Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39865 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Yonalisa
"Perkawinan lahir dari kesepakatan antara calon suami istri, dimana undang-undang menetapkan apabila mereka melangsungkan perkawinan maka segala harta benda yang diperoleh dalam masa berlangsungnya perkawinan tersebut menjadi harta bersama. Namun sebelum perkawinan berlangsung undang-undang memungkinkan calon suami-istri untuk membuat perjanjian perkawinan yaitu suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab VII pasal 139 - pasal 167 adalah perjanjian yang dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan mulai berlaku sejak saat perkawinan ditutup sedangkan mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri dan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung. Sedangkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan melalui akta tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan dapat diubah berdasarkan persetujuan suami istri sepanjang tidak merugikan pihak ketiga. Melalui metode penelitian kepustakaan dan wawancara penulis menguraikan pembahasan dari permasalahan hukum yang timbul dalam praktek khususnya bagi notaris sebagai pejabat urnum yang berwenang membuat akta akibat dimungkinkan dilakukannya perubahan akta tersebut oleh undang-undang, Seperti bagaimana notaris mentafsirkan batasan kerugian pihak ketiga dalam perubahan perjanjian perkawinan tersebut, mengingat bentuk harta perkawinan serta kepengurusan harta tersebut ditentukan berdasarkan ada tidaknya akta perjanjian perkawinan tersebut di awal perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14563
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kei Hapetua
"Akta perjanjian perkawinan wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun pada praktiknya terdapat persoalan dimana para pihak yang terdiri dari 2 (dua) pihak, salah satu penghadapnya, yaitu WNA tidak mengerti bahasa Indonesia. Dalam hal ini Notaris digugat oleh penghadap WNA dengan surat gugatannya yang diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. yang menyatakan bahwa akta perjanjian perkawinan yang dibuat Notaris tersebut batal dengan segala akibat hukumnya. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai pelanggaran oleh Notaris terhadap akta perjanjian perkawinan yang merugikan warga negara asing dan alasan pembatalan akta perjanjian perkawinan para pihak dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris adalah Notaris tidak menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan tidak juga memanggil seorang penerjemah resmi untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut, sehingga Notaris melanggar kewajiban jabatannya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan akta perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi kekuatan hukum pembuktian lahiriah dan materiil. Selain memperhatikan pembuatan akta perjanjian perkawinan dalam UUJN, perlu melihat undang-undang terkait dalam pembuatannya, dalam hal ini Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenai harta bersama dan kepemilikan hak atas suatu tanah, sehingga tidak ada kontradiksi pada substansi pasal-pasalnya yang dapat merugikan WNA. Dengan dibatalkannya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka keadaan menjadi seperti semula dan harta tersebut menjadi harta campur bersama antara WNA dan WNI, sehingga para pihak wajib melepaskan hak milik tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan hak tersebut hapus karena hukum dengan tanah jatuh kepada negara.  Berdasarkan hal tersebut, Notaris harus memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta dan perbuatan hukum yang akan dilakukan sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, sehingga para penghadap dapat teredukasi dengan baik dengan segala akibat-akibat hukum yang akan terjadi di kemudian hari.

The marriage agreement deed must be made in the Indonesian language. However, in practice, there are problems where the parties consist of two  parties and one of the opponents, namely the foreigner, does not understand Indonesian. In this case, the Notary was sued by the foreign plaintiff with his lawsuit, which was decided by the Panel of Judges at the Denpasar District Court in Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. stating that the marriage agreement deed made by the notary is null and void with all the legal consequences. The problems in this study regarding violations by a notary of the marriage agreement deed that harm foreign citizens and the reasons for canceling the marriage agreement deed of the parties are related to Denpasar District Court Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. This study uses a form of doctrinal research. The results of the study show that the violation committed by the Notary is that the Notary does not translate or explain the contents of the deed in a language understood by the appearer and does not also call an official translator to translate or explain the contents of the deed, so that the Notary violates his position obligations in Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Office Law (UUJN) and the deed of the marriage agreement becomes null and void because it does not fulfill the legal force of proof outwardly and material. In addition to paying attention to the making of the marriage agreement deed in the UUJN, it is necessary to look at the relevant laws in making it, in this case Article 35 of the Marriage Law (UUP) and Article 21 of the Basic Agrarian Law (UUPA) regarding joint property and ownership of rights to a land, so that there are no contradictions in the substance of the articles that could harm foreigners. With the cancellation of the marriage agreement deed made by the parties, the situation will return to normal, and the property will become joint property between the foreigner and the Indonesian citizen, so that the parties are obliged to relinquish these ownership rights within a period of one  year, and these rights are nullified because the law with land falls to the state. Based on this, the Notary must provide legal counseling related to the making of the deed and legal actions that will be carried out as per Article 15 paragraph (2) letter e UUJN, so that appearers can be properly educated with all the legal consequences that will occur in the future."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Sugeng Fajar
"Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ketentuan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan suami isteri yaitu sejak perkawinan dilangsungkan akan terbentuk harta bersama. Terhadap ketentuan mengenai harta bersama, suami isteri dapat melakukan penyimpangan dengan membuat perjanjian perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Agar dapat berlaku bagi pihak ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan perjanjian perkawinan untuk didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mewajibkan perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil bagi golongan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat atau oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama bagi golongan Indonesia asli. Tesis ini membahas apakah perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dapat berlaku terhadap pihak ketiga serta apa akibat perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga? Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran perjanjian perkawinan sesuai ketentuan yang berlaku, perjanjian perkawinan membawa akibat hukum bagi pihak ketiga yaitu dalam melakukan perbuatan hukum pihak ketiga hanya terkait dengan harta salah satu pihak dari suami isteri tanpa melibatkan harta pasangannya. Pemerintah perlu mensosialisasikan ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Nugroho
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37553
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marshella Laksana
"Seorang pria dan seorang wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Akan tetapi dapat terjadi perjanjian perkawinan yamg dibuat oleh suami isteri tidak didaftarkan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah apakah dimungkinkan pengesahan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung serta apakah konsekuensi dari perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan pada pencatat perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Pokok hasil dari penelitian dalam tesis ini adalah bahwa perjanjian perkawinan antara suami isteri dimaksudkan untuk menentukan bagian harta kekayaan masing-masing yang dibuat dalam klausula perjanjian dengan tujuan untuk menyelamatkan harta salah satu pihak apabila pihak yang lain dinyatakan pailit. sedangkan akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dimintakan pengesahan pada pegawai pencatat perkawinan bagi suami isteri dan pihak ketiga, adalah perjanjian perkawinan tersebut tetap sah tetapi tidak berlaku bagi pihak ketiga, sehingga pihak ketiga dapat menganggap dalam perkawinan tersebut tidak terjadi pisah harta.

Man and a woman who wanted to establish a marriage can make a marriage aggrement. Marriage aggrement must be made in writing and subsequently passed in marriage registrar officer. But can occur marriage aggrement made by the husband and wife are not registered with the civil registrar of marriage. Issues raised in this thesis is whether the possible ratification of a treaty of marriage after the marriage took place and whether the consequences of the marriage aggrement is not registered with the registrar of marriage. Research used in this thesis are the type of normative research, namely a study of primary legal materials and secondary legal materials.
Principal results of the research in this thesis is that the marriage aggrement between husband and wife are meant to determine the assets of each clause in the agreement made with the goal to save one party property if the other party is declared bankrupt. while the legal consequences of marriage aggrement don't have approval from the marriage registrar officer the marriage aggrement is still valid but it does not apply to any third party, that third parties can assume the marriage aggrement is doesn't exist.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31594
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hauna Nur Azizah
"Tesis ini membahas mengenai keabsahan perjanjian perkawinan dibawah tangan yang disahkan oleh notaris terhadap pihak ketiga dan harta perkawinan dalam perkawinan campuran dengan Studi Putusan Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta Nomor 477/PDT/2019/PT.DKI. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengesahan perjanjian perkawinan tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan harus dikesampingkan, oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas dalam tesis ini mengenai akibat hukum terhadap pihak ketiga yang tersangkut serta mengenai keabsahan dari harta perkawinan yang diperoleh selama perkawinan tersebut. Untuk menjawab pemasalahan tersebut digunakan metode yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Adapun analisis data dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute apprach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan hasil penelitian ini perjanjian perkawinan dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak sah dan mengikat para pihak dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang memperbolehkan dibuatnya dalam bentuk dibawah tangan dan ketentuan diadakan setelah perkawinan dapat dibenarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tertanggal 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan tidak dimaknai sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Oleh karena Para Pihak yang ternyata sudah bercerai, maka akta pengesahan perjanjian kawin dibawah tangan yang disahkan Notaris (akta authentik) menjadi “tidak mempunyai nilai pembuktian dan harus dikesampingkan”. Adapun Perjanjian Kawin dibawah tangan tersebut tidak didaftarkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sehingga hanya berlaku secara intern (suami-istri) dan selama belum didaftarkan terhadap pihak ketiga beranggapan perkawinan itu masih sah dengan kebersamaan harta perkawinan. Adanya kebersamaan harta dalam perkawinan campuran, WNI yang menikah dengan WNA tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik atas tanah berdasar ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

This thesis discusess about the legal validity of a prenuptial agreement under-hand which was ratified by a Notary to a third party and marital asset in intermarriage based on DKI Jakarta High Court Judgement case number 477/PDT/2019/PT.DKI. The decided that the legalization of the marriage agreement does not apply toward a third party and must be ruled out, therefore the autor is interested in discuss the legal consequences of the third party involved and the validity of the marital asset that is obtained during the marriage. To solve these problems, a normative juridical method with a typology of descriptive analytical was used. The data analysis was carried out using a statute approach and a case approach. Based on the result of this research show that an under-hand marriage agreement made by legitimate parties and binds the parties with the condition of section 29 subsection (1) of the Marriage Law, which allows it to be made under hand and provisions to be held after marriage can be justified based on the Constitutional Court Decision Number 69 / PUU-XII / 2015 dated 27 October 2016, where the marriage agreement is not interpreted as an agreement made before marriage (prenuptial agreement) but can also be made after the marriage takes place (postnuptial agreement). Because the parties are already divorced, the deed of ratification of the marriage agreement under-hand of a Notary (authentic deed) become “.. doesn’t have the value of evidentiary and must be ruled out”. The marriage agreement under-hand is considered not validated by a marriage registrar or a notary that is only valid internally (husband-wife) and as long as it has not been registered with a third party it is consider that the marriage is still valid with togetherness of marital assets. The existence of togetherness of assets in intermarriages means that Indonesian citizens who are married to foreigners are not allowed to have ownership rights to land based on the provisions of the Basic Agrarian Law (UUPA)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviana Tri Utama
"Dalam melaksanakan jabatannya, Notaris diwajibkan membuat buku daftar akta atau yang dikenal dengan sebutan Repertorium dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapannya baik dalam bentuk minuta akta maupun originali. Penomoran minuta akta maupun salinan akta harus berdasarkan nomor yang terdaftar dalam buku daftar akta. Penomoran akta harus urut sesuai dengan waktu pembuatan akta dan setiap akta tidak boleh memiliki nomor yang sama dalam tanggal yang sama. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Keabsahan akta yang yang sudah mendapatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal penomoran akta sama dengan akta lainnya, 2)Akibat hukum terhadap akta yang mempunyai nomor yang berbeda antara salinan dan minutanya dan 3)sanksi hukum terhadap kesalahan penomoran akta. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yuridis normatif dan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sepanjang syarat-syarat otentitas akta seperti syarat formal, syarat materiil dan syarat lahiriah akta tersebut terpenuhi maka akta tersebut tetap autentik meskipun terdapat dua akta Notariil yang berbeda pada hari dan tanggal yang sama.Akibat hukum terhadap akta yang mempunyai nomor yang berbeda antara salinan dan minutanya adalah adanya pelanggaran administratif dalam salinan akta tersebut akan tetapi autentisitas akta tersebut tidak terpengaruh. Sebelum Notaris mengeluarkan salinan akta, Notaris wajib melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap minuta akta, repertorium, identitas-identitas serta dokumen-dokumen yang dilekatkan pada minuta akta untuk menghindari kesalahan pada salinan akta.

In carrying out its position, Notary is required to make a list of deeds or known as Repertorium and record all deeds made by or before him either in the form of original of the deed and deed in originali. Numbering of deed or certified copy of the deed must be based on the number listed in repertorium. Numbering of deeds must be sequence in accordance with the making of the deed and each deed cannot have the same number on the same date. The main problems in this study are: 1) The validity of the deed which has obtained the Decree of the Minister of Law and Human Rights in the case of numbering the deed is the same as the other deeds, 2) The legal consequences of the deed that has a different number between the copy and the original of the deed and 3) legal sanctions against the deed numbering error. This research is qualitative research with normative juridical method and uses descriptive analytical research typology. Based on the results of the study it can be concluded that as long as the deed authenticity requirements such as formal requirements, material requirements and the outer terms of the deed are fulfilled, the deed remains authentic even though there are two different Notariil deeds on the same day and date. The legal consequence of the deed which has a different number between the copy and the certificate is the existence of an administrative violation in the copy of the deed, but the authenticity of the deed is not affected. Before the Notary issues a copy of the deed, the Notary is obliged to check the original of the deeds, repertorium, identities and documents attached to the original of the deeds to avoid errors in the copy of the deed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Disriyanti Laila
"Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa suatu peijanjian perkawinan harus dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan untuk mengikat pihak-pihak yang membuatnya, yaitu suami istri dalam perkawinan. Undang-undang mengatur bahwa perjanjian perkawinan juga dapat mengikat pihak ketiga dengan persyaratan bahwa peijanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Permasalahan yang timbul adalah ketika suatu peijanjian perkawinan yang telah dibuat oleh calon pasangan suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan tetapi karena alasan-alasan tertentu, peijanjian perkawinan mereka tidak dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketika perjanjian perkawinan tersebut ditetapkan sah oleh Pengadilan Negeri, bagaimanakah akibat hukum Penetapan Pengadilan Negeri tersebut terhadap perjanjian perkawinan. Persoalan berikutnya adalah mengenai kekuatan hukum atas akta peijanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris, apakah kelalaian tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan akan mengakibatkan akta perjanjian perkawinan tersebut kehilangan kekuatannya sebagai akta otentik. Pengertian akta otentik dapat dilihat dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pada dasarnya suatu akta notaris adalah akta otentik sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata sehingga mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder, sedangkan dalam metode analisis data mempergunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini memberikan hasil sifat deskriptif analitis yang memberikan gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi permasalahan kemudian dengan cara menganalisis fakta dengan data yang diperoleh untuk dapat memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang telah dilakukan.

Article 29 paragraph (1) and paragraph (3) of Law No. 1 of 1974 states that a nuptial agreement must be made on time or before the marriage took place and come into force since the marriage was held to bind the parties who made it, that is husband and wife in marriage. The law also stipulates that a nuptial agreement can bind a third party with the requirement that nuptial agreement must be approved by the Marriage Registrar. The problem that arises is when a nuptial agreement that has been made by the prospective couples before marriage took place but due to certain reasons, their nuptial agreement is not registered by the Marriage Registrar. When the nuptial agreement is determined valid by the Court, how the legal consequences of the Court Decision on that nuptial agreement. The next issue is about the power of the deed of a nuptial marriage law made before a notary, wether to the unregistered nuptial agreement will result in the deed of nuptial agreement is losing its strength as an authentic deed. Definition of authentic deed can be found in Article 1868 Civil Code, a deed is in the form prescribed by law, made by or before the public officials who have power to it in a place where the deed made. Basically a notarial deed is an authentic as long as they meet the requirements set out in Article 1868 Civil Code that has evidentiary value of perfect strength and binding. The method used in this thesis is a normative legal research methods using secondary data, whereas in the method of data analysis methods use a qualitative approach. This study provides descriptive nature of the analytical results that provide broad overview of the facts underlying the problem then by analyzing the facts with data obtained in order to provide alternative solutions to problems through the analysis conducted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T37689
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Thomasyadi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai Pemberian Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dan konsekuensi hukumnya terhadap
akta-kata yang dibuat sehubungan dengan tindakan hukum tersebut, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Penelitian ini menggunakan
metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang digunakan untuk
memberikan gambaran secara kualitatif tentang pelaksanaan pemberian kredit dan
Pembebanan Hak Tanggungan serta konsekuensinya atas tindakan hukum yang
dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa tindakan hukum Pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan
oleh pihak yang tidak berwenang atas obyek jaminan tersebut tidak memenuhi
syarat subyektif sahnya suatu perjanjian sehingga dapat dimohonkan
pembatalannya. Pembatalan atas Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak turut
membatalkan Akta Perjanjian Kredit sehingga utang yang dijamin tetap ada dan
pelunasannya harus dipenuhi oleh Debitur.

ABSTRACT
This thesis discusses the Granting of Mortgage Right conducted by
unauthorized party and its legal consequences towards the deeds drawn up in
relation to such legal action, in accordance with Law Number 4 of the Year 1996
regarding Mortgage Right over Land together with Goods Related to Land. This
research uses juridical normative method with qualitative approach which is used
to provide qualitative illustration regarding the implementation of loan granting
and the Encumbrance of Mortgage Right as well as its consequences over the
legal action conducted by unauthorized party . Based on. the result of research, it
can be concluded that legal action for the Granting of Mortgage Right conducted
by unauthorized party over the object of such security does not fulfill the
subjective requirement for the validity of an agreement; therefore, it can be
requested for its annulment. The annulment of Deed of Granting of Mortgage
Right does not automatically annul the Deed of Loan Agreement, therefore, the
secured loan will remain to be valid and its full repayment must be satisfied by the
Debtor."
2009
T37557
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Suryani
"Perjanjian perkawinan pisah harta merupakan suatu bentuk penyimpangan dari terjadinya percampuran harta perkawinan yang oleh undang-undang dimungkinkan diadakan oleh calon suami isteri dan perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dengan ketentuan bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan itu tidak dapat diubah, kecuali bila ada persetujuan suami isteri yang membuatnya untuk dirubah, yang didasari juga pasal 1338 KUHPerdata, namun dengan tidak merugikan pihak ketiga termasuk kreditor, dan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
Sebagai pokok permasalahan, agar pihak ketiga tidak dirugikan, atas suatu perubahan harus ada upaya perlindungan terhadap pihak ketiga, karena apabila dirugikan, maka perubahan dapat tidak diberlakukan terhadap pihak ketiga terbatas hanya atas kepentingannya yang dirugikan saja, sedangkan untuk selebihnya perubahan perjanjian perkawinan tersebut berlaku penuh. Metode penelitian hukum normatif yang bersifat eksplanatoris kiranya cocok dalam mencermati dan meneliti masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan perjanjian perkawinan tersebut.
Pentingnya perlindungan bagi pihak ketiga atas perubahan perjanjian perkawinan menuntut peran dan tanggung jawab notaris dalam membuat setiap akta yang berhubungan dengan perubahan akta perjanjian perkawinan yang sebaiknya mempelajari isi perjanjian perkawinan dengan teliti, serta memasukkan pasal maupun klausula-klausula yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak termasuk pihak ketiga/kreditor ke dalam perubahan aktanya, dan meminta perubahan dilaporkan dan didaftarkan pada instansi yang berwenang.
Dapatlah diambil kesimpulan bahwa perubahan atas perjanjian perkawinan dimungkinkan untuk dibuat oleh suami isteri atas dasar kesepakatan diantara mereka, dan perubahan tersebut disamping tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, juga tidak boleh merugikan pihak ketiga/kreditor. Untuk itu, notaris memegang peranan yang penting dalam menciptakan perlindungan dan kepastian hukum bagi semua pihak termasuk pihak ketiga/kreditor atas setiap akta yang dibuatnya, termasuk akta perubahan perjanjian perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>