalam penyelesaian masalah Palestina, dan cenderung menunggu inisiatif dari Amerika Serikat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Purnomo
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okvita Tri Wahyuni
"Serangan terorisme ke Amerika Serikat tanggal 11 September 2001 telah memberikan pengaruh nyata bagi keamanan global dan tata hubungan dunia Intemasional. Isu-isu keamanan internasisonal dipengaruhi oleh agenda perang global AS terhadap terorisme. Agenda ini dipromosikan AS melalui segala aspek hubungan luar negeri serta melalui organisasi multilateral PBB yang punya aturan mengikat terhadap anggotanya.
Upaya-upaya yang dilakukan Indonesia dalam memerangi terorisme, antara lain melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasionaI. Salah satu contohnya adalah di level internasional dengan memenuhi kewajibannya kepada Counter Terrorism Commite (CTC), merupakan bukti dukungan Indonesia terhadap kebijakan anti terorisme global AS.
Dalam upaya merespon kebijakan anti terorisme global ini terdapat hambatanhambatan domestik bagi Indonesia akibat opini yang berkembang di tengah masyarakat. Tiga hal pokok yang mewarnai pro dan kontra kebijakan anti terorisme global AS tersehut, yaitu :
Pertama, anggapan masyarakat bahwa upaya pemerintah Indonesia dalam merespon kebijakan anti terorisme global, berada dalam tekanan dan pengaruh AS. Dalam arti bahwa pemerintah Indonesia diintervensi oleh AS dalam kebijakannya mengenai terorisme.
Kedua, AS dalam pelaksanaan kebijakan anti terorisme globalnya, dianggap mcmojokkan umat Islam.
Ketiga, standar ganda AS yang menimbulkan ketidakadilan dalam tatanan internasional dianggap sebagai akar yang sesungguhnya dari fenomena terorisme internasional.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state), yang merupakan bagian dari perspektif realis. Kerangka pemikiran yang membingkai penelitian ini adalah konsep-konsep yang berasal dari pemikiran politik luar negeri: K.J. Holsti, M. Papadakis dan H. Starr, dan Hasim Djalal.
Dengan menggunakan penelitian deskriptif dan pendekatan kualitatif dapat disimpulkan bahwa dalam politik luar negeri Indonesia menangani masalah terorisme sangat dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri dan kepentingan nasional bangsa sebagai faktor internal. Di tingkat eksternal politik luar negeri Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor dominasi power AS dalam sistem intemasional.
Politik luar negeri Indonesia dalam menangani masalah terorisme internasional tetap konsisten dengan politik bebas aktif melalui jalur organisasi multilateral di tingkat regional maupun internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsyad
"Tulisan ini berusaha menggambarkan kondisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dilakukan oleh Presidennya yaitu George W. Bush. Kebijakan yang dilakukannya melahirkan kontroversi baik di dalam negeri maupun di lingkungan ekstenalnya. Meskipun demikian Presiden Amerika Serikat melakukan kebijakan luar negerinya dengan faktor-faktor yang dianggapnya sangat determinan. faktor-faktor yang mempengarubjn kebijakan tersebut di antaranya adalah keamanan nasionai, ekonomi dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada waktu perang teluk pertama di masa pemerintahan George Bush Senior selalu mengedepankan multilateralisme. Namun sebelum peristiwa 11 September 2001 unilateralisme Amerika Serikat lebih berorientasi ke dalam, yaitu untuk melindungi kepentingan Amerika Serikat secara langsung, tanpa mengubah tatanan internasional yang berlaku. Situasi berubah setelah serangan teroris yang menghancurkan WTC mempermalukan negara adidaya tersebut, dan membuatnya untuk pertama kali merasa sangat terancam dan tidak berdaya. Dengan menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi kebijakan unilateralisme Amerika Serikat akhimya diarahkan ke luar, tidak saja untuk menghancurkan ancaman atau potensi ancaman, tetapi juga untuk mengubah lingkungan strategis sesuai perspektif dan kepentingan Washington. Di antara perubahan kebijakan tersebut adalah dengan melakukan invasi ke Irak yang menggunakan dalih dan dalil yang harus dipertanyakan ulang (unilateralisme) dan ini dilakukan karena Amerika Serikat mernpunyai kekuatan hegemoni dalam bidang militer dan ekonomi.
Pokok permasalahan penelitian ini adalah mengapa terjadi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Irak Pasca Tragedi WTC tahun 2001-2003. Adapun teori yang digunakan adalah tentunya erat kaitannya dengan kepentingan nasional Amerika Serikat itu sendiri. Hipotesa penelitian ini adalah setelah terjadinya Tragedi WTC 11 September 2001 Amerika Serikat memandang penting untuk menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi dan politik, maka negara ini melakukan perubahan kebijakan luar negerinya dari multilateral ke unilateral.
Paparan tulisan ini menggunakan metode penelitian eksplanatif yang berusaha menerangkan kausalitas yang terjadi di dalamnya, dalam hal ini penyebab terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush Pasca Pemboman WTC Terhadap Irak 2001-2003."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S7781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>