Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176456 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Kholisoh
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pembentukan dan pengembangan hubungan pertemanan antar etnis, khususnya antara etnis Betawi dan non-Betawi yang ada di Jakarta.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori penetrasi sosial (Altman dan Taylor, 1973) sebagai teori utama, sedangkan teori zeduksi ketidakpastian, self-disclosure, teori pertukaran sosial dan manajemen konflik merupakan teori pendukung. Altman dan Taylor dalam teori penetrasi sosial mengemukakan adanya empat tahapan pengembangan hubungan, yaitu; tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap stabil. Sebagian besar dari kelima pasangan dalam penelitian ini melalui proses tahapan penetrasi sosial yang dikemukakan oleh Altman dan Taylor tersebut, namun demikian cara dan waktu yang diperlukan untuk sampai kepada tahap stabil, masing-masing pasangan berbeda-beda.
Dalam upaya memperoleh informasi tentang pasangannya, setiap narasumber menggunakan strategi yang berbeda-beda tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada, namun ketika hubungan berada pada tahap stabil, kelima pasangan tersebut sama-sama menggunakan strategi interaktif. Dalam setiap hubungan antarpribadi yang sehat tentunya tidak akan terlepas dari konflik. Semua nara sumber dalam penelitian ini sepakat bahwa konflik yang timbul harus diselesaikan secara baik dan dapat mengarah kepada peningkatan hubungan. Kendati demikian, pengelolaan konflik yang digunakan oleh kelima pasangan ini berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi yang ada serta tidak terlepas dari karakter masing-masing individu, misainya; nara sumber yang memiliki karakter pendiam seperti narasumber 7 (Hamzah), cenderung menggunakan cara avoiding dalam mengatasi konflik. Analisis terhadap data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan paradigma constructivist terhadap kelima pasangan nara sumber yang terdiri dari satu pasangan laki-laki dengan laki-laki, satu pasangan perempuan dengan perempuan dan tiga pasangan laki-laki dengan perempuan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Idaman
"Penelitian mengenai Eskalasi Hubungan Pertemanan
Antara Etnis Cina dan Etnis Bugis/Makassar. Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
bagaimana eskalasi hubungan yang terjadi. Serta
mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya
hubungan pertemanan antar mereka.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
yang dikenal dengan penetrasi sosial (Altman dan Taylor,
1973). Teori ini terdiri dari empat tahapan pengembangan
hubungan yaitu; tahap orientasi menuju ke tahap
penjajakan afektif, tahap pertukaran afektif dan tahapan
pertukaran stabil.
Hubungan pertemanan yang terjadi di antara mereka,
pada tahap orientasi, beberapa pasangan mengalami
hambatan, karena masih terdapat prejudis yang
mempengaruhi mereka. Juga pengalaman lingkungan mereka
tidak mendukung sehingga memerlukan waktu untuk
menjadi akrab (stabil).
Tahap penjajakan afektif dan pertukaran afektif,
hubungan mulai bergerak ke tahap yang lebih akrab untuk
mengungkapkan topik-topik tertentu yang terpilih dan
memusatkan perasaan pada tingkat yang lebih akrab
(Budyatna,1993)
Tahap akhir dari pembentukan hubungan adalah
pertukaran stabil, hubungan pada tahap ini menekankan
keterbukaan, dukungan, empaty, rasa positif dan
kesetaraan (Devito, 1995). Kemudian ditandai oleh
derajat keakraban yang tinggi para partisipan berhak
untuk memprediksi prilaku pasangannya dan memberikan
respon (Budyatna,1973).
Pada teori pertukaran sosial, bila estimasi tentang
hasil dari hubungan antarpribadi terbentuk selama proses
pembentukan, dan, pengembangan membuat hubungan tersebut
menyenangkan maka akan terbentuk hubungan menjadi akrab
dan stabil. Ketika hubungan pertemanan tersebut menjadi
akrab. Perhitungan imbalan (reward) dan biaya (cost)
bukan lagi hal dipertentangkan.
Strategi informasi oleh (Berger dan Calabrace,
1975) menawarkan strategi pasif, aktif dan interaktif,
digunakan oleh masing-masing pasangan untuk memperoleh
data-data diri dari setiap pasangan.
Untuk menyelesaikan konflik, digunakan negosiasi dan
klarifikasi (Wilmot dan Hocker). Konflik di dalam hubungan antarpribadi adalah suatu yang normal, bahkan
memperlancar pertumbuhan antarpribadi (Altman dan Taylor,
1973). Konflik terjadi terutama mengenai masalah
kesalahpahaman, perbedaan sikap, perbedaan pendapat salah
dalam mempersepsikan perilaku pasangan, namun dapat
diselesaikan dengan baik (konstruktif), kecuali bila
menyangkut prinsip/ harga diri.
Penelitian yang menggunakan, persfektif interaksi
simbolik, merupakan penelitian kwalitatif (non-
positivistik interpretatif) dimana pendekatan
kepada latarbelakang kehidupan indnvidu secara holistik
(utuh). Metode kualitatif menggunakan data yang bersifat
deskriptif, dikumpulkan dari hasil pengamatan dan
wawancara secara mendalam."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Winarni Susyanti
"Di latarbelakangi oleh kemajemukan budaya masyarakat Indonesia dan adanya pendapat yang menyatakan bahwa staf pengajar di Politeknik Negeri Jakarta memiliki hambatan untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain, maka penelitian ini memusatkan fokusnya pada komunikasi sosial antar etnis sebagai bahan pemikiran kita bersama. Umumnya kita cenderung untuk berpikir bahwa keragaman budaya dan etnik pasti akan mendorong komunikasi terpolarisasi dan menghalangi pengembangan komunikasi antarbudaya yang efektif. Tidak seharusnya demikian, keragaman malah diperlukan bagi komuniti untuk berkembang. Perbedaan harus ditangani secara konstruktif.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan paradigma konstruktivisme dengan perspektif teoritikal pada interaksionisme simbolik. Di sini berusaha menjelaskan bagaimana orang-orang mengadaptasikan strategi komunikatif mereka dalam berbagai komunikasi tatap muka dengan berbagai macam orang lewat mekanisme pengambilan peran (role taking) atau pengambilan perpektif (perspektif taking). Penelitian ini mencoba mengkaji sifat hubungan antaretnis dalam proses berkomunikasi, yang dibagi dalam lima permasalahan yaitu: (1) sifat hubungan yang terdapat dalam organisasi; (2) stereotip; (3) iklim komunikasi; (4) aliran informasi dan (5) kepuasan kerja. Dari penelitian diperoleh bahwa belum terwujudnya pengembangan komuniti berdasarkan perbedaan, yang berarti belum adanya keterbukaan, bukan mutlak keakraban. Pentingnya keterbukaan sangat jelas, yang bisa ditempuh melalui tiga bentuk komunikasi, yakni secara monolog yang bersifat self-centered, dialog teknis untuk saling bertukar informasi serta dialog yang menyiratkan komunikasi antar individu.
Keefektifan komunikasi dapat terganggu atau terhambat karena adanya faktor stereotip. sikap prasangka dan etnisentrisme yang terdapat pada salah satu atau berbagai pihak yang terlibat dalam suatu situasi pertemuan antarkelompok. Agar komunikasi sosial antaretnis dalam masyarakat heterogen dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan pemikiran dan upaya agar sikap antaretnis yang tidak mendukung, dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi keberadaannya apalagi dalam organisasi yang sangat heterogen.
Pengembangan komuniti di organisasi sangatlah penting dan harus diupayakan agar tercapai keharmonisan internal dan kedamaian dalam hubungan-hubungan dengan orang lain, yang tentunya berdampak pada iklim di organisasi dan berpengaruh pula pada kepuasan kerja anggota organisasi. Apalagi tak lama kita akan memasuki era globalisasi. Oleh karenanya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh. Dan, harus ada keyakinan bahwa semakin banyak masing-masing individu melaksanakannya semakin besar kemungkinan pembentukan komuniti dan kedamaian dalam masyarakat, khususnya di organisasi PNJ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riris Loisa
"Sering dikatakan kebudayaan merupakan faktor penting di dalam menentukan komunikasi manusia, apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya dipelajari seseorang di dalam kebudayaannya. Berbagai studi di dalam bidang ilmu yang mempelajari keterkaitan antara kebudayaan dengan manusia, menyatakan bahwa kebudayaan mengkondisikan manusia kepada suatu karaktersitik watak tertentu. Pandangan-pandangan yang sejalan dengan pernyataan para ahili di atas ternyata juga banyak dianut oleh para ahli komunikasi. Keterlibatan kebudayaan di dalam watak manusia, sudah cukup lama diperhatikan oleh para pakar studi ilmu komunikasi. Mereka mengkonseptualisasikan apa yang disebut sebagai watak komunikasi, dimana sebagian besar watak komunikasi ini cenderung dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan orang bersangkutan.
Penelitian Konteks Kebudayaan dan Strategi Reduksi Ketidakpastian pada dasarnya mencari tahu bagaimana kebudayaan terlibat di dalam prilaku komunikasi. Sementara itu disebut-sebut, bahwa prilaku komunikasi manusia tidak hanya dilatarbelakangi oleh watak komunikasinya, tetapi juga oleh persepsi terhadap situasi. Karena itu, pengumpulan data tentang watak komunikasi di dalam penelitian ini dilengkapi dengan data yang berkaitan dengan situasi komunikasi.
Karena prilaku komunikasi begitu beragam, pada penelitian ini prilaku komunikasi dibatasi pada prilaku pencarian informasi, yang disebut sebagai strategi reduksi ketidakpasatian. Penelitian-penelitian tentang strategi reduksi ketidakpastian yang sudah ada sampai saat ini berfokus pada aspek situasi komunikasi. Karena itu penelitian ini bermaksud untuk melihat prilaku komunikasi tersebut dari sisi watak komunikasi, maupun situasi komunikasi. Strategi reduksi ketidakpastian, menjadi bahasan khusus di dalam studi komunikasi antarpribadi. Disebut-sebut, bahwa strategi reduksi ketidakpastian ini dapat menjelaskan bagaimana suatu hubungan antarpribadi berkembang dari tahap perkenalan sampai pada tahap hubungan yang intim.
Agar bisa mendapatkan gambaran tentang prilaku komunikasi yang memang khas di dalam suatu kebudayaan tertentu, perlu untuk memperhatikan apakah kebudayaan yang ingin dipelajari memang berbeda dari kebudayaan lainnya. Untuk itu dipilih dua sub-kebudayaan di dalam masyarakat Indonesia, yang memiliki karakeristik yang berbeda dalam hal konteks kebudayaannya, yaitu kebudayaan Batak, yang memiliki ciri-ciri kebudayaan konteks tinggi-rendah, dengan kebudayaan Jawa yang karakterstiknya cenderung kepada konteks tinggi-tinggi. Karena perbedaan kebudayaan justru terlihat jika kedua kebudayaan berinteraksi di wilayah yang tidak memiliki kebudayaan dominan, maka penelitian ini dilakukan di Jakarta. Berbagai studi lainnya menjelaskan bahwa kelompok wanita cenderung untuk lebih banyak melakukan pengungkapan diri, dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk membina suatu hubungan. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, dipilih nara sumber yang dapat diandalkan dalam hal memberikan informasi sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mereka yang mengalami intemalisasi kebudayaannya, dan mengaktifkan strategi reduksi ketidakpastian baik di dalam kehidupan sehari-hari, juga kepada partner hubungannya. Karena yang akan dipelajari adalah mereka yang berasai dari suku bangsa Batak dan suku bangsa Jawa, maka pasangan hubunganhubungan pertemanan, yang komposisinya terdiri atas sepasang wanita Jawa, sepasang wanita Batak, atau sepasang wanita yang terdiri atas suku bangsa Batak dan suku bangsa Jawa, dan berdasarkan pertimbangan lainnya dibatasi pada mereka yang berpendidikan minimal D3 dan bekerja di Jakarta.
Dari hasil wawancara mendalam, bahwa para nara sumber mengalami internalisasi kebudayaan di dalam keluarga mereka masing-masing, nara sumber wanita dari suku bangsa Batak, cenderung menginternalisasi kebudayaan konteks tinggi-rendah. Sementara itu nara sumber wanita suku bangsa Jawa, cenderung menginternalisasi kebudayaan konteks tinggi-tinggi. Dimana pada gilirannya internalisasi kebudayaan ikut membentuk watak komunikasi, dimana strategi reduksi ketidakpastian yang biasanya mereka aktif kan, juga sejalan dengan strategi reduksi ketidakpastian yang biasanya dipraktekkan di dalam keluarga ketika mereka menginternalisasi konteks kebudayaan.
Ketika dikhususkan pada situasi hubungan pertemanan, kelihatan bahwa masing-masing partisipan melakukan adaptasi, termasuk adaptasi strategi reduksi ketidakpastian. Nara sumber yang berasal dari suku bangsa Batak yang di dalam kehidupannya sehari-hari cenderung menggunakan strategi interaktif dengan bahasa verbal yang serba langsung, mulai menggunakan strategi interaktif dengan cara-cara pengamatan. Sementara itu nara sumber wanita Jawa yang cenderung untuk menyimpan data tentang dirinya dari orang lain, mulai melakukan pengungkapan diri. Dengan demikian penelitian ini mengangkat keterlibatan kebudayaan di dalam prilaku komunikasi dengan menjelaskan aspek watak dan aspek situasi komunikasi. Dimana di dalam aspek watak komunikasi, strategi reduksi ketidakpastian yang diaktifkan cenderung sejalan dengan yang diinternalisasinya di dalam pranata primer. Sementara itu di dalam situasi hubungan pertemanan, keterlibatan kebudayaan terutama mengacu kepada kebudayaan sebagai cara-cara adaptasi. Dimana sejalan dengan perkembangan hubungan pertemanan, strategi yang digunakan berdasarkan adaptasi kedua pihak, dengan sama-sama bergeser pada strategi interaktif yang disertai pengamatan terhadap prilaku satu sama lain. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T3915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S7170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Tjahaja
"Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan. Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan.
Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada.
Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana.
Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama.
Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain.
Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum.
Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas.
Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Daniel Purwoko Budi Susetyo
"Penelitian ini terutama mempersoalkan tentang relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa yang ditandai oleh prasangka, keterbatasan interaksi dan kerusuhan anti Cina Kebanyakan ahli berpendapat, salah satu akar permasalahan utama terletak pada perlakuan diskriminatif dari penguasa terhadap masyarakat etnis Cina Dengan adanya upaya pemerintah di era reformasi untuk menghapus diskriminasi, tentunya akan membawa perubahan bagi relasi yang berlangsung antar kedua etnis tersebut, termasuk di kalangan mahasiswa sebagai generasi muda. Namun perubahan tersebut tengah berlangsung dan belum sepenuhnya dapat dipahami.
Stereotip yang berkembang dalam relasi antaretnis Cina dan Jawa, ditengarai sebagai salah satu landasan penting yang menentukan hubungan antaretnis dan mampu menggambarkan tentang kualitas relasi antaretnis. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengungkapkan pola relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa di kalangan mahasiswa berdasarkan bekerjanya stereotip. Teori utama yang digunakan untuk menganalisis adalah teori identitas sosial.
Penelitian ini bersifat eksploratif dan merupakan penelitian awal untuk menegakkan hipotesis bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Secara metodologis menekankan sisi kontekstual dari data yang dikumpulkan.
Subyek penelitian sebanyak 300 mahasiswa yang terdiri dari 226 mahasiswa etnis Jawa dan 74 mahasiswa etnis Cina di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa di kalangan mahasiswa dapat terungkap berdasarkan bekerjanya stereotip dengan menggunakan teori identitas sosial sebagai dasar analisis. Hal yang terungkap diantaranya tentang stereotip etnis Cina dan etnis Jawa yang khas, faktor-faktor yang mendasari stereotip dan pola relasi antara kedua etnis yang dipengaruhi oleh kesempatan kontak, persepsi masing-masing etnis terhadap kemampuan etnis lain menjalin relasi sosial yang berkualitas. Penelitian ini juga memberikan gambaran tentang pola relasi antara etnis Cina sebagai minoritas dan etnis Jawa sebagai mayoritas serta bagaimana identitas sosial positif diupayakan oleh masing-masing etnis."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T11486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Kurniawan
"Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini.

This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>