Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163679 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Parembang, Yaved Duma
"Thesis ini tentang Penyidikan yang Dilakukan Dengan Cara Sains Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Perhatian utama thesis ini adalah penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Sat Gas Bom Polri.
Fokus penelitiannya adalah tentang unit analisa (analytical unit) yang dipergunakan dalam rangka upaya memahami fenomena sehubungan tindakan penyidik dalam penyidikan tindak pidana terorisme, aktlvitas atau dapat pula disebutkan dengan kinerja dari unit kerja dalam Polri yang melakukan kegiatan penyidikan. Unit kerja itu kemudian dikenal pula sebagai Sat Gas Bom Polri.
Dengan demikian, unit analisa penelitian ini bukanlah kegiatan individu masing-masing personil Polri, melainkan kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh unit tersebut dan tingkatan-tlngkatan legitimasl kerja yang dilakukannya. Dalam hal ini, keglatan yang dilakukan oleh Sat Gas Bom Polri sebagai suatu kerja tim (team work).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualititaif dengan tehnik pengumpulan data melalui pengamatan, pengamatan terlibat, wawancara, dan wawancara dengan pedoman, untuk mengungkapkan kegiatan penyidikan tersebut.
Dalam hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kegiatan penanganan terhadap tindak pidana terorisme dilakukan dengan melakukan kegiatan penyidikan yang didukung penggunaan teknologi canggih. Bentuk teknologi canggih yang digunakan adalah dengan memanfaatkan direction finder, GA 900, analysis note book, ion scane, dan gas chromatography mass spectrometer. Penggunaan teknologi canggih ini mulai dilakukan pada saat pengungkapan kasus Bom Bali.
Dalam pengungkapan kasus Born Bali, bantuan juga didapat dari agency atau institusi polisi negara-negara sahabat. Ini merupakan apresiasi yang sangat besar dalam penanganan kasus bom di Indonesia.
Sat Gas Bom Polri melakukan kegiatannya dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia melalui metode yang didapat dari kegiatan penyidikan dan proses selama kegiatan itu berlangsung. Tehnik-tehnik dan cara-cara lama seperti penggunaan informan, mulai ditinggalkan dan diganti dengan penggunaan teknologi canggih. Hal ini tidak langsung mengubah teknik penyidikan yang sudah ada, akan tetapi, dengan bentuk kegiatan penyidikan yang didukung scientifc Investigation, sangat berperan dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T14910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Resinta
"Terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga harus ditangani dengan cara yang luar biasa juga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 memberikan peran bagi Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia. Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana dari pasal tentang pelibatan TNI tersebut masih dalam tahap penyusunan. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji peraturan tentang tindak pidana terorisme, TNI, Polri dan BNPT. Pemisahan peran dan wewenang antara TNI, Polri dan BNPT dalam penanganan tindak pidana terorisme harus jelas, begitu juga batasan tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh TNI dalam menangani terorisme dan bentuk tindak pidana terorisme yang memerlukan keterlibatan TNI. Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia akan menggunakan konsep pencegahan, penindakan dan pemulihan. Adapun peran TNI sealama ini dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan tugas perbantuan kepada Polri, apabila situasi diluar kapabilitas Polri maka TNI dapat bertindak. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merupakan leading sector dalam koordinasi antar lembaga penanggulangan terorisme di Indonesia.

Terrorism is an extraordinary crime, so it must be handled in an extraordinary way too. Law Number 5 Year 2018 provides a role for TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia. The Presidential Regulation as the implementing regulation of the article on TNI involvement is still in the drafting stage. The method used is normative legal research by reviewing the regulation on criminal acts of terrorism, TNI, Polri, and BNPT. Separation of roles and authority between TNI, Polri and BNPT in handling terrorism must be clear, as well as restrictions on actions that can be taken by TNI in handling criminal acts of terrorism and forms of criminal acts of terrorism that require TNI  involvement. The involvement of TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia will use the concepts of prevention, repression and recovery. As for the role of the TNI in handling criminal acts of terrorism in Indonesia at this time, it’s a duty of assistance to Polri, if the situation is beyond the capability of the Polri, TNI will act. The National Counter Terrorism Agency (BNPT) is the leading sector in coordination between counter-terrorism institutions in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hasari
"Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system).

The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Andika Putra
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang analisis penerapan diversi dalam tahap penyidikan tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh penyidik Satreskrim pada Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Metro Jaksel) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) pada tahap penyidikan yang belum memberikan hasil maksimal dalam melindungi anak secara hukum. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara informan primer, observasi dan telaahan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, pelaksanaan diversi di Satreskrim Polres Metro Jaksel belum sejalan dengan semangat diversi sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Kedua, terdapat beberapa faktor yang mendorong terwujudnya pelaksanaan diversi di Satreskrim Polres Metro Jaksel yaitu: (1) adanya keinginan dari pelaku maupun korban untuk menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah mufakat; (2) adanya kesediaan dari korban maupun keluarganya untuk bertemu dan bermusyawarah dengan pelaku dan atau keluarganya; dan (3) adanya kesepakatan yang dicapai antara pelaku dan korban dalam penyelesaian perselisihan melalui musyawarah. Ketiga, pada masa mendatang, penyidik Satreskrim Polres Metro Jaksel dapat menerapkan model diversi musyawarah masyarakat yang melibatkan polisi, pelaku dan/atau orangtua/ walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan dan masyarakat (tokoh masyarakat atau dari pihak sekolah) sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA. Model musyawarah mufakat memberikan kesempatan bagi seluruh pihak untuk memberikan pandangan mengenai pentingnya penyelesaian perselisihan melalui pendekatan keadilan restoratif bagi pelaku dan korban beserta keluarga maupun masyarakat agar hubungan kedua belah pihak dapat dipulihkan kembali seperti sedia kala.

The thesis is a result of research on the analysis of the implementation of diversion in the investigation stage of a criminal act of physical violence carried out by investigators of the South Jakarta Metro Police (Polres Metro Jaksel) especially Satreskrim Branch against a child in conflict with the law (AKH) at the investigation stage which has not provided maximum results in protecting child legally. This research was conducted by descriptive-qualitative method sourced from primary and secondary data with data collection methods carried out by primary informant interviews, observation and document review. The results of the study show, first, that the implementation of diversion at the Satreskrim South Jakarta Metro Police is not in line with the spirit of diversion as regulated in the SPPA Law. Second, there are several factors that encourage the realization of the implementation of diversion at the Satreskrim South Jakarta Metro Police, namely: (1) the desire of the perpetrators and victims to resolve disputes through deliberation and consensus; (2) the willingness of the victim and his family to meet and discuss with the perpetrator and or his family; and (3) an agreement was reached between the perpetrator and the victim in the settlement of disputes through deliberation. Third, in the future, Satreskrim of South Jakarta Metro Police investigators can apply a community consultation diversion model involving the police, perpetrators and/or their parents/guardians, victims and/or their parents/guardians, community advisors and the community (community leaders or from the school) as mandated by the SPPA Act. The consensus deliberation model provides an opportunity for all parties to provide their views on the importance of resolving disputes through a restorative justice approach for perpetrators and victims and their families and communities so that the relationship between the two parties can be restored to stage previously. "
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Yudhiawan
"Laporan hasil penelitian ini tentang penyidikan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Perhatian atau fokus penelitian adalah kegiatan unit Perbankan Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri dalam melakukan penyidikan terhadap tersangka pencucian uang. Kegiatan para penyidik setelah menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang dugaan adanya pencucian uang. Kemudian pemahaman para penyidik dengan penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tnndak Pidana Pencucian Uang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap para tersangka. Metode penelitian dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan informan untuk mengumpulkan data dalam rangka memperoleh informasi atau gambaran secara holistik tentang obyek studi yang diteliti, kemudian dengan metode wawancara dan metode penelitian dokumen serta kajian dokumen. Penelitian dokumen dengan mempelajari contoh kasus yang nyata terjadi yaitu kasus pencucian uang di Jawa Timur dan kasus pencucian uang yang terjadi di Jakarta, yaitu dari kasus BNI Rp. 1,2 trilyun,-. Kedua kasus tersebut sudah mendapat persetujuan dan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan untuk slap disidangkan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dengan para penyidik di Unit perbankan dapat ditemukan beberapa hal dan memerlukan pemecahan lebih lanjut, antara lain :
a. pasal-pasal dalam perundang-undangan saling bertentangan, misainya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dalam pasal 41 berbunyi :
1. di sedang pengadilan saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
2. dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hal tersebut bertentangan dengan pasal 160 KUHAP, dimana saksi disebutkan secara jelas nama, alamat dalam proses persidangan terbuka. Dengan demikian belum ada aturan yang mengatur secara jelas yang dapat mengecualikan ketentuan tersebut.
b. Penerapan ketentuan khusus dalam penanganan pencucian uang dengan mengabaikan kejahatan umum dengan kata lain penanganan pencucian uang didahulukan daripada kejahatan umum.
c. Penegakan hukum tetap mengacu pada Hukum Acara Pidana sebagai payung umum) "back up".
d. Setiap penanganan tetap dibuatkan Berita Acara sesuai pasal 75 KU HAP karena pelanggaran pasal tersebut dapat dituntut dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Contohnya dengan Berita Acara Pendapatan yang ditandatangani penyidik dan memenuhi syarat.
Penanganan tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang hanya berdasarkan laporan dari PPATK saja, sebenarnya laporan langsung dari masyarakat juga bisa, asalkan didukung dengan adanya bukti-bukti yang kuat berdasarkan KUHAP. Demikian halnya adanya laporan dari penyidik unit lain misalnya dalam penanganan kasus penggelapan (primary crime) ternyata terdapat predicate crime yaitu pencucian uang. Unit tersebut langsung melakukan penyidikan tanpa menyerahkan kasus tersebut ke unit perbankan.
Kedudukan penyidik unit perbankan merupakan bagian dari Bareskrim, sehingga masih adanya hubungan antara atasan dan bawahan. Hubungan tersebut memungkinkan adanya intervensi dari atasan terhadap bawahan yang melakukan penyidikan terhadap kasus pencucian uang. Penyidik selaku bawahan tersebut tidak berani menentang apa yang diperintahkan atasan, yang sebenarnya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Jika berani menentang perintah atasan maka akan menerima sanksi kemungkinan dipindahkan ke lingkungan kerja lainnya yang lebih kering. Demikian halnya terjadi hubungan atau interaksi antara tersangka dan penyidik, pada waktu dilakukan perneriksaan. Dengan demikian kedudukan penyidik lebih tinggi daripada tersangka. Dad hasil wawancara antara peneliti dengan penyidik dinyatakan ada kalanya terjadi kolusi dan korupsi, walaupun tidak ada bukti otentik, namun hai itu ada dan nampaknya biasa terjadi dalam segala tingkat pemeriksaan.
Selain daripada itu terjadi perbedaan persepsi antara penyidik dengan jaksa sehingga sering terjadi bolak baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dibuktikan dalam penanganan kasus BNI, dimana jaksa meminta seluruh barang-bukti agar diserahkan, tetapi penyidik menyerahkan hanya barang bukti penyisihannya saja_ Maka dari itu memerlukan pertemuan rutin tingkat Mahkamah Agung, Kepala Kepolisian RI, Kejaksaan Agung untuk membahas perbedaan persepsi.
Demikian hasil penelitian yang dapat saya kemukakan menurut kemampuan saya, saran dan koreksi dari pembimbing dan penguji sangat diperlukan untuk perbaikan tesis ini."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan
"Dalam pelaksanaan tugas pokok menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat, salah satu tugas yang dilaksanakan Kepolisian RI, adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. penyidikan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pencarian informasi. Informasi yang telah dikumpulkan ini kemudian digolong-golongkan, untuk dilihat segi manfaat dan peruntukannya yang dapat menunjang kegiatan pengungkapan suatu kasus. Selain itu kegiatan penyidikan ditata secara manajerial dan dilakukan dengan melibatkan disiplin ilmu lainnya, guna membantu kegiatan pengungkapan perkara.
Sebagai gerbang awal masuknya kasus pidana umum, penyidik Polri juga harus memahami mengenai pembuktian, kendati pun ketentuan pembuktian lebih ditujukan pada pengadilan tetapi kebanyakan terjadi bahwa yang pertama-tama menemukan bukti sehubungan dengan kejahatan adalah kepolisian dan disamping itu Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa tugas penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 183 Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Berpijak dari ketentuan tersebut, maka penyidik setidak-tidaknya harus mengumpulkan minimal 2 (dua) bukti yang saling bersesuaian dan dari persesuaiannya itu membuat terang suatu tindak pidana.
Semakin canggihnya teknologi, modus operandi kejahatan juga dilakukan secara rapi dan semakin minim bukti yang ditemukan sehingga menyulitkan dalam pengungkapannya. Oleh karena itu, kepolisian juga harus mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam penyidikan tindak pidana agar pengungkapan tindak pidana berjalan lebih objektif. Disinilah peranan ahli dalam bidang tertentu yang latar belakang keahliannya ilmu pengetahuan dan teknologi membantu proses penyidikan dan keterangan yang diberikannya juga termasuk alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hapsari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kejaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertentu baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>